BAB I PENGANTAR 1. 1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan tanggapan seorang sastrawan terhadap dunia sekitarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pradopo (1995: 178) bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sosial budaya. Pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak berangkat dari “kekosongan budaya”, tetapi diilhami oleh realitas kehidupan yang kompleks, yang ada di sekitarnya (Teeuw, 1980: 11). Menurut Faruk (1988: 7), karya sastra adalah fakta semiotik yang memandang fenomena kebudayaan sebagai sistem tanda yang bersifat kognitif. Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Hal ini mengandung pengertian bahwa karya sastra dan kehidupan nyata, selain memiliki otonomi tersendiri, keduanya juga memiliki hubungan timbal
balik
(Mahayana, 2007: 5). Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap fenomena yang muncul akan direkam
2
kemudian dilaporkan. Untuk menghasilkan karya sastra yang baik, tentu masih perlu adanya kontemplasi terlebih dahulu sebelum memberikan interpretasi terhadap fenomena untuk selanjutnya dituangkan ke dalam karya sastra. Pada awal kelahirannya, novel Indonesia ditandai dengan adanya unsur budaya daerah (Rampan, 1984: 4; Sumardjo, 1979: 51; Teeuw, 1988: 184). Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920) dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (1922) merupakan contoh novel Indonesia yang mengandung warna lokal, yaitu Sumatra sesuai daerah asal kedua pengarang novel tersebut. Para sastrawan/novelis Indonesia awal memang banyak dari daerah dan hasil karya mereka banyak yang mengandung warna lokal daerah, terutama dari Sumatra. Hal ini terjadi karena sebagian besar mereka berasal dari daerah Sumatra. Sumatra, khususnya Minangkabau, sebagai daerah yang kaya dengan nilai-nilai budaya, menjadi salah satu daerah yang sering dimanfaatkan sebagai latar penciptaan karya sastra, yaitu sejak sebelum Perang Dunia II meletus. Masa ini, dalam periodisasi
sastra
menurut
Nugroho
Notosusanto
(dalam
Pradopo, 1995:16), termasuk dalam masa kebangkitan (1920-1945). Kekhasan latar Minangkabau juga sering ditemukan dalam karya
3
sastra yang lahir setelah meletus Perang Dunia II yang dalam periodisasi
sastra
menurut
Nugroho
Notosusanto
(dalam
Pradopo, 1995:16), termasuk pada masa perkembangan. Pemanfaatan warna lokal dalam penulisan novel pada periode selanjutnya (1930-an) sudah mulai berkurang. Novel yang terbit pada masa itu, yakni Layar Terkembang dan Belenggu tidak lagi mengangkat permasalahan daerah. Novel Layar Terkembang (1936)
karya
Sutan
Takdir
Alisyahbana
bercerita
tentang
emansipasi wanita dalam membangun bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh sastra Indonesia yang berkiblat ke Barat. Menurutnya, Indonesia hanya akan maju bila mengikuti langkah Negara Barat bukan melihat kembali budaya lokal. Baginya, masa lalu adalah jahiliyah. Dirinya lebih condong kepada individualisme,
intelektualisme,
dan
materialisme.
Hal
ini
berbeda dengan Sanusi Pane yang mengambil unsur-unsur dari masa lalu (orang Jawa) sebagai inspirasi untuk masa depan (Allen, 2004: 26). Pada periode 1970-an sastrawan Indonesia mulai banyak menulis novel yang mengangkat warna lokal daerahnya. Rosidi (1985: 27), ketika mengumumkan lahirnya suatu angkatan terbaru tahun 60-an, menyebutkan salah satu ciri kuatnya angkatan
4
tersebut adalah adanya orientasi nilai-nilai budaya daerah. Sesudah
dekade
70-an,
novel-novel
yang
memperlihatkan
kecenderungan menonjolnya nilai-nilai daerah Jawa mulai kelihatan. Penulisan novel berwarna lokal daerah mencapai puncaknya pada periode 1980-an. Pada tahu 1980-an dan 1990-an awal, sastra (khususnya) novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal (Kuntowijoyo, 1987: 133). Pada saat itu, banyak muncul karya sastra dari berbagai daerah yang menunjukkan kekhasan warna lokal. Karya sastra seperti ini pada umumnya ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah tempat pengarang-pengarang tersebut dilahirkan. Korie Layun Rampan dalam Upacara (1978) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak. Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa khususnya daerah Banyumas. Demikian juga, Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Pariyem (1981), Arswendo Atmowiloto dalam Canting (1986), Umar Kayam dalam Sri Sumarah (1985) dan Para Priyayi (1992), YB. Mangunwijaya dalam Burung-Burung Manyar (1981) dan Durga Umayi (1991),
5
Kuntowijoyo dalam Pasar (1994) dan NH. Dini dalam Tirai Menurun
(1993)
menunjukkan
kehidupan
sosial
budaya
masyarakat Jawa. Putu Wijaya dalam Bila Malam Bertambah Malam (1971) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Salah satu fenomena penulisan karya sastra di Indonesia pada periode
1980-an tersebut adalah adanya kecenderungan
untuk mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografi pengarang. Salah satu budaya daerah yang banyak diangkat ke permukaan itu adalah budaya Jawa (Nurgiyantoro, 1998: viii; Saryono, 2006: 138). Kenyataan bahwa banyak pengarang yang kembali ke akar budaya sebagai salah satu sumber penulisan karya kreatifnya merupakan hal yang wajar karena mereka hidup dan dibesarkan di daerah tersebut. Sastra Indonesia sulit untuk melepaskan diri dari unsur daerah atau lokalitas. Hal ini terjadi karena sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal (Sayuti, 2012: 1).
