BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan setiap organisasi. Tuntutan perubahan terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik individu, kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, maupun perusahaan. Sumber utama pemicu perubahan berasal dari faktor di luar organisasi dan faktor dalam organisasi. Menurut Cummings dan Worley (1997) perubahan organisasi disebabkan oleh permasalahan atau munculnya ketidakwajaran yang menuntut organisasi untuk berubah. Penyebab perubahan itu di antaranya adalah kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, perubahan persepsi, perubahan peraturan, pengetahuan baru yang menimbulkan makna baru, dan inovasi. Tujuannya adalah agar organisasi mampu mengembangkan diri. Selain itu, faktor teknologi juga berperan dalam mendorong terjadinya perubahan, kompetisi yang tinggi, dan tuntutan para pengguna jasa yang semakin meningkat. Akin dan Palmer (2000) menjelaskan bahwa kemajuan teknologi, tekanan sosial dan politik, perubahan segmen, dan kekuatan internal yang meliputi permasalahan sumber daya manusia, dan perilaku pengelola menjadi penyebab terjadinya perubahan organisasi. Berdasarkan sumber terjadinya perubahan organisasi, dorongan bagi organisasi untuk berubah terjadi secara terus menerus dan menuntut dilakukan secara serius. Menurut Lewin (dalam Cumming dan Worley, 1997), terjadinya perubahan diawali adanya psychological disconfirmation, yaitu adanya dorongan untuk mengurangi mempertahankan perilaku
1
2
dengan diikuti tahap selanjutnya, yaitu penjelasan alasan perlunya terjadi perubahan sehingga interaksi kekuatan akan terjadi, yaitu kekuatan untuk mempertahankan perilaku yang sudah ada sebelumnya (enggan untuk berubah) dengan kekuatan tekanan perlunya berubah. Ada kalimat bijak yang terkait dengan proses perubahan organisasi, yaitu “Jangan memberikan tantangan pada individu dengan perubahan radikal, lakukan pendekatan bertahap dan berikan mereka waktu untuk menyesuaikan.” Pernyataan tersebut, untuk kondisi dan gaya perubahan organisasi saat ini cenderung konvensional dan kurang tepat untuk menjadi acuan. Kenyatannya, perubahan organisasi harus berhasil, terjadi dengan cepat, dan harus melahirkan suatu momentum. Masalahnya adalah perlu kemampuan organisasi mengetahui bagaimana mengelola efektivitas perubahan organisasi
secara tepat. Pada
beberapa penelitian, diungkapkan bahwa resistansi atau penolakan terhadap berlangsungnya proses perubahan dimanifestasikan melalui disfungsi sikap (tidak mau terlibat atau bersikap sinis) dan perilaku menolak para anggota organisasi
yang
dapat
menghambat
efektivitas
perubahan
organisasi
(Abrahamson, 2000;Stanley, Meyer, & Topolntsky., 2005). Memahami perubahan organisasi dan proses pengembangan dari perspektif tingkat makro telah banyak diteliti. Penelitian dalam area ini difokuskan pada variabel tingkat sistem dan organisasi, misalnya re-engineering (Hill & Collins, 1999), downsizing (Freeman, 1999) atau perubahan dalam budaya organisasi (Bedingham, 2004). Beberapa studi mengindikasikan banyak kegagalan usaha perubahan organisasi, misalnya Clegg dan Walsh (2004) mengemukakan ketidakefektifan 12 pengembangan organisasi pada 898 perusahaan manufaktur di empat negara. Salah satu alasan mengapa perubahan
3
yang ditegakkan kurang berhasil adalah perubahan meningkatkan emosi negatif, kecemasan, ketidakpastian, dan ketidakjelasan di antara anggota organisasi (Bordia, Hobman, Jones, Gallois, & Callan, 2004). Beberapa studi mengenai resistansi (daya tolak) terhadap perubahan menunjukkan keengganan untuk mendukung perubahan (Applebaum & Batt, 1993; Judson, 1991 dalam Luthans, Norman, Avolio, & Avey, 2008). Beberapa penelitian organisasi yang menganalisis proses psikologis individu dalam konteks perubahan organisasi sebenarnya telah memadukan antara tingkatan analisis dan tingkatan konseptual. Beberapa studi tingkat organisasi atau kolektif yang menguji data proses psikologi diperoleh pada tingkat individual sebagaimana dilakukan Fuller dkk. (2007), Ingersol, Kirsch, Merk, dan Lightfoot (2000), Rampazzo, De Angeli, Seperlloni, Simpson, dan Flynn (2006), serta Weeks dkk. (2004). Meskipun ada kesepakatan umum tentang peran penting pada individu-individu sebagai anggota organisasi mengenai sikap dan perilakunya dalam menentukan perubahan kelompok dan organisasi, studi-studi tersebut membutuhkan laporan yang cukup detail dalam mengulas dinamika serta hubungan konstrak (construct) psikologis, baik di tingkat individual maupun di tingkat kolektif (organisasional). Penekanan pada individu adalah salah satu indikator penting dalam mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan proses perubahan organisasi. Konsekuensinya
adalah
perhatian
diarahkan
pada
faktor-faktor
yang
memengaruhi sikap individu pada perubahan, khususnya adalah komitmen pada perubahan. Beberapa literatur perubahan menjelaskan bahwa mereka yang memiliki komitmen pada perubahan lebih memungkinkan untuk menerima perubahan dibandingkan mereka yang kurang memiliki komitmen. Hal ini
4
menunjukkan bahwa komitmen pada perubahan memberikan keuntungan pada organisasi (Yousef, 2000). Dukungan anggota terhadap perubahan yang sedang berlangsung dalam suatu organisasi dapat dianalisis dari tinggi rendahnya komitmen pada perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002; Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Swailes, 2004; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum komitmen menjadi indikator keluaran positif (positive outcomes) dari pengelolaan perubahan organisasi (Chawla & Kelloway, 2004). Perubahan yang diinisiasikan oleh organisasi tidak akan berhasil jika belum sampai menyentuh ranah individu, artinya tidak akan ada perubahan jika belum berhasil membuat individu berubah (individual change). Teori tentang perubahan sangat menekankan pentingnya komitmen pada perubahan, terutama dalam
model-model
yang
menjelaskan
proses
implementasi
perubahan
(Armenakis, Harris, & Field, 1999; Klein & Sorra, 1996). Komitmen menjadi faktor paling penting yang dilibatkan pada dukungan anggota organisasi pada perubahan (Armenakis, Harris, & Field, 1999; Conner & Patterson, 1982; Klein & Sorra, 1996). Klein dan Sorra (1996) juga menekankan bahwa komitmen merupakan
komponen
sentral
pada
model
mereka
tentang
efektivitas
implementasi inovasi di tempat kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan anggota organisasi adalah prasyarat untuk berbagai macam tipe keberhasilan perubahan (Piderit, 2000). Permasalahan
utama
adalah
perubahan
organisasi
menimbulkan
ketegangan tidak hanya bagi organisasi sebagai keseluruhan, tetapi juga bagi anggota dalam organisasi tersebut (Vakola & Nikolau, 2005). Artinya, jika
5
organisasi ingin berhasil dalam mengimplementasikan perubahan, strategi perubahan harus dikembangkan dengan menekankan proses psikologis anggota. Luputnya perhitungan proses psikologis dalam menyusun strategi perubahan kemungkinan akan mengakibatkan kegagalan perubahan. Pentingnya proses psikologis
dalam
metaanalisis
menghadapi
mengenai
reaksi
perubahan anggota
oganisasi organisasi
ditunjukkan dengan terhadap
perubahan
organisasi. Dengan diitemukannya korelasi sebesar 0,292 berarti bahwa karakteristik psikologis
perubahan akan
organisasi
meningkatkan
yang
dukungan
tidak
mengakibatkan
anggota
terhadap
ancaman perubahan
organisasi, para anggota organisasi akan berespons tidak menyenangkan pada perubahan yang mengancam pekerjaannya (Kusumaputri, 2010). Lebih jauh lagi, implementasi perubahan tanpa memperhatikan aspek individu mengakibatkan anggota organisasi mengalami stres dan sinisme serta masing-masing menunjukkan rendahnya komitmen pada perubahan.Tinggi atau rendahnya komitmen pada perubahan ditunjukkan oleh resistansi pada perubahan, yaitu turn over, sinisme, dan tingkat absensi yang tinggi. Semuanya dapat dianalisis secara menyeluruh dengan menekankan sejauh mana penerimaan anggota organisasi terhadap perubahan yang dipengaruhi oleh karakteristik proses perubahan, di antaranya adalah komunikasi dan partisipasi yang terbentuk (Dent & Goldberg, 1999; Oreg, 2006; Berneth, Armenakis, Field, & Walker, 2007; Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008). Selain itu, karakteristik perubahan yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas anggota organisasi atau sebaliknya mengancam keamanan kerja (job security) yang berperan membentuk tingkat daya tolak yang tinggi dari anggota organisasi (Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006).
