Katalog BPS: 4711.6102
STATISTIK DAN ANALISIS GENDER KABUPATEN BENGKAYANG TAHUN 2007
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkayang
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………….... Daftar isi ……………………………………………………………………………….............
iii v
Bab I
Pendahuluan .................................................................................................. 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1.2. Tujuan ...................................................................................................... 1.3. Sumber Data dan Landasan Hukum .......................................................
1 1 3 4
Bab II
Gambaran Umum Kondisi Wilayah ................................................................. 2.1. Geografis .................................................................................................. 2.1.1. Letak Geografis .............................................................................. 2.1.2. Topografi dan Iklim ........................................................................ 2.1.3. Luas Wilayah .................................................................................. 2.2. Sejarah ..................................................................................................... 2.3. Sosial Budaya ...........................................................................................
5 5 5 6 9 11 14
Bab III
Demografi ....................................................................................................... 3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ............................................... 3.2. Komposisi Penduduk ............................................................................... 3.3. Rasio Anak dan Wanita (Child Woman Ratio/CWR) …………………… 3.4. Rata-rata Umur Kawin Pertama …………………………………………… 3.5. Jumlah Anak Lahir Hidup …………………………………………………… 3.6. Jumlah Anak Masih Hidup …………………………………………………
17 18 20 26 26 27 29
Bab IV
Pendidikan …………………………………………………………………………. 4.1. Angka Partisipasi Kasar ……………………………………………………… 4.2. Angka Partisipasi Murni ……………………………………………………… 4.3. Angka Partisipasi Sekolah …………………………………………………… 4.4. Angka Melek Huruf …………………………………………………………… 4.5. Pendidikan yang Ditamatkan ……………………………………………… 4.6. Ketersediaan Sarana Pendidikan ………………………………………… 4.7. Angka Putus Sekolah ………………………………………………………
31 33 34 35 37 38 39 42
Bab V
Kesehatan ………………………………………………………………………….. 5.1. Angka Kematian Bayi dan Anak …………………………………………… 5.2. Angka Kematian Ibu dan Partisipasi KB ………………………………… 5.3. Penolong Persalinan, Lama Pemberian ASI, dan Imunisasi …………… 5.4. Status Gizi ……………………………………………………………………
43 44 46 50 53
Bab VI
Kegiatan Ekonomi ………………………………………………………………… 6.1. Ketenagakerjaan …………………………………………………………… 6.1.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ...................................... 6.1.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ............................................. 6.1.3. Kontribusi Sektor dalam Penyerapan Tenaga Kerja ......................... 6.1.4. Status Pekerjaan ............................................................................... 6.1.5. Jam Kerja ......................................................................................... 6.2. Kemiskinan ...............................................................................................
55 55 57 59 60 62 63 64
Bab VII Perempuan di Sektor Publik ........................................................................... 7.1. Politik dan Legislatif ................................................................................. 7.2. Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil .....................................................
67 68 69
Bab VIII Kekerasan Terhadap Perempuan ...................................................................
71
Bab IX
Masalah Anak .................................................................................................. 9.1. Kepemilikan Akta Kelahiran ..................................................................... 9.2. Pekerja Anak ...........................................................................................
73 73 74
Bab X
Penutup ........................................................................................................... 10.1. Kesimpulan ............................................................................................ 10.2. Saran .....................................................................................................
77 77 78
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Pembangunan Nasional di Indonesia pada hakekatnya membangun manusia yang ada di Indonesia untuk menjadi lebih baik tanpa memandang laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, peran serta perempuan dalam keberhasilan pembangunan masih banyak dikesampingkan dan dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Dengan adanya penandatanganan Millenium Development Goal’s (MDGs), dengan Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan kesepakatan tersebut, merupakan salah satu momentum untuk lebih melihat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan. Dalam butir-butir tujuan MDGs tersebut, disebutkan bahwa tujuannya antara lain adalah untuk dapat mendorong adanya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (butir tujuan ketiga), menghilangkan kesenjangan gender dalam pendidikan dasar (butir tujuan keempat), dan meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian ibu (butir tujuan kelima).
