SEJARAH BEBERAPA TOPIK ARITMETIKA Sumardyono, M.Pd.
Angka Hindu-Arab
Angka yang kita gunakan sekarang ini ada yang menyebut sebagai Angka Arab, Angka Hindu-Arab, atau Angka Hindu. Apa yang disebut Hindu dalam banyak literatur menunjuk pada makna India, suatu wilayah peradaban yang maju sejak zaman dulu. Secara kronologisnya walau dalam bentuk yang berbeda, angka yang kita gunakan sekarang ini berasal mula dari India, lalu mengalami perubahan di wilayah Arab, baru kemudian diterima di Eropa dan di seluruh dunia. Masa peralihan tersebut tidaklah sederhana. Mungkin mula-mula angka itu berasal dari angka Gvalior, lalu secara berangsur-angsur mengalami perubahan bentuk hingga di tangan beberapa matematikawan, semisal Aryabhata I (476-k.550) dan Brahmagupta (k.598k.670). Catatan Arab yang pertama menjelaskan tentang angka Hindu tersebut adalah Algoritmi de numero Indorum, terjemahan Latin dari karya al-Khwarizmi (k.780-k.850). Dari nama al-Khwarizmi pada buku itu, muncul istilah algoritma. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa penggunaan pertama bilangan nol sebagai nilai tempat dalam sistem basis desimal (seperti sistem yang kita gunakan sekarang) berasal dari al-Khwarizmi dalam bukunya tersebut. Oleh matematikawan Eropa, cara penulisan bilangan Hindu-Arab tersebut kemudian dikenal dengan sebutan algorism (nama ini pula yang menjadi cikal bakal kata algoritma). Buku asli tertua yang masih ada yang membahas tentang angka dan bilangan India tersebut adalah Kitab al-fusul fi al-hisab al-Hindi, karya Abu al-Hasan al-Uqlidisi (k.952). Angka India ini mengalami perubahan bentuk dan terpecah menjadi dua bentuk. Yang pertama berkembang di bagian timur daerah Islam saat itu. Bentuk ini akhirnya menjadi angka yang dipakai orang Arab sekarang ini. Sementara yang berkembang di bagian barat (termasuk Spanyol, dulunya daerah kekhalifahan Abbasiyah), menjadi angka HinduArab yang sekarang kita gunakan. Sebagai gambaran, di bawah ini 2 tipe tersebut dari tulisan al-Biruni (973-1055) tahun 1082 di kawasan timur dan dari tulisan al-Banna alMarrakushi (1256-1321) di kawasan barat.
Dari bagian barat kawasan Islam, angka Hindu-Arab beserta sistem desimalnya masuk ke Eropa. Selain karya al-Khwarizmi, juga lewat karya Abu Kamil (k.850-k.930) dan Kusyar ibn Labban (k.1000), Eropa mengenal sistem desimal dan angka Hindu-Arab. Tetapi penerimaan ini berjalan lambat. Mungkin teks Latin pertama yang memuat Angka HinduArab adalah Codex Vigilanus yang ditulis oleh seorang rahib tahun 976. Tetapi penerimaan luas Angka Hindu-Arab terjadi setelah Fibonacci (k.1170-1240) menulis cara pemakaiannya dalam buku Liber Abaci tahun 1202, lebih-lebih lagi setelah penemuan mesin cetak (sekitar 1500-an).
