1
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Saat ini Indonesia termasuk negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Berdasarkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 217,9 juta, dan diperkirakan pada pada tahun 2014 telah berjumlah 252 juta jiwa. Adapun rumah tangga baru juga mengalami kenaikan hingga terdapat 61 juta pada tahun 2010 (Susenas BPS). Tabel 1.1 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga 1990
2000
2004
2010
Populasi
178,5 juta
205,8 juta
217,9 juta
237,6 juta
Jumlah Rumah Tangga
39,5 juta
52 juta
54,9 juta
61 juta
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1990-2010 Jumlah penduduk dan rumah tangga yang tinggi tersebut menimbulkan dorongan naiknya kebutuhan pemilikan rumah. Persentase kepemilikan rumah milik sendiri di Indonesia masih berkisar 80 persen (Gambar 1.1). Dengan demikian terdapat sekitar 20 persen rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri. Bila mengacu kepada jumlah rumah tangga pada Tabel 1.1, maka terdapat kekurangan (backlog) sekitar 12 juta rumah pada tahun 2010. Menurut Maryono (2014), jika backlog ini tidak segera mendapatkan jalan keluar maka secara akumulatif diperkirakan pada tahun 2014 ini terdapat backlog hingga menembus angka 15 juta. Hal ini terjadi karena pemerintah belum bisa mengurangi secara signifikan angka backlog perumahan tersebut. 1
2
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah) Gambar 1.1 Persentase Kepemilikan Rumah Suatu paradoks bahwa backlog perumahan tersebut terjadi seiring kenaikan harga penawaran perumahan (Gambar 1.2), seolah menggambarkan bahwa pendapatan dan daya beli masyarakat sangat baik. Menurut Egert dan Mihaljek (2007) kenaikan harga rumah secara signifikan dapat terjadi dalam kondisi terdapat faktor keterbatasan persediaan rumah (supply vs demand), faktor psikologis dan kebijakan pemerintah. Telah banyak penelitian dan survei yang membahas mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi harga rumah. Beberapa di antaranya dikaitkan dengan faktor demand seperti pendapatan rumah tangga, tingkat suku bunga pinjaman, kemakmuran ekonomi, kependudukan, jumlah tenaga kerja, tingkat pengembalian investasi pembelian rumah dan faktor supply seperti ketersediaan, biaya konstruksi dan upah tenaga kerja (Egert dan Mihaljek, 2007), ditambah dengan
3
beberapa variabel ekonomi lainnya seperti harga saham dan nilai tukar mata uang asing yang dibuktikan oleh Sutton (2002), Borio dan McGuire (2004). Dari beberapa faktor tersebut di atas, penelitian ini secara khusus akan menganalisis bagaimana kaitan korupsi mempengaruhi harga rumah.
Sumber: Bank Indonesia, Survei Harga Properti,Triwulan II-2014 Gambar 1.2 Perkembangan Harga Indeks Harga Perumahan Residensial Menurut Suwarno dkk. (2007) menyatakan salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi, karena semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit diatasi. Demikian juga setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah. Meskipun korupsi telah menjadi salah satu topik terpopuler di Indonesia maupun negara-negara Internasional lainnya saat ini, namun baru sedikit
4
penelitian yang membahas kaitan korupsi terhadap harga rumah. Dari sekian yang sedikit tersebut terdapat antara lain penelitian oleh Glindro dkk. (2011) yang berhasil membuktikan bahwa ada kaitan antara korupsi dan harga rumah di kawasan Asia Pasific. Penelitian dengan memasukkan variabel korupsi tersebut dilandasi dugaan bahwa korupsi memiliki andil dalam kejadian melambungnya harga rumah. Dugaan terhadap melambungnya harga rumah akibat korupsi dapat dianalisis dari data pertumbuhan harga properti dunia sebagaimana terdapat dalam Tabel 1.2 berikut.
5
Tabel 1.2 Indeks Pertumbuhan Harga Properti Dunia, Q2 2013
Sumber: World Property Channel Commercial News, 2013 Pertumbuhan harga rumah di Indonesia sebesar 27,2 persen pada akhir kuarter kedua, lebih tinggi daripada Dubai (21,6 persen) dan Tokyo (12,7 persen) pada periode yang sama. Menariknya, pertumbuhan tinggi di Indonesia tersebut dicapai pada saat tingkat korupsi yang tinggi pula, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.3 di mana Indonesia nyaris berada pada rangking paling bawah.
6
Tabel 1.3 Indeks Economic Freedom
Sumber: The Heritage, 2013 Menurut Tanzi (1998) pada dekade sebelumnya penelitian tentang korupsi menjadi hak eksklusif ilmu politik dan sosiologi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Shao dkk. (2007) yang menyatakan bahwa penelitian tentang korupsi selama ini umumnya dilakukan secara kualitatif sehingga terbatas dalam menjelaskan kaitan dengan faktor-faktor ekonomi secara kuantitatif. Kondisi di Indonesia pada beberapa tahun lalu bukanlah hal mudah untuk memperoleh data level korupsi mengingat Indonesia masih dipenuhi dengan penyalahgunaan kekuasaan dan politik. Penelitian tentang korupsi menjadi hal yang tabu dan sulit dilakukan oleh
7
para ekonom dengan mendalam sampai memasuki dan membuka sendi-sendi kekuasaan yang paling dalam sekalipun. Selain itu, sulitnya mengukur tingkat korupsi semata-mata karena sifat dari tindakan ini adalah tidak formal dan antara pemberi dan penerima korupsi pada umumnya tidak ada pencatatan. Menurut lembaga Transparency International (2011) korupsi juga memasuki dan mempengaruhi sektor properti. Lemahnya kontrol pemerintah dan masyarakat membuahkan perilaku yang tidak bisa diteladani, baik itu berupa bribery kepada petugas administrasi pemerintahan hingga penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan di tingkat yang lebih tinggi oleh pejabat dan politisi. Kondisi seperti itu dapat diidentifikasi pada kondisi yang mengikuti minimnya transparansi, akuntabiliti dan pelanggaran hukum. Dalam kondisi seperti itu maka harga properti akan bergeser dari kondisi fundamental di negara tersebut. Korupsi menjadi cost dan beban tambahan bagi pelaku ekonomi, memungkinkan munculnya ketidakadilan atas distribusi penyediaan properti bagi masyarakat. Di dalam penelitian-penelitian sebelumnya terdapat perbedaan atas pengaruh korupsi terhadap faktor-faktor fundametal ekonomi termasuk sektor properti residensial di berbagai negara. Beberapa penelitian, misalnya Campbell dkk. (2008) dan Tanzi (1998) melaporkan adanya suatu korelasi negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Blattman (2012) dan Bardhan (1997) justru menyatakan terdapat kaitan positif. Perbedaan pandangan ini menyisakan kemungkinan bahwa pengaruh korupsi terhadap negara dan waktu tertentu menghasilkan efek yang berbeda.