Statistik dan indikator yang dirinci menurut jenis kelamin adalah alat yang sangat penting dalam penyusunan kebijakan, perencanaan, dan program yang berperspektif gender untuk dapat mencapai hasil pembangunan yang setara dan adil. Dengan menggunakan indikator gender, penyusunan kebijakan dan evaluasi dapat dilakukan dengan lebih baik serta dapat memberikan dampak yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Di samping itu, statistik dan indikator tersebut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai isu gender yang selama ini terabaikan.
Dalam hukum dan Undang-undang yang belaku di Negara Republik Indonesia, tidak ada pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, sebagai manusia
sekaligus warga negara, perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebagai sumber daya insani, potensi yang dimiliki perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Namun demikian, hal yang berlaku pada kenyataannya di masa yang telah lampau, kesetaraan status dan peranan perempuan masih belum sejajar dengan laki-laki. Hal tersebut ditandai dengan sedikitnya jumlah perempuan yang menempati posisi penting dalam badan legislatif dan eksekutif.
Dewasa ini, pemantauan informasi kesetaraan dan keadilan gender telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektoral. Hal tersebut dilakukan mengingat pentingnya informasi gender untuk memonitor serta mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan gender.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, keberhasilan pembangunan tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat saja namun lebih ditentukan oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pemahaman tentang kondisi daerah setempat sangat diperlukan, khususnya dalam upaya pembangunan pemberdayaan perempuan yang dilakukan melalui penyediaan data terpilah di berbagai bidang.
Untuk dapat mengetahui perkembangan pembangunan pemberdayaan perempuan di masing-masing daerah, perlu dilakukan upaya pemantauan informasi gender yang dapat bersumber dari catatan-catatan registrasi, hasil sensus penduduk, maupun survei-survei di bidang kependudukan serta data yang diperoleh dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta.
Penyusunan publikasi Analisis dan Statistik Gender Kabupaten Bengkayang Tahun 2007 ini merupakan salah satu upaya dalam menyediakan informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai kesetaran dan keadilan gender di Kabupaten Bengkayang. Dalam publikasi ini, disajikan hasil analisis statistik gender di berbagai bidang, antara lain bidang
kependudukan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya, baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.
1.2.
Tujuan
Secara umum, maksud penyusunan publikasi Statistik dan Analisis Gender Kabupaten Bengkayang Tahun 2007 ini adalah untuk:
1.
Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya data statistik dan indikator gender bagi penyusunan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pemerintah.
2.
Meningkatkan ketersediaan data statistik dan indikator serta analisis gender.
3.
Mensosialisasikan penggunaan data statistik dan indikator gender di kalangan para pembuat kebijakan.
4.
Meningkatkan komitmen untuk menggunakan data statistik dan indikator gender dalam melakukan penyusunan perencanaan dan monitoring berbagai program dan kegiatan di masing-masing daerah.
Adapun tujuan khusus penyusunan publikasi dan Analisis Gender Kabupaten Bengkayang Tahun 2007 ini adalah untuk:
1.
Mengetahui kesenjangan dan ketidakadilan gender yang terjadi antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, hukum, dan berbagai bidang lainnya.
2.
Memperoleh gambaran tentang karakteristik demografi dan berbagai permasalahan gender yang terjadi di daerah.
3.
Menggali informasi mengenai berbagai masalah kekerasan terhadap perempuan dan kondisi sosial budaya serta isu-isu lokal yang spesifik.
1.3.
Sumber Data dan Landasan Hukum
Untuk penyusunan publikasi Statistik dan Analisis Gender ini, digunakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber, antara lain dari berbagai data hasil survei yang dilakukan oleh BPS seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), dan Sensus Penduduk (SP), serta berbagai data lainnya yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait. Selanjutnya, landasan hukum dalam kegiatan ini adalah: a.
GBHN Tahun 1999
b.
Inpes Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI WILAYAH Kabupaten Bengkayang merupakan salah satu kabupaten baru di provinsi Kalimantan Barat yang mulai terbentuk setelah adanya undang-undang otonomi daerah. Dasar pembentukan Kabupaten Bengkayang adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999, yaitu Kabupaten Bengkayang merupakan pecahan dari Kabupaten Sambas. Selanjutnya, pada tahun 2001, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, Kabupaten Bengkayang dimekarkan kembali, yaitu dengan berdiri sendirinya Kota Singkawang yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bengkayang.
