1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Seorang pria berusia 58 tahun duduk termenung sambil sesekali mempermainkan ujung sarung yang dipakainya. Lama-kelamaan sarung itu tidak lagi dipelintir dengan halus, melainkan ditarik-tarik dengan kasar. Raut mukanya mengekspresikan kemarahan. Seorang wanita dewasa mendekatinya sembari bertanya, “Ada apa Pak? Tidak suka dengan sarungnya?”. Pria paruh baya itu tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ada yang menarik perhatian penulis dari kejadian itu. Karena pria itu tidak hanya menggelengkan kepala, tetapi ia juga menangis. Akhirnya, penulis memberanikan diri bertanya kepada wanita yang tadi berbicara dengan pria itu. Ia ternyata anak perempuannya. “Apa yang terjadi dengan Bapak? Bapak sakit apa?”, tanya penulis. Sambil mencari-cari sesuatu dalam lemari, ia menjawab, “Saya tidak tahu. Saya tidak tahu bapak maunya apa. Itulah bapak tiap hari. Kalau tidak marah, diam seribu bahasa. Atau menangis tanpa diketahui sebabnya”. Beberapa saat kemudian, kami duduk di teras rumah. Penulis melanjutkan rasa penasaran dengan menanyakan kembali ihwal yang terjadi dengan Bapak Sarwono. Wanita bernama Nisa itu menuturkan bahwa sejak terkena penyakit stroke, sekitar setahun sebelumnya, ayahnya menjadi orang yang sulit dipahami. Bahasanya kadang tidak dimengerti. “Kata dokter Bapak afasia”, tegas perempuan itu. Lebih jauh, perempuan berambut pendek itu menerangkan, bahwa setelah menjalani rehabilitasi dan terapi bicara, ayahnya mengalami perubahan dan perbaikan dalam berkomunikasi. Namun di sisi lain, emosi juga terlihat 1
2
berubah menjadi kurang stabil. Selain itu, ia juga lebih senang menyendiri (wawancara dengan Nisa, 20 November 2009). Cerita di atas memberi gambaran singkat mengenai kondisi seorang penderita afasia pascastroke. Gangguan afasia dapat didefinisikan sebagai gangguan kehilangan atau penurunan kualitas berbahasa pada individu yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional di jaringan otak pada area hemisfer serebri (Agranowitz, 1975; Orange & Kertesz, 1998). Gangguan afasia dapat ditandai oleh adanya gangguan pemahaman, maupun gangguan pengutaraan bahasa baik lisan maupun tertulis (Dharmaperwira-Prins, 2002; Kusumoputro, 1999). Gangguan bahasa yang dialami penderita afasia bersifat multimodalitas. Dalam
arti,
ketidakmampuan
individu
dalam
berbahasa
mencakup
ketidakmampuan berbicara, menyimak, menulis, juga membaca. Namun demikian, ketidakmampuan dalam modalitas berbahasa tersebut pada setiap individu tidak sama dan tidak merata. Hal itu bergantung pada jenis afasia yang mereka alami. Pada umumnya, individu hanya memiliki satu gangguan yang menonjol dari beragam ketidakmampuan tersebut. Sebagai contoh, ada individu yang mengalami gangguan menyimak, sementara individu yang lain terganggu kemampuannya untuk berbicara. Di antara beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terkena afasia, stroke merupakan salah satu penyebab yang paling sering menjadi pemicunya. Kemungkinan individu menderita afasia setelah terserang stroke mencapai angka 25%. Individu yang terkena stroke dapat mengalami gangguan afasia karena adanya penyumbatan pembuluh darah di otak. Kondisi ini biasanya juga disertai dengan
munculnya
kebocoran,
pendarahan,
atau
(Dharmaperwira-Prins & Maas, 1996; Kusumoputro, 1999).