6
Pentingnya
organisasi
melakukan
pengelolaan
terhadap
manusia
menghindarkan terjadinya berbagai kerugian yang ditimbulkan. Analisis Porras dan Robertson (1992) menjelaskan bahwa untuk merealisasikan perubahan yang terjadi, organisasi harus menumbuhkan kerja sama (cooperation) di antara para anggotanya. Resistansi pada perubahan dapat menghambat proses perubahan (Miller, Jonhson, & Grau, 1994; Piderit, 2000). Resistansi pada perubahan juga diindikasikan dengan keluaran (outcomes) negatif, seperti penurunan kepuasan, rendahnya komitmen, penurunan produktivitas dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), ketidakhadiran, dan keluar masuknya anggota organisasi (Bordia, Hunt, Paulsen, Tourish, & DiFonso, 2004; Miller dkk., 1994). Beberapa penulis memandang komitmen sebagai dimensi efektivitas organisasi (Schein, 1970 dalam Cohen, 2007). Tokoh lain memandang komitmen sebagai kekuatan yang berkontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi melalui perbaikan unjuk kerja dan mengurangi tingkat keluar masuk anggota (Steers, 1977). Bagaimanapun interpretasi komitmen telah menjadi variabel yang diutamakan karena keyakinan bahwa peningkatan komitmen, dalam beberapa hal, akan meningkatkan efektivitas organisasi sehingga masih menjadi sesuatu yang dapat dikembangkan dalam diri anggota. Konsep komitmen merupakan pandangan yang cukup lama dalam literatur manajemen (Swailes, 2002). Komitmen organisasi dipahami sebagai hasil positif dan penentu dalam perubahan pengelolaan organisasi (Coopey & Hartley, 1995; Guest, 1992; Iverson, 1996). Secara khusus, komitmen dikaitkan dengan intensi perilaku positif dan aksi-aksi (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky, 2007) di bawah kendali individu-individu secara langsung dan merupakan komponen penting dalam pencapaian program-program perubahan organisasi
7
yang melibatkan tujuan-tujuan pekerjaan baru, metode kerja yang baru, dan struktur yang baru. Komitmen organisasi yang menjadi acuan dalam pengembangan komitmen pada perubahan organisasi cukup sulit untuk didefinisikan dan belum ada konsensus yang jelas di antara para ahli sebagaimana tercermin dalam literatur tentang komitmen. Penelitian mengenai komitmen banyak menggunakan model tiga komponen yang dikembangkan Meyer dan Allen (1991).Tiga komponen komitmen tersebut juga dikembangkan menjadi komitmen pada perubahan (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer, 2002). Khusus pada situasi organisasi yang sedang mengalami perubahan, selain dua komponen komitmen, yaitu komitmen afektif dan komitmen normatif, komitmen berkelanjutan memiliki hubungan yang tidak konsisten dan juga tidak kuat dengan beberapa keluaran organisasi (organizational outcomes) dan faktorfaktor organisasional lainnya (Mathieu & Zajac, 1990; Herscovitch & Meyer, 2002). Penelitian tentang komitmen pada perubahan secara intens baru dilakukan oleh Herscovitch dan Meyer (2002) yang mengembangkan komitmen perubahan berdasarkan komitmen organisasi dengan menggunakan tiga dimensi komitmen. Penelitian Herscovitch dan Meyer terbaru di tahun 2007 tentang komitmen
pada
organisasi
pada
diri
pekerja
dilakukan
dengan
mempertimbangkan dua budaya (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky, 2007), yaitu India dan Kanada. Yang patut disayangkan adalah hasil penelitian tersebut kurang menjelaskan perbedaan dua budaya, yaitu pekerja perusahan di India yang lebih diwarnai budaya kolektif. Hal ini ditunjukkan dengan skor tinggi dalam hal budaya kolektif di India dibandingkan skor yang diperoleh perusahaan dari
8
Kanada yang memiliki skor rendah pada kolektivistik kelompok. Dikatakan bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada profil komitmen pada perubahan, berdasarkan analisis dari Hofstede (1998) dan Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (Felve, Yan, dan Six, 2008). Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen pada perubahan sebagai kerangka pikir yang mengikat individu-individu untuk cenderung berperilaku sesuai yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan implementasi perubahan. Kerangka pikir ini merefleksikan (a) hasrat memberikan dukungan pada perubahan berdasarkan keyakinan adanya keuntungan yang pasti akan inherent dengan dukungan, (b) perhitungan bahwa akan ada kerugian yang ditimbulkan bila gagal memberikan dukungan pada perubahan, dan (c) ada perasaan kewajiban untuk memberikan dukungan pada perubahan. Dalam penelitiannya, Herscovitch dan Meyer (2002) menemukan bahwa di antara berbagai dimensi profil komitmen pada perubahan, hanya komitmen afektif dan normatif yang menunjukkan dukungan yang tinggi pada perubahan. Penjelasannya adalah sifat alamiah komitmen perlu dipahami dalam menjelaskan kemauan anggota organisasi untuk melampaui persyaratan minimum yang diperlukan dalam mencapai tujuan organisasi. Anggota organisasi yang merasa yakin dengan perubahan dan ingin berkontribusi mencapai keberhasilan (komitmen afektif kuat) atau merasa suatu kewajiban untuk mendukung perubahan (komitmen normatif) akan melakukan lebih yang dipersyaratkan, bahkan bersedia jika harus melibatkan pengorbanan diri. Sebaliknya, anggota organisasi yang berkomitmen pada perubahan yang memprioritaskan perhitungan untung rugi (komitmen berkelanjutan) akan melakukan lebih sedikit yang dipersyaratkan.
