BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya menyediakan sarana pelayanan kesehatan seperti farmasi komunitas sebagai sarana distribusi secara langsung dalam
menyalurkan
perbekalan
farmasi
kepada
masyarakat.
Semakin
meningkatnya jumlah masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri menuntut seorang apoteker yang bekerja pada farmasi komunitas untuk lebih menjalankan fungsinya (Atmini, 2010). Apoteker merupakan bagian dari profesi kesehatan yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas hidup pasien serta memiliki tanggung jawab dalam penggunan obat oleh pasien. Oleh karena itu, profesi apoteker memiliki tanggung jawab sosial dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat, dengan tujuan mencegah dan memastikan keamanan maupun keefektifan obat secara individu (Martin dkk., 2004). Beban pendidikan akademik yang tinggi mengharuskan seorang apoteker memegang tanggung jawab dalam menjalankan pelayanan kesehatan lebih dari sekedar yang mereka lakukan sekarang
(van
Mil
dkk.,
2004)
yakni
dengan
mengimplementasikan
pharmaceutical care. Konsep pharmaceutical care pada awalnya dimulai pada tahun 1990 di Amerika Serikat, oleh Hepler dan Strand didefinisikan sebagai jawaban dari
1
2
penyediaan terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu dalam meningkatkan
kualitas
hidup
pasien.
Pharmaceutical
care
dapat
juga
didefinisikan sebagai penggunaan pengetahuan khusus oleh apoteker untuk pasien dalam mendukung terapi yang aman dan efektif (Cipolle dkk., 1998). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027 tahun 2004, pelayanan kefarmasian merupakan tanggung jawab langsung apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasiannya dengan tujuan utama meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes, 2004). Pharmaceutical care dianggap sebagai model untuk pelayanan apoteker di masa mendatang karena tidak ada lagi masa depan bagi apoteker dari sebatas kegiatan dispensing karena kegiatan dispensing akan diambil alih oleh mesin atau teknisi terlatih (van Mil dkk, 2004). Oleh karena itu, dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma peran profesi apoteker yang semula hanya pada drug oriented, sekarang mulai digalakkan konsep pharmaceutical care yang mengacu pada patient oriented (Hepler dan Strand, 1990). Di Swedia, model pharmaceutical care seperti konseling apoteker telah dikembangkan untuk membantu apoteker mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan obat, sehingga hal tersebut dapat memicu motivasi, pengembangan pendekatan dan strategi di negara lain (Faris dkk., 2005). Organisasi apoteker nasional Jerman, Federal Union of German Associations of Pharmacists (ABDA) juga mengembangkan pharmaceutical care di Jerman ejak awal 1990. Beberapa penelitian dan program telah menunjukkan bahwa pharmacetical care layak diterapkan dalam praktik farmasi komunitas di Jerman
3
dan pasien mendapatkan manfaat dari implementasi pharmaceutical care (van Mil dkk., 2006). Di Indonesia sendiri sebanyak 80% apoteker yang bekerja di Farmasi komunitas (Sampurno, 2010). Farmasi komunitas merupakan bagian penting dalam praktik kefarmasian. Hal tersebut didukung dengan penelitian pada farmasi komunitas di Surabaya yang menunjukkan 70% dari mereka menyadari pentingnya diterapkan pharmaceutical care dalam praktik sehari-hari namun masih terhambat oleh kurangnya pemahaman apoteker terhadap konsep pharmaceutical care (Wibowo, 2008). Di Indonesia, Menteri Kesehatan membuat Keputusan nomor 1027 tahun 2004, sebagai standar pelayanan kefarmasian di apotek atau farmasi komunitas sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan tugas profesi. Beberapa penelitian juga mengacu pada peraturan tersebut yang menyatakan bahwa apoteker di Indonesia yang bekerja di apotek atau farmasi komunitas belum melaksanakan praktik kefarmasian dengan baik. Hal tersebut dilihat dari contoh pelayanan kefarmasian apoteker di kota Yogyakarta yakni hanya 21% apoteker yang melaksanakan standar pelayanan kefarmasian dengan baik (Atmini, 2011). Keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 yang seharusnya memperbaiki praktik kefarmasian hingga kini belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak kemajuan yang telah dicapai sejak pengenalan pharmaceutical care pada tahun 1990 tetapi masih ada hal yang menghambat pharmaceutical care (Martin dkk., 2004). Hal tersebut yang mendorong banyak
