BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Konsep pembangunan akhir-akhir ini menjadi semakin berkembang dan telah mengalami perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebijakan pembangunan. Dari pengalaman sukses maupun kegagalan yang dialami oleh banyak negara-negara sedang berkembang memberikan pelajaran bahwa strategi pembangunan yang diterapkan selama ini yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar, seperti: kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan gizi, pendidikan, dan lain-lain. Todaro dan Smith (2004) menyadari hal ini, dengan menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan dalam pertumbuhan GNP per kapita, akan tetapi haruslah diartikan sebagai suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam sistem aktivitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan masyarakat. Pernyataan ini senada dengan Kamaludin (1983), yang menyatakan bahwa pembangunan sebagai proses yang bermakna banyak mencakup perubahan struktural, sikap kelakuan dan kelembagaan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pengurangan ketidakmerataan dan penghapusan kemiskinan.
1
2
Menurut Sukirno (2006), walaupun pendapatan nasional (GNP) per kapita yang selama ini digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan dan tingkat kemampuan yang dicapai di suatu negara, akan tetapi perlu hendaknya disadari bahwa pendapatan per kapita yang digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran dan pembangunan yang dicapai suatu negara mempunyai kelemahan, antara lain tidak memperhitungkan faktor-faktor non ekonomi, seperti pengaruh adat istiadat dalam kehidupan masyarakat, komposisi umur penduduk, distribusi pendapatan masyarakat, pola pengeluaran masyarakat, faktor iklim dan alam sekitarnya. Sehubungan dengan hal di atas, Lakshmanan (1988) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi telah menjadi tidak seimbang di negara Dunia Ketiga, di dalam negara, antardaerah, antar pedesaan dengan perkotaan, antarkelompok ekonomi sosial yang keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok-kelompok yang mengendalikan sumber daya ekonomi atau kekuatan politik bahkan sampai pada posisi pelemahan atau pemiskinan absolut. Para ahli geografi manusia dan ilmu sosial juga sependapat bahwa pembangunan ekonomi perlu merujuk pada proses perubahan yang menyangkut hakekat dan kemampuan daerah/wilayah dalam suatu negara, baik yang menyangkut struktur ekonomi, institusi, dan organisasi sosial, penggunaan teknologi suatu negara, dan yang paling penting adalah perubahan kapasitas daerah atau wilayah dalam memperbaiki kebutuhan hidup yang mendasar seperti:
3
pendidikan, kesehatan, bahan pangan, perubahan dalam kesejahteraan sosial, di samping memperbaiki infrastruktur sosial ekonomi (Knox & Marston, 2004). Meskipun banyak menuai kritik terhadap paradigma pertumbuhan, akan tetapi paradigma ini telah membawa banyak negara-negara di dunia ketiga ke dalam keberhasilan pembangunan ekonomi, termasuk Indonesia. Namun demikian keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah banyak membawa akibat yang negatif (Hill, 1996). Kritik senada dikatakan Tjokrowinoto (2004), bahwa momentum pembangunan dicapai dengan pengorbanan atau harga yang tinggi, terjadi deteriorasi ekologis, penyusutann sumber daya alam, timbulnya kesenjangan sosial dan ketergantungan. Selanjutnya, Hal Hill (1996) mengatakan pula bahwa rasa ketidakpuasan dan kritik dari berbagai pihak bukan terhadap besarnya pertumbuhan yang dicapai, akan tetapi lebih pada kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu menyelesaikan masalah sosial, seperti: kemiskinan, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan dan transportasi yang kurang memadai, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota atau pusat pemerintahan, masalah pengangguran yang semakin meningkat, masalah kerusakan lingkungan yang semakin parah serta dampaknya terhadap masyarakat, termasuk akses atas keterjangkauan terhadap berbagai layanan publik. Suhardjo