9
Kelemahan penelitian Herscovitch dan Meyer (2002) serta penelitian Meyer, Srinivas, Lal, dan Topolyntsky (2007) dalam mengembangkan model tiga komitmen organisasi menjadi komitmen pada perubahan adalah replikasi dari komitmen pada organisasi yang secara setting organisasi berbeda ketika organisasi tersebut mengalami perubahan. Selain itu, di antara tiga komponen komitmen tidak ditemukan perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen normatif. Komitmen berkelanjutan juga tidak berkorelasi positif dengan perilaku mendukung perubahan karena situasi perubahan mempersyaratkan anggota organisasi untuk meluangkan usaha lebih dalam mencapai tujuan perubahan, dengan tidak mementingkan perhitungan untung rugi dalam hal mendukung perubahan. Kelemahan lain dalam replikasi model komitmen perubahan adalah waktu yang singkat dalam pengambilan data, yaitu tiga bulan untuk menganalisis perbedaan antara komimen organisasi dan komitmen perubahan. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara perbedaan komitmen organisasi dan komitmen pada perubahan organisasi sehingga perlu penelitian yang khusus menghasilkan teori tentang komitmen pada perubahan organisasi. Komitmen pada organisasi walaupun sudah cukup banyak diteliti, tetapi diperlukan studi lagi, terutama karena abad ke-21 merupakan momentum waktu perubahan di dunia pekerjaan (Cascio, 1995). Berdasarkan tingkat percepatan dan kompleksitas perubahan di tempat kerja, tidak mengherankan semakin banyak literatur yang mengkaji penyebab, konsekuensi, dan strategi perubahan organisasional (Armenakis & Bedeian, 1999; Porras & Robertson, 1992). Komitmen pada perubahan juga telah dimasukkan ke dalam bermacam-macam model teoretis perubahan (Klein dan Sorra, 1996; Elias, 2009; Armenakis, dkk.,
10
1999; Peccei, Giangreco, & Sebastiano, 2011; Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer, 2002; Bernerth, Armenakis, Field, & Walker, 2007; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006; Chawla & Kelloway, 2004). Di satu sisi, meskipun penelitian dalam rangka memahami perubahan organisasi cukup pesat, sebagian besar penelitian tersebut berfokus pada permasalahan-permasalahan yang relevan dengan perubahan organisasi pada tingkat organisasional dan kurang memperhatikan tingkat individual (Judge, Thorensen, Pucik, & Welbourne. 1999; Vakola Tsaouis, & Nikolau, 2003; Wanberg & Banas, 2000) yang ditunjukkan dengan masih kurangnya bukti-bukti empiris pada area penelitian ini (Wanberg & Banas, 2000) serta kurangnya perhatian pada akibat perubahan terhadap individu. Beberapa artikel yang telah di-review dalam Journal of Management yang ditulis oleh Armenakis dan Bedeian (1999), Pasmore dan Fagan (1992), Sashkin dan Burke (1987), lebih menekankan permasalahan-permasalahan makro dibandingkan
permasalahan-permasalahan
individual,
yaitu
menekankan
pencapaian perubahan dengan memfokuskan analisis pada elemen-elemen organisasi. Berdasarkan review penelitian tentang komitmen pada perubahan, ditemukan bagaimana perubahan organisasi berdampak pada komitmen organisasi, tetapi masih kurang informasi terkait bagaimana variabel-variabel perubahan organisasi berfungsi secara bersamaan. Hal ini menjadi penting untuk mempertimbangkan perlunya perubahan organisasi yang berfungsi sebagai penyebab (antecedent) komitmen pada perubahan, karena komitmen penting untuk pemfungsian organisasi, menjadi salah satu evaluasi berhasilnya implementasi perubahan.
11
Pada point ini, pertanyaan intinya adalah anteseden apa saja yang menjadi prediktor komitmen pada perubahan yang menekankan analisis psikologis? Pada review tentang penelitian perubahan organisasi sepanjang tahun 1990, teridentifikasi tiga ciri khas mengenai semua usaha perubahan (Armenakis dan Bedeian, 1990; Bouckenooghe, Devos, Van den broeck, 2009; Van Dam, Oreg, Schyns, 2008), yaitu kapabilitas organisasi yang mengacu pada kemampuan organisasi mengelola dan mengimplementasikan perubahan secara efisien, iklim perubahan yang mengacu pada persepsi anggota terhadap permasalahan-permasalahan kontekstual di internal organisasi, dan partisipasi organisasi yang merefleksikan proses partisipasi yang difasilitasi oleh organisasi untuk membuat perubahan berhasil. Berdasarkan indikasi tersebut, beberapa penelitian yang menganalisis perubahan terhadap tingkat penerimaan anggota dengan mengidentifikasi variabel-variabel yang berperan dalam memengaruhi tingkat penerimaan anggota terhadap perubahan organisasi. Perubahan yang terjadi mengacu pada tipe atau substansi perubahan (Armenakis dan Bedeian, 1999), termasuk restrukturisasi, reengineering, perubahan budaya organisasi, penggunaan teknologi baru, dan Total Quality Management (Armenakis & Bedeian, 1999; Beer & Nohria, 2000; Burke, 1994; Burke & Litwin, 2002; Vollman, 1996). Perubahan yang mengancam job security dapat memiliki efek destruktif pada moral, sikap, dan well-being, bahkan ketika pekerjaannya sendiri tidak terancam (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk., 2005). Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa perubahan yang diarahkan pada pengembangan kapabilitas organisasi berfokus pada budaya, perilaku, dan sikap tidak akan mengakibatkan
12
para anggota organisasi kehilangan pekerjaan dan tidak mengancam anggota organisasi. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa jenis perubahan organisasi yang mengancam job security berakibat pada menurunnya moral, sikap, dan well being (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk.,2005). Sebaliknya, perubahan yang diarahkan pada peningkatan kapabilitas organisasi yang dimaknai meningkatkan kehidupan para anggota organisasi akan semakin meningkatkan dukungan berupa komitmen pada perubahan organisasi (Fedor, Caldwell, & Herold, 2006; Rafferty & Griffin, 2006). Kapabilitas organisasi, menurut Oxtoby, McGuiness, dan Morgan (2002), adalah kemampuan organisasi untuk merencanakan, merancang, dan mengimplementasikan starategi perubahan secara efisien dengan seluruh anggota organisasi. Perubahan mengenai kapabilitas organisasi mengacu pada sejauh mana implementasi perubahan dalam memanfaatkan sumber daya organisasi dapat dirancang secara optimal untuk menguntungkan organisasi dan anggota (Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Kapabilitas perubahan organisasi yang dipersepsi oleh anggota sebagai kemampuan organisasi untuk mampu
merencanakan,
merancang,
dan
mengimplementasikan
strategi
perubahan secara efisien dengan seluruh anggota akan meminimalisasi dampak negatif pada individu-individu dan proses operasional implementasi perubahan organisasi. Kapabilitas organisasi yang dipersepsi oleh anggota tidak dapat dilepaskan dari jenis perubahan yang terjadi. Bartunek & Moch (1987); Palmer, Dunford, & Akin (2006) menjelaskan jenis perubahan yang dikategorikan sebagai urutan pertama (first order) dan urutan kedua (second order). Perubahan tipe
13
pertama (first order) melibatkan penyesuaian dalam sistem, proses, atau struktur, tetapi tidak melibatkan perubahan fundamental dalam strategi, nilai-nilai inti, atau identitas
organisasi
(corporate
identity)
yang
tujuannya
adalah
untuk
mempertahankan dan mengembangkan organisasi. Sebaliknya, perubahan urutan kedua (second order) disebut juga perubahan transformasional, perampingan, restrukturisasi, dan reengineering. Maksud perubahan urutan kedua adalah mengubah bentuk suatu organisasi secara fundamental. Jika dibandingkan dua macam karakteristrik perubahan organisasi tersebut dalam hal proses, skala, dan sasaran perubahan, terdapat konsekuensi yang berbeda bagi para anggota organisasi yang ada di dalamnya. Perubahan first-order yang mengacu pada perubahan skala kecil dan tidak begitu diimplementasikan melalui penyesuaian yang bertujuan untuk memperbaiki organisasi tidak berdampak pada nilai inti (core value). Sebaliknya, second-order change bersifat lebih radikal dan revolusioner karena melibatkan proses transformasional pada organisasi, dan menyentuh hingga nilai inti organisasi. Jika dibandingkan pada first order, perubahan second-order lebih memungkinkan menimbulkan resistansi karena sering kali menimbulkan ketidakpastian dan ancaman bagi anggota organisasi (Levy & Mery, 1986). Selain itu karakteristik perubahan organisasi selain first order dan second order adalah transitional change, yaitu perubahan yang terjadi karena adanya situasi yang diinginkan mendorong terjadinya perubahan (Ackerman, 1997 dalam Cameron,
2004).
