BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Dilihat dari indeks mutu hidup masyarakat, kemampuan, serta pengetahuan masyarakat yang belum mencukupi di bidang kesehatan, dapat dikatakan sebagian besar masyarakat terutama di daerah pedesaan masih di bawah standar. Secara umum masyarakat masih lebih bersikap penyembuhan dibanding pencegahan (imunisasi). Melihat fenomena tersebut, maka Dinas Kesehatan sebagai lembaga pelayanan masyarakat (public service) di bidang kesehatan sudah semestinya sangat intensif dalam rangka mensukseskan kebijakan pemerintah. Salah satu paradigma populis saat ini adalah health for all, bahwa pelayanan kesehatan sebagai jasa publik harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya untuk kelompok tertentu. Oleh karena kesehatan sebagai kebutuhan dasar masyarakat, lembaga jasa penyedia jasa kesehatan sudah seharusnya memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat (Mardiasmo, 2002: 74). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan salah satu lembaga di bawah koordinasi Dinas Kesehatan yang langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Pelayanan RSUD yang optimal sangat dibutuhkan masyarakat, dengan melihat realitas bahwa masyarakat semakin kritis untuk mendapatkan fasilitas publik, terlebih bilamana dibandingkan dengan besarnya biaya yang dibayarkan.
1
2
RSUD khususnya, mempunyai tugas pokok melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan sebagai upaya rujukan bagi masyarakat. Perkembangan penduduk dan dengan ragam penyakit yang saat ini, memberikan fenomena terjadi rasio yang tidak sebanding bahwa. 1.
Lembaga kesehatan (puskesmas atau pustu, poliklinik atau balai pengobatan) di masing-masing kecamatan melayani rata-rata 5.000 – 10.000 pasien. Asumsinya seorang dokter (PNS/PTT) memiliki proporsi melayani 16.650 ribu jiwa.
2.
Ragam penyakit yang berkembang memiliki signifikasi terhadap permintaan pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih modern.
3. Alat kesehatan yang dimiliki suatu rumah sakit tipe atau golongan tertentu relatif sudah usang, tidak sebanding dengan dengan yang dibutuhkan tenaga medis, dan permintaan standar pelayanan kesehatan. 4. Penambahan biaya perawatan yang bagi masyarakat sesuai dengan peningkatan klasifikasi rumah sakit, sebagai upaya untuk memenuhi kapasitas pelayanan yang optimum. Masyarakat saat ini menghendaki biaya yang relatif murah untuk biaya pengobatan, dan nampaknya fenomena tersebut direspon dengan beberapa pemimpin pemerintahan di daerah. Beberapa calon kepala daerah dan kepala daerah semakin giat membagikan ‘kartu
sehat’ bagi warga kurang mampu
khususnya untuk berobat gratis di rumah sakit terutama ke puskesmas dan rumah
3
sakit milik pemerintah. Hal demikian sebagai bagian responsibilitas kepada masyarakat, agar mendapat pelayanan kesehatan dengan biaya minimal, dengan pelayanan kesehatan maksimal. Dari fenomena biaya yang harus dianggarkan untuk warga masyarakat pemegang kartu jaminan kesehatan, secara langsung akan mengurangi pendapatan rumah sakit. Padahal pendapatan terutama rumah sakit daerah, baik yang sudah Badan Layanan Umum ( BLU ) atau pun belum, selain dari bantuan APBD pendapatan tergantung dari biaya pengobatan dari pasien yang ditangani. Dengan kondisi tersebut tentunya anggaran merupakan kendala dalam peningkatan kesehatan terhadap masyarakat, terutama untuk membeli alat baru dan memelihara alat kesehatan yang sudah dimiliki yang sebanding dengan semakin beragamnya dan berkembangnya jenis penyakit yang dialami masyarakat. Alat kesehatan yang dalam suatu RSUD tidaklah hanya dengan beragam alat yang baru yang demikian mahal