luka
pada
otak
3
Beberapa penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan serupa. Salah satu temuan penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sepertiga dari semua penderita stroke akut mengalami afasia (Laska, Hellbom, Murray, Kahan & Von Arbin, 2001; Pedersen, Jorgensen, Nakayama, Raaschou & Olsen, 1995). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada penderita stroke fase akut insidensi untuk terjadinya afasia dapat mencapai antara 21%-38% (Engelter, 2006; Godefroy, Dubois, Debacky, Leclere, & Kreiller, 2002). Pedersen, Jorgensen, Nakayama, Raaschou, dan Olsen (1995) juga melaporkan hal serupa, bahwa angka kejadian afasia pascastroke berkisar antara 17% - 38%. Hal itu tergantung pada kriteria diagnostik, waktu evaluasi afasia pertama, serta seleksi populasi. Temuan survey kesehatan yang dilakukan di Amerika juga mendukung hasil penelitian di atas. Mendes, Benson, dan Cumming (1997) menyatakan bahwa di Amerika, sebesar 40% penderita afasia terjadi akibat stroke. Sejumlah literatur juga mengungkapkan bahwa stroke menjadi penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa, setelah penyakit jantung dan kanker (Jauch, Cucchiara, Adeoya, Meurer, Brice, et al, 2010) Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO dalam Aliah, 2006) juga melaporkan bahwa stroke menduduki peringkat kedua di dunia sebagai penyebab kematian setelah penyakit jantung. Stroke juga menempati urutan ketiga terkait penyebab kematian terutama di negara-negara berkembang. Data yang dilansir oleh badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 15 juta orang di seluruh dunia yang didiagnosa menderita stroke. WHO juga melaporkan bahwa prevalensi penderita stroke ini akan meningkat seiring tingkat usia seseorang dan prevalensi terjadinya stroke dipengaruhi oleh tingkat tekanan darah dan gaya hidup (WHO, 2011).
4
Di Indonesia sendiri, data Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di RS akibat stroke adalah 15 persen. Hal ini bermakna bahwa 1 dari 7 kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65 persen. Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga setelah penyakit jantung dan kanker sebagai penyebab kematian di Indonesia, maka tahun 2010 penyakit stroke menjadi urutan pertama (Persi, 2009). Sejauh ini, belum ada data yang pasti mengenai penderita stroke di Indonesia. Namun diperkirakan, dalam satu dekade terakhir telah terjadi peningkatan jumlah penderita stroke sekitar 10-15%. Di Yogyakarta, jumlah penderita stroke juga termasuk tinggi. Pada tahun 2008-2009, data di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta, menunjukkan bahwa ada 700-800 pasien yang menderita stroke. Dari sekian pasien tersebut, hampir 18% (120-130) orang menderita afasia (Pinson, 2009). Meskipun demikian, dari 120-130 penderita afasia itu sebagian besar dari mereka belum diketahui jenis afasianya. Hal demikian terjadi karena pihak rumah sakit belum melakukan TADIR (Tes Afasia untuk Diagnosis Inventarisasi dan Rehabilitasi). Gangguan afasia yang terjadi setelah stroke di atas sering disebut afasia pascastroke. Afasia pascastroke sering didefinisikan sebagai gejala sisa akibat stroke berupa ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan hambatan sosial (social
handicap)
yang
akan
diderita
hampir
sepanjang
umurnya
(Dharmaperwira-Prins & Maas, 1996, 2002). Ketidakmampuan berkomunikasi yang dimaksud adalah ketidakmampuan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Sementara hambatan sosial adalah ketidakmampuan individu untuk bersosialisasi secara normal karena sebab tertentu. Munculnya hambatan sosial pada penderita afasia terjadi terkait dengan keterbatasan individu dalam
5
berbahasa yang merupakan fungsi dasar sebagai alat komunikasi (Mendes, et al. 1997). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa gangguan afasia memiliki dampak negatif pada individu. Individu yang mengalami stroke dan afasia lebih rentan terhadap ancaman kecacatan. Afasia pada penderita pascastroke juga diasosiasikan dengan peningkatan mortalitas, kelambatan proses penyembuhan, serta pengurangan kemungkinan untuk kembali beraktivitas dibanding dengan penderita stroke tanpa afasia (Said, 2009b). Hasil penelitian Laska et al. (2001) menunjukkan bahwa tingkat kecacatan dan kematian afasia pascastroke lebih tinggi dibandingkan penderita afasia yang bukan disebabkan oleh stroke. Gangguan afasia berpengaruh pada kondisi fisik, psikis, maupun kehidupan sosial individu. Penurunan kemampuan berbahasa yang terjadi pada individu menyebabkan mereka sangat tergantung pada orang-orang sekitar. Salah satunya, mereka menjadi kurang mandiri. Dalam jangka panjang, kondisi demikian dapat menyebabkan mereka memiliki konsep diri yang negatif. Hal itu terjadi karena keterbatasan dalam berbahasa dapat menyebabkan individu merasa dirinya lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang sekitar (Ellis-Hill & Horn, 2000; Ellis-Hill, Payne & Ward, 2000). Pandangan negatif terhadap diri tersebut dapat menyebabkan individu mengalami depresi (Ytterberg, Anderson, Malm, & Britton, 2000). Kajian-kajian yang lain tentang penderita afasia juga menemukan bahwa gangguan berbahasa dapat menyebabkan individu merasa malu, tersingkir, dan terisolir (Nystrom, 2006; Van der Gaag, Smith, Davis, Moss, Cornelius, Laing, & Mowles, 2005; Zammuner, 2008). Hal demikian terjadi karena hilangnya kemampuan mengenali, memahami serta mengeluarkan kata-kata dan simbol menyebabkan seseorang menjadi tampak berbeda dari yang lain.