Inilah
yang
menjadi
dasar
dalam
model
Lewin
mengkonseptualisasikan perubahan sebagai proses tiga tahap yaitu unfreezing, moving,
dan refreezing.
Schein mengembangkan kembali
tentang tiga
tahap,bahwa unfreezing melibatkan ketidaknyamanan harapan, membangkitkan
14
kecemasan, dan adanya keputusan bahwa kenyamanan psikologis yang akan mengubah kecemasan menjadi motivasi untuk berubah. Pergerakkan menuju posisi baru dicapai melalui restrukturisasi kognitif melalui identifikasi model yang baru atau mentor dan mencari informasi baru yang relevan. Sedangkan refreezing terjadi ketika sudut pandang baru diintegrasikan kedalam keseluruhan kepribadian dan konsep diri, serta hubungan yang signifikan Hal selanjutnya dari perubahan organisasi yang dipertimbangkan cukup berpeluang menjadi prediktor terhadap reaksi anggota pada perubahan, khususnya komitmen pada perubahan, adalah proses perubahan organisasi dari mulai diperkenalkannya perubahan hingga implementasi perubahan. Agen-agen perubahan harus menyiapkan para anggota organisasi untuk melewati proses perubahan melalui keterbukaan komunikasi yang berlandaskan kejujuran. Armenakis dkk. (1993) menjelaskan bahwa merancang kesediaan untuk berubah memerlukan usaha proaktif dari para pengelola untuk memengaruhi keyakinan, sikap, intensi, dan akhirnya perilaku sebagai target perubahan. Usaha proaktif pengelola, yaitu dari pemimpin organisasi, atasan langsung, atau pengelola diwujudkan dengan menumbuhkan partisipasi aktif anggota (Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Pentingnya dukungan, partisipasi yang ditumbuhkan dari semua anggota organisasi menunjukkan keseriusan pengelola tentang perubahan dan tidak hanya sekedar program sesaat, serta untuk meyakinkan semua anggota bahwa perubahan yang dilaksanakan akan menguntungkan diri pribadi dan organisasi. Selaras dengan penjelasan di atas, prosedur perubahan manajemen yang dipersepsi oleh anggota organisasi sebagai sarana para anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam merencanakan dan melaksanakan perubahan akan
15
meningkatkan penerimaan terhadap perubahan (Coch & French, 1948; Sagie dan Koslowski, 1996; Devoz, Buelens, dan Bouckenooghe, 2008). Adapun komunikasi dan partisipasi antara pemimpin dan anggota termasuk dalam perubahan organisasi yang berorientasi pada proses yang menekankan partisipasi yang difasilitasi organisasi (Bouckenooghe, Devos, dan Broeck, 2009). Selain itu, kesan sebagai bahan proses interpretasi perubahan dapat dihasilkan dari proses komunikasi yang berlangsung saat menyampaikan isi, strategi, dan tujuan yang akan dicapai (Stanley, Meyer & Topolyntsky, 2005). Pemberian
informasi
pemahaman tentang
tentang
perubahan
peristiwa-peristiwa
bertujuan
yang
dapat
untuk
memberikan
diantisipasi,
seperti
perubahan khusus yang akan terjadi, konsekuensi dari perubahan, dan perubahan peran pekerjaan. Pemberian informasi pada anggota organisasi dapat mengurangi ketidakpastian dan kecemasan (Johnson, Bernhagen, Miller, & Allen, 1996;
Miller
dkk.,
1994)
dan
dapat
memaksimalkan
kontribusi
untuk
meningkatkan keterbukaan terhadap perubahan (Stanley, Meyer & Topolyntsky, 2005; Warnberg & Banas, 2000). Sebaliknya, komunikasi yang tidak terkelola dengan baik kemungkinan akan menghasilkan perbincangan yang belum tentu benar (rumor) tentang perubahan di antara para anggota (DiFonzo, Bordia, & Rosnow, 1994), serta berpeluang meningkatkan sinisme terhadap perubahan (Stanley, Meyer & Topolyntsky, 2005), dan hasil negatif seperti tingkat ketidakhadiran (Johnson dkk., 1996). Semua itu merupakan indikasi rendahnya komitmen (Coch & French, 1948; Chawla & Kelloway, 2004). Pentingnya proses perubahan yang direfleksikan dari komunikasi yang terbentuk, dukungan organisasi, dan proses partisipasi yang terbentuk dengan komitmen antaranggota ditunjukkan dalam
16
penelitian Chawla dan Kelloway (2004) dengan nilai korelasi sebesar 0,39, Ebby, Adams, dan Russell (2000) dengan nilai korelasi sebesar 0,46, dan Shapiro (1999) dengan nilai korelasi sebesar 0,22. Hal lain dari perubahan adalah pemaknaan para anggota organisasi tentang kondisi internal organisasi saat perubahan terjadi yang disebut iklim perubahan (Tierney, 1999). Studi penelitian menunjukkan bahwa iklim perubahan yang menekankan kepercayaaan terhadap pimpinan serta kohesivitas yang terbentuk di antara anggota dengan pemimpin menjadi salah satu cara untuk mengatasi ketidakpastian akibat perubahan. Jika kondisi internal organisasi saat perubahan dimaknai negatif, timbullah sinisme para anggota yang berpotensi untuk berpengaruh negatif pada keberhasilan perubahan (Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Selain itu, Gioia dan Thomas (1996) meneliti bagaimana tim manajemen puncak di perguruan tinggi merancang permasalahan yang berdampak pada strategi perubahan dalam dunia akademik modern. Ditemukan bahwa persepsi para anggota manajemen puncak tentang identitas dan kesan adalah kunci proses interpretasi perubahan. Perlunya strategi manajemen yang kolaboratif, pengembangan visi, dan aksi-aksi yang dijalankan sama dengan hasil penelitian yang dihasilkan oleh Bordia dkk. (2004) dan Oreg (2006) dalam menumbuhkan dukungan pada perubahan. Dijelaskan bahwa analisis komponen lain pada iklim perubahan adalah trust pada pemimpin, politik, dan kohesivitas yang terjalin antaranggota organisasi. Waktu dan ketetapan yang akurat mengenai informasi, peluang berpartisipasi,
dan
penyebaraan
trust
dalam
visi
managemen
yang
melatarbelakangi terjadinya perubahan, merupakan pereda potensial resistansi anggota organisasi dan meningkatkan dukungan pada perubahan.
17
Meskipun tiga ciri perubahan dapat terbagi menjadi kapabilitas, iklim, dan partisipasi, tetapi belum ada yang secara simultan menganalisis tiga ciri perubahan organisasi secara bersamaan. Sebagian besar studi tentang perubahan organisasi hanya menguji dampak salah satu karakteristik perubahan organisasi terhadap para anggota organisasi (Armenakis & Harris, 2002; Boomer, Rich & Rubin, 2005; Oreg, 2006; Wanberg & Banas, 2000; Dam, Oreg, & Schyns, 2008) dan belum ada penelitian yang mempertimbangkan peran signifikan potensial bahwa tiga ciri perubahan secara simultan memberikan pemahaman pada komitmen perubahan (Bernerth, Armenakis, Field, & Walker, 2007; Chawla & Kelloway, 2004; Coyle & Shapiro, 1999; Hornung & Rousseau, 2007).