Teeuw mengatakan bahwa perkembangan kesusasteraan Indonesia telah kembali ke akar tradisi (Jamil, 1987: 41). Kembali ke tradisi budaya daerah, budaya lama, sastra lama. Menurutnya, sastra Indonesia modern tidak pernah putus hubungannya dengan sastra tradisi atau sastra lama (Teeuw, 1982: 12). Ada
6
kesinambungan antara sastra lama dengan sastra Indonesia modern. Pada awal perkembangannya, sastra Indonesia selalu berorientasi ke Jakarta sebagai pusatnya. Namun, seiring dengan perkembangannya, orientasinya semakin berkembang, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi mulai mengangkat budaya daerah. Jakob Sumardjo (1982), menyatakan bahwa pada dekade 80-an pusat dan orientasi kesusasteraan Indonesia ada kemungkinan akan beralih ke Jawa (tengah) setelah sebelumnya terfokus di Jakarta. Pada era 80-an, kecenderungan mengangkat warna lokal dalam sastra Indonesia mulai menguat. Sebagai contohnya adalah munculnya dua novel yang cukup fenomenal, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. yang
penuh dengan lokalitas kedaerahan,
khususnya lokalitas Jawa. Menurut Budi Darma (1995: 171), semakin jauh sastrawan melangkah, akan semakin dalam mereka kembali ke akar daerahnya karena subkebudayaan daerah itu merupakan salah satu unsur yang membentuk mereka. Menurutnya, semakin menasional dan menginternasional orientasi kepengarangan seorang penulis, sekaligus ia juga akan semakin menukik ke akar
7
budayanya yang merupakan salah satu unsur sosial budaya yang telah membentuknya. Para pengarang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kebudayaan daerah masing-masing, setelah menjadi manusia Indonesia, merindukan kembali subkebudayaan yang telah membentuknya itu. Mereka kemudian menulis novel atau bentuk karya sastra lain yang mengangkat warna lokal daerah asalnya. Novel Indonesia selalu menunjukkan kekhasan, unikum, dan hal itu berkaitan erat dengan kultur etnik yang telah lama ada pada diri pengarang dan mengalir menjadi pola berpikir, perilaku, dan sikap hidup, tata krama dan etika, tindakan dan ekspresi diri, pandangan dan orientasi tentang alam dan lingkungan, bahkan juga sampai pada wawasan estetikanya (Mahayana, 2007: 2). Perkembangan karya sastra masih menyediakan tempat bagi karya yang mengungkapkan warna lokal di dalamnya. Misalnya, kumpulan cerpen Raudal Tanjung Banua yang berjudul “Parang Tak Berulu” yang menawarkan representasi dunia perempuan di tengah masyarakat Minangkabau, atau “Rumah Kawin” karya Nur Zen Hae yang berlatar kultur masyarakat Betawi,
juga
karya-karya
Taufik
Ikram
Jamil
yang
mengungkapkan persoalan masyarakat Melayu-Riau (Murniah,
8
2006). Para sastrawan perlu menggali potensi lokal, baik bahasa, mitos, maupun sejarah lokal sebagai sumber penciptaan karya sastra di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Ada beberapa pengarang yang di dalam cerita-ceritanya tanpa memberi keterangan maksud kata-katanya memakai kata-kata Jawa, baik sebagai alat pemberi warna lokal maupun karena tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia (Sastrowardoyo, 2000: 839). Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas. Secara intrinsik dalam suatu karya sastra Indonesia berwarn lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, dan stuktur sosial (http://antilan.blogspot.com/2009/08/sastra-indonesiaberwarna-lokal.html). Warna lokal tersebut sebagian besar berfungsi sebagai latar cerita. Warna lokal Minangkabau untuk menggambarkan latar Minangkabau, warna lokal Bali untuk menggambarkan latar Bali. Apakah warna lokal Jawa juga berfungsi untuk menggambarkan latar Jawa?
9
Novel Indonesia pada periode 80-an banyak mengungkap warna lokal di dalamnya, khususnya warna lokal Jawa. Mengapa budaya Jawa menjadi acuan atau sumber inspirasi bagi para sastrawan Indonesia? Bentuk warna lokal Jawa apa saja yang digunakan pengarang dalam karyanya dan apa fungsi warna lokal tersebut dalam membangun keseluruhan cerita. Pertanyaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan tentang Jawa. Menurut Kayam (2001: 2) Jawa masih merupakan kekuatan faktual dalam konstelasi kehidupan di Indonesia, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Karenanya, Jawa juga akan menjadi suatu kekuatan penting dalam konstelasi baik kehidupan regional maupun global. Penelitian terhadap warna lokal Jawa dalam novel-novel tersebut masih kurang, maka perlu dilakukan penelitian yang mendalam terkait dengan permasalahan warna lokal Jawa yang terungkap dalam novel Indonesia periode 80-an. Secara intrinsik dalam konteks struktur karya, unsur budaya lokal Jawa selalu dihubungkan dengan unsur pembentuk struktur, yaitu latar dan penokohan. Selain unsur intrinsik, analisis juga perlu dilakukan terhadap unsur sosial budaya.
10
Warna lokal Jawa dalam novel pada penelitian ini terkait dengan latar budaya masyarakat Jawa yang tercermin pada novel. Warna lokal Jawa dalam sastra berkaitan erat dengan budaya Jawa. Koentjaraningrat (1994: 11-12, dan 32-33) berpendapat bahwa konsep budaya merupakan totalitas pikiran, karsa, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya. Konsep budaya diuraikan ke dalam unsur-unsurnya yang meliputi (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) mata pencaharian, (7) teknologi dan peralatan. Pengertian tersebut identik dengan pendapat Abrams (1981: 98) yang mengatakan bahwa warna lokal adalah lukisan mengenai latar, adat-istiadat, cara berpakaian, dan cara berpikir yang khas dari suatu daerah tertentu. Latar sosial budaya dalam karya sastra biasanya terwujud dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan, sistem kemasyarakatan, adat istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra (Pradopo, 1987: 234). Warna lokal Jawa mengacu pada budaya lokal Jawa, budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa merupakan orangorang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di
11
pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa (Roqib, 2007: 33). Masyarakat Jawa adalah orang yang secara geografis tinggal di pulau Jawa, tepatnya di provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, bukan Jawa Barat, Banten, dan Jakarta yang dihuni oleh suku Sunda dan Betawi, dan bukan pula bagian Timur Jawa yang menggunakan bahasa Madura meskipun masih kategori subkultur Jawa. Mereka yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur kecuali Madura masih menggunakan bahasa Jawa dan tetap mengembangkan kebudayaan Jawa. Mereka yang tinggal dan hidup di Madura tidak menggunakan bahasa Jawa dan budaya yang dikembangkan juga bukan budaya Jawa tetapi budaya Madura. Demikian juga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Walaupun tinggal di pulau Jawa tetapi mereka menggunakan bahasa Sunda dan mengembangkan kebudayaan Sunda yang sudah berbeda dengan kebudayaan Jawa.