6
Penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis pada beberapa penderita afasia juga menemukan temuan serupa, bahwa mereka mengalami sejumlah masalah psikis. Hal tersebut terlihat dari beberapa perilaku yang mereka munculkan. Penderita afasia nampak lebih suka diam, menyendiri, mudah tersinggung, sulit beradaptasi, serta agresif. Mereka juga terlihat mengalami kesedihan yang mendalam. Secara sosial, mereka nampak hanya dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Ketika beraktivitas, mereka tidak ingin mendapatkan bantuan dari orang lain. Mereka juga selalu ingin berbicara dengan siapa saja walaupun bahasanya tidak mudah dipahami (Wawancara dan observasi, November-Desember 2009). Selain itu, mereka juga mengalami masalah sosial. Hasil wawancara penulis pada tiga penderita rawat inap dan enam penderita afasia yang menjalani pemulihan bahasa, menemukan bahwa mereka mengalami keterbatasan ketika berinteraksi dengan orang lain. Orang-orang sekitar subjek juga terlihat mengalami kesulitan untuk memahami kemauan penderita afasia. Sebaliknya, individu yang mengalami afasia kesulitan untuk menyampaikan keinginannya, sehingga ia seringkali memilih untuk diam. Hal senada juga dikemukakan salah seorang keluarga dari penderita, bahwa jika terdapat keinginan penderita yang tidak dimengerti, penderita afasia biasanya akan marah, menangis, dan diam (terlihat dalam ekspresi atau bahasa tubuhnya) (Wawancara dengan Nero, Wati, Nisa, November-Desember 2009). Temuan studi awal peneliti pada penderita afasia tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kim, Choi, Kwon, dan Seo (2002). Penelitian mereka mengungkapkan bahwa penderita afasia cenderung menjadi orang yang mudah tersinggung, impulsif, dan cepat marah atau agresif terhadap orang lain. Penelitian yang lain juga menyimpulkan bahwa stroke yang diikuti dengan
7
gangguan afasia mempengaruhi seluruh aspek dalam kehidupan seorang individu, hingga mempengaruhi kualitas kehidupannya (Code & Herrmann, 2003; Bury,1982). Penyesuaian secara psikologis terkait gangguan afasia merupakan sebuah proses yang rumit dan panjang (Parr, 2001). Selain itu, seseorang dengan gangguan afasia
juga lebih
rentan
terhadap masalah-masalah
psikososial, seperti kecemasan dan depresi (Code & Herrmann, 2003; CarodArtal, Ferreira, Trizotto, & Menezes, 2009; Kauhanen et al., 2000), terancam identitasnya (Shadden, 2005), mengalami perubahan bentuk hubungan sosial dengan orang sekitar (Hall´e, Duhamel, & Le Dorze, 2011; Le Dorze & Signori, 2010); kehilangan pekerjaan (Code & Hermann, 2003), serta berkurangnya jaringan sosial sehingga individu terisolasi secara sosial (Code & Hermann, 2003). Salah satu dampak utama yang dialami penderita afasia adalah munculnya perasaan kesepian (Nysrtom, 2006, 2009, 2011; Sundin & Jansson, 2003). Konsep kesepian mengacu pada kondisi ketidaknyamanan subjektif yang dialami individu berupa kerinduan mendalam untuk terhubung dengan dunia sekitarnya, karena ada beberapa kriteria penting dalam hubungan sosial mereka yang terhambat (Code & Hermann, 2003; Gaev, 1976; De Jong-Gierveld & Havens, 2004; Peplau & Perlman, 1982). Sementara Sullivan (dalam Peplau & Perlman, 1982) menuturkan