harganya, akan tetapi juga keseluruhan alat kesehatan yang terjaga perawatannya melalui intensitas pengujian (kalibrasi), sesuai ketentuan yang dipersyaratkan sesuai Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berdasarkan undang-undang tersebut, bahwa pemeliharaan peralatan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan rumah sakit. Anggaran rumah sakit harus disediakan selain untuk perawatan aktiva tetap, juga untuk perawatan alat kesehatan yang dimiliki. Bilamana untuk melakukan pembelian alat kesehatan yang paling modern bagi RSUD tidaklah memungkinkan, karena adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki. Demikian juga bagi RSUD berstatus Badan Layanan Umum (Daerah)
4
atau BLUD sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Saat ini Rumah Sakit yang berstatus BLU(D) merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan status tersebut rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang terkendali dengan berujung pada kepuasan pasien. Menurut
Peraturan pemerintah tersebut
Badan
Layanan
Umum
merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tanpa terkecuali rumah sakit, dalam pengelolaannya dituntut untuk memberikan pelayanan masyarakat secara maksimal tanpa berorientasi mencari keuntungan. Namun di sisi lain rumah sakit dituntut untuk melaksanakan prinsip efisiensi dan produktif. Rumah sakit menurut tata perundangan tersebut, anggaran pendapatan tergantung dari APBD, hibah dan biaya pengobatan yang diterima dari masyarakat. Sementara penerimaan dari layanan masyarakat yang cenderung menurun, prioritas pendapatan tergantung dari besaran hibah dan APBD. Atas fenomena tersebut anggaran dan biaya merupakan masalah yang kompleks, karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit pemerintah baik tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat, dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya
5
kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa di negara sedang berkembang hampir lebih dari 50 persen peralatan kesehatan yang dimiliki tidak berfungsi. Malfungsi dari perlatan kesehatan rumah sakit atau lembaga pelayanan disebabkan oleh kurangnya perawatan. Melihat fenomena tersebut, Undangundang tentang kesehatan dan peraturan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan mewajibkan pengelola fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan perawatan pada sarana, dan prasarana yang digunakan guna meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Pemeliharaan alat kesehatan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh rumah sakit, sebagai standar pelayanan baku bagi masyarakat. Aspek pemeliharaan tersebut yang umumnya dikenal sebagai kalibrasi dapat dilakukan oleh penyedia alat kesehatan, maupun oleh tenaga internal rumah sakit. Namun kebanyakan rumah sakit baik swasta maupun milik pemerintah tidak melakukan proses tersebut, baik yang dilakukan oleh penyedia jasa maupun pihak inrternal. Hal tersebut dikarenakan minimnya anggaran dan ketersediaan tenaga ahli untuk perawatan tersebut yang kurang. Berdasarkan Laporan Balai Pemeriksa Fasilitas Kesehatan (BPFK) pada tahun 2004, dari keseluruhan rumah sakit yang ada di di Jakarta yang berjumlah 92, hanya 20 persen
atau 19 Rumah sakit yang
6
melaksanakan proses kalibrasi terhadap alat kesehatan yang dimilikinya. Akibatnya alat medis tidak dikalibrasi berisiko pada masalah kesehatan yang dialami oleh pasien (Pusat Data dan Informasi PERSI, 2005). Herman (2009: 2) Kendala dalam pelaksanaan pengujian dan kalibrasi rumah sakit nampaknya tidak hanya pada masalah alokasi anggaran tetapi terletak pada perilaku sumber daya manusia.