(1999)
mengusulkan
pendekatan
sosial
budaya
dalam
pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi. Ia menguraikan bahwa strategi pembangunan
yang
mendambakan
pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
berantisipasi akan terjadinya proses penetesan ke bawah (trickle down) dalam
4
bentuk perluasan kesempatan kerja dan berusaha, serta kesempatan-kesempatan lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa berbagai permasalahan sosial, seperti: kemiskinan dan pengangguran serta ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang dapat merangsang timbulnya ketegangan-ketegangan sosial, kurang mendapat perhatian yang nyata. Sebagai akibat dari strategi kebijakan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan di Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, ternyata masih banyak dijumpai daerah-daerah yang masih terbelakang dan terisolasi. Salah satunya adalah daerah penelitian penulis, yaitu Dataran Tinggi Lindu di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Dataran tinggi, oleh Li (2002) didefinisikan sebagai daerah pedalaman yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal yang berada di ketinggian. Lebih lanjut Tania Li, bahwa di Indonesia, daerah pedalaman dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kekacauan, dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga yang normal. Namun demikian ada banyak juga citra sebaliknya, yaitu yang dikaitkan dengan kebebasan dan kesatuan antarsesama anggota masyarakat dengan lingkungannya. Di sisi lain, banyak penduduk yang tinggal di dataran tinggi tidak banyak mendapatkan perhatian, padahal mereka tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang dikategorikan sebagai hutan negara. Banyak di antara mereka yang telah tinggal di daerah ini secara turun-temurun. Pernyataan di atas relatif cukup signifikan dengan kondisi fisik maupun keadaan sosial ekonomi masyarakat di
5
wilayah Dataran Tinggi Lindu sebelum terjadi perubahan sarana dan prasarana transportasi dari jalan kaki/menggunakan kuda ke sepeda motor (ojek). Dari fakta empiris ini diperkirakan akan terjadi perubahan (tansformasi) sosial ekonomi masyarakat di Dataran Tinggi Lindu. Transformasi sosial ekonomi dalam kajian ini dapat diartikan sebagai perubahan menyeluruh dalam sistem dan struktur sosial ekonomi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok dengan lingkungannya sebagai hasil penciptaan ide-ide baru atau hal-hal baru yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi (Suwito, 2004; Prijosaksono dan Murdianto, 2005). Proses transformasi sosial ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat untuk menjawab tantangan atau kendala yang dialami dan dirasakan dalam upaya memperbaiki kondisi sosial ekonomi mereka. Sedangkan pola transformasi sosial ekonomi adalah kekhasan bentuk persebaran/distribusi fenomena sosial ekonomi pada suatu ruang dan waktu tertentu, termasuk lingkungan fisik yang ada. Proses dan Pola transformasi sosial ekonomi ini ditandai dengan terjadinya perubahan teknologi moda transportasi dari jalan kaki/naik kuda diganti dengan sepeda motor, alat menangkap ikan tradisional diganti dengan jaring dan perahu bermotor, sarana produksi pertanian dengan bantuan tenaga kerbau atau paruja beralih ke traktor dan bajak, pengolahan pascapanen merontok/menumbuk padi/kopi menggunakan tenaga manusia diganti dengan mesin perontok dan mesin gilingan,
alat
penerangan
dari
lampu
minyak
ke
penerangan
listrik
generator/genset, serta terbukanya akses terhadap pelayanan kesehatan dan
6
pendidikan. Namun demikian tak dapat dihindari akan terjadi konsekuensi negatif akibat transformasi, antara lain peralihan kepemilikan dan pengelolaan lahan, harga lahan cenderung meningkat, mobilitas masyarakat terutama masyarakat pendatang cenderung meningkat yang akan mendesak masyarakat yang kurang mampu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian baru yang sebenarnya sudah berada di luar batas hutan yang diizinkan oleh pemerintah.