Bilangan Pecahan Menurut catatan sejarah, perkembangan bilangan pecahan tertua mungkin dimulai di Mesir Kuno. Bangsa Mesir Kuno mengenal pecahan berupa pecahan satuan (unit fraction), yaitu pecahan dengan pembilang satu. Pengecualian dengan 2/3 mereka memiliki lambang tersendiri. Sementara bangsa Babilonia lewat batu bertulis atau loh telah menunjukkan penggunaan bilangan pecahan hingga pada penarikan akar. Penulisan pecahan bangsa Babilonia telah menggunakan nilai tempat. Penggunaan bilangan pecahan di Yunani Kuno telah begitu akrab, bahkan mereka beranggapan semua ukuran panjang dapat dinyatakan dengan perbandingan bilangan bulat, hanya mereka belum menggunakan pelambangan seperti sekarang ini. Pelambangan dan perhitungan dengan pecahan berkembang dari India. Penulisan pecahan desimal yang mendasari pecahan desimal kita sekarang juga berasal dari India. Brahmagupta yang lahir di Sind (kini Pakistan) dalam Brahmasphutasiddhanta menjelaskan tentang penulisan dan perhitungan bilangan pecahan, hanya belum benar-benar persis seperti yang kita gunakan. Ia dan juga matematikawan India lainnya menyatakan pecahan tanpa garis mendatar yang memisahkan pembilang dan penyebut. Walaupun perhitungan pecahannya sudah berdasarkan nilai tempat (desimal) tetapi belum menggunakan penulisan desimal seperti yang kita pakai. Di Cina dapat kita lihat pada Jiuzhang Suanshu atau sering diterjemahkan The Nine Chapter on The Mathematical Arts (sembilan bab tentang seni matematika) juga telah menggunakan nilai tempat untuk pecahan, bahkan menggunakan ide tentang Kelipatan Persekutuan Terkecil. Penggunaan ide pecahan desimal sendiri diawali pada dinasti Shang (sekitar 1800 hingga 1100 SM).
Ada yang menyebutkan bahwa al-Qalasadi (1412-1486) yang pertama menulis tanda garis horizontal di antara pembilang dan penyebut. Sementara Jeff Miller menyebut nama alHassar (abad ke-12). Sedangkan pemakaian pecahan desimal berikut cara perhitungannya yang signifikan terdapat pada karya dari al-Kasyi (k.1380-1429), Miftah al-Hisab (Kunci Perhitungan). Hal ini pertama kali diungkapkan oleh P. Luckey tahun 1948. Sebelumnya sering disebut bahwa penemu pecahan desimal adalah Simon Stevin (1548-1620), yang menulis La Disme tahun 1585, padahal Francçis Viéte (1540-1603) sendiri sebelumnya telah menulis tentang pecahan desimal. Sekarang telah banyak diakui bahwa al-Kasyi adalah penemu pecahan desimal. Walaupun demikian, dasar-dasarnya telah diperkenalkan sebelumnya terutama di perguruan yang didirikan oleh al-Karaji atau al-Karkhi (k.953-k.1019 atau 1029), khususnya alSamawal (1125-1180). Al-Kasyi sendiri belum menggunakan tanda koma untuk pecahan desimal, tetapi menggunakan tanda berupa kata sha (sebuah huruf arab) antara bilangan bulat dan bagian pecahan desimalnya.
Bilangan Pi Bilangan yang dilambangkan dengan huruf Yunani π (baca: “pi”) merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan diameter terhadap keliling lingkaran, dengan kata lain keliling lingkaran panjangnya π kali diameter lingkaran. Asal mula perhitungan dengan bilangan π telah berusia sangat lama. Bangsa Babilonia sekitar 4000 SM secara tak langsung menggunakan nilai 31/8 untuk π (prasasti Susa). Papirus Ahmes atau Rhind (1650 SM) telah 4 menggunakan nilai 4 ≈ 3,16049382 …. untuk π. 3
Perhitungan teoritik pertama berasal dari Archimedes (287-212 SM), dengan menggunakan keliling poligon luar dan poligon dalam suatu lingkaran, ia menemukan 3 10 < π 71
<
10 3 . 70
Lalu pada 100 M, Ptolemaeus atau Ptolemy (k.100-170) dengan menghitung busur
pada sudut 1o mendapatkan nilai
377 ≈ 120
3,1416. Pada 480 M, Tsu Chung Chih atau Zu
Chongzhi (429-500) berhasil menemukan nilai π , Aryabhata I pada 530 M menggunakan
62832 20000
355 113
= 3,14159292 …. Sementara
= 3,1416 untuk nilai π. Al-Kasyi tahun 1430
M, penemu/perintis bilangan desimal, menemukan nilai π hingga 16 tempat desimal, π = 6,2831853071795865. Lalu pada 1596 M, Viéte dengan bantuan rumus setengah sudut 2 mendapatkan bentuk deret: π = 1 × 1 + 1 × 1 + 1 + 1 ×... 2 2 2 2 2 2
Ludolph van Ceulen (1540-1610) pada 1610 dengan cara Archimedes hingga segibanyak 262 sisi mendapatkan nilai π hingga 35 tempat desimal yang kemudian dikenal sebagai Bilangan Ludolphian. Tahun 1621 M, Willebord Snell (1580-1626) menemukan nilai π dengan cara yang lebih cepat, yaitu lewat penggunaan trigonometri hingga 35 tempat desimal. John Wallis pada 1650 menggunakan deret bilangan: π = 2.2.4.4.6.6.8.8.... . Lalu tahun 1671, James Gregory 1.3.3.5.5.7.7.9....