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada
umumnya melakukan penelitian dari segi anggaran untuk pemeliharaan, tetapi belum banyak melakukan analisis perilaku pemeliharaan alat kesehatan. Perilaku memelihara alat kesehatan yang mahal harganya tidak kalah pentingnya dibanding pengeluaran biaya untuk memperpanjang umur dan fungsi alat serta dapat mengurangi biaya. Umumnya pemeliharaan alat kesehatan di lingkungan BLU hanya terfokus pada aspek biaya, hal demikian yang terjadi di rumah sakit milik pemerintah, pegawai rumah sakit umumnya sebagai PNS, seringkali kurang memahami akan pentingnya pemeliharaan alat kesehatan oleh karyawan. Berdasarkan asumsi tersebut penulis melakukan studi secara mendalam untuk melakukan analisis pemeliharaan alat yang dilakukan oleh pegawai rumah sakit milik pemerintah. Rumah Sakit Umum Daerah milik Pemerintah Kabupaten Jombang berstatus menjadi Rumah Sakit Type B Non Pendidikan berdasarkan SK MenKes No. 238/Menkes-Kesos/SK/III/2001, tertanggal 23 Maret 2001. Namun sejak tahun 2009 Rumah Sakit Umum Daerah Jombang status pelayanannya berubah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
7
Seperti halnya rumah sakit milik pemerintah umumnya, faktor karyawan merupakan permasalahan yang utama, selain berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang relatif kurang adaptif terhadap lingkungan ekonomi yang demikian cepat berubah dengan orientasi bisnis, aspek normatif sebagai birokrasi masih melekat dalam aspek keorganisasian. Untuk merubah kultur organisasi rumah sakit pemerintah agar berorientasi bisnis, seperti Badan Layanan Umum (BLU) membutuhkan penanganan manajemen yang lebih intensif.
1.2 Keaslian Penelitian 1. Bowo Bunyamin, (2003) Pelaksanaan Kalibrasi Alat Kesehatan di RSCM, Jakarta dan Pemecahannya. Ketepatan (accuracy) dan ketelitian (precision) alat kesehatan hanya ditunjukkan dari kegiatan kalibrasi yang benar, dan dibuktikan melalui hasil pengukuran, demikian juga alat kesehatan baru. Dengan melaksanakan kegiatan tersebut diatas akan didapat tersedianya Alat Kesehatan yang aman, bermutu dan bermanfaat. Suatu penelitian crosssectional telah dilaksanakan di RSCM dan ditunjang oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan, Pusat Standardisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi BATAN dan Penyalur Alat Kesehatan sebagai pelaksana kalibrasi. Hasil penelitian dari wawancara terhadap 16 responden, dengan keabsahannya melalui triangulasi sumber menunjukkan kebijakan kalibrasi alat kesehatan di RSCM didasarkan pada mata anggaran No.350, dengan pelaksanaannya dipercayakan kepada Penyalur Alat Kesehatan untuk alat canggih yang ada di ICU dan Radiologi, Pusat Standardisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi
8
BATAN untuk alat yang mengandung bahan radiasi dan pesawat radioterapi dan alat kesehatan yang sederhana dilakukan sendiri oleh Instalasi Pemelihara Sarana RSCM. 2
Angkasawati, dkk. (2005) Mengkaji pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan alat kesehatan Rumah Sakit dan Puskesmas di beberapa kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah, menunjukkan proses perencanaan pengadaan peralatan di rumah sakit berdasarkan analisis kebutuhan secara klinis dengan studi kelayakan dan sesuai dengan kebijakan, namun tidak sesuai dengan spesifikasi alat yang dibutuhkan. Perhitungan tarif seringkali berdasar tarif kompetitor, sehingga komponen biaya pemeliharaan tidak diperhitungkan, sehingga penggunaaan alat tidak efisien. Data biaya-biaya pemeliharaan yang tidak terkoordinir pada satu pintu pengelolaannya menyebabkan data tidak bisa dikumpulkan untuk menghitung efisiensi dan mengidentifikasi kebutuhan optimal pemanfaatan alat dan pemeliharaannya. SOP pemanfaatan dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur tetapi SOP pemeliharaan kurang sesuai dengan prosedur. Pengetahuan petugas operator alat tentang pemeliharaan dan pemanfaatan alat kesehatan dan sarana penunjangnya masih kurang. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu perencanaan biaya pemeliharaan dan perbaikan serta kalibrasi alat kesehatan dan sarana penunjangnya dan perlu adanya pemisahan antara inventarisasi data peralatan medik dan non medik.
3
Herman,
(2009)
penelitian tentang dampak buruk alat kesehatan yang
digunakan untuk pasien, baik alat kesehatan yang berisiko tinggi maupun berisiko rendah atas alat kesehatan yang digunakan kepada pasien. Alat
9
kesehatan tersebut baik yang berupa alat kesehatan sekali pakai (disposible syringe) atau pun yang berulang yang berasal dari dalam dan luar negeri dan yang telah didaftarkan di Departemen Kesehatan. Kejadian efek samping alat kesehatan terutama cara penggunaan yang tidak sesuai dengan petunjuk telah banyak dipublikasi di media massa, namun kurang endapat perhatian baik dari pemerintah, maupun dari intitusi yang menggunakan, sehingga mengalami banyak
kerugian.