12
1. 2 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Mengapa warna lokal Jawa banyak diungkapkan dalam novel Indonesia periode 1980-1995? 2) Bagaimana fungsi warna lokal Jawa dalam membangun cerita secara keseluruhan pada novel Indonesia periode 1980-1995?
1. 3 Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
dan
mendeskripsikan warna lokal Jawa yang terepresentasikan dalam novel Indonesia periode 1980-1995. Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk: 1)
memperoleh gambaran yang rinci mengenai warna lokal Jawa yang terkandung dalam novel Indonesia periode 1980-1995,
2)
mendapatkan gambaran yang jelas tentang fungsi warna lokal Jawa dalam membangun struktur cerita pada novel Indonesia periode 1980-1995.
13
1. 4 Manfaat Penelitian 1. 4. 1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan aplikasi kajian sastra dengan teori strukturalisme, semiotik, dan sosiologi sastra pada novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan masukan dan pengembangan wawasan kajian sastra, mengembangkan pengkajian budaya dan humaniora terhadap sastra Indonesia khususnya novel Indonesia. Selain itu, juga dapat dijadikan contoh pengkajian
budaya
dan
humaniora
dalam
novel
Indonesia.
1. 4. 2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi
yang mendalam terhadap
karya sastra Indonesia khususnya novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pentingnya warna lokal atau
14
budaya lokal dalam mengembangkan budaya nasional, khususnya sastra Indonesia. Melalui warna lokal dalam karya sastra, masyarakat dapat memperoleh pendidikan dan pesan moral yang baik. Dengan mengetahui dan memahami warna lokal dari daerah khususnya Jawa, maka rasa persatuan dan kesatuan dapat lebih ditingkatkan. Kesadaran terhadap konsep
“bhineka
tunggal
ika”
juga
akan
lebih
meningkat. Kesadaran bahwa budaya nusantara atau budaya nasional Indonesia terdiri atas budaya daerah lebih meningkat dan akhirnya rasa saling menghormati dan menghargai antarpendukung budaya dapat terjalin dengan baik. Dengan demikian, rasa persatuan dan kesatuan dalam mendukung budaya nasional diharapkan dapat terwujud dengan baik.
1. 5 Tinjauan Pustaka Penelitian
terdahulu
yang
dapat
dijangkau
dan
dipandang relevan dengan penelitian ini adalah tesis Wiranta yang ditulis pada tahun 1992 di Program Pascasarjana UGM. Wiranta menulis tesis dengan judul Unsur Budaya Jawa dalam
15
Novel Indonesia Mutakhir. Wiranta sampai pada kesimpulan bahwa budaya Jawa digambarkan melalui gagasan keselarasan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam adikodrati, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan alam kebendaan. Hasil penelitian yang dilakukan juga menyimpulkan bahwa unsur budaya Jawa berfungsi dalam aktualisasi cerita, baik yang menyangkut pengembangan alur yang berfungsi untuk
mengidealisasikan gambaran tokoh, mendinamisasi
tokoh, menunjukkan keterjalinan sastra lisan dan tulis, dan mengukuhkan tradisi lama, pengembangan tokoh yang berfungsi baik sebagai model penyesuaian karakter, menyediakan kerangka karakter, memunculkan nilai-nilai tradisi, mengidealisasikan gagasan keselarasan, maupun pengembangan latar yang berfungsi untuk menghidupkan citraan suasana Jawa dalam aktualisasi cerita. Penelitian yang lain dilakukan oleh Rahmanto (1994), dalam tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi Karya Umar kayam: Analisis Semiotik. Dalam penelitian yang dilakukan, Rahmanto menyimpulkan bahwa lewat tokoh-tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan
16
Lantip ditampilkan masalah penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam transformasi budaya priyayi
Jawa
sejak
masa
penjajahan
Belanda,
Jepang,
kemerdekaan, sampai pascakemerdekaan. Penelitian lain yang membahas masalah budaya Jawa dalam karya sastra dilakukan oleh Sardjono berjudul Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia (1992). Sardjono mendeskripsikan pemikiran Jawa, khususnya pemikiran tentang manusia Jawa dalam novel Indonesia mutakhir dengan pendekatan fenomenologis. Dalam penelitian ini Sardjono sampai pada kesimpulan bahwa wajah manusia Jawa yang muncul dalam novel Indonesia mutakhir ialah manusia Jawa yang masih tetap menjunjung kejawaannya dengan sikap hidup yang tetap bersandarkan keselarasan. Kajian nilai budaya Jawa dalam fiksi Indonesia dilakukan oleh
Djoko
Saryono
dalam
disertasinya
yang
berjudul
Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia (1998). Dalam disertasi ini, diteliti masalah representasi nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetik Jawa dengan menggunakan teori sejarah mentalitas, sosiologi sastra, dan arkeologi pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan
17
bahwa dalam teks wacana prosa fiksi Indonesia yang diteliti terepresentasikan empat macam nilai esensial budaya Jawa, yaitu nilai relegius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetis Jawa. Nilai relegius Jawa terdiri atas nilai keselamatan dan kesempurnaan menurut manusia Jawa, nilai filosofis Jawa terdiri atas nilai kemapanan dan keselarasan menurut manusia Jawa, nilai etis Jawa terdiri atas nilai kebijaksanaan dan kekasihsayangan menurut manusia Jawa, sedangkan nilai estetik Jawa terdiri atas keterpesonaan dan keterhanyutan menurut manusia Jawa. Selain itu, disimpulkan juga bahwa representasi nilai budaya Jawa di dalam teks wacana prosa fiksi Indonesia, disikapi, ditanggapi, dan diperlakukan berbeda-beda oleh pengarang. Keberadaan budaya Jawa dalam prosa fiksi Indonesia bukan merupakan proses sekaligus wujud jawanisasi sastra Indonesia. Keberadaan budaya Jawa tersebut lebih dikatakan sebagai bentuk pertimbangan budaya atau respons kultural manusia Indonesia terhadap baik budaya Jawa maupun budaya Indonesia sekaligus.
