BAB I PENGANTAR 1.1 Latar belakang Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan wilayah perdesaan dengan mata pencaharian mayoritas penduduk adalah di sektor pertanian. Tidak mengherankan apabila tenaga kerja pertanian merupakan tenaga tenaga kerja terbesar dengan jumlah mencapai 38,32 juta jiwa pada Februari 2012 atau 33,89% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya (Kementerian Pertanian, 2014). Namun sangat disayangkan, jumlah penduduk miskin di perdesaan menunjukkan angka yang sangat signifikan, jumlah penduduk miskin di perdesaan jumlahnya lebih banyak daripada di perkotaan, contohnya Tahun 2013 jumlah penduduk miskin di perkotaan 10,33 juta dan di perdesaan 17,74 juta (BPS, 2014). Pengentasan kemiskinan menjadi isu utama yang direkomendasikan UNWTO (United Nation Wold Tourism Organization), bekerjasama dengan pemerintah dan dengan keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan PBB mewujudkan MDG’s (Millenium Development Goals) untuk secara bertahap mengurangi kemiskinan secara komprehensif (Frangiali, 2006). PBB mencanangkan program MDG’s pada September 2000 dan menjadikan masalah kemiskinan dan aksi pengentasannya menjadi wacana dan agenda prioritas negara-negara di dunia, terutama yang ikut menandatangani deklarasi MDG’s. PBB menargetkan untuk dapat menghapuskan separuh jumlah penduduk miskin di dunia pada Tahun 2015. UNWTO, Badan PBB yang bergerak di
bidang
kepariwisataan,
dan
lembaga
terkait
lainnya
turut
pula
1
2
mengkampanyekan pariwisata sebagai salah satu alat untuk memerangi kemiskinan (Permanasari, 2011). Pariwisata seringkali dipandang sebagai salah satu sektor yang terkemuka dalam ekonomi dunia. Kalau sektor itu berkembang atau mundur maka banyak negara yang akan berpengaruh secara ekonomis (Spillane,1994:36). Kegiatan pariwisata pada hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat sementara, dilakukan secara sukarela, dan tanpa paksaan untuk menikmati obyek dan atraksi wisata. Dalam perkembangannya industri pariwisata mampu menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Beberapa negara dewasa ini telah mengembangkan pariwisata sampai ke desa-desa dengan memajukan potensi lokal. Pariwisata diharapkan dapat memberikan peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga lokal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Indonesia, pariwisata telah mendukung pencapaian hasil dan kemajuan yang ditunjukkan dengan meningkatnya penerima PDB (Produk Domestik Bruto). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa sektor pariwisata dan ekonomi kreatif masih menjanjikan prospeknya di masa mendatang terhadap pertumbuhan ekonomi tanah air. Berdasarkan data Kemenbudpar, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun 2014/2015 akan mencapai 8.637.275 wisman dengan pertumbuhan sebesar 7,37%, dibandingkan Tahun 2012 sebanyak 8,04 juta wisman. Tentunya, hal ini merupakan kabar baik bagi dunia pariwisata dan ekonomi kreatif, artinya sektor ini berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkembangan sektor pariwisata, penerimaan PDB dari pariwisata pada Tahun 2013 mencapai
3
Rp347,35 triliun, serta kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB yang mencapai Rp641,82 triliun. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif tercatat sebanyak 11,87 juta orang atau 10,72% (Budpar, 2014). Melihat besarnya peran dan konstribusi pariwisata bagi negara, banyak negara menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam perekonomian suatu bangsa. Meskipun telah terjadi beberapa peristiwa yang sempat memberikan implikasi negatif pada pariwisata, seperti adanya bencana tsunami dan gempa bumi yang memporakporandakan destinasi pariwisata, ancaman terorisme namun perlahan-lahan saat ini kepariwisataan di Indonesia berangsur-angsur pulih kembali. Pemulihan kembali kepariwisataan nasional tidak lepas dari usaha pemerintah untuk menjadikan pembangunan di bidang kepariwisataan sebagai salah satu cara dalam mengurangi kemiskinan. Pembangunan kepariwisataan tersebut salah satunya adalah pengembangan wisata yang mengikutsertakan komunitas lokal. Meskipun demikian, masih banyak pihak yang menyangsikan bahwa pengembangan kepariwisataan dapat memberikan kontribusi yang secara signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal. Paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan pun menjadi beragam, guna mengembangkan diversifikasi produk/paket. Wisata budaya menjadi salah satu yang diminati wisatawan, karena selain menikmati keindahan panorama alam, juga dapat menyaksikan keunikan tradisi masyarakat yang dikunjungi. Hal ini terkait dengan perkembangan kepariwisataan saat ini yang telah mengalami pergeseran, semula mass tourism menjadi special interest tourism (Adiwijaya, 2006).