2.1. Geografis 2.1.1. Letak Geografis
Kabupaten Bengkayang berada pada posisi 0033’00” Lintang Utara sampai dengan 1030’00” Lintang Utara dan 108039’00” Bujur Timur sampai dengan 110010’00” Bujur Timur. Letak Kabupaten Bengkayang berada di bagian utara Provinsi Kalimantan Barat dan merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Posisi Kabupaten Bengkayang yang berada di dekat garis khatulistiwa menyebabkan suhu dan kelembabannya yang relatif mencirikan daerah tropis. Letak Kabupaten Bengkayang yang sangat strategis menyebabkan peluang perkembangan yang semakin pesat baik dalam aspek sosial maupun ekonomi. Wilayah perbatasan administrasi Kabupaten Bengkayang adalah sebagai berikut:
Bagian Utara berbatasan langsung dengan negara Malaysia atau tepatnya berbatasan dengan Serawak-Malaysia Timur. Adanya border Jagoi Babang yang berbatasan dengan Serikin-Malaysia menyebabkan perkembangan perekonomian semakin maju pesat. Arus migrasi tenaga kerja yang bekerja ke negara Malaysia maupun perdagangan antar negara
dari tahun ke tahun semakin maju sehingga berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi maupun sosial kependudukan masyarakat Kabupaten Bengkayang. Selain itu, bagian utara juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Sambas. Dilihat dari sejarahnya, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas merupakan satu kabupaten pada masa lampau sehingga memiliki nilai sosial budaya masyarakat yang hampir sama. Panjang perbatasan Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Sambas adalah 159,218 km sedangkan panjang perbatasan negara di Kabupaten Bengkayang dengan Serawak (Malaysia) adalah 76,564 km.
Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pontianak. Hal ini berpengaruh pada peningkatan potensi kegiatan ekonomi maupun mobilisasi penduduk antar kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Panjang perbatasan dengan Kabupaten Pontianak adalah 54,989 km.
Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Landak dan Kabupaten Sanggau. Hal ini juga berpengaruh pada peningkatan potensi kegiatan ekonomi maupun mobilisasi penduduk antar kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Panjang perbatasan Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Landak adalah 162,053 km sedangkan panjang perbatasan dengan Kabupaten Sanggau adalah 30,215 km.
Bagian Barat berbatasan dengan Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan Laut Natuna. Hal ini berpengaruh pada peningkatan potensi kegiatan ekonomi maupun mobilisasi penduduk antar kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Ditambah lagi, dilihat dari sejarahnya, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, dan Kota Singkawang merupakan mempunyai satu kabupaten induk pada masa lampau sehingga memiliki nilai sosial budaya yang erat. Selain itu, wilayah Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung dengan laut natuna berpengaruh pada pengembangan potensi perikanan yang masih sangat luas di Kabupaten Bengkayang. Selain itu, rencana pengembangan Mega
Natuna merupakan peluang yang mendukung perkembangan Kabupaten Bengkayang. Panjang perbatasan Kabupaten Bengkayang dengan Kota Singkawang adalah 58,907 km sedangkan panjang garis pantainya adalah 68,5 km.
Perbatasan negara yang berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkayang yang cukup panjang berimplikasi pada banyak kerawanan masalah sosial politik yang terjadi di kawasan perbatasan. Masalah tapal batas, kesenjangan kondisi sosial ekonomi masyarakat wilayah perbatasan, fasilitas sarana dan prasarana yang terbatas, tenaga kerja illegal, dan trafficking menjadi masalah yang harus dihadapi Kabupaten Bengkayang sebagai salah satu kabupaten yang ada di kawasan perbatasan. Untuk itu, diperlukan strategi pembangunan yang dapat mencakup semua permasalahan yang dihadapi.