4
penelitian yang sekarang mengarah pada fasilitator implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas (Gastelurrutia dkk., 2005). Di Spanyol terjadi pergeseran dalam penelitian yakni penelitian tentang faktor lain yang dapat mempercepat pharmaceutical care atau yang disebut fasilitator. Fasilitator dianggap sebagai elemen yang dapat membantu apoteker dalam mengatasi hambatan dan bertindak sebagai perubahan. Masih sedikit penelitian yang difokuskan pada fasilitator. Oleh karena itu, penelitian di Spanyol berupa identifikasi dan analisis fasilitator dalam melaksanakan pharmaceutical care pada farmasi komunitas dan juga bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai fasilitator untuk perubahan praktek kefarmasian (Gastelurrutia dkk., 2009). Di Spanyol, telah diidentifikasi fasilitator-fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care, antara lain meningkatkan pendidikan klinis, perubahan sikap apoteker, memberikan gambaran masa depan profesi apoteker yang lebih jelas, perubahan sistem organisasi profesi, mengubah sistem perguruan tinggi agar mengurangi kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan apoteker dalam menjalankan praktik keprofesiannya, meningkatkan permintaan pasien akan pharmaceutical care, meningkatkan hubungan apoteker dengan dokter, dan remunerasi (Gastelurrutia dkk., 2009). Fasilitator yang telah diindentifikasi di Indonesia seperti, perlunya peningkatan pendidikan, pelatihan, hubungan apoteker dengan dokter, adanya sistem remunerasi, dan tanggung jawab organisasi profesi menjadi fasilitator yang terpenting (Wibowo, 2008).
5
Perubahan
pada
fasilitator
sikap
apoteker
diidentifikasi
sebagai
fasilitator penting di Spanyol. Masih banyak apoteker yang belum percaya bahwa pharmaceutical care dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat (Gastelurrutia dkk., 2009). Pergeseran paradigma dalam sikap apoteker akan sangat membantu implementasi pharmaceutical care, didukung oleh temuan dari penelitian oleh Aguas (2005), yang menunjukkan bahwa 30% dari apoteker di Spanyol tingkat pengetahuan tentang pharmaceutical care masih berada pada tahap bawah. Oleh karena itu, penelitian digunakan untuk mengetahui pengaruh fasilitator terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, dengan mengetahui pengaruh fasilitator secara mendalam diharapkan dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Seperti apakah pengaruh fasilitator (hubungan apoteker dengan dokter,
kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker) terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman?
6
2. Fasilitator
apakah yang paling mempengaruhi sikap apoteker untuk
mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman?
C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh fasilitator berupa hubungan apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. 2. Mengetahui fasilitator yang paling mempengaruhi sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
D. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa: 1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai fasilitator implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. 2. Memberikan masukan kepada organisasi profesi apoteker yaitu Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk mempercepat implementasi pharmaceutical care.