4
Sejak zaman kolonial, orde lama, dan orde baru, masyarakat desa hanya diposisikan sebagai obyek bukan sebagai subyek pembangunan. Di era reformasi, menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan merupakan hal yang penting. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah perdesaan dengan jumlah penduduknya yang besar. Oleh karena itu menggali potensi desa dan sumber-sumber produksi yang selama ini ditelantarkan penting untuk diberdayakan. Dunia kepariwisataan sekarang cenderung untuk mengolah potensi daerah, terutama desa beserta strategi pemberdayaan masyarakatnya. Seperti dinyatakan Fandeli (2002), bahwa kebijakan pengembangan pariwisata daerah harus didasarkan pada paradigma yang berkembang di daerah, maka logis jika ada semacam kehendak untuk menempatkan desa yang berpotensi dan memiliki sumber-sumber
produksi
sebagai
landasan
strategisnya,
sekaligus
memberdayakan masyarakatnya. Strategi pemerintah dalam pembangunan kepariwisataan pada program pengembangan destinasi pariwisata, difokuskan pada pengembangan desa wisata melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Salah satu konsep pengembangan pariwisata adalah pariwisata berbasis masyarakat atau community-based
tourism
(CBT),
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
pemberdayaan masyarakat di perdesaan melalui PNPM Mandiri bidang pariwisata, tepatnya melalui Bantuan Desa Wisata. Harapan pemerintah kesejahteraan
masyarakat
kepariwisataan di desa wisata.
dapat
ditingkatkan
melalui
pembangunan
5
Desa wisata merupakan sebuah kawasan perdesaan yang memiliki keunikan dan karakteristik khusus untuk menjadi destinasi wisata, yaitu: lingkungan bernuansa alami, tradisi dan budaya masih dipegang masyarakat, makanan khas, sistem pertanian dan sistem kekerabatan. Desa wisata sebagai daerah tujuan wisata tentu perlu ditunjang dengan fasilitas yang memadai bagi para wisatawan. Fasilitas tersebut yaitu: penginapan/homestay, sehingga wisatawan benar-benar merasakan suasana keseharian perdesaan dengan apa adanya, restoran/warung makan, arena aktivitas di alam/outbound facility serta berbagai kemudahan bagi wisatawan. Makin beragamnya pilihan keinginan wisatawan, kesadaran akan pelestarian lingkungan, isu pemanasan global, menjadikan para pelaku pariwisata melirik pada konsep back to nature. Wisata perdesaan sebenarnya suatu bentuk pariwisata minat khusus yang dikemas secara komprehensif sehingga para wisatawan dapat berinteraksi secara lengkap baik dengan alam lingkungan maupun dengan masyarakat sekitar termasuk juga budaya dan tradisi di dalamnya. Wisatawan dapat melihat dan merasakan langsung nilai-nilai kearifan lokal yang masih terasa denyutnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kearifan tersebut
yaitu:
gotong-royong,
upacara
wiwit,
sambatan/rewang,
kenduri/slametan, dolanan bocah, kesenian tradisional, ngluku/membajak sawah dengan sapi dan sebagainya. Tentu agar pengunjung desa wisata betah, sangat dibutuhkan keterlibatan partisipasi aktif masyarakat lokal agar terjamin keberlangsungan kegiatan pariwisata di desa wisata. Dengan demikian, konsep pariwisata perdesaan adalah menawarkan harapan kehidupan yang lebih baik bagi
6
masyarakat lokal, dengan cara meningkatkan partisipasi aktif masyarakat serta mendorong pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan yang ditujukan kepada pengunjung desa wisata. Pengembangan desa wisata harus memperhatikan tingkat kemampuan dan tingkat penerimaan masyarakat setempat yang akan dikembangkan menjadi desa wisata tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui karakter dan kemampuan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan desa wisata, menentukan jenis dan tingkat pemberdayaan secara tepat. Untuk mengetahui penerimaan masyarakat terhadap kegiatan pengembangan desa wisata maka pengembangan desa wisata haruslah: 1) Tidak bertentangan dengan adat istiadat budaya masyarakat setempat; 2) Pembangunan fisik yang diajukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan desa; 3) Memperhatikan unsur kelokalan dan keaslian; 4) Memberdayakan masyarakat desa; 5) Memperhatikan daya dukung dan daya tampung serta berwawasan lingkungan (Ditjenpar, 1999:9). Tentunya perkembangan industri wisata dalam hal ini desa wisata mempunyai implikasi bagi ekonomi suatu wilayah, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, pemerataan kesempatan kerja, serta peningkatan peningkatan pendapatan daerah. Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang sukses dalam pengembangan desa wisata (Kompas, 4 Maret 2013). Salah satu kabupaten yang sukses dalam pengembangan desa wisata adalah Kabupaten Bantul (Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 2014). Desa wisata di Kabupaten Bantul antara lain Desa Wisata Wukirsari, Desa Wisata Karang Tengah, Desa Wisata Candran, Desa Wisata Krebet, Desa Wisata Lopati, dan lain-lain (http://disbudpar.bantulkab.go.id). Tiap