2.1.2. Topografi dan Iklim
Ada dua kondisi alam yang membedakan wilayah Kabupaten Bengkayang. Kondisi alam yang pertama adalah pesisir pantai. Keseluruhan wilayah pesisir ini termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Raya Kepulauan. Kondisi alam yang kedua adalah daratan dan perbukitan yang terdiri dari Kecamatan Capkala, Samalantan, Monterado, Lembah Bawang, Bengkayang, Teriak, Sungai Betung, Ledo, Suti Semarang, Lumar, Sanggau Ledo, Tujuh Belas, Seluas, Jagoi Babang, dan Siding.
Ada tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang melintasi wilayah Kabupaten Bengkayang, yaitu: DAS Sambas, DAS Sungai Raya, dan DAS Sungai Duri. Dari ketiga DAS tersebut, yang paling besar adalah DAS Sambas yang luasnya meliputi 722.500 hektar sedangkan DAS Sungai Raya sebesar 50.000 hektar dan DAS Sungai Duri hanya sebesar 24.375 hektar.
Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Bengkayang adalah jenis tanah poldosit merah kuning, yaitu sebesar 322.347 hektar dan yang paling sedikit adalah jenis OGH, yaitu sebesar 6.700 hektar. Dilihat dari persebaran lerengnya, sebagian besar wilayah Kabupaten Bengkayang masuk pada kelas lereng 15-40 % dan hanya sebagian kecil yang masuk dalam kelas lereng lebih dari 40 %. Selanjutnya, dilihat dari tekstur tanahnya, sebagian besar masuk dalam tekstur sedang, yaitu sebesar 343.023 hektar. Luas wilayah tergenang di Kabupaten Bengkayang hanya sebesar 36.020 hektar dan luas wilayah yang tidak tergenang adalah sebesar 503.610 hektar.
Walaupun hanya sebagian kecil wilayah Kabupaten Bengkayang yang merupakan wilayah perairan laut, Kabupaten Bengkayang juga memiliki sejumlah pulau, yaitu sebanyak 12 pulau. Semua pulau yang ada masuk dalam wilayah Kecamatan Sungai Raya Kepulauan. Sebanyak 8 pulau masuk dalam wilayah Desa Sungai Raya, yaitu: Pulau Penatah Besar, Penatah Kecil, Seluas, Semesak, Kera, Baru, Batu Rakit, dan Tempurung. Selanjutnya, sebanyak 2 pulau masuk dalam wilayah Desa Karimunting, yaitu Pulau Kabung dan Pulau Batu Payung dan sebanyak 2 pulau masuk dalam wilayah Desa Pulau Lemukutan, yaitu Pulau Lemukutan dan Pulau Randayan. Dari sejumlah pulau tersebut, ada sebanyak 5 pulau masih belum berpenghuni dan 7 pulau sudah berpenghuni. Pulau yang sudah berpenghuni adalah: Pulau Penatah Besar, Penatah Kecil, Seluas, Baru, Kabung, Lemukutan, dan Randayan sedangkan sisanya yang belum berpenghuni adalah: Pulau Semesak, Pulau Kera, Pulau Rakit, Pulau Tempurung, dan Pulau Batu Payung. Semua pulau yang ada terletak di wilayah perairan Laut Natuna. Pulau terbesar yang berpenghuni adalah Pulau Lemukutan dan Pulau Penatah Besar.
Potensi wisata yang dimiliki oleh Kabupaten Bengkayang adalah wisata alam. Wilayah Kabupaten Bengkayang ada yang berada di wilayah pesisir dan di daratan yang merupakan wilayah perbukitan. Hal ini menyebabkan jenis wisata alam yang ada di Kabupaten Bengkayang adalah wisata pantai dan wisata alam air terjun. Wisata pantai yang sudah mulai
dikelola sebagai percontohan adalah pantai samudra indah, pantai gosong, dan pantai kurakura. Wisata air terjun yang sudah dimanfaatkan adalah air terjun madi yang digunakan sebagai sumber air bersih sedangkan air terjun lainnya, yaitu riam berasap sudah dimanfaatkan sebagai wisata alam. Dimasa yang akan datang, banyaknya air terjun yang ada juga dapat dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Curah hujan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah iklim, keadaan geografi, dan pertemuan arus udara. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Bengkayang selama tahun 2006 mencapai 269 mm. Curah hujan sebesar ini termasuk tinggi dan hal ini dipengaruhi oleh wilayah Kabupaten Bengkayang yang masuk dalam wilayah tropis (dengan ciri hutan tropis yang cukup lebat dan kelembaban udara tinggi). Rata-rata curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada bulan November dan terendah pada bulan Februari.
