17
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya seni, termasuk sastra, adalah model yang diteladani, yang proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2009b:6). Oleh karena itu, hasil karya sastra dari seorang sastrawan haruslah mampu mendidik dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Lenin (dalam Luxemburg, 1992:25) mengungkapkan bahwa sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat, karena sastra berperan sebagai guru dan menjalankan fungsi didaktik. Karya sastra sebagai suatu kegiatan kreatif dan sebuah karya seni memiliki fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi (Wellek dan Warren, 1995:109), apalagi karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1971:1). Sastra menyajikan kehidupan, sementara kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, meskipun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1995:109). Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, melainkan juga gejala sosial (Ratna, 2009b:11). Sebuah cerita yang mengambil latar masyarakat tertentu di suatu tempat dan suatu masa, harus mampu memberikan suatu pengetahuan khusus tentang masyarakat itu, yaitu pengetahuan tentang kemasyarakatan lengkap dengan
18
permasalahan, perwatakan, sikap hidup, ambisi, dan sebagainya (Sumardjo, 1981:37). Dengan cara tersebut, suatu masyarakat dapat mengetahui dan memahami masyarakat lain yang hidup di tempat dan waktu yang berbeda. Sebagai bentuk karya seni, sastra bukanlah produk dirinya sendiri, melainkan produk sejarah (Salamini, 2004:179). Sastra merupakan “kontruksi sosial dan ideologi“, dengan intervensi sastra sebagai bentuk intervensi ke dalam kekuasaan merupakan suatu hal yang mungkin (Wolff dalam Budiman, 1995:202). Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat, memiliki ideologinya sendiri, sehingga dalam karya sastra dapat terlihat adanya pergelutan ideologi pengarang dengan ideologi-ideologi yang ada dalam masyarakat, seolah-olah karya sastra merupakan medan pertarungan ideologi. Pertarungan ideologi itulah yang tampak pada novel Jalan Menikungkarya Umar Kayam. Umar Kayam adalah seorang budayawan, akademisi, sastrawan, sekaligus salah satu pengamat sosial Indonesia yang terkenal. Meraih gelar doktornya di Cornell University, Ithaca, AS pada 1965, ia adalah seorang Guru Besar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebagai
budayawan,
Umar
Kayam
dikenal
dekat
dengan
rakyat.
Kepeduliannya pada kehidupan rakyat kecil ia tuangkan pada kolom mingguan di harian Kedaulatan Rakyat yang mengambil nilai-nilai dari budaya Jawa. Umar Kayam yang lahir pada tahun 1932 ini menghasilkan banyak cerpen. Cerpen-cerpen Umar Kayam dikenal tak pernah hanya memiliki satu arti, ia
19
hanya sekadar memberikan gambaran yang penuh suasana tertentu (Rahmanto, 2004:17). Sindiran gaya priayi dengan wahana cerita nyata ataupun tak nyata, selalu dituturkannya dengan apik sehingga pembaca menjadi terhanyut (Rahmanto, 2004:162). Bahkan cerpen-cerpen awal Umar Kayam menyuguhkan suasana batin demikian kuatnya sehingga ia dapat bercerita kepada pembaca tanpa bantuan pengarang untuk bercerita (Kleden dalam Salam, 1998:109—110). Selain cerpen-cerpennya yang terangkum di kumpulan cerpen Seribu KunangKunang di Manhattan (1972), Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya (1986), Parta Krama (1997), dan Lebaran di Karet, di Karet, Umar Kayam juga menulis buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat (1981), Semangat Indonesia (1985), Mangan Ora Mangan Asal Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), serta novel Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (1999). Sama seperti komentar Soemanto (1992:311—313) tentang Para Priyayi, alur Jalan Menikung tetap enak diikuti meskipun penceritaannya berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Namun dengan latar yang berbeda dengan Para Priyayi, maka pertarungan ideologi yang ada dalam Jalan Menikung juga berbeda dengan pertarungan ideologi yang ada dalam Para Priyayi.Para Priyayi menceritakan tiga generasi keluarga Sastrodarsono pada zaman kolonialisme Belanda hingga awal masa Orde Baru, sementara Jalan Menikungyang merupakan sekuel dari Para Priyayi menceritakan kehidupan keturunan keluarga Sastrodarsono generasi ketiga dan keempat pada akhir abad ke-20. Perubahan zaman
yang
dihadapi
oleh
keluarga
Sastrodarsono
dalam
Jalan
20