Penyebabnya
diantaranya
dikarenakan
kesalahan
penggunaan (user error) maupun tidak berfungsinya alat kesehatan (mal function) alat kesehatan sebagaimana mestinya, seperti menstruation inducer untuk aborsi, toxic shock syndrome pada penggunaan yang mengakibatkan pendarahan, inflamasi atau terbakar akibat radio terapi, kerusakan organ karena rontgen, dan terapi isotop pada petuas/terapist yang jarang dilaporkan. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional di RS Jiwa, RS Haji dan RSUD di Jakarta, Jawa Barat, Surabaya dan Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan: terdapat beberapa alat kesehatan yang berisiko dan terdapat efek samping yang ditimbulkan; perlunya sistem pelaporan periodik bagi RS yang menggunakan alat kesehatan yang berisiko; perlunya umpan balik dari masyarakat; pengelolaan pengawasan dilakukan oleh Setjend Bina Alat Kesehatan oleh Departemen Kesehatan RI: drfat bentuk model pencatatan dan pelaporan alat kesehatan. 4. Irma Estiyani, (2010) penelitian ini melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pemeliharaan alat kesehatan di RSUD Dr Soewondo Kendal. Dependen variabel adalah biaya pemeliharaan alat
10
kesehatan, sedangkan sebagai independen variabel adalah umur alat kesehatan, frekuensi pemakaian, frekuensi kalibrasi dan pelatihan operator alat kesehatan. Alat analisis yang digunakan adalah regresi data panel dengan metodi fix effect dan analisis deskriptif. Penggunaan analisis data adalah untuk menganalisis faktor-faktor penting yang mempengaruhi biaya pemeliharaan alat kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa variabel frekuensi pemakaian dan pelatihan operator alat kesehatan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap biaya pemeliharaan alat kesehatan. Frekuensi kalibrasi berpengaruh negatif atau tidak memiliki pengaruh terhadap biaya pemeliharaan alat kesehatan. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan beberapa penelitian di atas, yaitu tentang pemeliharaan alat kesehatan atau kalibrasi. Membedakan penelitian adalah, bahwa penelitian memfokuskan pada skope analisis perilaku pegawai, terutama pegawai rumah sakit yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dalam melaksanakan pemeliharaan alat kesehatan dan mengukur kinerjanya. Sebagai batasan masalah dalam penelitin ini adalah identifikasi persepsi perilaku pegawai terhadap arti pentingnya pemeliharaan alat kesehatan yang digunakan untuk menunjang pekerjaan dan persepsi kinerja
pelaksanaan
pemeliharaan alat kesehatan yang dilakukan oleh para pegawai rumah sakit RSUD di Jombang dengan menggunakan Importance Performance Analysis, (IPA).
11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian 1. Mengidentifikasi tingkat arti penting (importance) dan kinerja (performance) pelaksanaan faktor-faktor kunci keberhasilan pemeliharaan alat kesehatan RSUD Jombang. 2. Untuk mengetahui hubungan antara variabel pentingnya pelaksanaan dengan kinerja pelaksanaan pemeliharaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang. 1.3.2 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat yang berarti yaitu. 1. Bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah Kabupaten Jombang. 2. Sebagai tambahan pengetahuan dari bidang praktisi Rumah Sakit yang sangat berharga untuk disinkronkan dengan pengetahuan teoritis yang diperoleh.
1.4 Sistematika Penulisan Penelitian disusun sestimatis yang terdiri dari 4 (empat) bab : Bab I Merupakan Pengantar, pada bab ini memuat tentang latar belakan, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistimatika penulisan. Bab II merupakan tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis. Bab III merupakan
12
dari cara penelitian, batasan dan definisi operasional dan hasil analisis data. Bab IV merupakan kesimpulan dan saran.