Rata-rata hari hujan pada tahun 2006 di Kabupaten Bengkayang adalah sebanyak 13 hari. Jumlah hari hujan yang paling banyak adalah pada bulan Desember dan yang paling sedikit adalah pada bulan Agustus. Kecamatan yang paling banyak rata-rata curah hujannya adalah Kecamatan Samalantan dan kecamatan yang paling sedikit rata-rata curah hujannya adalah Kecamatan Capkala.
2.1.3. Luas Wilayah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, luas wilayah Kabupaten Bengkayang adalah 5.396,30 km2 ditambah wilayah laut sampai 12 mil atau wilayah perijinan provinsi (hidro-oceanografi tahun 1993) seluas 1.026,72 km2 atau wilayah laut sampai batas 4 mil atau wilayah perijinan kabupaten seluas 184 km2. Secara keseluruhan, luas wilayah Kabupaten Bengkayang yang memiliki luas sebesar 5.396,30 km2 tersebut hanya mencakup sekitar 3,68 persen dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini menjadikan
Kabupaten Bengkayang sebagai kabupaten dengan cakupan wilayah terkecil di Kalimantan Barat.
Tabel 2.1 Jarak ke Ibukota Kabupaten, Luas, dan Ibukota Kecamatan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Kecamatan
Jarak ke Ibukota Kabupaten
(1)
(2)
1. Sungai Raya
Ibukota Kecamatan (3)
89,56
Sungai Duri
Luas (4)
75,85
2. Capkala
72,32
Capkala
46,35
3. Sungai Raya Kepulauan
72,56
Sungai Raya
394,00
4. Samalantan
37,39
Samalantan
420,50
5. Monterado
53,18
Monterado
291,00
6. Lembah Bawang
57,39
Tempapan
188,00
Bengkayang
167,04
7. Bengkayang
0
8. Teriak
13,76
Bana
231,51
9. Sungai Betung
14,84
Suka Maju
205,95
10. L e d o
31,01
Ledo
481,75
11. Suti Semarang
67,03
Suti Semarang
280,84
12. Lumar
16,94
Lumar
275,21
13. Sanggau Ledo
49,60
Sanggau Ledo
392,50
14. Tujuh Belas
61,60
Pisak
221,00
15. Seluas
76,08
Seluas
506,50
16. Jagoi Babang
89,96
Jagoi
655,00
103,68
Siding
563,30
17. Siding Total
5 396,30
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang
Dilihat dari luas masing-masing kecamatan, Jagoi Babang merupakan kecamatan yang paling luas di Kabupaten Bengkayang dengan cakupan wilayah sebesar 655 km2 atau sekitar 12,14 persen dari luas Kabupaten Bengkayang keseluruhan sedangkan kecamatan dengan wilayah terkecil adalah Kecamatan Capkala dengan luas wilayah sebesar 46,35 km2 atau hanya sekitar 0,86 persen dari total luas Kabupaten Bengkayang.
Grafik 2.1.1. Persentase Luas Kabupaten Bengkayang
Lembah BawangTujuh Belas Sungai Raya Samalantan S. Raya Ke p. Monterado Sungai Betung Be ngkayang Te riak Lumar
Le do
Siding Capkala Jagoi Babang
Seluas
Suti Semarang Sanggau Le do
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang
Dilihat dari jarak tempuh terjauh dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten di Kabupaten Bengkayang, Kecamatan Siding adalah kecamatan dengan jarak tempuh terjauh ke ibukota kabupaten, yaitu sekitar 103,68 km, kemudian disusul oleh Kecamatan Jagoi Babang dengan jarak tempuh 89,96 km, dan Kecamatan Sungai Raya dengan jarak tempuh 89,56 km.