bahwa
kesepian
merupakan
kondisi
tidak
menyenangkan yang muncul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang akan keintiman dengan orang lain. Bahwa penderita afasia cenderung mengalami kesepian tersebut juga telah dikonfirmasi oleh beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian Nystrom (2006) menunjukkan bahwa kehilangan kemampuan untuk mengenali simbol menjadikan individu mengalami kesepian eksistensial. Mereka merasa terasing,
8
rendah diri, dan malu terhadap orang-orang sekitar. Penelitian Bronken, Kirkevold, Martinsen, Wyller, & Kvigne (2012) juga menemukan bahwa akibat ketidakmampuan penderita afasia untuk memverbalisasikan pengalamannya, menyebabkan mereka merasa kesepian. Penelitian Wahrborg (1991) juga menemukan bahwa penderita afasia mengalami kesepian karena mereka gagal untuk berpartisipasi dalam komunitas di tempat mereka hidup. Gangguan berbahasa dapat menyebabkan kesepian karena bahasa merupakan alat komunikasi yang menjadi jembatan penghubung individu dengan dunia luar. Sehingga, ketika seseorang kehilangan bahasa mereka juga akan terputus hubungannya dengan dunia di luar dirinya. Dengan kata lain, ketika individu kehilangan kemampuan untuk mengenali, memahami dan mengeluarkan kata-kata dan simbol-simbol sehingga merasa dirinya sendiri dan terpisah dari yang lain (Nystrom, 2006). Individu merasa terisolir dan gagal untuk bertukar pikiran, perasaan, serta pengalaman dengan orang-orang sekitar (Nystrom, 2006; Van der Gaag et al., 2005; Zammuner, 2008), sehingga mereka merasa tertekan dan depresi (Robinson & Benson, 1981; Bench, Frackowiak, & Dolan, 1995). Sementara itu, pada pendukung pendekatan eksistensialisme melihat kesepian pada penderita afasia terjadi akibat krisis eksistensi diri. Krisis tersebut terjadi karena mereka kehilangan berbagai hal dalam hidup secara bersamasama (Hjelmblink, Bernsten, Uvhagen, Kunkel, & Holmstro, 2007; Nilsson, Jansson & Norberg, 1997, 1999; Nystrom, 2006, 2011). Gangguan bahasa tidak hanya menyebabkan individu kehilangan kemampuan berkomunikasi, tetapi ia juga menyebabkan individu gagal untuk bersosialisasi, kehilangan masa depan, mata pencaharian, kesempatan, dan harapan. Kehilangan besar tersebut yang menyebabkan individu mengalami kegoyahan makna hidup. Individu terdorong
9
untuk merenungkan ulang keyakinan-keyakinan yang sebelumnya mereka pegang. Krisis eksistensi diri merepresentasikan suatu kondisi ketika individu mengalami keraguan, bahkan kehilangan keyakinan mengenai dirinya sendiri, juga hidup yang mereka jalani. Meskipun rasa sepi merupakan bagian dasar dari hidup manusia, namun ia menjadi menonjol pada momen-momen tertentu. Rasa sepi timbul pada diri manusia terutama terjadi ketika mereka gagal untuk mendapatkan makna dari semua yang mereka jalani. Kondisi demikian umumnya terjadi ketika individu menghadapi kehilangan besar dalam hidupnya (Mayers & Svartberg, 2001; Mayers, Khoo, & Svartberg,
2002; Sand & Strang, 2006).