18
Dalam penelitiannya yang berjudul Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari: Telaah Semiotik dan Strukturalisme Genetik (1992), Taufik Dermawan menganalisis budaya Jawa yang terdapat dalam tiga novel tersebut dengan metode semiotik dan strukturalisme genetik. Penelitian tersebut sampai pada kesimpulan bahwa ketiga novel tersebut merupakan bagian terpadu dari sistem sosiokultural masyarakat Jawa yang melukiskan perubahan sosiokultural dari masyarakat kesukuan ke masyarakat negara kebangsaan, dari budaya pertanian ke budaya industri, dari nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru. Perubahan pertama berupa pergeseran orientasi nilai dalam kehidupan ekonomi, dari orientasi pada nilai guna ke orientasi nilai tukar suatu produk. Perubahan kedua berupa pergeseran orientasi tata nilai budaya, dari orientasi pada kebudayaan suku primitif ke orientasi pada kebudayaan masyarakat modern. Perubahan ketiga berupa terintegrasinya komunitas santri ke dalam komunitas abangan. Penelitian yang berjudul Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia (1998) dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro. Dalam penelitian ini, Nurgiyantoro menganalisis transformasi unsur pewayangan yang ada dalam fiksi Indonesia dengan
19
sumber data lima buah novel dan delapan cerpen yang di dalamnya
terkandung
unsur
pewayangan.
Kesimpulan
penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Transformasi alur per cerita ke dalam fiksi jauh lebih dominan daripada alur pertunjukan wayang. Alur per cerita wayang menyediakan banyak sekali alur cerita sebanyak cerita wayang itu sendiri; (2) Transformasi penokohan tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi lebih intensif, khas, atau tipikal jika mencakup perwatakan atau perwatakan dan penamaan sekaligus daripada hanya mencakup penamaan tanpa disertai perwatakan;
(3) Transformasi latar
tidak terjadi secara intensif karena transformasi alur dan penokohan tidak harus melibatkan latar; (4) Masalah pokok dan tema dalam cerita wayang dapat diangkat dan ditampilkan dalam kehidupan modern secara kontekstual; (5) Transformasi nilai-nilai wayang ke dalam karya fiksi menunjukkan adanya keterbalikan dalam hal penekanan nilai-nilai; (6) Wayang sebagai sumber penulisan dan cara pengkomunikasian gagasan dan pesan banyak dipilih oleh pengarang; (7) Terdapat perbedaan sikap dan penerimaan terhadap wayang antara pengarang yang lebih tua dengan pengarang yang lebih muda.
20
Pada kajian-kajian yang telah dikemukakan tersebut, pembahasan
Wiranta
difokuskan
budaya
Jawa
yang
digambarkan melalui gagasan keselarasan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam adikodrati, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan alam kebendaan. Penelitian ini lebih mengkhususkan pada unsur keselarasan dalam budaya Jawa. Sikap hidup yang disandarkan keselarasan dalam budaya Jawa juga dibahas oleh Sardjono. Dermawan lebih fokus pada adanya perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Jawa yang terlukiskan pada novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Rahmanto membahas makna penghambaan dalam pada
novel
Para
Priyayi.
budaya Jawa yang difokuskan Yang
dibahas
adalah
makna
penghambaan yang dilakukan oleh para priyayi yang terjadi dalam novel Para Priyayi, penghambaan sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna. Nurgiyantoro secara khusus membahas transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia. Sedangkan Saryono lebih khusus membahas masalah nilai budaya Jawa yang terdiri atas nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetik Jawa yang terepresentasikan dalam fiksi Indonesia.
21
Dari
kajian-kajian
yang
telah
dilakukan
tersebut
pembahasan yang secara rinci dan lengkap mengungkapkan warna lokal Jawa yang terkandung dalam novel-novel Indonesia periode 1980 – 1995 masih kurang. Kajian yang dilakukan lebih dikhususkan pada bagian budaya pada novel tertentu. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian dengan fokus warna lokal Jawa dalam novel-novel tersebut yang mengungkap bentuk-bentuk warna lokal Jawa yang ada dalam novel dan fungsi warna lokal tersebut dalam membangun cerita secara keseluruhan.
1. 6 Landasan Teori 1. 6. 1 Strukturalisme Menurut Teeuw (1983: 17-18), untuk memberi makna pada sebuah teks tertentu, maka
ada beberapa pengetahuan
tentang sistem kode yang harus dikuasai oleh seorang peneliti, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Menurut Culler (1975:134), membaca sastra adalah kegiatan yang paradoksal. Pembaca menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, menjadikannya sesuatu yang akhirnya dikenal.
Hal-hal
yang
menyimpang,
yang
aneh,
yang
22
mengejutkan
yang
terdapat
dalam
ciptaan
sastra
itu
dinaturalisasikan, dikembalikan kepada yang wajar supaya kumunikatif. Sebuah karya sastra, baik fiksi maupun puisi, menurut kaum strukturalis adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur
karya
sastra
dapat
diartikan
sebagai
susunan,
penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981: 68). Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang
bersifat
timbal-balik,
saling
menentukan,
saling
mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Analisis struktural pada karya sastra, yang dalam hal ini berupa
novel,
dapat
dilakukan
dengan mengidentifikasi,
23
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur-unsurnya. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur tersebut sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang terpadu. Misalnya, bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan latar. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur tersebut untuk pencapaian nilai estetis dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Berkaitan dengan hal di atas, prinsip strukturalisme memandang pula bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur-unsur dalam struktur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri terlepas dari lainnya, arti/maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lain secara keseluruhan (Hawkes, 1978: 17-18). Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur mempunyai fungsi sebagai pendukung terhadap makna
24
bagian yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian tersebut,
dengan
sendirinya,
menduduki
fungsi
sebagai
pendukung terhadap unsur lain. Menurut Teeuw makna unsurunsur tersebut baru dapat dipahami dan diberi nilai sepenuhnya jika didasarkan pada pemahaman dan fungsi tiap-tiap unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (1984: 136). Jean Piaget (1995: 4-9) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan pokok yang memberi kepaduan pada karya sastra khususnya cerita atau novel. Pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat
kaidah
intrinsik
yang
menentukan,
baik
keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan tranformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur
transfomasi
yang
terus-menerus
memungkinkan
pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, pengaturan diri (self regulation), yaitu tidak diperlukan dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi. Struktur adalah suatu sistem
transformasi
yang
bercirikan
keseluruhan,
dan
keseluruhan itu dikuasai oleh hukum-hukum tertentu dan mempertahankan, atau bahkan memperkaya diri sendiri karena
25
cara
dijalankannya
transformasi-transformasi
itu
tidak
memasukkan ke dalam unsur-unsur luar (lihat juga Teeuw,1984: 141; Pradopo, 1997: 119). Pada prinsipnya yang lebih tegas, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterkaitan semua analisis karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dasar pengertian teori struktural dalam penelitian ini merujuk pada pernyataan Teeuw (1983: 61)
bahwa dalam