7
3. Memberikan masukan kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk memaksimalkan tenaga kesehatan khususnya apoteker dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. 4. Memberikan pengetahuan dan pembelajaran bagi peneliti agar dapat lebih memahami fasilitator implementasi pharmaceutical care.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Pharmaceutical Care Pharmaceutical care menurut Hepler dan Strand (1990) merupakan jawaban dari penyediaan terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care didasarkan pada hubungan antara pasien dan apoteker yang bertanggung jawab terhadap pasien. Konsep tersebut mengharuskan partisipasi aktif dari pasien untuk ikut mengambil keputusan dalam terapi obat. Menurut Keputusan nomor 1027 tahun 2004, pelayanan kefarmasian merupakan tanggung jawab langsung apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasiannya dengan tujuan utama meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes, 2004). Profesi apoteker dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma peran profesi apoteker semula hanya pada drug oriented, sekarang mulai digalakkan dengan mengacu pada pharmaceutical care (Hepler dan Strand, 1990), sehingga pharmaceutical care dapat meningkatkan peran apoteker dan ikut menentukan outcome pasien (Berenguer dkk., 2004). Pada tahun 1993 FIP menyatakan secara resmi bahwa pharmaceutical care pada farmasi komunitas
8
standar profesionalisme apoteker. Implementasi pharmaceutical care di Indonesia didukung dengan adanya Peraturan nomor 1027 tahun 2004, sebagai standar pelayanan kefarmasian di apotek.
2. Farmasi Komunitas Role of the Pharmacist in the Health Care System yang diterbitkan oleh WHO tahun 1990 meliputi: a. Processing of prescription; b. Care of patients; c. Monitoring of Drug Utilization; d. Extemporaneous preparation and small scale manufacture of medicine; e. Traditional and alternative medicine; f. Responding to symptoms of minor ailments g. Informating health care professionals and the public; h. Health promotion; i. Domiciliary service; Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 menyatakan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Depkes, 2009). Definisi tersebut dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu tercapainya derajad kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan menjadi sarana pengabdian dan praktik profesi apoteker.
9
Hal tersebut juga diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027 tahun 2004, tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu apotek merupakan tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan yang lainnya kepada masyarakat, pekerjaan kefarmasian tersebut dilakukan oleh apoteker, yang digolongkan sebagai berikut (Depkes, 2004): 1) Pelayanan resep, meliputi skrining resep dan penyiapan obat. Penyiapan obat adalah peracikan, pemberian etiket, kemasan obat yang diserahkan, penyerahan obat, konseling dan monitoring penggunaan obat. 2) Promosi dan edukasi yaitu apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. 3) Pelayanan residensial (homecare), yakni apoteker sebagai care giver yang diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan ke rumah, untuk kelompok lansia dan pengobatan kronis lainnya.
3. Fasilitator Implementasi Pharmaceutical Care Implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas adalah hal yang komplek (Hoop dkk., 2005). Implementasi pharmaceutical care sangat penting untuk dilakukan tetapi pelaksanaannya dirasakan sangat lambat (Montgomerry dkk., 2007). Oleh karena itu, banyak penelitian yang mengarah pada faktor
10
implementasi pada pharmaceutical care yaitu fasilitator, sehingga dengan mengetahui fasilitator diharapkan implementasi pharmaceutical care dapat berjalan lebih cepat (Gastelurrutia dkk., 2005). Fasilitator adalah setiap jenis elemen yang dapat membantu untuk mengatasi hambatan atau mempercepat pharmaceutical care (Gastelurrutia dkk., 2005), sedangkan menurut Roberts dkk (2008), fasilitator adalah faktor yang dapat mempengaruhi perilaku atau praktik baru menjadi lebih mudah dilakukan sehingga dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care. Pada dasarnya sikap apoteker dalam mengimplementasikan pharmaceutical care dipengaruhi oleh fasilitator. Perbaikan didalam pengimplementasian pharmaceutical care bisa dikatakan sebagai sebuah inovasi di dalam praktik kefamasian dalam farmasi komunitas. Fasilitator yang dimaksud seperti yang tercantum dalam tabel I berikut ini yaitu : No. 1.
2.
3.
4. 5.
6.