7
desa wisata memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan desa wisata lainnya. Salah satu desa wisata di Kabupaten Bantul adalah Desa Wisata Kebonagung, status Kebonagung sebagai desa wisata telah ditetapkan dengan Keputusan Bupati Bantul Nomor 359 Tahun 2006 tanggal 16 Desember 2006. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak dilakukan evaluasi terhadap desadesa wisata tersebut, sejak mulai ditetapkan sampai dengan perkembangannya. Desa Wisata Kebonagung merupakan salah satu desa yang memperoleh dana proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dari Tahun 2009 sampai 2011. Penelitian ini mencoba mengetahui implikasi pengembangan desa wisata terhadap suatu desa, utamanya dalam memberikan peningkatan ketahanan ekonomi kepada masyarakat lokal, melalui pemberdayaan desa wisata. Peneliti mengambil sampel Desa Wisata Kebonagung, karena telah menjadi desa wisata sejak tahun 2006 (8 tahun) sehingga terdapat data yang dapat dianalisis. Desa Kebonagung memiliki luas area persawahan 10 hektar sehingga
sangat
menunjang wisata pertanian seperti pembelajaran cara membajak sawah, menanam dan menyiangi padi. Potensi lainnya yang ikut dipromosikan antara lain keberadaan Bendung Tegal dengan wisata air (mendayung dengan perahu naga, cano dan sampan), kerajinan (belajar membuat gerabah, anyaman bambu, membatik kain maupun kayu), budaya dan seni (karawitan, rias janur, laras madya, wayang kulit, campur sari, jatilan, seni tradisional lainnya seperti kenduri, wiwitan dan saparan), makanan tradisional (membuat tempe, apem, emping mlinjo), ngenger (mengikuti kegiatan keseharian penduduk desa), outbond (flying
8
fox, jaring laba-laba, titian goyang, permainan beregu dan bola bambu) dan api unggun. 1.2 Permasalahan Penelitian Hakikatnya, tujuan dari
pembangunan pariwisata adalah untuk
mensejahterakan masyarakat. Melalui pemberdayaan masyarakat desa wisata, social capital masyarakat dikembangkan sebagai kekayaan desa sehingga menarik bagi wisatawan. Pemberdayaan masyarakat melalui desa wisata di Desa Kebonagung telah dilakukan sejak Tahun 2006. Setelah menjadi desa wisata apakah pelaksanaannya
memberikan implikasi bagi ketahanan ekonomi
masyarakat, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata di Desa Kebonagung? 2. Bagaimana implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terhadap ketahanan ekonomi keluarga masyarakat Desa Kebonagung? 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian tentang Desa Wisata Kebonagung pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu: 1. Suyanto (2012), “Kualitas Peran dan Kapasitas Keterlibatan Masyarakat Sebagai Faktor Pendukung Keberdayaan Masyarakat Kasus Desa Wisata Kebonagung, Kabupaten Bantul, DIY”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan langsung dengan tingkat pemahaman, kapasitas, dan peran masyarakat dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, rendahnya pemahaman,
9
kapasitas, dan peran masyarakat menunjukkan rendahnya tingkat keberdayaan masyarakat secara ekonomi. Jenis arahan peningkatan peran dan keterlibatan masyarakat yang memungkinkan di Desa Wisata Kebonagung meliputi sosialisasi sadar wisata, pendampingan secara berkala dari instansi yang terkait dan penawaran kerja sama dengan pihak swasta. 