meninjau karya sastra dari berbagai segi, analisis struktural adalah tugas atau prioritas pertama sebelum melangkah pada hal-hal lain dan dasar penelitian selanjutnya tentang struktur yang dirujuk oleh Piaget, khususnya mengenai konsep gagasan keseluruhan (wholeness). Gagasan keseluruhan dianggap penting dengan pertimbangan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah rangkaian unsur-unsur yang bersistem dan saling berjalinan erat, serta unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi berhubungan satu sama lain yang memiliki fungsi sendiri dan dalam koherensi tersebut, dapat ditentukan maknanya (Piaget, 1995: 4-5). Karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota
masyarakat tidak terlahir dalam kekosongan sosial
budaya (Teeuw, 1984: 139-140; Pradopo, 1995: 178). Analisis
26
struktural merupakan tugas prioritas utama bagi seorang peneliti sebelum melangkah pada hal-hal lain. Unsur intrinsik karya sastra yang digunakan dalam analisis struktural penelitian ini adalah masalah dan tema serta fakta cerita. Masalah pokok adalah sesuatu yang diungkapkan dalam karya fiksi atau berkaitan dengan masalah “apa yang diceritakan”
yang
berkaitan
dengan
berbagai
masalah
kehidupan. Masalah pokok berkaitan langsung dengan tema, namun tema sering berisi abstraksi yang lebih umum, sedang masalah pokok lebih konkret (Nurgiyantoro, 1998: 19). Tema adalah gagasan, ide atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991: 50). Sebagai dasar suatu karya sastra, tema menjadi tumpuan pengembangan seluruh cerita. Tema ini menjiwai seluruh bagian cerita karena tema merupakan kesimpulan dari keseluruhan cerita. Tema tidak hanya mewakili bagian-bagian tertentu saja (Nurgiyantoro, 1995: 68). Tema harus menjadi bagian integral dari sebuah karya sastra. Tema membentuk kesatuan cerita dan membuat keseluruhan peristiwa di dalam karya sastra menjadi lebih berarti. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya sastra bukan peristiwa yang lepas dan dapat berdiri sendiri tanpa hubungan yang jelas.
27
Tema dipilih dan diangkat dari berbagai masalah yang berkembang dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 71). Masalah-masalah tersebut muncul secara bersamaan dan mendukung ide atau tujuan utamanya. Tema berangkat dari masalah
pokok
Nurgiyantoro
yang
(1998:
terdapat 85-86)
dalam
karya
mengatakan
sastra
bahwa
itu.
usaha
menemukan dan memahami masalah utama itu merupakan usaha untuk menentukan tema sebuah karya sastra. Unsur latar dalam karya sastra merupakan landas tumpu yang menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175). Latar sebagai segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991: 44). Unsur latar dalam karya sastra dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 1998: 227) Ketiga unsur latar ini membangun karya sastra secara bersamaan karena ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
28
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra. Unsur tempat itu menunjuk pada tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas. Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional (Nurgiyantoro, 1998: 228). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, yaitu waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah atau perkembangan zaman. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama
jika
dihubungkan
dengan
waktu
sejarah
(Nurgiyantoro, 1998: 230). Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat,
29
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1998: 233). Warna lokal suatu daerah dapat dilihat dalam latar sosial masyarakat. Penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu juga mendukung penggambaran warna lokal dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 235). Unsur fakta cerita yang kedua adalah penokohan. Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Panuti-Sudjiman, 1991: 16). Tokoh itu hadir di dalam cerita membawa pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Abrams (1981: 20) menyebut tokoh cerita dengan karakter (character), yaitu orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh
cerita,
bagaimana
perwatakan,
dan
bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembang-
30
an tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 166). Tokoh cerita juga menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1998: 167). Tokoh dalam cerita dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada
juga yang
membedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis. Unsur fakta cerita yang ketiga adalah plot atau alur cerita. Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat. Hubungan cerita dalam karya sastra mengandung unsur kausalitas sehingga peristiwa yang satu dalam cerita menyebabkan munculnya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1998: 113). Hubungan kausalitas dalam suatu alur tidak hanya menunjukkan urutan waktu secara lurus saja tetapi urutan waktu itu juga dapat berjalan ke mundur, peristiwa sekarang kemudian menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya sehingga dikenal adanya alur maju atau progresif dan alur mundur atau sorot-balik.
31
1. 6. 2 Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang
terjadi
dalam
masyarakat.
Seperti
yang
pernah
dikemukakan oleh Damono (1979: 17) bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Ada hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan
(sosial).
Sastra
pada
dasarnya
menyajikan sebuah gambaran kehidupan. Kehidupan dalam karya sastra sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1990: 109). Menurut Wellek dan Warren (1990: 113) sosiologi sastra diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu (1) sosiologi pengarang, (2) sosiologi karya, dan (3) sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra. Dalam sosiologi pengarang ditelaah latar belakang sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dalam sosiologi, karya ditelaah isi karya sastra, tujuan, serta hal-
32
hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam sosiologi pembaca dan dampak
sosial
karya
sastra
ditelaah
sejauhmana
sastra
ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologi sastra memiliki berbagai varian, yang msing-masing memiliki kerangka teori dan metode sendiri. Dalam hal ini, Junus (1986: 36) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu (1) sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial budaya, (2) sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra, (3) sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya, (4) sosiologi sastra yang
mengkaji pengaruh sosial
budaya terhadap
penciptaan karya sastra, (5) sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra, dan (6) strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis. Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi karya, yaitu sosiologi sastra yang mengkaji
33
sastra sebagai dokumen sosial budaya, sastra sebagai cermin masyarakat. Karya sastra dianggap sebagai sebuah usaha untuk menciptakan kembali hubungan manusia dengan kekeluargaan, masyarakat, politik, agama, dan lain-lain karena memungkinkannya untuk menjadi satu alternatif aspek estetis untuk menyesuaikan diri serta melakukan perubahan dalam suatu masyarakat (Swingewood, 1972: 12). Sosiologi sastra mengupas sebuah karya sastra sekaligus dalam hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi. Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat dunia imajinatif ke dalam fakta. Sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi (Ratna, 2003: 117). Dalam esainya yang berjudul ”Literature and Society”, Ian Watt (dalam Damono, 1979: 3-6; Faruk, 1994: 4-5) membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, konteks sosial pengarang, kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, dan ketiga adalah pembacanya.