Frankl (2006) menyebut kondisi demikian sebagai keadaan noogenic atau hidup tanpa makna. Kesepian yang dialami subjek juga dapat terjadi karena penderita afasia tidak dapat membangun hubungan lekat dengan orang-orang dekat dalam hidupnya. Seperti diyakini oleh Bowlby (1969), hubungan yang lekat dengan orang lain merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka individu akan mengalami sejumlah masalah emosional, salah satunya adalah perasaan kesepian. Pada penderita afasia, kemampuan komunikasi menjadikan individu gagal untuk membangun hubungan lekat dengan orang-orang dekat, seperti anak, pasangan, dan anggota keluarga yang lain. Kondisi demikian menyebabkan subjek merasa tertekan dan sedih, akibat kerinduan mereka untuk mengalami hubungan yang akrab dengan orang-orang sekitar. Gangguan bahasa pada penderita afasia pascastroke pada dasarnya merupakan gangguan yang dapat dipulihkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa individu yang terkena gangguan afasia dapat
10
mengalami pemulihan bahasa secara cepat pada satu bulan pertama setelah mereka mengalami afasia. Kemudian proses pemulihan tersebut akan berkurang sampai tiga bulan pertama. Setelah itu, proses pemulihan akan berlangsung lambat. Individu akan mengalami remisi yang sempurna kurang lebih enam sampai dua belas bulan (Holland, 1994; Lefkos, James, & Richard, 1999). Selama ini, berbagai metode pemulihan yang dilakukan sebagai upaya pemulihan bahasa lebih ditekankan pada aspek linguistik dan neurologi (Fabbro, 2001). Pemaparan di atas menunjukkan bahwa penderita afasia juga mengalami sejumlah masalah psikis yang tidak ringan. Berdasarkan realitas demikian, selain pendekatan-pendekatan yang sudah ada, penting juga bagi para ahli Psikologi turut ambil bagian dalam proses pemulihan individu yang mengalami gangguan afasia. Bahwa selain proses pemulihan dengan pendekatan linguistik dan neurologi, perlu juga usaha untuk memulihkan kondisi mental yang mereka alami. Hasil penelitian yang sebelumnya juga membuktikan bahwa terapi yang memadukan antara terapi bicara konvensional dengan konseling dukungan emosional lebih efektif dibandingkan dengan terapi bicara konvensional saja (Hartman & Landau 1987; Hafsteinsdottir & Grypdonck, 1997). Sejauh ini kajian dan penelitian mengenai dampak gangguan afasia pada kondisi psikososial pada penderita afasia di Indonesia masih sangat terbatas. Sejauh yang penulis temukan, kajian-kajian yang ada juga masih fokus pada kajian neurologi dan linguistik. Sementara di sisi lain, seperti dijelaskan di atas, jumlah penderita stroke di Indonesia semakin meningkat. Mereka juga mengalami sejumlah masalah psikis sebagaimana dialami penderita afasia pada umumnya. Itu artinya, mereka perlu mendapatkan sejumlah intervensi psikologis untuk membantu memulihkan mereka. Karena kajian-kajian Psikologi tentang afasia di Indonesia masih terbatas, maka penelitian mengenai pengalaman
11
kesepian pada penderita afasia penting untuk dilakukan. Temuan penelitian ini akan dapat menjadi rujukan bagi para stake holder terkait untuk memahami dan menyusun sejumlah metode atau teknik untuk melakukan intervensi psikis pada mereka. Penelitian mengenai penderita afasia tidak saja dibutuhkan di Indonesia, namun di luar negeri pun masih sangat penting dilakukan. Beberapa ahli (Misalnya, Hafsteinsdottir & Grypdonck, 1997; Lloyd, Gatherer, & Kalsy 2006) juga
menuturkan
bahwa
masih
banyak
dibutuhkan
penelitian
tentang
pengalaman-pengalaman penderita afasia pascastroke, untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman yang berguna bagi mereka. Hal demikian terjadi karena sejauh ini perhatian pada aspek-aspek psikologis pada penderita afasia masih sangat terbatas. Berdasarkan realitas bahwa masih diperlukannya kajian empiris untuk memahami pengalaman psikis penderita afasia tersebut, maka dalam penelitian ini penulis berusaha mengeksplorasi pengalaman penderita afasia dari sudut pandang psikologis. Secara khusus, penulis akan fokus pada kajian mengenai pengalaman kesepian yang dialami penderita afasia pascastroke. Pemilihan fokus tersebut didasarkan pada hasil kajian penulis sebelumnya, yang menunjukkan bahwa pengalaman kesepian merupakan salah satu pengalaman utama yang dialami oleh individu. Namun demikian, penulis tidak berusaha mengerucutkan temuan pada tema tersebut. Penelitian ini akan menggali keseluruhan pengalaman yang dialami penderita afasia dan akan melihat posisi kesepian dalam keseluruhan pengalaman tersebut. Secara khusus, penelitian ini akan fokus pada individu yang mengalami afasia jenis Broca. Area Broca pada otak merupakan gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata. Dengan demikian, individu yang mengalami afasia jenis