B. Permasalahan Secara geografis, Dataran Tinggi Lindu berada di ketinggian ± 1000 m dari permukaan laut, jaraknya ± 80 km kearah selatan Kota Palu ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menjangkau daerah ini, orang harus melalui jalan setapak menapaki koridor Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) berjalan kaki atau menunggang kuda sepanjang ± 17 km dari poros jalan kolektor Dusun Sidaunta dengan waktu tempuh ± 6-7 jam. Keadaan geografis (topografis) yang bergunung, berbukit, berliku, dan terjal dengan kemiringan lereng yang curam antara 60–70%, wilayah Dataran Tinggi Lindu dihadapkan pada masalah kemudahan atau keterjangkauan lokasi atau aksesibilitas untuk mendapatkan kebutuhan atau pelayanan sosial ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, barang dan jasa lainnya. Akibat dari kesulitan/keterbatasan sarana dan prasarana transportasi, sehingga walaupun daerah ini memiliki potensi di bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan perkebunan sebagai mata pencaharian masyarakat, tetapi tidak bisa berkembang karena tidak bisa diakses oleh sarana dan prasarana transportasi yang relatif memadai. Wilayah Dataran Tinggi Lindu terdapat empat desa, yaitu Puroo,
7
Langko, Tomado, dan Anca dengan luas wilayah seluruhnya ± 46.654 ha, termasuk luas Danau Lindu sekitar 3.453,93 ha dan penduduk yang berdomisili di kawasan ini menurut data tahun 2004 berjumlah 3.900 jiwa. Tiga desa (Anca, Tomado, Langko) jaraknya relatif dekat atau di sekitar Danau Lindu, dan Desa Tomado sebagai ibukota Kecamatan Lindu dan pusat pertumbuhan, sedangkan Desa Puroo relatif jauh sekitar 5 km dari Danau Lindu atau pusat pertumbuhan. Kawasan Lindu ditetapkan masuk sebagai calon Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982, tanggal 14 Oktober 1982. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1993, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.593/Kpts/II/1993, yang menegaskan status TNLL menjadi definitif. Surat Keputusan tersebut menyebutkan perubahan fungsi hutan wisata/hutan lindung Danau Lindu seluas 31.000 ha, hutan suaka margasatwa Lore-Kalamanta seluas 131.000 Ha serta suaka margasatwa Sungai Sopu dan Gumbasa seluas 67.000 ha, dengan demikian TNLL memiliki luas seluruhnya 229.000 ha (Mohammad dan Arimbi, 1994). Kawasan TNLL memiliki banyak keunggulan kompetitif, yakni: sebagai basis keanekaragaman hayati, sebagai hutan lindung yang berfungsi mengatur tata air, banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, dan sebagai hutan wisata yang mempunyai nilai khas bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Secara konseptual bahwa pemukiman dan lahan pertanian/kebun masyarakat termasuk Danau Lindu berada di luar TNLL, tetapi sejak saat itu masyarakat Lindu (To-Lindu) merasakan ada pembatasan ruang gerak mereka di dalam menguasai dan memanfaatkan sumber daya (hutan, lahan, dan danau).
8
Padahal, sebelumnya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya semata-mata diatur berdasarkan ketentuan adat kebiasaan masyarakat To-Lindu secara turuntemurun dari nenek moyang mereka dengan prinsip bahwa wilayah dan semua yang ada di dalamnya merupakan tempat mereka menggantungkan harapan hidup sampai kepada anak cucu mereka. To-Lindu begitu kuat menjunjung tinggi prinsip atau komitmen adat bahwa wilayah yang mereka tinggali adalah tempat menopang dan menggantungkan harapan hidup sampai ke anak cucu mereka, disebut dengan Suaka Ngata. Kawasan Lindu sebagai salah satu Enclave dari TNLL merupakan dataran dari deposisi lacustrine di sekitar Danau Lindu yang termasuk kelas danau tektonik yang terbentuk di zaman Pliosen antara 5,3–1,6 juta tahun yang lalu dan tergolong danau tertua di Sulawesi, memiliki luas ± 3.453 ha dengan kedalaman sekitar 80–100 m dan berada di ketinggian antara 975–1.025 m dpl. Tingkat keasaman Danau Lindu antara 5,6–6,0, sifat yang agak asam ini terpelihara dengan sifat granitik wilayah ini dan sifat tanah asam yang diturunkan. Keadaan iklim daerah ini cukup dingin berkisar antara 18–30°C dengan jumlah curah hujan tahun 2002 sebanyak 4.348,8 mm dengan jumlah hari hujan 99 hari atau rata-rata curah hujan perbulan 362,40 mm, dan rata-rata jumlah hari hujan per bulan 8,25 hari dengan wilayah tangkapan hujan (catchment area) seluas 55.000 hektar. Wilayah Dataran Tinggi Lindu, sebagian besar merupakan kawasan hutan pegunungan (85%) dan sisanya (15%) merupakan dataran rendah termasuk di dalamnya luas Danau Lindu, yang saat ini terlihat adanya endapan alluvial yang dihanyutkan air membentuk daerah dengan materi deposit berpasir sampai
9