dampak
sosial sebuah karya sastra pada
34
1. 6. 3 Semiotik Semiotik merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Selanjutnya, Pradopo (1997: 121) menyatakan bahwa dalam pengertian tanda ada dua prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang ditandai. Berkaitan dengan penanda dan petanda ini, Peirce (dalam Zoest, 1993: 2424, Pradopo, 1997: 121) menyatakan bahwa ada tiga macam tanda, yaitu, (1) ikon adalah tanda
yang penanda dan
petandanya menujukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, (2) indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menujukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, (3) simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak menujukkan adanya hubungan alamiah; hubungan
arbitrer (semau-maunya),
hubungan
antara penanda dan petanda bersifat konvensi. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, tanpa memperhatikan sistem tanda, dan maknanya
35
serta konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Dengan demikian, metode semiotik dalam pemaknaan sastra itu berupa pencarian tanda-tanda yang penting sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda-tanda, baik berupa ikon, indeks, atau simbol. Karena tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi, maka memberi makna itu harus mencari konvensi-konvensi apa yang menyebabkan tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna. Karya sastra dianggap sebagai ragam pemaknaan dan komunikasi
dan
setiap
orang
harus
mengidentifikasikan
pengaruh pemaknaan yang dikehendakinya (Culler,1981: 49). Pada saat komunikasi berlangsung, sejak itu pula, penafsiranpenafsiran dapat direkam. Pernyataan Culler tersebut sama dengan pernyataan Preminger (dalam Pradopo, 1995: 108-109) yang menyatakan bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk mengkaji suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra tersebut memiliki makna. Dalam proses signifikansi karya sastra, perlu diketahui bahwa
struktur
bermakna dalam
karya sastra dibentuk
36
berdasarkan susunan bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam karya sastra ialah sistem semiotik tingkat kedua yang maknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 1997: 122). Karya fiksi pun mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi, misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita yang sifat naratifnya, misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view). Di samping itu, karya sastra juga mempunyai konvensi kebahasaan yang berupa gaya bahasa. Elemen-elemen cerita rekaan (fiksi) itu merupakan satuan-satuan tanda yang harus dianalisis. Dengan demikian, bahasa dalam karya sastra ditentukan oleh konvensi sastra itu sendiri sehingga timbullah arti yang baru. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning) dan untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti dalam sastra disebut makna (significance). Berkaitan dengan hal ini, Riffaterre (1978: 3) meletakkan istilah arti bagi informasi yang disampaikan teks pada taraf mimetik. Berdasarkan sudut pandang arti tersebut, karya sastra adalah unit-unit informasi yang berurutan,
37
sedangkan dari sudut pandang signifikansi, karya sastra adalah satuan unit semantik. Teks sastra dalam analisis semiotik dianggap merupakan sistem tanda sebagai alat komunikasi antara penulis dengan pembaca. Mukarovsky (dalam Fokkema dan Kunne Ibsch, 1977: 31) memperkenalkan dua aspek dalam tanda sastra, yaitu artefak dan objek estetis. Artefak adalah penanda sastra atau karya seni sastra sebagai tanda. Artefak tetap sama pada pembaca siapa pun. Objek estetis adalah petanda sastra atau pengertian yang dikonkretkan oleh pembaca. Objek estetis selalu berubah tergantung pada pengetahuan dan pengalaman pembaca masing-masing (Luxemburg, dkk., 1984: 37-38). Untuk memperoleh makna teks sastra yang optimal secara semiotik, teks harus dilihat hipogramnya. Hipogram adalah satu kata, frase, atau kutipan ataupun ungkapan klise yang mereferensi pada kata/frase yang sudah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram ini dapat bersifat potensial ataupun aktual. Hipogram potensial dapat dilihat pada bahasa atau segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi maupun makna konotatif yang sudah dianggap umum di dalam karya sastra itu sendiri meskipun
38
tidak secara langsung diekspresikan. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks-teks terdahulu atau yang ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lain. Karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan sosial budaya (Teeuw, 1980: 11). Riffaterre (1978: 23), juga menyatakan bahwa sebuah puisi/karya sastra merupakan respons atau jawaban terhadap teks-teks lain sebelumnya. Respons tersebut dapat berupa pertentangan atau penerusan tradisi dan dapat pula sekaligus, baik berupa penentangan maupun penerusan tradisi. Sebuah karya sastra merupakan sintesis yang kompleks antara afirmasi dan negasi dengan teks-teks lain sebelumnya. Tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (Kristeva dalam Culler, 1981: 107). Penyimpangan atau penentangan itu bisa sebagian atau seluruh bentuk formalnya; sedangkan isi pikiran, ide, masalah, tema, dan amanatnya sama. Dapat juga teks baru bentuk formalnya sama dalam arti melanjutkan konvensi-konvensi yang telah ada, sebagian atau seluruhnya; sedangkan isi pikiran, ide, masalah, tema, dan amanatnya berbeda dengan teks yang telah ada sebelumnya (Teeuw, 1984: 213-217).
39
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme, sosiologi sastra, dan semiotik. Ketiga teori tersebut digunakan untuk menganalisis bentuk warna lokal Jawa dalam novel Indonesia Periode 1980-1995 dan fungsi warna lokal Jawa tersebut dalam membangun cerita secara keseluruhan.
1. 7 Metode Penelitian 1. 7. 1 Pendekatan Penelitian Penggunaan metode dalam penelitian ini didasari oleh pendekatan yang berupa wawasan-wawasan tentang karya sastra (novel). Karya sastra mempunyai karakteristik tersendiri dan dinyatakan sebagai fenomena sosial budaya. Untuk dapat memahami nilai (value) dalam karya sastra (novel) dilakukan melalui pemahaman tentang makna yang hadir secara konkret dari teks karya sastra dan makna yang dihadirkan sendiri oleh pembaca (peneliti) sendiri berdasarkan makna dasarnya (literal). Metode yang relevan dengan karakteristik karya sastra sebagaimana
diuraikan
di
atas,
yakni
metode
kualitatif.