Damonpour
(1991)
juga
menjelaskan
pentingnya
menganalisis
keberhasilan perubahan dengan mengintegrasikan tiga ciri perubahan tersebut secara simultan. Hal menarik lainnya ketika menganalisis reaksi individu terhadap perubahan adalah perbedaan individual yang membentuk respons secara tipikal pada perubahan (Oreg, 2003; Avey, Wernshing, & Luthans, 2008; Luthans, Norman, Avolio, & Avey, 2008; Oreg, 2006). Tidak semua anggota dalam suatu organisasi yang mengalami perubahan akan menolak perubahan. Penolakan yang terjadi kemungkinan disebabkan keengganan untuk mengubah situasi kerja yang selama ini sudah dijalani (Pulakos, Arad, Donovan, & Plamondon, 2000). Kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki masing-masing individu memiliki karakteristik potensial yang berpengaruh pada sikap dan perilaku organisasi (Schneider, 1987; Staw & Ross, 1985). Selama usaha-usaha perubahan organisasional berlangsung, perbedaan-perbedan individual kemungkinan memengaruhi reaksi pada perubahan. Contohnya, individu-individu yang
18
memiliki toleransi tinggi terhadap ambiguitas seharusnya lebih mampu mengatasi ketidakpastian terkait perubahan organisasi (Judge dkk., 1999). Begitu pula individu-individu yang memiliki keterbukaan tinggi pada suatu pengalaman (McCrae dan Costa, 1986) diharapkan mampu bereaksi lebih positif terhadap usaha-usaha perubahan. Perbedaan individual yang akan dipertimbangkan menjadi mediator antara variabel-variabel perubahan organisasi dan komitmen pada perubahan adalah keterbukaan pada perubahan (openness to changes). Keterbukaan pada perubahan didefinisikan sebagai kemauan anggota organisasi untuk terlibat dalam transisi pekerjaan di internal organisasi, seperti perubahan tugas, pekerjaan, departemen, atau lokasi (Van Dam, 2005; Bouckenooghe, 2010). Perubahan organisasi dapat menimbulkan implikasi, yaitu anggota organisasi akan membuat perubahan dalam situasi kerja dan beradaptasi pada situasi baru sehingga keterbukaan pada perubahan (openness to change) dipertimbangkan sebagai aspek penting pada awal terbentuknya kemampuan adaptasi anggota organisasi (Fugate dkk., 2004; Hall, 2002; Pulakos dkk., 2000). Chawla dan Kelloway (2004) juga melakukan studi tentang keterbukaan pada perubahan dalam memprediksi komitmen pada perubahan. Hasil studi menunjukkan bahwa keterbukaan pada perubahan mampu memprediksi komitmen pada perubahan. Hanya saja komitmen pada perubahan diukur menggunakan tingkat keluar masuk (turn over) anggota organisasi sebagai indikator rendahnya komitmen. Wanberg dan Banas (2000) juga menjelaskan pentingnya keterbukaan pada perubahan (openness to change) yang meliputi kesediaan untuk mendukung perubahan, sebagai predisposisi seseorang dalam melakukan adaptasi terhadap situasi perubahan, serta menentukan terbentuknya komitmen pada perubahan.
19
Bagaimanapun keterbukaan pada perubahan belum menampakkan ekspresi yang cukup kuat untuk menunjukkan sikap positif sehingga perlu dilakukan analisis terhadap hasil (outcomes) dari perubahan, yaitu komitmen pada perubahan. Berdasarkan penelusuran studi tentang keterbukaan pada perubahan (openness to change) organisasi, teridentifikasi variabel-variabel terkait situasi perubahan, yaitu informasi, partisipasi, dan dukungan sosial. Tanpa informasi yang adekuat, individu-individu akan mengalami ketidakpastian tentang jenis perubahan yang terjadi, dan akan berpengaruh bagaimana perubahan akan berdampak pada pekerjaan dan organisasi mereka, atau menentukan respons terhadap perubahan (Miliken, 1987). Partisipasi mengacu pada sejauh mana anggota organisasi terlibat memberikan masukan atas perubahan yang diusulkan. Kotter dan Schlesinger (1979) menekankan bahwa untuk meningkatkan penerimaan terhadap perubahan, pengelola perlu untuk mendengarkan masukan dan saran para anggota. Sebaliknya, sistem nilai individual juga akan menentukan reaksi saat beradaptasi dengan proses perubahan (Wanberg & Banas, 2000). Pada konteks perubahan organisasi yang terjadi di Indonesia terjadi juga pada seluruh sektor di bidang industri, jasa, dan pendidikan. Di bidang Industri khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) peraturan pemerintah yang menuntut akuntabilitas dan profesionalisme mendorong dikeluarkannya kebijakan bahwa setiap BUMN melakukan privatisasi. Di antaranya terdapat tiga BUMN yang mengalami perubahan, yaitu Garuda, Pertamina, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
20
Perubahan pada Pertamina sama dengan BUMN lainnya, yaitu akibat perubahan hukum dan undang-undang di Indonesia yang menumbuhkan pola bisnis baru yang mengizinkan masuknya pesaing ke dalam sektor pemasaran dalam negeri, ditunjukkan dengan saat Shell dan Petronas masuk ke pasar Indonesia (diunduh dari http://www.pertamina.com/statement_from_board.aspx tanggal 2 Mei 2013). Perusahaan pun dituntut pemerintah untuk memberikan keuntungan yang lebih besar pada negara dan menekankan pengelolaan bisnis yang transparan dan profesional. Tuntutan tersebut yang membuat pihak Pertamina mencanangkan program transformasi perusahaan pada 20 juli 2006 dengan dua tema besar, yaitu fundamental dan bisnis. Transformasi yang dilakukan Pertamina bertujuan agar mampu membawa perusahaan menuju skala dunia. Bidang lain pada sektor industri yang mengelola sumber daya alam yang dikuasai negara adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) (diunduh dari http://www.pln.co.id/?p=102 tanggal 3 Mei 2013). PLN mengalami perubahan pada tahun 1994 menjadi Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), yang sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 1972, menetapkan PLN sebagai Perusaan Listrik Umum Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikkan (PKUK). Perubahan PLN menjadi Persero merupakan konsekuensi kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan pada sektor swasta untuk bergerak dalam bidang bisnis penyediaan listrik. Tujuannya sama, yaitu untuk meningkatkan keuntungan dan kemampuan daya saing, perlu pengelolaan yang professional dan transparan. Dalam bidang transportasi penerbangan, Garuda dalam situs resminya, yaitu http://www.garuda-indonesia.com/id/investor-relations/about-garuda-indone-
21
sia/corporate-profile/history/company (diunduh tanggal 2 Mei 2013), perubahan dalam hal tata kelola organisasi bersifat clean and good. Perubahan yang terjadi mampu membawa Garuda mendapat pengakuan dunia internasional dengan slogan baru fly to the world. Organisasi pendidikan yang bergerak di bidang jasa pendidikan juga dituntut untuk berubah, maka dapat dikatakan organisasi pendidikan tinggi menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam menghadapi perubahan. Terutama dalam hal pengeloaan perguruan tinggi. Organisasi pendidikan tinggi, sebagaimana diungkapkan Hasan dan Prabowo (2006), memiliki sejumlah tantangan internal dan eksternal yang mengharuskan mereka untuk berubah. Tantangan yang dimaksud adalah kualitas lulusan perguruan tinggi (PT) belum dapat memenuhi tuntutan masyarakat, kompetisi global dan lokal, akreditasi nasional dan internasional, konflik kepentingan, takut untuk berubah, dan sumber daya terbatas (conflict of interest, worry to change, limited reseources). Kondisi tersebut melatarbelakangi perubahan institusi perguruan tinggi, diawali pertama oleh perubahan IKIP menjadi Universitas Negri. Ulasan Ki Supriyoko dalam Suara Karya (1999) menjelaskan penyebab perubahan IKIP menjadi universitas karena kerisauan kenyataan rendahnya kualitas lulusan IKIP sendiri khususnya dalam penguasaan bidang studi (subjek matter). Diharapkan melalui perubahan dapat meningkatkan kulitas lulusan IKIP yang menjadi calon guru di sekolah, di sekolah dasar dan menengah. Dijelaskan pula oleh Ki Supriyoko bahwa setelah IKIP menjadi universitas maka yang menjadi fokus adalah fakultas baru yang dibuka, dan penambahan ketersediaan sumber daya para pengajar.