berbatu. Tanah pegunungan kebanyakan terbentuk dari proses pelapukan induk atau batu granit, batu-batuan metamorphis schists dan batu gneiss yang membentuknya. Sistem lahan di kawasan Dataran Danau Lindu umumnya hanya membentuk fluvaquents yaitu sejenis tanah entisol yang selalu jenuh air dengan fluktuasi temperatur kurang dari 5°C pada kedalaman 50 cm, dengan campuran tropaquents yaitu jenis tanah entisol yang selalu jenuh air dengan bahan organik 0,27% atau lebih pada kedalaman 125 cm yang sedikit lebih subur, meskipun sering mengalami pencucian (Balai Taman Nasional Lore Lindu, 2004). Dalam perkembangannya, wilayah Dataran Tinggi Lindu sejak tahun 1972, atas prakarsa masyarakat yang didukung oleh pemerintah setempat, mulai melakukan perintisan dan pembangunan dengan memperlebar jalan menjadi ± 1 m sehingga daerah ini sudah dapat masuki/dilalui oleh beberapa unit sepeda motor pada pertengahan tahun 2002 kendati medannya relatif cukup sulit. Kemudian pada tahun 2003 jumlah sepeda motor yang masuk ke wilayah Lindu semakin bertambah dan hingga kini sepeda motor digunakan sebagai sarana transportasi yang dominan (ojek), untuk mobilitas orang maupun barang. Perubahan sarana dan prasarana transportasi ini, akan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Dataran Tinggi Lindu. Sebagai contoh, produksi yang dahulu diangkut dengan menggunakan tenaga hewan (kuda) atau dipikul sudah digantikan oleh kendaraan sepeda motor (ojek), usaha pertanian dan penangkapan ikan secara tradisional sudah digantikan oleh penggunaan alat-alat mekanis, jaring dan perahu bermotor.
10
Perubahan sarana dan prasarana transportasi ini akan berimplikasi terhadap perubahan atau pergeseran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Dataran Tinggi Lindu. Waktu tempuh menjadi relatif singkat dari 6–7 jam menjadi 3–4 jam, pelebaran jalan mampu memberi akses bagi arus lalu-lintas masuk keluar sepeda motor dari dan ke daerah ini, masuknya teknologi sarana produksi pertanian, pengolahan pascapanen, alat tangkap nelayan, pengambilan hasil hutan, dan modal, serta arus mobilitas orang/barang, termasuk warga pendatang (migrasi), dengan turut serta membawa nilai-nilai sosial ekonomi yang dianut yang tentunya berbeda orientasi dengan masyarakat asli (To-Lindu). Bahkan bukan tidak mungkin To-Lindu akan ikut terpengaruh atau meniru gaya hidup dan perilaku warga pendatang . Kondisi ini akan semakin mendorong terjadinya transformasi atau perubahan/penggeseran dalam kehidupan sosial ekonomi dan kultural atau transformasi fisik dan nonfisik. Di sisi lain, kehadiran warga pendatang akan meningkatkan persaingan yang kurang sehat dengan penduduk asli To-Lindu yang menjurus kepada timbulnya kecemburuan sosial di antara mereka. Pada umumnya masyarakat pendatang lebih ulet dalam berusaha, selain memiliki modal dan keterampilan yang lebih dari masyarakat asli, bahkan akan terjadi proses peralihan penguasaan/kepemilikan lahan dari masyarakat asli ke masyarakat pendatang. Perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat akan mengarah pada terjadinya dualisme yang saling berkompetisi atau bahkan dapat berintegrasi satu dengan lainnya, yaitu antara sistem sosial budaya dan ekonomi tradisional dengan sistem sosial budaya dan ekonomi modern, tetapi kerap kali
11
membawa pengaruh yang kurang baik bagi kehidupan masyarakat. Misalnya dengan masuknya teknologi penangkapan ikan dan pengambilan hasil hutan, akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan usahanya tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Di sisi lain dalam proses interaksi di masyarakat dualisme bisa hidup berdampingan dan berinteraksi di antara keduanya,
sehingga
akan
berimplikasi
terhadap
perubahan
pola
pikir,
sikap/perilaku terjadinya transfer teknologi dan keterampilan, serta perubahan etos kerja, yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkat hidup masyarakat dalam arti peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bertolak dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui proses dan pola transformasi sosial ekonomi masyarakat di Dataran Tinggi Lindu yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan kajian geografi, dengan melihat kaitan antara lingkungan geografi yaitu fisiografi, aksesibilitas, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Dataran Tinggi Lindu. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan permasalahan pokok yang menjadi fokus dalam penelitian ini: 1. Bagaimana proses dan pola transformasi sosial ekonomi di masyarakat dilihat dari dimensi keruangan, demografi, kewaktuan, sosial ekonomi, dan ekologis; 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya transfomasi sosial ekonomi di masyarakat. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan ilmu geografi manusia yang mengkaji interaksi antara manusia dengan lingkungannya pada wilayah di permukaan bumi (Agnew et.al., 1999; Custree
12
et.al., 2005). Kajian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan (spatial approach) dan pendekatan ekologi (ecological approach) dengan mengambil dasar perbedaan wilayah penelitian (areal differentiation). Penekanan analisis didasarkan pada pola keruangan dan keterkaitan hubungan antara aktivitas manusia dengan lingkunganya (human activities dan environmental elements).