Menikungmenggambarkan perubahan zaman yang dialami oleh masyarakat Indonesia. JikaPara Priyayi bercerita tentang cara keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga priayi yang didominasi oleh ideologi tradisionalisme menghadapi ideologi kolonialismedan komunisme, Jalan Menikung bercerita tentang cara keluarga Sastrodarsono dalam menghadapi ideologi liberalisme, kapitalisme, materialisme,dan rasialisme yang sekarang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Dari pembacaan intensif, novel Jalan Menikung menunjukkan indikasi adanya ideologi, formasi ideologi, konsensus, dan ideologi pengarang. Oleh karena adanya dugaan akan keberadaan ideologi, formasi ideologi,konsensus beserta ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah berikut, yaitu (1) ideologi dan formasi ideologi dalam novel Jalan Menikung dan (2) konsensusdan ideologi pengarang Jalan Menikung.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dari penelitian ini adalah menerapkan teori hegemoni Gramsci
21
pada novel Jalan Menikung, dengan mencari ideologi, formasi ideologi, dan konsensus dalam Jalan Menikung,serta ideologi Umar Kayam sebagai pengarang Jalan Menikung. Sementara itu, tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran mengenai pertarungan ideologi yang ada pada masyarakat saat novel Jalan Menikung karya Umar Kayam ditulissehingga novel itu lebih mudah diapresiasi oleh masyarakat sekarang.
1.4 Tinjauan Pustaka Sepengetahuan penyusun, ada beberapa peneliti yang menggunakan novel Jalan Menikung sebagai objek penelitian. Salah satunya adalah Wijaya Heru Santosa (2004) yang melakukan penelitian berjudul “Ringkasan Peran dan Perlakuan Tokoh Perempuan dalam Novel Tahun 2000-an”. Wijaya meneliti gambaran peran publik dan produktif, karakter, pandangan hidup, dan perlakuan pada tokoh perempuan dalam novel Saman karya Ayu Utami, Larung karya Ayu Utami, Brojo dan Projo karya Arswendo Atmowiloto, Ca Bau Kan karya Remy Silado, Supernova karya Dewi Lestari, Perempuan Jogja karya Achmad Munif, Ny. Talis (Kisah mengenai Mudras) karya Budi Darma, serta Jalan Menikung karya Umar Kayam. Jalan Menikung juga merupakan salah satu karya Umar Kayam yang dibahas B. Rahmanto dalam bukunya, Umar Kayam: Karya dan Dunianya (2004), selain empat karya Umar Kayam yang lain, yaitu Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya, Para Priyayi, Parta Krama dan Lebaran di Karet, di Karet. Di buku tersebut, selain
22
menceritakan Jalan Menikung secara ringkas, Rahmanto menekankan perbedaanperbedaan antara Jalan Menikung dan Para Priyayi, prekuelnya. Selanjutnya, Nurhadi dan Dian Swandayani (2005), menyusun laporan penelitian berjudul “Konflik Antar-kramadangsa dalam Novel-novel Indonesia Mutakhir berlatar Etnis Jawa: Kajian Filsafat Suryomentaram”. Dalam penelitian tersebut, mereka menerapkan teori filsafat Suryomentaram pada karya sastra Indonesia mutakhir vang berlatar belakang etnis Jawa, yaitu Pasar karya Kuntowijoyo dan Jalan Menikung karya Umar Kayam. Selain mendeskripsikan strukturnya, mereka juga mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik antar-kramadangsa tokoh-tokohnya. Wajiran (2008) menyusun laporan penelitian berjudul “Refleksi Sosio Budaya Masyarakat Inggris dan Indonesia yang Terdapat dalam Man and Superman dan Jalan Menikung”. Dalam laporan tersebut, Wajiran menjelaskan persamaan antara novel Man and Superman dan Jalan Menikung, perbedaan keadaan sosial politik yang mempengaruhi Man and Superman dan Jalan Menikung, serta latar belakang keadaan sosial politik dari masing-masing karya sastra tersebut. Nugraheni Eko Wardani (2010), menulis tesis berjudul “Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann”. Dalam tesisnya tersebut, Nugraheni meneliti budaya priayi yang terdapat pada novel Para Priyayi dan Jalan Menikung karya Umar Kayam dan membandingkannya dengan kitab Tripama dan Wedhatama karya Mangkunegara IV, kitab Wulangreh karya Pakubuwono IV, dan kitab
23
Candrarini yang merupakan karya bersama Pakubuwono IX dan Raden Mas Panji Esmubrata. Nugraheni menyimpulkan bahwa melalui kedua novel tersebut Umar Kayam mengkritik budaya priayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priayi yang luhur. Banyak nilai-nilai luhur priayi yang menyimpang karena kaum priayi lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan hal-hal yang bersifat materi. Daru Awalludin Janarisma (2011) juga menjadikan novel Jalan Menikung sebagai objek penelitiannya yang berjudul “Analisis Penokohan dalam Novel Jalan Menikung Para Priyayi 2”. Dalam penelitiannya itu, Daru menyebutkan beberapa tokoh yang ada di dalam novel Jalan Menikung serta memberikan penjelasan singkat tentang sifat-sifat tokoh-tokoh tersebut. Penelitian lain yang dilakukan terhadap novel Jalan Menikung adalah skripsi karya Ery Wardana (2011) yang berjudul “Tranformasi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Novel Jalan Menikung: Para Priyayi 2 karya Umar Kayam”. Dalam tulisannya, Ery menganalisis transformasi nilai-nilai budaya jawa yang dilakukan oleh tokoh utamanya, Eko, serta menyebutkan sebab-sebab terjadinya transformasi tersebut. Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, pada penelitian ini teori yang digunakan adalah teori hegemoni Gramsci. Keistimewaan penelitian ini terletak pada pembahasantentang pertarungan ideologi yang ada dalam novel Jalan Menikung. Dari pembahasan tersebut penyusun akanmenentukan ideologi pengarang Jalan Menikung.