22
Kompetisi pendidikan di Indonesia berimbas juga pada organisasi pendidikan berbasis agama, diantaranya IAIN (Institut Agama Islam Negri) yang telah mengalami perubahan status menjadi Universitas Islam Negri (UIN). Perubahan IAIN menjadi UIN dideklarasikan pada tanggal 14 Oktober 2004 oleh Menko Kesra Prof. HA malik Fajar, tindak lanjut dari SK presiden No.50 Tahun 2004, 21 Juni 2004. Dari empat belas IAIN di Indonesia, dua diantaranya yaitu IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta menjadi Pilot Project perubahan IAIN menjadi UIN. Implikasi perubahan IAIN ke UIN, yang cukup menonjol menimbulkan fakultas-fakultas baru, serta penambahan tenaga pengajar yang berasal dari ilmu-illmu umum di luar ilmu agama. Adapun tujuan perubahan IAIN ke UIN adalah meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan peran PTAI sebagai universitas riset berkelas dunia (Kusumaputri, 2010) maka fokus pengembangan bidang pengelolaan mutlak dilakukan. Tujuannya adalah untuk memberikan kontribusi pada peningkatan nation competitiveness melalui peningkatan kualitas pengelolaan. Menurut Amin Abdullah, staff ahli Kementrian Agama dalam Temu Konsultasi Jaringan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat PTAI di Manado pada 12-14 Juni 2013 lalu peran strategis pendidikan tinggi Islam akan semakin terpacu apabila Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama R.I terus mengawal mandat untuk menghilangkan dikotomi keilmuan yang diwujudkan dengan dibukanya fakultas-fakultas baru, bukan fakultas keagamaan. Tentu saja keberlanjutan pendirian fakultas-fakultas baru memerlukan tenagatenaga fungsional baru, dari latar belakang ilmu umum yang sebelumnya tidak dimiliki PTAIN.
23
Mandat penyatuan ilmu agama dan sains yang telah diamanatkan ke PTAI dapat dilakukan dengan paradigma yang berbeda dari masing-masing perguruan tinggi. UIN syarif Hidayatullah dilambangkan dengan bola dunia dengan garis edar elekton mengandung 4 (empat) karakter utama, yaitu Keislaman, Keilmuan, Keindonesiaan, dan Globalisme. Sedangkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan konsep “Jaring Laba-laba” yang merupakan metafora
simplifikasi
konsep
paradigma
keilmuan
Integrasi-Interkoneksi,
merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu. Perubahan di lingkup PTAI tidak hanya sampai pada tataran paradigma kelimuan yang dimanifestasikan dalam perubahan visi, misi, tujuan, dan struktur organisasi, melainkan pada perubahan manajemen pendidikan tinggi yang berorientasi pada kemampuan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuannya. Hal yang cukup menarik khususnya pada organisasi pendidikan
bahwa
pendidikan
tinggi
merupakan
pusat
pembelajaran,
pengembangan ekonomi, budaya, serta sosial masyarakat. Kualitas SDM di perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidik, staff administrasi, tenaga pustaka, dan
tenaga
fungsional
peneliti,
menentukan
proses
penyelenggaraan
keberhasilan pendidikan tinggi. Dapat dikatakan bahwa organisasi pendidikan, khususnya perguruan tinggi cukup unik dibandingkan organisasi lain dalam hal karakteristik dan kualifikasi anggotanya. Tenaga pengajar, baik guru maupun dosen, memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi lebih tinggi dan baik dibandingkan individuindividu yang bekerja di organisasi industri sektor lain (Cumming dan Worley, 1997). Efektivitas perubahan organisasi dalam bidang pendidikan membutuhkan
24
dukungan seluruh SDM (sumber daya manusia) yang ada, terutama komitmen masing-masing anggota kepada perubahan. SDM di bidang pendidikan mencakup tenaga dosen, tenaga administrasi, dan tenaga fungsional selain dosen (peneliti, pustakawan, dan arsiparis). Upaya pengembangan SDM perlu menyentuh semua unsur SDM. Dari ketiga unsur tersebut, dosen memiliki peran yang paling strategis dan penting. SDM dosen memiliki posisi vital dalam membentuk mutu lulusan. Hal itu diperkuat dengan realitas bahwa kewenangan dan otoritas tertinggi dalam proses akademik berada pada diri SDM dosen (Sallis, 2010; Cumming dan Worley, 1997) Keunikan
organisasi
pendidikan,
dapat
dianalisis
berdasarkan
pengelompokkan organisasi yang dilakukan Blau dan Scott dalam Hoy dan Miskel (1982), dikelompokkan berdasarkan pihak utama yang memiliki andil dalam organisasi dan penerima keuntungan. Macam organisasi adalah mutual benefit associations, business concerns, commonweal organization dan service organization. Pada organisasi mutual benefit associations, anggota adalah penerima keuntungan utama dalam organisasi. Sebaliknya pada business concerns pemilik organisasi adalah penerima keuntungan. Berbeda dengan organisasi kelompok commonweal organization, masyarakat umum akan menerima keuntungan dari organisasi. Sedangkan organisasi yang memiliki sifat service organization menjadikan publik yang berhubungan langsung dengan organisasi sebagai penerima keuntungan. Service organization memiliki fungsi utama menyediakan layanan ke klien. Berdasar pengelompokkan organisasi tersebut, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan merupakan service organization. Mahasiswa/wi menjadi klien yang memperoleh layanan dari peguruan tinggi.