C. Keaslian Penelitian Acciaioli (2001) mengkaji bagaimana adat, keragaman dan rasa nasionalisme
masyarakat
di
Dataran
Tinggi
Lindu
dapat
menghindari
konflik/benturan yang bakal terjadi, dengan menggunakan pendekatan studi literatur. Penentuan responden melalui teknik pendekatan aktor terkait: masyarakat asli maupun pendatang, Ornop, lembaga adat dan pemerintah. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam dan metode analisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hal yang pemicu konflik antara lain adanya Peraturan Pemerintah Daerah yang membuka akses bagi masuknya transmigran lokal, sementara peraturan adat Lindu tidak memberi keleluasaan kepada para pendatang untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam. Alhasil, tahun 1999 timbul wacana dari ToLindu untuk mengusir warga pendatang yang dipicu oleh perselisihan antara buruh (pekerja) yang kebetulan masyarakat asli dengan majikan yang kebetulan warga pendatang etnis Bugis. Namun perselisihan ini cepat diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, antara lain dewan adat, tokoh agama, tokoh pendidik, dan pemerintah desa.
13
Pada tahun 2000 dilakukan pertemuan antara wakil-wakil dari komunitas masyarakat se-Dataran Tinggi Lindu, antara lain dewan adat, wakil Ornop (YTM dan AMASUTA), melahirkan Forum Kepedulian untuk Keserasian Komunitas di Dataran Tinggi Lindu, menghasilkan resolusi: (1) masyarakat adat To-Lindu tetap diberikan kedaulatan dalam menguasai dan memanfaatkan SDA; (2) semua elemen masyarakat menciptakan rasa aman dengan penuh rasa kekeluargaan; (3) semua orang yang tinggal di Dataran Tinggi Lindu merupakan suatu kesatuan. Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal: (1) peraturan pemerintah daerah telah ikut mendorong terciptanya ketegangan; (2) gerakan masyarakat adat telah berhasil mengangkat harkat derajat dan norma adat masyarakat Lindu; (3) potensi kekerasan tidak terjadi secara meluas dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Penelitian Muhamad (2001) juga mengkaji potensi konflik dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) berdasarkan ketentuan adat masyarakat Lindu dan bagaimana bentuk konflik serta implikasinya terhadap penetapan TNLL. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian di tiga desa (Langko, Tomado, dan Anca). Informan kunci: pengurus lembaga adat, tua-tua kampung, pemuda, kepala dan sekretaris desa, serta warga pendatang dan petugas pengelola TNLL. Penelitian menyimpulkan: (1) aturan masyarakat adat Lindu, khususnya pengaturan dan penguasaan SDA masih tetap berlaku; (2) potensi konflik yang terjadi di masyarakat Lindu masih berada pada tataran konflik kepentingan; (3) adanya berbagai kepentingan akan menjadi sumber konflik dan akan berekses pada penolakan penduduk pendatang
14
Laudjeng (1993) mengkaji tentang kearifan lokal masyarakat adat Lindu (indigenous people), di dalam pengusaan dan pemanfaatan SDA. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan penelitian lapangan dengan teknik wawancara mendalam langsung kepada tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga adat. Masyarakat Lindu memiliki ketentuan adat yang berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaataan SDA, salah satunya pembagian zona disebut suaka. Penelitian ini berkesimpulan: (1) masyarakat Lindu sejak leluhur mereka telah memiliki ketentuan adat didalam pemanfaatan SDA melalui pembagian zona atau suaka; (2) hukum adat Lindu yaitu hak perorangan (private individual) dan hak masyarakat adat (private communal); (3) ombo sebagai pranata adat Lindu dalam menghormati tokoh yang diapresiasikan dalam nuansa magis. Perbedaan dengan penelitian ini adalah: 1.