24
1.5 Landasan Teori Sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra yang mempertimbangkan segisegi kemasyarakatan (Damono, 2002:2). Secara tidak langsung sosiologi sastra berperan dalam mengamati ilmu sastra pada tingkat masyarakatnya, sesuai dengan apa yang ditulis Escarpit (2005:14). Sehubungan dengan hal itu, semua hal yang menyiratkan adanya pengarang, karya, dan pembaca, sangat diperhatikan dalam sosiologi sastra, karena sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dan masyarakat (Ratna, 2009b:3). Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud mereduksi hakikat rekaan ke dalam fakta dan tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi (Ratna, 2009b:11). Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dan menjelaskan bahwa cerita rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatif tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Umar Junus (1986:1) menyimpulkan kalau ada tiga perspektif dalam sosiologi sastra, yaitu karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya yang mencerminkan zamannya, karya sastra dalam konteks sosial penulis, dan karya sastra dalam konteks sosial pembaca atau karya sastra yang memperhatikan hubungan pembaca dan penulis sebagai penikmat sastra. Wellek dan Warren (1995:111—112) juga membuat klasifikasi serupa mengenai sosiologi sastra, yaitu:
25
1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan segala hal yang berhubungan dengan pengarang sebagai penghasil karya sastra. 2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra itu sendiri. Pokok kajiannya adalah apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuan dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastra tidak dipahami sebagai cerminan kehidupan, reproduksi, dan sebuah dokumen sosial, tetapi sastra dijelaskan dengan menjelaskan hubungan potret yang muncul dalam karya sastra dengan kenyataan sosial. 3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakat. Adakalanya suatu karya sastra memuat banyak peristiwa sejarah. Gramsci (dalam Salamini, 2004:179) menyebut karya sastra sebagai produk sejarah, bukan produk dari dirinya sendiri. Ketika karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian baru berkembang, bersamanya lahir pula hubungan-hubungan sosial yang baru. Antonio Gramsci adalah seorang Marxis. Teori hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan dari teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000:vi, Sugiono, 1999:20). Dengan demikian, untuk memahami teori hegemoni Gramsci, teori tersebut perlu diletakkan dalam kerangka Marxisme supaya menghasilkan rangkaian pemahaman yang lebih teratur. Menurut John Hall (dalam Faruk, 1999:5), dibandingkan teori-teori sosial yang lain, teori sosial Marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra. Sekurangnya terdapat tiga hal yang menyebabkan hal itu. Pertama, Marx sendiri pada mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya
26
tidak hanya memberikan perhatian pada kesusastraan, tetapi bahkan dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik dalam kesusastraan (Wessel dalam Faruk, 1999:5). Kedua, teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori yang netral, melainkan mengandung pula ideologi yang pencapaiannya terus-menerus diusahakan oleh para penganutnya. Ketiga, di dalam teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga sosial yang tidak berbeda dari lembaga-lembaga sosial lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, politik, dan sebagainya, sebab semuanya tergolong dalam satu kategori sosial, yaitu sebagai aktivitas mental yang dipertentangkan dengan aktivitas material manusia. Marx membagi masyarakat menjadi infrastruktur (dasar/basic ekonomi) dan superstruktur yang dibangun di atasnya (Faruk, 1999:6). Infrastruktur tersebut terdiri dari alat-alat, cara-cara, dan hubungan produksi. Alat-alat produksi dapat disamakan dengan bahan-bahan yang tersedia bagi proses produksi; cara-cara produksi dengan teknik-teknik yang ada; dan hubungan produksi dengan tipe pemilikan yang merata bersama-sama dengan pembagian sosial antara pemilik alat-alat produksi dengan pekerja yang muncul bersamaan dengannya dalam suatu masyarakat kelas. Dapat dikatakan bahwa infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan material. Adapun superstruktur terdiri dari dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tataran kesadaran kolektif. Tatanan institusional adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan negara. Tatanan kesadaran kolektif mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan
27
nilai yang memberi kerangka penelitian, makna, dan orientasi spiritual seperti pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, dan sebagainya (Suseno, 2001:135). Dalam teori kelas Marx, terdapat unsur-unsur penting. Pertama, besarnya peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang menyebabkan sikap yang berbeda terhadap perubahan sosial, kelas atas (dominant) cenderung bersikap konservatif karena berkepentingan mempertahankan status quo sehingga menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap progresif dan revolusioner. Ketiga, kemajuan dalam masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi (Suseno, 2001:119). Dalam hal kesusastraan, Marx sendiri sesungguhnya tidak menerapkan teorinya secara ketat. Ia cenderung terombang-ambing di antara dua kecenderungan yang bertentangan. Di satu pihak terdapat kecenderungannya untuk menempatkan kesusastraan sebagai gejala kedua belaka, gejala yang ditentukan oleh infrastruktur sesuai dengan teorinya, tetapi di pihak lain terlihat pula kecenderungannya untuk memberikan posisi yang relatif otonom pada kesusastraan, yaitu sebagai gejala pertama yang menentukan dirinya sendiri (Swingewood dan Hall dalam Faruk, 1999:9). Bisa dikatakan bahwa Gramsci (Sugiono, 1999:20) sudah bercerai dari tradisi Marxian, atau setidak-tidaknya, dengan yang ortodoks/klasik. Meskipun demikian, Gramsci tidak bisa dikatakan membalik model basis superstruktur tradisional Marxis.
28
Gramsci merevisi konsep Marx yang ortodoks tersebut dengan menganggap dunia gagasan, kebudayaan, dan superstruktur bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai sebuah kekuatan material tersendiri, yang berfungsi mengorganisasi massa manusia, dan menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk, 1999:61—62). Teori hegemoni Gramsci dibangun di atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak cukupnya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik (Sugiono, 1999:31). Bagi Gramsci, hubungan antara yang ideal dan yang material berlangsung secara interaktif (saling tergantung). Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuk. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi hanya akan menjadi khayalan individual tanpa kekuatan material (Bennet dalam Faruk, 1999:62). Oleh karena itu, persoalan kultural dan formasi ideologi menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, irradiasi, penyebaran, dan persuasi. Kemampuan gagasan/opini yang menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk,1999:62). Gramsci meletakkan pengertian hegemoni dalam konteks pelaksanaan politik pada dua arti. Pertama, dalam arti pelaksanaan politik yang melibatkan tindak kekerasan, penindasan dengan menggunakan senjata, penyiksaan fisik, dan intimidasi
29
tangan besi. Arti yang kedua, pelaksanaan politik yang tampil dalam upaya penguasaan intelektual dan moral. Dalam arti kedua ini, penguasaan melibatkan caracara kultural dan intelektual yang canggih untuk melumpuhkan kesadaran kritis rakyat yang dikuasai (Takwin, 2003:85). Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”. Pengertian hegemoni untuk pertama kali diterapkan dalam sejarah Yunani Kuno (eugemonia) terhadap posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (city-states atau negara polis) secara individual (Patria, 2003:115). Akan tetapi, bagi Gramsci, hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks, yang ia gunakan untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu (Faruk, 1999:62—63). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang diperoleh melalui mekanisme konsensus daripada penindasan terhadap kelas lainnya. Hegemoni dalam suatu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural, dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus “menguniversalkan” pandangan dan kepentingan serta harus memastikan pandangan dan kepentingan itu (Sugiono, 1991:41—42). Hegemoni juga bisa diartikan sebagai organisasi konsensus (Simon, 2004:19—20). Hegemoni melalui konsensus muncul melalui komitmen aktif pada posisi tinggi sah (legitimate), dan adanya konsensus ini karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria, 2003:126). Kata kunci dalam memahami
30