Karakteristik metode kualitatif dianggap relevan dengan karya sastra disebabkan, antara lain (1) data dalam penelitian kualitatif dikumpulkan secara langsung dari situasi sebagaimana adanya,
40
karena fenomena memperlihatkan maknanya secara penuh dalam konteksnya, dan (2) peneliti
sendiri merupakan
instrumen kunci baik dalam pengumpulan maupun
analisis
data. Proses penelitian lebih merupakan penafsiran logika untuk mendapatkan makna dari sumber data yang diteliti yang berupa novel.
1. 7. 2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua novel Indonesia yang diterbitkan dalam kurun waktu 1980 sampai tahun 1995 yang di dalamnya terungkap warna lokal Jawa. Dalam penelitian ini dibatasi pada novel-novel yang diterbitkan antara tahun 1980 sampai dengan 1995 karena dalam tahun-tahun tersebut banyak novel yang mengangkat warna lokal, terutama warna lokal Jawa. Jassin (2000: 535) menyatakan bahwa dalam sejarah kesusasteraan, setiap 15 atau 25 tahun akan timbul generasi baru. Selanjutnya, digunakan teknik
untuk
menentukan
subjek
penelitian
purposif berdasarkan pertimbangan logis.
Novel-novel yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah novel yang di dalamnya dominan mengandung dan mengekspresikan unsur-unsur warna
lokal Jawa lebih banyak sehingga tidak
41
semua novel yang mengandung warna lokal Jawa menjadi subjek penelitian. Novel-novel Indonesia yang dipilih menjadi sumber data dipandang menampilkan, membayangkan, dan menghadirkan warna lokal Jawa secara dominan. Yang menjadi sumber data penelitian berarti novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa lebih kuat. Selain itu, novel-novel tersebut ditulis oleh sastrawan Indonesia yang berasal dan berangkat dari etnis Jawa, yang menghayati dan mengerti masyarakat dan budaya Jawa, serta memiliki pandangan yang positif terhadap budaya Jawa. Karena para pengarang novel yang dijadikan subjek penelitian ini berasal dari Jawa maka dapat diprediksi bahwa mereka memahami budaya Jawa dan dalam novel yang ditulisnya juga banyak mengungkap budaya Jawa sebagai warna lokalnya. Dengan teknik tersebut, diperoleh novel-novel berikut: 1) Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1982, penerbit PT Gramedia, tebal 174 halaman. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bercerita tentang kehidupan Srintil bersama Rasus sebagai tokoh utama sejak kecil sampai menjadi seorang ronggeng di
42
Dukuh Paruk. Srintil anak Dukuh Paruk yang yatim piatu akibat bencana tempe bongkrek. Srintil diasuh oleh kakek neneknya dan setelah diketahui bahwa ia telah kerasukan indang
ronggeng
dan
mendapat
restu
arwah
Ki
Secamenggala, ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng untuk dididik menjadi seorang ronggeng.
2) Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1985, penerbit PT Gramedia, tebal 209 halaman. Novel
Lintang
Kemukus
Dini
Hari
merupakan
kelanjutan cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Cerita berawal ketika Srintil ditinggalkan oleh Rasus tanpa pesan sedikitpun kepadanya. Srintil jatuh cinta pada Rasus tapi ia ditinggalkannya. Kehidupan Srintil sebagai ‘gowok’ dan ketenaran Srintil sebagai ‘Ronggeng Rakyat’ pada masa pergerakan partai komunis.
3) Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1986, penerbit PT Gramedia, tebal 231 halaman. Novel Jantera Bianglala juga merupakan kelanjutan novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari.
43
Dalam novel ini diceritakan kelanjutan kisah Srintil dan Dukuh Paruk yang sudah porak poranda. Setelah lama tidak pulang, Rasus akhirnya pulang ke Dukuh Paruk menemui neneknya
sampai akhirnya
neneknya meningal. Dari
Sakarya, Rasus tahu kalau Srintil di tahan tapi ia tidak tahu di mana tempat penahanannya. Srintil menjadi hilang ingatan dan Rasuslah yang menolongnya.
4) Para Priyayi karya Umar Kayam cetakan keempat, terbit tahun 1993, penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, tebal 308 halaman. Novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini bercerita tentang keluarga besar Sastrodarsono, keluarga priyayi yang berasal dari keturunan orang biasa, yaitu seorang petani. Status priyayi Sastrodarsono berawal dari pekerjaannya sebagai seorang guru di desa kemudian dinikahkan dengan Siti Aisah, putri seorang priyayi rendahan yang menjabat sebagai
Mantri
candu
perkawinannya tersebut
bernama
Mukarom.
Dari
Sastrodarsono dikaruniai tiga
orang anak. Selain ketiga anaknya tersebut, di rumah Sastrodarsono juga ada Lantip yang ikut mengabdi. Dalam
44
membina keluarga, Sastrodarsono selalu berpedoman pada etika dan budaya priyayi Jawa.
5) Burung Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya terbit tahun 1981, penerbit Djambatan, tebal 319 halaman. Novel Burung-Burung Manyar
karya Y.B. Mangun-
wijaya ini bercerita tentang tokoh Setadewa dan Larasati yang berlatar perang kemerdekaan Indonesia. Hipogram novel ini adalah cerita wayang yang diceritakan pada awal novel dengan judul ‘prawayang’. Kedua tokoh dalam novel ini berteman sejak kanak-kanak, tetapi pada masa remajanya berpisah karena Larasati berpihak pada Republik dan Setadewa berpihak pada KNIL. Setelah perang selesai, Larasati
bekerja di Kementerian Luar Negeri sedangkan
Setadewa pergi meninggalkan Indonesia dan melanjutkan studinya di Harvard dan menjadi pakar komputer. Ketika kembali ke Indonesia, ia bertemu kembali dengan Larasati yang sudah berkeluarga.
6)
Durga Umayi Karya Y.B. Mangunwijaya, cetakan pertama, terbitan tahun 1991, penerbit halaman.
PT Pustaka Utama Grafiti, tebal 188
45
Novel Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya ini berhipogram cerita wayang yang diceritakan pada awal cerita
dengan
judul
‘prawayang’.