12
ini mengalami ketidakmampuan atau kesulitan untuk mengekpresikan pikirannya. Penderita afasia Broca dapat memahami bahasa, namun kata-kata mereka tidak terbentuk secara sempurna. Dalam arti, mereka mengucapan kata-kata lambat atau tidak jelas. Alasan penulis untuk fokus pada jenis afasia tersebut karena penderita afasia jenis ini yang masih memiliki kemampuan komunikasi yang paling mungkin untuk diekplorasi dan diambil datanya. B. Perumusan Masalah Gangguan bahasa yang dialami penderita afasia memiliki sejumlah dampak bagi individu yang mengalaminya, terutama dampak psikis dan sosial. Individu yang mengalami afasia dapat mengalami hambatan sosial, karena mereka tidak dapat berinteraksi secara wajar dengan orang-orang sekitar. Beberapa penelitian serta penelitian pendahuluan penulis menunjukkan bahwa penderita afasia juga mengalami masalah psikologis, seperti merasa tertekan, cemas, suka menyendiri dan diam, serta sebagian yang lain mengalami stress dan depresi. Salah satu pengalaman psikis utama yang penderita afasia alami adalah pengalaman kesepian. Mereka mengalami sejumlah perasaan negatif, karena penderita merasa sendiri dan terpisah dari orang lain. Perasaan demikian terjadi karena keterputusan komunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu, ia juga muncul sebagai dampak dari kehilangan besar yang mereka alami. Keduanya menyebabkan individu terhambat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ketika kondisi demikian berlangsung lama maka dapat menyebabkan kondisi psikis penderita afasia semakin memburuk. Adanya pengalaman psikologis yang begitu berat pada penderita afasia tersebut, menuntut para ahli Psikologi untuk terlibat dalam intervensi pada mereka. Perlu dirancang pendekatan untuk intervensi psikologis yang dapat
13
diintegrasikan dengan pendekatan-pendekatan lain yang sejauh ini sudah diaplikasikan untuk menangani penderita afasia, misalnya dalam proses terapi atau fisioterapi. Dalam kenyataannya, di Indonesia, sejauh ini masih sedikit kajian psikologi mengekplorasi pengalaman penderita afasia. Melihat realitas yang demikian, maka lewat penelitian ini penulis berusaha untuk mengekplorasi mengenai pengalaman psikis penderita afasia tersebut. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai : Bagaimana pengalaman kesepian yang dirasakan individu dengan gangguan afasia Broca pascastroke serta bagaimana cara mereka melalui dan mengatasi kesepiannya tersebut? Jawaban pertanyaan penelitian ini akan mencakup penjelasan mengenai aspek-aspek kesepian yang dialami subjek, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta dampak pengalaman tersebut terhadap perilaku mereka. Beragam jenis jawaban tersebut penulis tautkan satu sama lain, sehingga mereka secara keseluruhan menjelaskan dinamika psikologis individu penderita afasia Broca ketika mereka mengalami kesepian. C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai pengalaman kesepian pada individu dengan gangguan afasia Broca pascastroke serta cara mereka mengatasi kesepiannya tersebut. Secara khusus, penelitian bertujuan untuk menjelaskan mengenai aspek-aspek kesepian, faktorfaktor yang mempengaruhi, serta dampaknya pada perilaku subjek, sehingga dapat dijelaskan tahap demi tahap dinamika psikologis pengalaman kesepian pada penderita afasia. D. Manfaat Penelitian Penelitian tentang pengalaman kesepian pada penderita afasia ini penulis harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
14
1. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat mengembangkan konsep tentang pengalaman kesepian yang dialami penderita afasia selama mereka mengalami terapi pemulihan bahasa, sehingga dapat memperkaya teori di bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Kesehatan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan pendekatan Psikologi
Eksistensial
pengalaman
kesepian,
terutama
terkait
dampaknya
bagi
dengan
dinamika
individu,
serta
munculnya cara
untuk
mengatasinya. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, temuan penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penyusunan program intervensi psikologis bagi penderita afasia pascastroke. Khususnya, intervensi untuk mengurangi sejumlah pengalaman negatif yang mereka alami. Program intervensi tersebut dapat diterapkan oleh para pemangku kepentingan terkait penderita afasia pascastroke, misalnya psikolog, terapis wicara, ahli fisioterapi atau dokter yang menangani penderita afasia, E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis, sudah ada beberapa penelitian tentang pengalaman penderita afasia yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Nystrom