Tabel I. Nama Fasilitator yang Tercantum Pada Beberapa Penelitian Daftar Pustaka Fasilitator Gastelurrutia dkk., 2009 hubungan antara apoteker dengan dokter, pendidikan klinis, sikap apoteker, organisasi profesi, institusi pendidikan, permintaan pasien, remunerasi, individu apoteker Wibowo, 2008 peningkatan pendidikan, hubungan apoteker dengan dokter, remunerasi, dan organisasi profesi Roberts dkk., 2008 Peran organisasi profesi, remunerasi, tenaga kerja/staff, komunikasi, hubungan apoteker dengan dokter, permintaan pasien, institusi peendidikan, tataletak apotek. Hopp dkk, 2005 Pelatihan apoteker, persn orgsnisasi, permintaan pasien, pdukungan PSA Perraudin dkk., 2011 Remunerasi, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi, permintaan pasien, hubungan apoteker dengan dokter van Mil dkk., 2006 Remunerasi, permintaan pasien, hubungan apoteker dengan dokter, latar belakang PSA, komunikasi
11
4. Apoteker Pengertian apoteker menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027 tahun 2004 adalah sarjana farmasi yag telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker (Depkes, 2004). Adanya pergeseran pelayanan kefarmasian yang orientasi obat ke pasien, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu, apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk menghindari
terjadinya
kesalahan
pengobatan.
Apoteker
harus
mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi dan pengobatan yang rasional. Adapun pelayanan informasi yang harus diberikan oleh apoteker di apotek meliputi (Sundari, 2010): a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan /atau mutu obat dan perbekalan kesehatan lainnya. Pelayanan
informasi
tersebut
wajib
didasarkan
pada
kepentingan
masyarakat. Apoteker harus memberikan informasi yang jelas, benar dan akurat. Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien
12
yang bersangkutan agar terhindar dari penggunaan yang salah atau irrasional (Sundari, 2010). WHO juga menjelaskan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan dengan istilah Eight Stars Pharmacist (Wiedenmayer dkk., 2006): 1) Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya. 2) Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya mampu mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien, sebagai contoh ketika pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan obat dengan zat aktif yang sama namun harganya lebih terjangkau. 3) Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik dengan pihak ekstrenal (pasien atau customer) dan pihak internal (tenaga profesional kesehatan lainnya). 4) Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek. Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen pengadaan, administrasi, manajemen SDM serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
13
5) Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam hal pelayanan, pengelola manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan administrasi keuangan. Apoteker harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen. 6) Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu pengetahuan,
senantiasa
belajar,
menambah
pengetahuan
dan
keterampilannya serta mampu mengembangkan kualitas diri. 7) Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, namun harus dapat melaksanakan profesinya dengan baik. 8) Researcher, artinya Seorang farmasis harus bisa menggunakan sesuatu berdasarkan bukti (ilmiah, praktek farmasi, sistem kesehatan) yang efektif dalam memberikan nasehat pada pengguna obat secara rasional dalam tim-tim pelayanan kesehatan.
5. Standar Pelayanan Kefarmasian Pada tahun 1996 FIP menetapkan standar untuk pelayanan praktik kefarmasian yakni Good Pharmacy Practice (GPP) in Community and Hospital Setting (FIP, 1996). Standar yang ditetapkan tersebut merupakan bagian terpenting yang harus digunakan oleh organisasi kefarmasian nasional,
14
pemerintah dan organisasi kefarmasian internasional sebagai standar pelayanan kefarmasian yang harus diimplementasikan oleh profesi apoteker. Terdapat banyak kesamaan konsep dasar antara pelayanan kefarmasian dengan praktik kefarmasian yang baik sehingga dapat dikatakan praktik kefarmasian
yang
baik
merupakan
cara
untuk
mengimplementasikan
pharmaceutical care. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kefarmasian di apotek, apoteker dituntut untuk bersikap profesional dan mampu melaksanakan pekerjaaan kefarmasian berupa pelayanan berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan. Pelaksanaan pelayanan tersebut harus didasarkan pada landasan hukum sebagai berikut : a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di sebutkan bahwa pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung
profesi
apoteker
dalam
pekerjaan
kefarmasian
untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini (Depkes, 2004).
F.