8
Tesis ini menawarkan penjelasan atas kaitan antara tingkat korupsi terhadap harga properti residensial di Indonesia dan beberapa negara Asia. Apakah korupsi akan menurunkan atau malah sebaliknya menaikkan harga properti residensial. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian secara lintas negara agar dapat melihat dan membandingkan bagaimana kaitan antara tingkat korupsi di Indonesia bersama Malaysia dan Thailand sebagai kelompok negaranegara berkembang, dan negara Singapura, Hong Kong dan Jepang sebagai pembanding yang mewakili kelompok negara-negara maju. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada beberapa penelitian jurnal asing mengenai pembentukan harga rumah yang meliputi variabel makro ekonomi, faktor supply demand dan institutional factors. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kaitan pengaruh korupsi pada umumnya dikaitkan dengan indikator ekonomi secara makro dan jarang mengkaitkan dengan harga rumah. Ada beberapa penelitian internasional yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini. 1.
Campbell dkk (2008) meneliti kaitan harga rumah dengan kebebasan ekonomi (economic freedom). Penelitian ini menggunakan sejumlah data panel dengan model fixed effects. Variabel yang digunakan dalam peneitian ini adalah pendapatan per kapita, umur rata-rata populasi, kepadatan populasi dan jumlah pasokan rumah baru. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin baik tingkat kebebasan ekonomi maka akan menaikkan harga rumah.
9
2.
Glindro dkk. (2011) menjelaskan tentang pengaruh variabel ekonomi makto terhadap harga perumahan, yaitu real GDP, mortgage rate/GDP, land supply index, real construction cost, real effective exchange rate dan equity price. Penelitian tersebut juga mengikutsertakan variabel institutional factors, yakni faktor-faktor yang meliputi business freedom index, financial sector index, corruption index dan property rights index. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi memiliki kaitan negatif terhadap harga properti residensial.
3.
Ahmad dkk. (2012) meneliti hubungan linier kuadratik antara korupsi dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan metoda data panel yang mengikutsertakan variabel indeks International Country Risk Guide, institutional quality, dan indeks kestabilan politik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan linier kuadratik berbentuk U terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Keaslian dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya terletak pada perbedaan objek, waktu, jenis variabel, dan metoda regresi yang digunakan. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Hong Kong dan Jepang. Waktu yang diteliti adalah data pada tahun 2002-2010. Perbedaan pada variabel adalah indeks korupsi yang diperoleh dari Transparency International yang disertakan bersama variabel makro ekonomi sekaligus. Metoda penelitian menggunakan regresi panel data.
10
1.3 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah adanya tingkat kenaikan harga properti residensial yang tinggi di Indonesia. 1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yang dibatasi sebagai berikut: 1.
apakah kaitan antara tingkat korupsi terhadap harga perumahan di Indonesia, Malaysia dan Thailand sebagai kelompok negara-negara berkembang dibandingkan dengan Singapura, Hong Kong dan Jepang sebagai kelompok negara-negara maju?
2.
apakah pengaruh pertumbuhan ekonomi makro dan faktor supply demand terhadap pembentukan harga properti residensial di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara Asia? 1.5 Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagi pembuat kebijakan seperti pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam mengambil kebijakan yang mendukung keberlangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development).
2.
Bagi pelaku bisnis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam memperkirakan harga jual-beli perumahan sekarang dan di masa mendatang.
11
3.
Bagi penilai properti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah cakrawala dalam penilaian properti untuk berbagai kepentingan.
4.
Sebagai bahan acuan dan informasi bagi kegiatan penelitian selanjutnya. 1.6 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
mengidentifikasi kaitan antara tingkat korupsi terhadap harga perumahan di Indonesia, Malaysia dan Thailand sebagai kelompok negara-negara berkembang dibandingkan dengan Singapura, Hong Kong dan Jepang sebagai kelompok negara-negara maju;
2.
mengidentifikasi pengaruh pertumbuhan ekonomi makro dan faktor supply demand terhadap pembentukan harga properti residensial di Indonesia. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut. Bab I
Pengantar, yang menguraikan tentang latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis menguraikan tentang tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, serta alat analisis yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini. Bab III Analisis Data menguraikan bagaimana proses selama penelitian ini dijalankan serta pembahasan akan setiap analisis data yang telah didapatkan. Bab IV Kesimpulan dan Saran berisikan ringkasan singkat (kesimpulan) mengenai hasil analisis yang diperoleh, saran-saran yang diberikan kepada Pemerintah Republik Indonesia, serta keterbatasan penelitian.