(2006)
melakukan
pada
sembilan
penderita
afasia
untuk
mengeksplorasi mengenai dampak eksistensial serta perjuangan mereka dalam mengembalikan kemampuan komunikasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gangguan afasia yang dialami individu menyebabkan mereka merasa terasing, rendah diri, dan malu terhadap orang-orang sekitar. Kehilangan
15
kemampuan untuk mengenali simbol juga menjadikan individu mengalami kesepian eksistensial. Nystrom (2009) kembali meneliti pengalaman penderita afasia terkait dengan pemberian perawatan secara profesional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih sangat dibutuhkan kajian dan eksplorasi mendalam terhadap pengalaman penderita afasia untuk tujuan pemberian perawatan. Namun pengambilan subjek dengan penentuan tipe afasia dalam penelitian Nystrom ini tidak diambil langsung melalui data rekam medis dan hasil pemeriksaan medis, melainkan hanya dilaporkan oleh partisipan sendiri dan atau oleh pasangannya. Dengan demikian keakuratan data penderita masih perlu dipertanyakan. Selanjutnya, Nystrom (2011) melanjutkan penelitiannya tentang penderita afasia yang difokuskan pada pengalaman orang-orang terdekat yang berkaitan erat dengan penderita afasia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika hak-hak dasar dari kerabat dekat diperhatikan dan terpenuhi maka hal tersebut juga akan meningkatkan kemampuan kerabat dekat dalam merawat penderita afasia. Penelitian Brumfitt (2006) yang bertujuan untuk mengetahui pandangan 71 orang terapis wicara dan bahasa di Inggris menyimpulkan bahwa aspek psikososial memiliki peran penting dalam penanganan penderita afasia. Penelitian ini juga menemukan bahwa aspek psikososial berpengaruh terhadap hasil intervensi yang dilakukan terapis. Penelitian Bronken, et al (2012) juga menyimpulkan temuan serupa, bahwa dukungan psikologis dan motivasi selama proses penyesuaian fisik dan psikis merupakan hal yang paling penting dan dibutuhkan oleh penderita afasia. Penderita afasia cenderung sulit untuk menerima gangguan afasia yang mereka alami. Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Dalam hal ini,
16
dukungan sosial terutama dari keluarga memainkan peran yang sangat penting terhadap keberhasilan proses penyesuaian diri tersebut. Selain itu, Draper (2007) juga meneliti tentang tingkat stress pada pengasuh penderita afasia pascastroke. Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan afasia yang diderita seseorang tidak hanya berdampak bagi dirinya saja, tetapi juga berpengaruh pada pengasuh atau anggota keluarganya. Berdasarkan penelitiannya, Draper, Bowring, Thompson, Van Heyst, Conroy, dan Thompson (2007) menyatakan bahwa tantangan terbesar bagi caregiver adalah menyesuaikan kembali terhadap asumsi bahwa anggota keluarga dengan afasia merupakan tanggung jawab baru mereka. Beberapa penelitian lain yang mengkaji aspek psikologis penderita afasia menemukan temuan bahwa individu yang mengalami gangguan afasia juga lebih rentan terhadap masalah-masalah psikososial, seperti kecemasan dan depresi (Code & Herrmann, 2003; Carod-Artal et al., 2009; Kauhanen et al., 2000), terancam identitasnya (Shadden, 2005), mengalami perubahan kualitas dan bentuk hubungan sosial dengan orang di sekitarnya (Hall´e, Duhamel, & Le Dorze,
2011; Le Dorze & Signori, 2010); kehilangan pekerjaan serta
berkurangnya jaringan sosial atau mengalami isolasi sosial (Code & Hermann, 2003). Selain dengan perspektif psikologi, peneliti-peneliti luar negeri juga meneliti afasia dengan persepktif keilmuan yang lain. Pada kajian linguistik, Blumstein (1994) meneliti penderita afasia dengan tujuan untuk menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan afasia. Salah satu temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penderita afasia masih mampu menghasilkan kata-kata tunggal bermakna walaupun tidak sebanyak kata-kata jargon, leksikon yang tidak bermakna. Sementara Breitenstein et al. (2004) menyimpulkan bahwa ketika
17
penderita afasia aktif mengulang-ulang kata dan aktif berkomunikasi maka dapat mencegah mereka dari perasaan tidak percaya diri dan putus asa dengan kondisi keterbatasan mereka. Hal itu terjadi karena dengan mengaulang-ulang kata tersebut perbendaharaan kata-kata mereka menjadi meningkat. Pada bidang kajian neurologi, Laska et. al. (2001, 2005, 2007), Lecours, Lhermitte, & Bryans (1983) dan Racette et. al. (2001 & 2006) melakukan penelitian