Landasan Teori
Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab langsung apoteker dalam menjalankan kefarmasiannya dengan tujuan utama meningkatkan kualitas hidup
15
pasien. Banyak kemajuan yang telah dicapai sejak pengenalan pharmaceutical care pada tahun 1990 tetapi masih ada hal yang menghambat pharmaceutical care (Martin dkk., 2004). Selain itu, implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas juga dinilai merupakan hal yang komplek (Hoop dkk., 2005). Oleh karena itu, dari beberapa hambatan tersebut mengharuskan adanya penelitian mengenai fasilitator pada sikap apoteker. Fasilitator dianggap sebagai elemen yang dapat membantu apoteker dalam mengatasi hambatan dan bertindak sebagai perubahan. Di Spanyol, telah diidentifikasi fasilitator-fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care, antara lain meningkatkan pendidikan klinis apoteker, perubahan sikap apoteker, memberikan gambaran masa depan profesi apoteker yang lebih jelas, perubahan sistem organisasi profesi, mengubah sistem perguruan tinggi agar mengurangi kesenjangan antara pendidikan dan penelitian, meningkatkan permintaan pasien akan pharmaceutical care, meningkatkan hubungan apoteker dengan dokter, dan remunerasi (Gastelurrutia dkk., 2009). Fasilitator yang yang telah diindentifikasi di Indonesia seperti, perlunya peningkatan pendidikan, pelatihan, hubungan apoteker dengan dokter, adanya sistem remunerasi, dan tanggung jawab organisasi profesi menjadi fasilitator yang terpenting (Wibowo, 2008). Pada dasarnya sikap apoteker dalam mengimplementasikan pharmaceutical care dipengaruhi oleh fasilitator. Perbaikan didalam pengimplementasian pharmaceutical care bisa dikatakan sebagai sebuah inovasi didalam praktik kefamasian dalam farmasi komunitas (Roberts dkk., 2008). Perbaikan dapat
16
dilakukan dengan mengahui pengaruh fasilitator terhadap sikap apoteker dalam mengimplementasikan pharmaceutical care. Fasilitator yang dimaksud adalah sebagai berikut: Tabel II. Nama-Nama Fasilitator yang Digunakan Pada Penelitian terhadap Sikap Apoteker untuk Mempercepat Implementasi Pharmaceutical Care No. Nama fasilitator Daftar pustaka 1. Gastelurrutia dkk., 2009 Adanya perbaikan hubungan antara apoteker dengan dokter 2. Dunlop dan Shaw, 2002 ; Kemampuan klinis seorang apoteker Gastelurrutia dkk., 2009 3. Bradley dkk, 2007; Gastelurrutia Peran organisasi profesi dkk, 2009 4. Gastelurrutia dkk., 2009 Remunerasi 5. Gastelurrutia dkk., 2009 Institusi pendidikan 6. Roberts dkk., 2008 ; Gastelurrutia Permintaan pasien dkk., 2009 7. Rogers., 2003 ; Gastelurrutia dkk., Individu apoteker 2009
G. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka, maka hipotesis statistik penelitian berupa: H1a : Hubungan apoteker dengan dokter akan berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap
sikap
apoteker
untuk
mengimplementasikan
pharmaceutical care. H1b : Kemampuan klinis apoteker akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. H1c : Peran organisasi profesi akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. H1d : Remunerasi akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
17
H1e : Permintaan pasien akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. H1f : Institusi pendidikan akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. H1g : Individu apoteker akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. H2 : Fasilitator berupa perbaikan hubungan apoteker dengan dokter, remunerasi, kemampuan klinis apoteker, permintaan pasien akan pharmaceutical care, peran organisasi profesi, institusi pendidikan dan individu apoteker secara bersama-sama akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
18
Model penelitian seperti pada gambar dibawah:
Hubungan apoteker dan dokter
H1a
Kemampuan klinis Apoteker
H1b
Peran organisasi profesi
H1c Sikap apoteker
H1d Remunerasi
H1e H1f
Permintaan pasien Institusi pendidikan
H1g
Individu apoteker H2
Gambar 1. Model Penelitian