teori Gramsci tersebut adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kelompok. Dari penjelasan tersebut, yang dimaksud dengan hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004:19). Menurut Gramsci, suatu kelas sosial akan memperoleh keunggulan melalui dua cara, yaitu dengan cara dominasi (dominia) atau paksaan (coecion), dan yang kedua dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Cara yang kedua inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni (Patria, 2003:117). Hegemoni klas yang berkuasa terhadap klas yang dikuasai sesungguhnya dibangun oleh mekanisme konsensus. Menurut Femia (Patria, 2003:124—125), setidaknya ada empat model konsensus yang ada dalam perjalanan sejarah, yaitu(1) masa Romawi kuno (konsensus terletak sepenuhnya pada wewenang seorang kaisar sebagai pusat kekuasaan dan sumber otoritas politik); (2) masa pramodern (konsensus dipahami beriringan dengan konsep hierarki alamiah atau kodrati dan ditekankan pada keteraturan universal); (3) masa masyarakat kapitalis (konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya sukarela secara individual); (4) masa pemikiran kontemporer (konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familier). Gramsci mengaitkan konsensus dengan spontanitas yang bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosio politis ataupun aspek-aspek aturan yang lain. Oleh karena hegemoni pada dasarnya merupakan totalitarianisme dalam arti ketat, tatanan hegemonis tidak perlu masuk ke dalam lembaga atau pun praktik
31
liberal (Patria, 2003:125). Lebih lanjut, konsensus, yang pada dasarnya bersifat pasif, lebih mewujudkan suatu hipotesis bahwa penciptaannya semata-mata atas dasar persetujuan, terlepas karena alasan takut, telah terbiasa, atau murni kesadaran. Melalui konsensus inilah, hegemoni muncul sebagai komitmen aktif atas kelompok sosial (Patria, 2003:126). Unsur kepasifannya semata-mata karena kelompok sosial yang dikuasai tidak memiliki banyak basis konseptual untuk membentuk kesadaran dalam memahami realitas sosial secara efektif. Ada dua hal yang menyebabkan hal itu, yaitu pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Gramsci menyatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh dan justru menjadi alat kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominasi (Patria, 2003:127) yang sarana pentingnya adalah bahasa. Konflik sosial yang ada dibatasi, baik intensitas maupun ruang lingkupnya. Hal itu disebabkan adanya kemungkinan bahwa bentuk keinginan, nilai, dan harapan baru, muncul di luar sistem yang telah ditentukan. Konsensus massa sendiri menghasilkan tingkatan hegemoni. Menurut Gramsci (Patria, 2003:128) ada tiga tingkatan hegemoni, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent), dan hegemoni yang minimum. Pertama, hegemoni integral. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Massa menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang
32
diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent economy). Sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasarannya, namun “mentalitas” massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek ekonomi. Oleh karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Situasi demikianlah yang disebut hegemoni yang merosot. Ketiga, hegemoni minimum. Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua yang lain. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci, penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual (Faruk, 1999:74—75). Kata “intelektual” di sini harus dipahami sebagai suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang
33
luas -entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik (Faruk, 1999:75). Gramsci membedakan bentuk kaum intelektual menjadi dua kelompok penting, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas tertentu. Intelektual organik tersebut bisa berasal dari kelas borjuis dan memihak mereka, tetapi bisa juga berasal dari kelas buruh dan berpihak pada perjuangan kelompok buruhnya. Kelompok intelektual organik berpenetrasi sampai ke massa, memberikan sebuah pandangan baru, dan menciptakan kesatuan antara bagian atas dan bawah (Patria, 2003:161). Intelektual tradisional adalah intelektual otonom dan merdeka dari kelompok sosial dominan. Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Menurut Gramsci, tipe intelektual tradisional tersebut direpresentasikan melalui manusia literer (literary man), rohaniawan, filsuf, dan artis dan tugasnya adalah segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas yang revolusioner (Patria, 2003:162—163). Pusat argumentasi Gramsci tentang pembentukan kaum intelektual sebenarnya sederhana. Arti “intelektual” sebagai sebuah integrasi sosial tunggal yang bebas dari kelas adalah sebuah mitos. Semua manusia mempunyai potensi menjadi intelektual sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara menggunakannya, tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial.