Ketiga penelitian dilakukan di Dataran Tinggi Lindu yang didasarkan pada konsep/kajian sosiologi murni, penekanannya pada aspek budaya dan konflik sosial, antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang, sedangkan penelitian penulis menggunakan pendekatan ilmu geografi manusia didasarkan pada pendekatan analisis spasial (spatial approach) dan ekologikal (ecological approach) penekanannya pada proses dan pola transformasi sosial ekonomi masyarakat Dataran Tinggi Lindu akibat perubahan sarana dan prasarana transportasi dari jalan kaki atau menggunakan kuda ke sepeda motor (ojek).
2. Metode yang digunakan oleh ketiga peneliti adalah studi kasus melalui pendekatan aktor terkait dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Sedangkan penelitian penulis menggunakan metode survei sampel dengan
15
teknik pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) terhadap unsur penelitian, yaitu kepala keluarga (KK) dan unit analisis rumah tangga (RT) dengan dasar perbedaan wilayah (areal differentation) yang ditentukan secara purposive (Desa Tomado dan Desa Puroo). Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskiptif kuantitatif, yaitu analisis pola, proses, dan regresi linear berganda (semi-log) dibantu dengan analisis tabel frekuensi/tabel persentase. Giyarsih (2009) mengkaji tentang transformasi wilayah di koridor Yogyakarta–Surakarta dengan tujuan: memahami pola, tahapan transformasi wilayah di koridor Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkan, meliputi: sumber daya lahan, sosial, ekonomi, kultural, dan teknologi. Penelitian ini menggunakan ilmu geografi dengan pendekatan keruangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan teknik stratified random sampling. Populasi adalah seluruh masyarakat di empat tipe desa yang diklasifikasikan berdasarkan lokasinya terhadap jaringan jalan dengan unit analisis rumah tangga. Pengumpulan data menggunakan kuisioner terstruktur, metode analisis yang digunakan adalah analisis pola, proses, dan dampak. Penelitian menyimpulkan: (1) semakin tinggi aksesibilitas suatu wilayah makin tinggi pula tingkat transformasi wilayah; (2) tahapan-tahapan transformasi wilayah berasosiasi dengan jaringan jalan dan pusat pertumbuhan; (3) transformasi wilayah berdampak terhadap penyusutan lahan pertanian, kenaikan harga lahan, perubahan jenis tanaman dan penurunan produktivitas hasil pertanian; (4) transformasi wilayah berdampak terhadap: aspek ekonomi
16
(pendapatan, harga lahan, kualitas bangunan rumah, orientasi penggunaan rumah); kondisi sosial (penurunan kegiatan ronda malam, intensitas perkumpulan bapak/ibu, aktivitas gotong royong, perubahan sumbangan dari tenaga ke bentuk uang; kondisi kultural (perubahan adat istiadat pada upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian); teknologi (peningkatan intensitas menggunakan komputer/internet, cara menabung, dan penggunaan alat pengolahan pertanian). Penelitian ini menemukan adanya variasi spasial berdasarkan 4 tipe desa yang menggambarkan derajat aksesibilitas; fenomena transformasi wilayah yang terjadi pada level makro juga ditemukan pada level mikro; transformasi wilayah di koridor Yogyakarta–Surakarta semakin lama akan semakin intens akibat makin luasnya pengaruh nilai-nilai kekotaan ke arah perdesaan. penelitian ini lebih bersifat komprehensif, sehinga dapat memmberi sumbangan terhadap teori transformasi wilayah yang terintegrasi di Koridor Antarkota. Penelitian Giyarsih (2009) jika dibandingkan dengan penelitian penulis, keduanya menggunakan pendekatan ilmu geografi namun letak perbedaannya pada lokasi atau daerah penelitian. Penelitian penulis menyangkut proses dan pola tansformasi sosial ekonomi masyarakat di daerah pedesaan Dataran Tinggi Lindu, terisolasi dan hanya mampu diakses oleh kendaraan sepeda motor, sedangkan penelitian Sri Rum Giyarsih dilakukan di daerah perkotaan. Rekapitulasi hasilhasil penelitian terdahulu dan serupa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1. Rekapitulasi Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu dan Serupa No 1.