Bercerita
tentang
kehidupan Iin Sulinda Pertiwi sejak kecil bersama kembar dampitnya Kang Brojol. Kehidupan waktu kanak-kanaknya di Magelang, menjadi pembantu rumah tangga Sang Proklamator di Jakarta, pindah ke Yogyakarta dan ikut berjuang bersama rakyat sampai akhirnya tetangkap musuh. Setelah Indonesia merdeka, Iin menjadi pelacur kelas tinggi. Dia beberapa kali operasi plastik mengubah wajahnya.
7) Pasar karya Kuntowijoyo, cetakan pertama, terbitan tahun 1994, penerbit PT. Bentang Intervisi Utama, tebal 271 halaman. Novel Pasar karya
Kutowijoyo bercerita tentang
kehidupan Pak Mantri Pasar bersama pembantunya, Paijo yang tukang karcis dan sekaligus tukang kebersihan pasar. Kehidupan priyayi dan masyarakat Jawa menjadi latar dalam novel ini. Dalam mengelola pasar bersama Paijo, Pak Mantri memiliki yaitu Kasan Ngali.
seteru yang tinggalnya di depan pasar,
46
8) Canting karya Arswendo Atmowiloto, terbitan tahun 1986, penerbit PT. Gramedia, tebal 388 halaman. Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto bercerita tentang keluarga besar Raden Ngabehi Sestrokusumo yang dikenal dengan Pak Bei dengan perusahaan batiknya yang diberi nama ‘Canting’. Perusahaan batiknya ini berkembang dengan baik, pekerjanya juga banyak. Pak Bei tidak pernah ikut campur dalam mengurusi perusahaannya. Ia lebih sering berkumpul dengan para priyayi lainnya dalam urusan kepriyayian di lingkungannya. Semuanya dikelola secara penuh oleh Bu Bei dan dilanjutkan oleh Subandini Dewaputri Sestrokusuma.
9) Tirai Menurun karya N.H. Dini, Cetakan 1, terbit tahun 1993, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, tebal 457 halaman. Novel ini berkisah tentang kehidupan anggota Paguyuban
Wayang
Orang
Kridopangarso
di
kota
Semarang. Bagaimana usaha yang dilakukan para tokoh Kridopangarso untuk mengembangkan dan melestarikan paguyuban wayang orang tersebut menjadi rangkaian cerita dalam novel Tirai Menurun. Cerita wayang dan bentuk seni
47
lainnya yang berhubungan dengan pentas wayang orang menjadi materi cerita dalam novel ini. Pemilihan sembilan novel yang mengandung warna lokal Jawa tersebut tidak berarti bahwa mengesampingkan novel-novel lain yang berwarna lokal Jawa juga. Selain sembilan novel yang dianggap mengandung warna lokal Jawa tersebut masih terdapat novel-novel lain yang mengandung warna lokal Jawa di dalamnya. Akan tetapi dengan sembilan novel yang mengandung warna lokal Jawa tersebut dianggap sudah dapat mewakili novel-novel lain yang juga mengandung warna lokal Jawa di dalamnya.
1. 7. 3 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini berupa paparan bahasa yang merupakan sebuah wacana atau teks cerita. Pengumpulan data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
teknik
pembacaan dan pencatatan (baca catat). Novel yang telah dipilih dan dijadikan sumber data penelitian dibaca secara cermat dan teliti untuk menemukan warna lokal Jawa yang terkandung di dalamnya. Pembacaan dan pencatatan
48
dilakukan secara berulang-ulang untuk menemukan warna lokal Jawa dalam novel tersebut.
1. 7. 4 Teknik Analisis Data
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analistis interaktif (Sutopo, 1991; Saryono, 1998). Pengumpulan data dan analisis data dikerjakan secara interaktif, bukan hierarkhis-kronologis. Jadi, dalam penelitian ini, pengumpulan dan analisis data dikerjakan secara serempak, bolak-balik, dan berkali-kali sampai titik jenuh, sesuai dengan keperluan dan kecukupan, yaitu dihasilkannya sebuah pemahaman yang mendalam dan utuh tentang warna lokal Jawa dalam novel Indonesia periode 1980 – 1995. Kegiatan analisis data dilakukan dengan langkahlangkah
sebagai
berikut.
Pertama,
membaca
untuk
menghayati dan memahami secara mendalam seluruh sumber data dan data penelitian, kemudian menyeleksi dan menandainya dengan tanda tertentu. Langkah pertama ini dapat disamakan dengan proses pereduksian data.
49
Kedua, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan seluruh data secara utuh dan menyeluruh berdasarkan butirbutir masalah yang telah dirumuskan, tidak melihat bagian per bagian. Identifikasi dan klasifikasi data berkaitan dengan fokus penelitian, yakni (a) wujud warna lokal Jawa dalam novel Indonesia, (b) fungsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia. Dalam identifikasi dan klasifikasi, digunakan alat bantu berupa tabel. Ketiga,
menafsirkan
kembali
secara
semiotik,
struktural, dan sosiologis seluruh data teridentifikasi dan terklasifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan, dan hubungan antardata sehingga diperoleh pemahaman utuh dan menyeluruh terhadap warna lokal Jawa dalam novel Indonesia. Langkah ketiga ini disamakan dengan proses penyajian dan penyimpulan data.
1. 8
Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab. Masing-masing bab itu adalah sebagai berikut.
Bab I berupa pengantar yang berisi uraian
mengenai latar belakang masalah, permasalahan, tujuan
50
penelitian, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II memuat deskripsi mengenai warna lokal Jawa. Diawali dengan paparan mengenai pengantar warna lokal itu sendiri, budaya nusantara, dan bentuk warna lokal Jawa. Bab III berupa warna lokal Jawa yang ada dalam sastra Indonesia khususnya dalam novel Indonesia periode 1980 – 1995. Dalam bab ini dideskripsikan secara lebih rinci warna lokal Jawa yang ada pada latar cerita dan penokohan sebagai unsur pendukung pengekspresian warna lokal Jawa dan mengapa warna lokal Jawa tersebut dimanfaatkan oleh pengarang dalam cerita novelnya. Bab IV berisi deskripsi fungsi warna lokal Jawa dalam novel-novel Indonesia periode 1980–1995. Bagaimana warna lokal Jawa berfungsi dalam membangun cerita. Bab V, berupa penutup berisi kesimpulan hasil analisis dan sintesis pemaknaan bab-bab sebelumnya serta saran untuk penelitian selanjutnya.