terkait
dengan
asesmen,
perlakuan,
pada
penderita
afasia
pascastroke. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa, tingkat keparahan dan ruang lingkup masalah tergantung pada tingkat kerusakan dan daerah otak yang terkena. Keparahan stroke awal dan volume lesi telah dikaitkan dengan tingkat keparahan awal afasia. Penelitian ini juga mengemukakan proses pemulihan afasia akan lebih mudah dilakukan pada penderita yang masih berusia muda. Selain itu, Damasio et. al., (1982, 1983) berturut-turut meneliti tentang kerusakan yang tidak menimbulkan perdarahan pada hemisfer kiri menimbulkan afasia, bagaimana pemerolehan dan pembelajaran bahasa dalam proses leksikon, sintaksis, dan fonologi. Di Indonesia, kajian tentang penderita afasia pascastroke juga sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sejauh penelusuran penulis, kajian-kajian yang mereka lakukan masih fokus pada kajian neurolinguistik. Masih sedikit kajian yang fokus pada aspek psikologis. Kusumoputro (1992) melakukan kajian terhadap afasia sebagai gangguan berbahasa dan hasilnya mengkonfirmasi penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa gangguan berbahasa terjadi akibat adanya kelainan pada daerah hemisfer kiri sebagai hemisfer dominan. Pandangan Kusumoputro ini didasarkan pada pendekatan sindromologi yang dapat dengan jelas menetapkan afasia terjadi karena adanya kelainan di hemisfer kiri otak. Pada bidang kajian Psikolinguistik, Febriani (2013) melakukan
18
penelitian mengenai pola kalimat pada penderita afasia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penderita afasia lebih banyak menggunakan kalimatkalimat pendek dengan struktur kalimat hanya terdiri dari subjek dan predikat. Penelitian Handayani (2010) mengenai proses komunikasi terapeutik dalam pemerolehan bahasa klien afasia, hasilnya menunjukkan bahwa terapis berperan lebih dominan dalam proses terapi. Mereka lebih banyak memulai komunikasi, sedangkan klien, penderita afasia cenderung lebih pasif. Dardjowidjojo (2008) juga menulis buku ”Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia”. Buku ini menguraikan proses bagaimana bahasa diproses oleh individu secara psikis. Perbedaan mendasar dan kebaruan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah penelitian ini secara khusus meneliti tentang penderita afasia pascastroke dengan menggunakan perspektif psikologi, dan dilakukan di Indonesia. Secara khusus, dalam penelitian ini penulis hanya mengekplorasi pengalaman individu yang mengalami afasia jenis broca. Kekhususan pada ketiganya memungkinkan penelitian ini untuk menemukan temuan baru yang bersifat khas. Penderita afasia pascastroke memiliki beban ganda yang berbeda dengan penderita afasia yang lain. Di satu sisi mereka harus bisa mengatasi gangguan komunikasinya, sementara di sisi lain mereka juga harus beradaptasi dengan gangguan fisik yang mereka alami. Realitas demikian menyebabkan mereka juga akan mengembangkan strategi koping yang khas untuk mengatasi kesepian yang mereka alami. Penekanan sudut pandang Psikologi juga memiliki konsekuensi pada temuan mengenai dimensi dan aspek-aspek berbeda dari penderita afasia yang selama ini masih jarang digali. Secara khusus, dalam penelitian ini penulis akan
19
fokus pada pengalaman kesepian penderita afasia. Berbeda dengan Nystrom yang hanya mengkaji kesepian eksistensial pada penderita afasia, penelitian ini mengekplorasi beragam jenis kesepian yang dialami subjek. Berdasarkan pandangan demikian, temuan penelitian ini secara khusus menghasilkan rumusan khas mengenai dinamika psikologis pengalaman kesepian
pada
penderita
afasia
pascastoke.
Namun
demikian,
secara
keseluruhan penulis akan menjelaskan secara bertahap pergeseran atau tahapan demi tahapan pengalaman yang dialami oleh subjek sebelum, selama, dan sesudah mereka mengalami kesepian. Penulis juga berusaha menjelaskan beberapa perilaku yang mengemuka pada mereka, juga faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman tersebut. Sementara pelaksanaan penelitian pada subjek yang tinggal di Indonesia, akan berpengaruh pada kebaruan hasil penelitian karena budaya subjek yang bersifat khas. Dalam penelitian ini, penulis juga mempertimbangkan aspek nilai dan norma budaya subjek penelitian. Pertimbangan demikian menurut peneliti penting untuk dilakukan, mengingat budaya merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kondisi psikis seseorang.