Peneliti Greg Acciaioli (2001)
Judul Grounds of Conflict, Idioms of Harmony, Custom, Religion, and Nationalism in Violence Avoidance at the Lindu Plain Central Sulawesi
Lokasi Lindu Plain
Sumber Data Primer dan studi kepustakaan
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Aktor-aktor terkait, wawancara mendalam, observasi
Metode Analisis Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian 1. Peraturan atau kebijakan pemerintah daerah telah ikut mendorong terciptanya ketegangan antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli (To-Lindu) yang tetap memperjuangkan kedaulatan melalui pranata adat mereka. 2. Gerakan masyarakat adat telah berhasil mengangkat harkat derajat dan norma adat di Dataran Tinggi Lindu, eksesnya dapat menimbulkan ketegangan dengan pemerintah di dalam penguasaan dan pemanfaatan SDA. 3. Potensi kekerasan, tidak terjadi secara meluas dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui peranan dewan adat yang melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidik dan Ornop. 4. Norma adat/kebiasaan, keberagaman dan rasa nasionalisme dapat menjadi faktor yang dapat mencegah/menghindari potensi konflik yang ada antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang.
17
Lanjutan Tabel 1.1. Rekapitulasi Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Serupa
No
Peneliti
2.
Hasan Muhamad (2000)
Judul Potensi Konflik dalam Penguasaan SDA (studi pada masyarakat Lindu di TNLL)
Lokasi Dataran Tinggi Lindu
Sumber Data Primer dan studi kepustakaan
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Studi kasus, aktoraktor terkait, wawancara mendalam, observasi eksploratif
Metode Analisis Deskripsi kualitatif
Hasil Penelitian 1. Aturan adat masyarakat Lindu dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam masih berlaku, diakui, baik secara individu maupun komunal. 2. Potensi konflik yang terjadi menyangkut penguasaan sumber daya alam masih berada dalam tataran konflik kepentingan, yaitu: antara masyarakat lokal, pendatang dan pihak TNLL. 3. Adanya berbagai kepentingan di Dataran Tinggi Lindu, akan menjadi sumber konflik kalau tidak dilakukan resolusi sejak dini akan berakibat pada penolakan tehadap penduduk pendatang yang diawali adanya kesenjangan sosial di antara merteka.
18
Lanjutan Tabel 1.1. Rekapitulasi Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Serupa No 3.
Peneliti Haedar Laudjeng (1993)
Judul Kearifan Masyarakat Adat Lindu
Lokasi Lindu
Sumber Data Primer dan studi kepustakaan
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Aktor-aktor tertentu, wawancara mendalam
Metode Analisis Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian 1. Masyarakat Lindu sejak dari leluhur mereka telah memiliki ketentuan-ketentuan adat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; salah satu di antaranya adalah pembagian zona yang disebut dengan suaka ngata. 2. Hukum adat Lindu memiliki hak perorangan (private individual) dan hak masyarakat adat (private communal) dalam menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah adat mereka. 3. Ombo sebagai pranata adat Lindu dalam rangka menghormati tokoh atau orangorang yang dianggap berjasa di wilayah mereka yang diapresiasikan dalam nuansa magis, masyarakat dilarang melakukan kegiatan, apalagi untuk mengambil sumber daya alam selama jangka waktu tertentu.
19
Lanjut an Tabel 1.1. Rekapitulasi Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Serupa
No
Peneliti
Judul
Lokasi
4.
Sri Rum Giyarsih (2009)
Transformasi Wilayah di Koridor Yogyakarta– Surakarta
Empat Tipe Desa (T1, T2, T3, T4) di koridor kolektor/Arte ri Yogyakarta– Surakarta
Sumber Data Primer dan Sekunder
Metode dan Teknik Pengumpula n Data Survey, Stratified Random Sampling, observasi, wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam.
Metode Analisis Analisis Pola, Proses dan Dampak, dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Hasil Penelitian 1. Semakin tinggi aksesibilitas suatu wilayah semakin tinggi pula transformasi wilayah. 2. Tahapan-tahapan transformasi wilayah berasosiasi dengan jaringan jalan dan pusat-pusat pertumbuhan 3. Transformasi wilayah berdampak terhadap: a. Sumber daya: penyusutan lahan, perubahan jenis tanaman, penggunaan hasil pertanian ke arah komersial. b.Aspek ekonomi: pendapatan, harga lahan, perubahan bangunan, dan penggunaan rumah ke arah komersil. c.Aspek sosial: terjadi penurunan kegiatan ronda malam, perkumpulan bapak dan ibu, gotong-royong, perubahan sumbangan dari tenaga ke uang d.Aspek kultural: perubahan adat istiadat dalam upacara kehamilan, kelahiran, kematian. e.Teknologi: perubahan penggunaan komputer, internet, alat pengolahan pertanian, cara menabung, tempat belanja. 4. Fenom. transformasi wil. sejajar antara level makro-mikro. 5. Diprognosakan bahwa transformasi wilayah semakin lama semakin intens dan semakin mengarah pada nilai kekotaan. 6. Penelitian ini lebih bersifat komprehensif sehingga dapat memnyumbang terhadap teori transformasi wilayah yang terintegrasi di Koridor Antarkota.