(1638-1675) menggunakan hubungan trigonometri untuk mendapatkan rumus 1
π 4
= 1 – 1 /3 +
/5 – 1/7 + … . Deret ini sering diatributkan kepada Leibniz, tetapi sebenarnya telah dikenal lebih awal oleh James Gregory. Deret ini belum benar-benar membantu, untuk menghitung
hingga 4 tempat desimal π saja dibutuhkan perhitungan hingga 10.000 suku! Tahun 1706, John Machin (1680-1751) menemukan rumus lain, tetapi tetap kurang membantu. Tahun 1873, Shanks (1812-1882) menghitung hingga 707 desimal, tetapi segera diketahui desimal ke 528 tidak benar, sehingga ia hanya berhasil menghitung 527 desimal. Lalu Comte de Buffon (1707-1788) pada 1760 untuk pertama kali menggunakan metode peluang untuk menentukan nilai π, yaitu lewat P = 2 L (peluang batang sepanjang L menyentuh garis bila πa
dilontar ke bidang yang memuat garis-garis sejajar dengan jarak sejauh a) Irasionalitas bilangan π dibuktikan pertama kali oleh Johann Lambert (1728-1777) tahun 1761. Lalu pada tahun 1882, giliran Ferdinand von Lindemann (1852-1939) membuktikan bahwa π transendental. Lambang π sendiri pertama kali digunakan oleh William Jones (1675-1749) tahun 1706, dan populer lewat tangan Euler. Euler pulalah yang mengemukakan masalah apakah π irasional dan apakah π aljabar pada tahun 1755. Perhitungan dengan komputer dimulai tahun 1949 M oleh ENIAC, komputer generasi awal, di mana dalam tempo 70 jam berhasil menghitung hingga 2037 desimal. Dengan menggunakan superkomputer dan pemilihan rumus yang tepat, kini kita dapat menghitung π secara lebih cepat. Pada bulan Juni 1995, matematikawan Jepang, Yasumasa Kanada menemukan bilangan π teliti hingga 3.221.220.000 tempat desimal. Walaupun secara teoritis kita dapat menghitung dengan desimal hingga berapapun, tetapi patut dicatat bahwa bilangan π hingga 39 tempat desimal saja sudah mencukupi untuk menghitung keliling lingkaran bola dengan jari-jari satu milyar tahun cahaya (jarak beberapa galaksi), dengan ketelitian yang sama untuk ukuran jari-jari atom hidrogen.
Logaritma Logaritma ditemukan di awal tahun 1600 oleh John Napier (1550-1617) dan Joost Bürgi (1552-1632), walaupun banyak yang mengatakan Napier adalah perintis yang sebenarnya. Napier sendiri menghabiskan waktu sekitar 20 tahun sebelum menemukan ide logaritma tersebut dengan menerbitkan karyanya, Descriptio (lengkapnya Minifici Logarithmorum Canonis Descriptio) tahun 1614. Bürgi di lain pihak, mempublikasikan Progress-Tabulen (lengkapnya Arithmetische und geometrische Progress-Tabulen) tahun 1620, walaupun penemuannya itu berasal dari tahun 1588. Hal ini diketahui melalui sebuah surat dari seorang astronom Reimanus Ursus Dithmarus yang menjelaskan tentang metode Bürgi dalam menyederhanakan perhitungan matematis lewat penggunaan cara yang kini disebut logaritma. Walaupun demikian, pada prinsipnya kedua logaritma yang mereka temukan sama, yang berbeda hanya pendekatannya. Bila Napier lewat pendekatan aljabar, maka Bürgi menggunakan pendekatan geometris. Sebenarnya, sebelum penemuan logaritma, orang telah lebih dulu menggunakan gagasan yang mendasari penelitian ilmu logaritma yaitu prosthaphaeresis, perubahan proses pembagian dan perkalian kepada penambahan dan pengurangan. Orang pertama yang memulai gagasan ini adalah Ibnu Yunus As-Sadafi al-Misri (950-1009) yang sezaman dengan tokoh optik dan geometri, al-Haytsam atau al-Hazen (965-1039), karena penemuannya terhadap hukum yang kemudian dikenal sebagai “Hukum Ibnu Yunus”, yaitu 2.cos x. cos y = cos (x + y) + cos (x – y). Aturan serupa juga digunakan oleh Viéte, Werner, Pitiscus, dan Tycho Brahe. Sementara ide pekerjaan Napier dapat dijelaskan secara sederhana. Untuk membuat setiap suku pada deret geometri menjadi sangat dekat, kita tentunya memilih bilangan yang mendekati satu. Napier memilih bilangan 1 – 10–7 (atau 0,9999999), sehingga tiap suku