2. Aryanti (2013), “Analisis Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Terhadap Strategi Pemasaran dan Pelayanan Di Desa Wisata Kebonagung, Imogiri, Bantul”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas SDM Desa Wisata Kebonagung rendah, kreativitas kurang, pengalaman dan pengetahuannya di bidang teknologi sangat terbatas. Dengan menggunakan analisa sederhana melalui pengamatan, wawancara dan lain-lain diketahui bahwa ada pengaruh antara kualitas SDM dengan strategi pemasaran dan pelayanan. Strategi pemasaran yang selama ini sudah dilakukan oleh Desa Wisata Kebonagung adalah pemasaran melalui brosur atau leaflet, selebihnya pemasaran hanya dilakukan dari mulut ke mulut oleh wisatawan yang pernah berkunjung ke Desa Wisata Kebonagung. Di dunia mayapun Kebonagung dipromosikan oleh wisatawan yang pernah berkunjung bukan dari pengelola Desa Wisata Kebonagung sendiri, karena pengelola tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang IT. Kualitas SDM sangat berpengaruh dalam strategi pemasaran dan pelayanan suatu desa wisata. Kualitas SDM pengelola Desa Wisata Kebonagung tergolong rendah sehingga strategi pemasaran dan pelayanannya pun sulit berkembang, karena minimnya pengetahuan yang
10
mereka miliki, sehingga tidak adanya inovasi yang coba dibuat dalam strategi pemasaran dan pelayanan Desa Wisata Kebonagung sendiri. 3. Rosida (2014), “Mekanisme Bekerjanya Modal Sosial dalam Mengembangkan Desa Wisata Candran Sebagai Sarana Peningkatan Pendapatan Masyarakat (Studi di Desa Wisata Candran, Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial pada masyarakat di Desa Wisata Candran muncul secara perlahan dan bertahap yang berasal dari masyarakat sehingga menimbulkan partisipasi masyarakat yang kuat. Penyebab kemunculan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: a. faktor kewilayahan karena adanya rasa senasib sepenanggungan sebagai korban pasca gempa; b. faktor ekonomi di mana masyarakat ingin meningkatkan pendapatan; c. faktor sosial di mana masyarakat ingin menyelesaikan permasalahan secara bersama; d. faktor budaya di mana masyarakat ingin mempertahankan Budaya Jawa dan tradisi tani yang sudah memudar. Tipe
modal
sosial
masyarakat
yang
ada
dan
bekerja
dalam
pengembangan Desa Wisata Candran yakni: a. kepercayaan yang tinggi terhadap sesama masyarakat khususnya yang tergabung dalam pengelola Desa Wisata Candran; b. adanya partisipasi aktif dari masyarakat;
11
c. adanya sikap timbal balik kebaikan (reciprocity) antar masyarakat bahkan hingga pihak luar; d. memiliki jaringan kemitraan yang luas dan kuat, baik jaringan internal maupun jaringan eksternal; e. memiliki konsistensi terhadap nilai dan norma yang relatif stabil. Kesemua tipe modal sosial tersebut tumbuh dan berkembang hingga memobilisasi masyarakat
untuk
mengembangkan
Desa
Wisata
Candran
hingga
mendatangkan wisatawan domestik dan mancanegara ke wilayahnya. Berdasarkan hasil analisis, maka kendala-kendala yang melemahkan modal sosial harus diantisipasi oleh berbagai pihak dengan mengadakan pelatihan, pendampingan hingga bantuan agar modal sosial yang ada pada masyarakat di Desa Wisata Candran tetap tumbuh dan berkembang. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat sebagai salah satu poros penting di dalam pengembangan pariwisata terabaikan. Pengambilan keputusan yang bersifat top-down dan pemahaman yang rendah terhadap pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diduga merupakan salah satu faktor penyebabnya. Partisipasi yang interaktif antara masyarakat lokal dan pemerintah hampir tidak terwujud, apalagi keinginan masyarakat untuk melakukan partisipasi dengan kekuatan sendiri tampaknya jauh dari harapan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka menganalisis pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan ekonomi keluarga dengan tujuan:
12
1. Mengetahui pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata di Desa Kebonagung; 2. Mengetahui implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terhadap ketahanan ekonomi keluarga masyarakat Desa Kebonagung. Manfaat penelitian ini: 1. Bagi pemerintah: diharapkan dapat bermanfaat bagi penentu kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bantul untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata, utamanya untuk mengurangi kemiskinan yang ada di desa. 2. Bagi lembaga swadaya masyarakat maupun swasta: diharapkan sebagai bahan masukan yang ikut turut serta dalam membangun desa melalui desa wisata dan bagi masyarakat Kebonagung sebagai bahan evaluasi untuk pengembangan desa wisata. 3. Bagi dunia pendidikan: sebagai bahan acuan bagi penelitian sejenis dan bahan perbandingan bagi pengembangan desa wisata sejenis di tempat lainnya.