20
Lanjutan Tabel 1.1. Rekapitulasi Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Serupa
No 5.
Peneliti Erna Tenge (2012)
Judul Proses dan Pola Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat di Dataran Tinggi Lindu Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah
Lokasi Kecamatan Lindu, Desa Puroo dan Desa Tomado
Sumber Data Primer dan sekunder
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Survei sampel, dengan metode simple random sampling, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dengan key person atau FGD, observasi dan dokumentasi
Metode Analisis
Tujuan Penelitian
a. Memahami proses transformasi Analisis sosial ekonomi masyarakat di deskriptif Dataran Tinggi Lindu. kuantitatif. Model analisis geografi b. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi /keruangan dan proses dan pola transformasi sosial ekologis:Proses ekonomi masyarakat di Dataran dan Pola, Regresi Tinggi Lindu Linear Berganda Semi-Log (Log- c. Menganalisis pola transformasi sosial ekonomi masyarakat di linear) dibantu Dataran Tinggi Lindu dengan analisis tabel frekuensi dan persentase.
21
22
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Memahami proses transformasi sosial ekonomi masyarakat, yang dibagi dalam dua bagian: Pertama, Proses atau tahapan perintisan dan pembangunan jalan, meliputi: pola pikir masyarakat, musyawarah, dan pelaksanaan kegiatan; Kedua, Proses atau tahapan perkembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang dibagi dalam periode tahun: 1960–1970; 1971–1980; 1981– 1990; 1991–2000; dan 2001–2007. b. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan pola transformasi sosial ekonomi masyarakat, meliputi variabel: jumlah sepeda motor; aksesibilitas, migrasi (lama mukim/status penduduk), modal awal usaha, total biaya teknologi, tingkat pendidikan tertinggi dalam keluarga, dan jumlah anggota keluarga. c. Menganalisis pola transformasi sosial ekonomi masyarakat, meliputi: (1) dimensi keruangan, untuk mengungkapkan transformasi/perubahan yang terjadi dalam peruntukan/pemanfaatan lahan untuk berbagai penggunaan (sawah, kebun, tegalan, pemukiman, dan lain-lain), distribusi penggunaan ruang (luas lahan terbangun); (2) dimensi demografi, meliputi perkembangan, kepadatan, komposisi penduduk; (3) dimensi kewaktuan, meliputi sarana dan prasarana sosial ekonomi; (4) dimensi sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, interaksi/hubungan sosial, pranata adat/budaya; (5) dimensi ekonomi, meliputi mata pencaharian, pendapatan, pemasaran hasil produksi pertanian; dan (6)
23
dimensi ekologis, mengkaji interaksi dan interrelasi antara organisme hidup dengan lingkungannya yang terdiri atas komponen fisik (abiotik) seperti hutan (lahan), pegunungan, sungai, sarana dan prasarana sosial ekonomi, komponen biologis (biotik) seperti flora dan fauna (hasil hutan) termasuk yang dominan dibudidayakan masyarakat, dan komponen sosio-kultural dan ekonomi seperti adat/tradisi budaya masyarakat, mata pencaharian, atau sumber penghidupan adat/tradisi masyarakat. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ada dua, yaitu: a. Dari segi keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah literatur tentang proses dan pola transformasi sosial ekonomi masyarakat uplands (highlanders), khususnya yang berada/masuk dalam enclave taman nasional. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah bagi peneliti selanjutnya guna mendapatkan konsep-konsep yang tepat bagi pembangunan masyarakat yang berada dalam enclave Taman Nasional agar dapat mengatasi kendala yang ada. b. Dari segi pragmatis praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Lindu ke arah yang lebih baik melalui pemanfaatan/pengelolaan sumberdaya secara optimal secara bijaksana, ekologis, dan berkelanjutan serta meningkatkan aksesibilitas bagi lalu lintas orang/barang termasuk pemasaran produk hasil pertanian dan perikanan masyarakat Lindu.