adalah (1 – 10–7 )L. Kemudian untuk mendapatkan nilai desimal, setiap suku ia kalikan dengan 107 . Nah, jika N = 107 (1 – 10–7 )L maka L disebutnya sebagai logaritma dari bilangan N. Kata logaritma berasal dari kata logos (perbandingan) dan arithmos (bilangan). Sebelumnya, ia menyebutnya dengan “artifisial numbers” (bilangan buatan). Perhatikan bahwa logaritma Napier tidaklah sama dengan logaritma yang kita gunakan sekarang. Sebagai misal, bila logaritma modern menyatakan log ab = log a + log b atau ab = 10log a + log b maka Logaritma Napier menyatakan N1.N2/107 = 107. (1 – 10–7 )L1 + L2 . Jadi, logaritma dari Napier untuk penjumlahan tidak menyatakan N1.N2 melainkan N1N2/107 . Logaritma Napier dapat kita dekati menjadi logaritma modern, bila bilangan logaritma dan bilangan N kita bagi dengan 107. Maka akan kita peroleh logaritma modern, tetapi dengan basis mendekati 1/e . Sedikit berbeda dengan logaritma Napier, Logaritma Bürgi memiliki bentuk N = 108(1 + 10 – 4 )L , dengan tabel dinyatakan dalam bentuk 10L. Burgi menyebut bilangan L sebagai bilangan “merah” (“red” numbers) dan bilangan N sebagai bilangan “hitam” (“black” numbers). Henry Briggs (1561-1631), seorang profesor geometri di Oxford, mendiskusikan logaritma Napier dan menyarankan metodenya sendiri. Ia melihat, seharusnya log(1) = 1 dan log(10) = 1. Briggs lalu membuat tabel logaritma dengan menggunakan syarat yang ia buat tadi. Sehingga ia dapatkan log(101/2) = log(3,1622277) = 0,500000. Briggs lalu mempublikasi tabel logaritma dari 1 hingga 1000 dalam Logarithmorum chilias prima (tahun 1617). Tahun 1624, ia mempublikasikan lagi tabel dengan bilangan hingga 100.000 dalam Arithmetica logarithmica. Keduanya hingga ketelitian 14 desimal, tetapi tabel pertama mengandung beberapa entri yang tidak tepat. Dari buku tabel kedua itulah, mulai digunakan istilah “mantissa” dan “characteristic”.
Daftar Pustaka dan Bahan Bacaan Anglin, W. S. 1994. Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York: SpringerVerlag. anonim. September 2003 (diakses). tanpa judul. dalam http://www.geocities.com/ mathfair2002/ arit/arithm1.htm Boyer, Carl B. 1968. A History of Mathematics. New York: John Wiley & Sons, Inc. Cooke, R. 1997. The History of Mathematics. A Brief Cource. New York: John Wiley & Sons, Inc. Dali S. Naga. 1980. Berhitung, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Gramedia Eves, Howard. 1964. An Introduction to The History of Mathematics. New York: Holt, Rinehart, & Winston, Inc. O`Connor, J. J. & Robertson, E. F. 1999. kumpulan esai dalam http://www-history.mcs.standrew.ac.uk/history/HistTopic/ & dalam http://www-history.mcs.standrews.ac.uk/history/Mathematics/ Sabra, Berggren, Iqbal, & Alisjahbana. 2001. Sumbangan Islam kepada Sains & Peradaban Dunia. Bandung: Penerbit Nuansa Sitorus, J. 1990. Pengantar Sejarah Matematika dan Pembaharuan Pengajaran Matematika di Sekolah. Bandung: Tarsito.