34
Mengenai seni (sastra), Gramsci menyatakan bahwa seni adalah karya yang belum selesai. Ia senantiasa mendahului zaman dan secara imajinatif melihat masyarakat yang dicita-citakan pada masa depan (Salamini, 2004:178). Hal ini menunjukkan bahwa sastra berada dalam superstruktur. Sastra membawa ideologi (superstruktur) yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud hegemoni tandingan bagi kelas dominan. Sastra merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum suatu kelas melakukan tindakan politik. Berdasarkan uraian di atas, ada empat hal penting untuk diperhatikan dalam konsep teori Gramsci. Pertama, di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya terjadi dalam antarkelas sosial, tetapi berkembang
pula
konflik
antara
kelompok-kelompok
dengan
kepentingan-
kepentingan global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, untuk menjadi sebuah kelompok yang dominan, kelompok tersebut harus mewakili kepentingan umum dan melakukan negosiasi agar konsensus dicapai dengan persetujuan dan dapat diterima semua kelompok. Hal terakhir dalam teori Gramsci bahwa sastra atau seni berada dalam kelompok superstruktur yang berperan dalam upaya pembentukan hegemoni dan sebuah budaya baru dalam masyarakat.
1.6 Metode Penelitian Metode dapat diartikan sebagai cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat
35
berikutnya.
Sebagai
alat,
sama
dengan
teori,
metode
berfungsi
untuk
menyederhanakan masalah agar lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2009a:34). Metode juga dapat diartikan sebagai cara kerja untuk memahami objek yang dikaji (Sangidu, 2004:28). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2009a:53). Metode lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik. Secara etimologis, kata dialektik berasal dari bahasa latin dialectica yang berarti cara membahas (Ratna, 2009a:52). Metode dialektik melukiskan hubungan timbal balik antara karya sastra dengan realita sosial. Metode ini digunakan untuk menganalisis hubungan yang ada antara faktor-faktor sosial yang ada di masyarakat. Metode dialektik bermula dan berakhir dalam karya sastra, dengan memperhitungkan
koherensi
struktural
(Goldmann
dalam
Faruk, 1999:19).
Sehubungan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu ”keseluruhan-bagian” dan ”pemahaman-penjelasan” (Faruk, 1999:20). Menurut Goldmann (dalam Faruk, 1999:20), setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Akan tetapi, teks karya sastra itu sendiri
36
merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam pengertian ini pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar di atas. Jadi yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk, 1999:21). Langkah-langkah yang ditempuh penyusun dalam menyusun skripsi ini adalah: 1. Menentukan teks yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu Jalan Menikung karya Umar Kayam 2. Melakukan pembacaan yang intensif terhadap novel Jalan Menikung 3. Melakukan studi pustaka yang terkait dengan penelitian 4. Melakukan identifikasi terhadap ideologi-ideologi yang ada pada novel Jalan Menikung dan menentukan formasi ideologi yang ada pada novel tersebut. 5. Mencari konsensus yang ada dalam Jalan Menikung dan menentukan ideologi pengarang. 6. Menyimpulkan dan melaporkannya dalam bentuk penelitian.
37
1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini mencakup empat bab sebagai berikut. Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian; Bab II berisi identifikasi ideologi-ideologi yang ada pada novel Jalan Menikung dan formasi ideologinya; Bab III berisi konsensus dan ideologi pengarang Jalan Menikung dan; Bab IV kesimpulan.