25
Peran pendidikan tinggi dalam menjalankan fungsinya tidak mudah, utamanya dalam menggabungkan semua fungsi yang berhubungan dengan kemajuan dan transmisi ilmu pengetahuan, yaitu penelitian, inovasi pengajaran, serta jika memungkinkan bagi pendidikan profesi, ditambah dengan pelatihan untuk pendidikan berkelanjutan. Hasil-hasil penelitian harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Inovasi pengajaran harus menyentuh hingga ranah pembentukan karakter, outcomes pengajaran meliputi 3 komponen, yaitu afeksi, kognitif, dan psikomotor. Satu lagi perubahan pendidikan tinggi saat ini perlunya membangun jaringan kerjasama dengan dunia internasional. Perubahan pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi memberikan kebebasan pada para pengelola organisasi pendidikan untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Perubahan pengelolaan juga memberi kebebasan mendesain sistem pembelajaran yang menjadi pembeda suatu perguruan tinggi dengan organisasi pendidikan tinggi lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa organisasi pendidikan yang semula bersifat reaktif, sekarang berubah menjadi bersifat kompetitif. Konsekuensi tersebut menuntut organisasi pendidikan tinggi khususnya, untuk melakukan restrukturisasi pengelolaan pendidikan (Elmore, 1990; Sarason, 1992; Sizer, 1992). Peningkatan kualitas pengelolaan juga ditekankan melalui penyusunan sistem jaminan mutu, yang didasarkan pada Pedoman Penjaminan Mutu Depdiknas 2003. Penekanan penjaminan mutu adalah pada evaluasi proses pendidikan. Sistem pengelolaan yang dilakukan UIN sebagai salah satu bentuk organisasi pendidikan merupakan bentuk responsiveness dalam menjawab tantangan eksternal yang menjadi sumber perubahan. Proses akademik yang terukur dan transparan menjadi penekanan, khususnya dosen sebagai
26
komponen utama
bidang akademik, serta agen of change. Penerapan
penjaminan mutu menjadi syarat mutlak perubahan perguruan tinggi Islam dari IAIN menjadi UIN. Selain itu, pola pengelolaan keuangan juga menjadi perhatian pada lingkup organisasi pendidikan tiga UIN yang mengalami perubahan. Pada tanggal 2 Juli 2007, ditetapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) dengan status BLU secara penuh, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 301/KMK.05/2007, maka UIN Sunan Kalijaga adalah perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menerapkan PPK BLU, mekanisme pengelolaan keuangan
BLU tersebut
diperkuat dengan diterbitkannya SK
Rektor nomor 188 Tahun 2008. UIN Syarif Hidayatullah resmi menjadi BLU sejak 2008 melalui SK Menteri Keuangan Nomor 42/KMK.05/2008. Selanjutnya UIN Maulana Malik Ibrahim menjadi perguruan tinggi ketiga setelah UIN Sunan Kalijaga dan UIN Syarif Hidayatullah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai PTN yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Selain tiga UIN tersebut perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia yang juga mengalami perubahan menjadi BLU adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (UNAIR) (http://www.setkab.go.id/ berita-5716-ui-ugm-itb-ipb-usu-upi-dan-unair-kini-berstatus-blu-penuh.html diunduh pada 4 Mei 2013). Perubahan status menjadi BLU tertuang dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
27
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Menurut penjelasan mengenai BLU (Badan Layanan Umum), sistem keuangan ini diterapkan pada bidang tugas operasional pelayanan publik (http://pkblu.perbendaharaan.go.id/index.php/77-badan-layanan-umum/85 mengapa-badan-layanan-umum diunduh tanggal 4 Mei 2013). Pendanaannya dari dua sumber, yaitu imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan. Tujuan diterapkannya BLU adalah agar aktivitas pelayanan tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan pengelolaan, seperti bisnis yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif Dalam PP no 74 itu disebutkan, bahwa seluruh kekayaan perguruan tinggi yang berstatus BLU dialihkan pada kementrian masing-masing yang membidanginya, yaitu Kementrian Agama pada Universitas Islam dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada perguruan tinggi umum. Terkait dengan proses perubahan di institusi perguruan tinggi, Eckel dan Kezar (2002) meneliti proses transformasi lebih dari 20 universitas yang berhasil mencapai perubahan efektif. Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan lima strategi inti, yaitu (a) dukungan administratif senior, (b) kepemimpinan yang kolaboratif, (c) visi yang fleksibel, (d) pengembangan staf, (e) aksi-aksi yang terlihat. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa ada satu kesamaan dalam
28
strategi inti, yaitu masing-masing bertujuan untuk membantu seluruh anggota di kampus untuk berpikir berbeda tentang institusinya. Meskipun begitu, perbedaan individual menentukan dalam ketahanan seseorang menghadapi kesulitan perubahan manajemen akademik karena perbedaan individual juga berperan dalam menentukan komitmen anggota pada perubahan. Proses pendidikan adalah tugas yang cukup kompleks yang harus dilakukan para dosen karena proses pendidikan selalu melibatkan kurikulum yang ditunjang oleh teknologi dan metode untuk mengukur sasaran atau hasil (outcomes) dari proses tersebut. Studi tentang perubahan yang ditelusuri sebagian besar dilakukan di negara-negara Barat dengan jenis organisasi nonpendidikan, yaitu rumah sakit dan sektor usaha. Praktisi dan peneliti perubahan organisasi memandang organisasi pendidikan sebagai sistem birokratik yang berbeda dibanding dengan organisasi tipe lainnya (Klecker & Loadman, 2000). Hal ini tentu saja memberikan tantangan tersendiri dalam pengelolaannya. Pencapaian target dalam rangka efektifitas perunbahan organisasi tentu saja
membutuhkan
dukungan
anggotanya,
komitmen
perubahan
yang
ditekankan di sini berbeda dengan Herscovitch dan Meyer (2002) yang mengunakan tiga dimensi perubahan, yaitu menggunakan satu dimensi dengan tidak melibatkan komitmen berkelanjutan karena pada kondisi perubahan anggota dituntut untuk melakukan hal-hal yang lebih dari yang dipersyaratkan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dilandasi oleh tiga masalah, yakni (1) masalah konseptual, yaitu adanya kebutuhan untuk melakukan studi lebih jauh tentang perubahan organisasi yang berfokus pada komitmen anggota pada perubahan, berusaha
29
menghasilkan suatu konstruk komitmen khusus pada perubahan; (2) masalah mengintegrasikan anteseden-anteseden yang menjadi prediktor komitmen pada perubahan, yang selama ini prediktor-prediktor tersebut diteliti secara terpisahpisah; dan (3) masalah kontekstual, yaitu kebutuhan untuk mendorong perguruan tinggi dalam rangka mengimplementasikan perubahan dengan memfokuskan pada proses psikologis anggota organisasi, terutama agar proses perubahan mampu menumbuhkan komitmen anggota pada perubahan.
B. Rumusan Permasalahan Penelitian tentang komitmen sudah cukup banyak, tetapi khusus studi yang komprehensif pada term dan model proses komitmen pada perubahan yang mengintegrasikan berbagai sudut pandang dengan memperhatikan ciri khas perubahan organisasi masih tergolong kurang, terutama perubahan yang terjadi pada kondisi alamiah. Hasil review penelitian tentang perubahan menunjukkan studi yang dilakukan sebagian besar masih terjadi pada kondisi yang dimanipulasi sebagai perlakukan oleh peneliti (Kusumaputri, 2010). Permasalahan yang hendak diuji melalui penelitian ini adalah menguji kontribusi beberapa variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim perubahan terhadap kriteria, yaitu komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada perubahan. Beberapa batasan diterapkan dalam penelitian ini. Pertama, perubahan paradigma akademik juga menjadi kekuatan pendorong perubahan pada perguruan tinggi Islam, yang menjadikan peran strategis pendidikan tinggi Islam menjadi diperhitungkan dalam lingkup nasional. Selain itu, mengingat tantangan yang dihadapi perguruan tinggi saat ini adalah menyesuaikan dengan persaingan
30
gobal, dasar pengelolaan kegiatan pendidikan didasarkan pada pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya Oganisasi pendidikan khususnya di lingkup perguruan tinggi Islam setelah mengalami perubahan saat ini tidak lagi bersifat tradisional birokratis, tetapi lebih menekankan kepuasan pengguna, meningkatnya minat, dan harapan sebagai sasaran utama. Konsekuensinya adalah perlu perbaikan terus menerus (continous improvement) yang akan menyebabkan perubahan. Di sinilah letak pentingnya hubungan manusia yang efektif dan konstruktif yang mampu menumbuhkan
komitmen
untuk
mengimplementasi
perubahan.
Situasi
perubahan tersebut yang mendorong penelitian ini diterapkan pada organisasi pendidikan. Pembatasan kedua, berbagai jurnal yang menguraikan analisis tentang komitmen pada perubahan mengaitkan komitmen perubahan dengan karakteristik perubahan yang berorientasi pada pengembangan kapabilitas organisasi, iklim perubahan, dan partisipasi serta dengan mempertimbangkan kemampuan individu, yaitu keterbukaan pada perubahan. Berdasarkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana keterkaitan antara variabel-variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim pada perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada perubahan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji model teoretis yang menggambarkan keterkaitan antara variabel-variabel kapabilitas organisasi, iklim, dan partisipasi perubahan organisasi terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada perubahan. Berdasarkan hasil uji model yang
31
diperoleh, selanjutnya dapat dinyatakan besarnya kontribusi dari tiap-tiap variabel terhadap variabel lain yang berhubungan. Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini menyumbang model teoretis yang menggambarkan keterkaitan antara kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada perubahan. Konsep teoretis yang dihasilkan merupakan dukungan bagi perkembangan konsep-konsep tentang perubahan organisasi yang mendasarkan pada komitmen pada perubahan khususnya pada organisasi pendidikan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh organisasi pendidikan yang melakukan perubahan dengan menekankan komitmen pada perubahan. Khususnya bagi organisasi serta pihak pengelola perguruan tinggi, hasil penelitian ini dapat diimplementasikan agar tidak mengabaikan kondisi indvidu dalam merancang perubahan organisasi.
D. Keaslian Penelitian Sejauh ini dalam lingkup psikologi industri dan organisasi belum ditemukan penelitian komitmen pada perubahan dengan prediktor kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim pada perubahan dengan keterbukaan pada perubahan dalam konteks perguruan tinggi Islam. Penelitian mengenai komitmen pada perubahan tidak banyak ditemukan oleh peneliti karena sebagian besar penelitian mengenai komitmen difokuskan pada komitmen organisasi. Penelitian Peccei, Giangreco, dan Sebastiano (2011)
32
menjelaskan peran komitmen organisasi sebagai moderator keuntungan perubahan dengan resistansi pada perubahan; Ellias (2009) meneliti locus of control, kekuatan kebutuhan, dan motivasi kerja internal yang mediatornya adalah sikap pada perubahan dengan kriteria komitmen afektif; Meyer, Srinivas, Lal, Topolyntsky (2007) meneliti komitmen sebagai prediktor pada perilaku mendukung perubahan pada dua budaya berbeda, yaitu Kanada dan India; Herscovitch dan Meyer (2002) meneliti komitmen pada perubahan pengembangan dari komitmen organisasi; Swailes (2004) meneliti profil komitmen pada perubahan terkait dengan variabel demografis dan situasional; Vakola & Nikolau (2005) meneliti sikap anggota terhadap perubahan organisasi dengan komitmen organisai dan stress kerja; Lok & Crawford (1997) meneliti peran prediktor budaya organisasi, subbudaya, gaya kepemimpinan, dan kepuasan kerja dalam perubahan dan pengembangan organisasi; Hinduan, Evered, Moss, dan Scannell (2009) menganalisis hasil kerja berupa kepuasan kerja dan komitmen ditinjau dari gaya kepemimpinan dan keterbukaan pada perubahan pada bank yang mengalami penggabungan; Felfe dan Yan (2008) meneliti pengaruh budaya kolektif dan individual pada komitmen serta pengaruhnya pada perilaku kewarganegaraan dan keluar masuk karyawan dalam menghadapi meningkatnya globalisasi di tiga negara; Glazer, Daniel, dan Short (2004) meneliti perbandingan lintas budaya (Cross cultural) antara nilai-nilai manusia dan dua bentuk komitmen berkelanjutan (Continuance commitment) dan komitmen afektif (affective commitment) yang dikaitkan dengan keterbukaan pada perubahan (openness to change); Fedor, Caldwell, dan Herold (2006) meneliti dampak perubahan organisasi terhadap komitmen karyawan; Chawla dan Kelloway (2004) meneliti kemampuan prediksi keterbukaan dengan komitmen pada perubahan.
33
Selanjutnya adalah peneltian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi usaha dalam perubahan organisasi. Walker, Achilles, Armenakis, dan Bernerth (2007) meneliti variabel toleransi pada ketidakjelasan, perubahan keyakinan, sinisme, dikaitkan dengan komitmen, sinisme masuk pada konteks, perubahan keyakinan merupakan proses, toleransi pada ketidakjelasan masuk pada perbedaan individual, sedangkan variabel tergantungnya adalah komitmen afektif; Bouckenooghe, Devos, dan Van den Broeck (2009) meneliti desain dan evaluasi kuesioner tentang perubahan organisasi, iklim perubahan, proses dan kesiapan perubahan; Van Loon (2001) meneliti dengan menggunakan perspektif kualitatif studi kasus mengenai perubahan organisasi di suatu universitas di Ontario Kanada; Van Dam, Oreg dan Schyns (2008) meneliti peran LMX dan iklim perubahan (masuk dalam kategori konteks pekerjaan), dan karakteristik proses perubahan (di dalamnya terdapat informasi, partisipasi, dan kepercayaan pada manajemen) dengan individual karakteristik, yaitu keterbukaan pada perubahan terhadap resistansi pada perubahan organisasi; Bernerth, Armenakis, Field, Walker (2007) meneliti keadilan memprediksi sinisme;
orgnisasi, dan
masing-masing bentuk keadilan berinteraksi dengan sinisme untuk memprediksi perubahan komitmen; Devos, Buelens, dan Bouckenooghe (2008) meneliti kontribusi content, konteks, dan proses untuk memahami keterbukaan pada perubahan menggunakan metode eksperimen studi simulasi; Rafferty dan griffin (2006) meneliti persepsi perubahan organisasi menggunakan perspektif coping dan stress; Shapiro dan Jacqueline (1999) meneliti partisipasi anggota dan pengukuran intervensi perubahan organisasi, serta intervensi perubahan mengenai proses perubahan; Hornung dan Rousseau (2007) meneliti kontribusi pada otonomi saat bekerja dengan dukungan anggota pada perubahan organisasi;
34
Yuwono dan Putra (2005) mengenai faktor emosi dalam proses perubahan organisasi; Geller (2002) meneliti peran kepemimpinan pada resistansi pada perubahan; Berdasarkan review dari hasil penelitian terdahulu, belum ada penelitian di Indonesia, khususnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yang menganalisis faktor-faktor kapabilitas, iklim, dan partisipasi organisasi dalam membentuk komitmen pada perubahan organisasi dengan mediator keterbukaan pada perubahan (openness to change). Penelitian disertasi di Fakultas Psikologi UGM mengenai perubahan ditulis oleh Kaiman Turip mengenai resistensi pada perubahan di institusi pemerintah. Selain itu penelitian ini berusaha menghasilkan model teoritik yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi dan iklim perubahan, keterbukaan pada perubahan
dengan
komitmen
perubahan.
Komitmen
perubahan
mempertimbangkan orientasi budaya kolektif yang menjadi orientasi budaya di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada setting perubahan organisasi di sektor pendidikan yang saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan. Perbedaan lain dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menekankan komitmen pada perubahan yang hanya menggunakan satu dimensi komitmen, bukan tiga dimensi seperti pada penelitian komitmen pada perubahan sebelumnya. Konstrak yang digunakan sebagai landasan teoretis komitmen pada perubahan memberikan tekanan khusus pada perubahan diperoleh dari pengembangan komitm en organisasi umum. Aspek dan item-item pernyataan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Setting penelitian adalah pada kondisi perubahan yang memang secara alamiah sedang terjadi, dan dilakukan pada organisasi pendidikan.
35