2.2. Sejarah
Kabupaten Bengkayang pada masa penjajahan Belanda merupakan bagian dari wilayah Afdeling Van Singkawang. Pada waktu itu, dilakukan pembagian wilayah Afdeling administrasi yang daerah hukumnya meliputi:
Onder Afdeling Singkawang, Bengkayang, Pemangkat, dan Sambas (daerah Kesultanan Sambas)
Daerah Kerajaan/Penembahan Mempawah
Daerah Kerajaan Pontianak yang sebagian daerahnya adalah Mandor.
Tabel 2.2. Sejarah Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Bengkayang Tahun 1999
2001
2002
1. Sungai Raya 1. Sungai Raya 1. Sungai Raya
Keterangan 2003
2004
1. Sungai Raya
1. Sungai Raya
2. Capkala
2. Capkala
2006 1. Sungai Raya 2. Sungai Raya Kepulauan
Perda No. 7 Tahun 2006
3. Capkala
Perda No. 25 Tahun 2003
2. Tujuh Belas UU No. 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Singkawang
Menjadi Wilayah Kota Singkawang
3. Roban 4. Pasiran
4. Samalantan 2. Samalantan
2. Samalantan
3. Samalantan
3. Samalantan
5. Lembah Bawang
Perda No. 12 Tahun 2006
3. Monterado
3. Monterado
4. Monterado
4. Monterado
6. Monterado
Perda No. 4 Tahun 2001
5. Samalantan
5. Bengkayang 7. Bengkayang 4. Bengkayang 4. Bengkayang 5. Bengkayang 6. Sungai 8. Sungai Betung 6. Bengkayang Betung 5. Teriak
7. Ledo
5. Teriak
6. Teriak
6. Ledo
7. Ledo
7. Suti Semarang
9. Teriak
8. Ledo
10. Ledo
9. Lumar
11. Lumar
Perda No. 4 Tahun 2004
8. Suti Semarang
10. Suti Semarang
12. Suti Semarang
Perda No. 15 Tahun 2002
6. Ledo
13. Sanggau Ledo
7. Sanggau Ledo
8. Sanggau Ledo
9. Sanggau Ledo
11. Sanggau Ledo
9. Seluas
8. Seluas
9. Seluas
10. Seluas
12. Seluas
15. Seluas
11. Jagoi Babang
13. Jagoi Babang
16. Jagoi Babang
12. Siding
14. Siding
17. Siding
9. Jagoi Babang
10. Jagoi Babang
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang
Perda No. 4 Tahun 2001
7. Teriak
8. Sanggau Ledo
10. Jagoi Babang
Perda No. 5 Tahun 2004
14. Tujuh Belas
Perda No. 8 Tahun 2006
Perda No. 26 Tahun 2003
Setelah Perang Dunia II berakhir, daerah tersebut dibagi menjadi daerah otonom Kabupaten Sambas yang beribukota di Singkawang. Kabupaten Sambas ini membawahi 4 (empat) kawedanan, yaitu:
Kawedanan Singkawang
Kawedanan Pemangkat
Kawedanan Sambas
Kawedanan Bengkayang
Pada masa pemerintahan RI, menurut Undang-undang No. 27 tahun 1959 tentang penetapan Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1953 mengenai pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat (LNRI Nomor 72 tahun 1959, tambahan LNRI Nomor 1980), terbentuklah Kabupaten Sambas. Wilayah pemerintahan Kabupaten Sambas ini mencakup seluruh wilayah Kabupaten Bengkayang sekarang.
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 10 tahun 1999 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Bengkayang, secara resmi mulai tanggal 20 April 1999, Kabupaten Bengkayang terpisah dari Kabupaten Sambas. Pada waktu itu, wilayah Kabupaten Bengkayang ini meliputi 10 kecamatan, yaitu: Kecamatan Sungai Raya, Tujuh Belas, Pasiran, Roban, Samalantan, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, Seluas, dan Jagoi Babang.
Keberadaan Undang-undang Nomor 12 tahun 2001 tentang pembentukan Pemerintahan Kota Singkawang mengakibatkan Kabupaten Bengkayang dimekarkan kembali, yaitu dengan melepas 3 kecamatannya yang masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kota Singkawang sehingga tinggal menjadi 7 kecamatan. Kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkayang setelah adanya pemekaran Kota Singkawang tersebut adalah Kecamatan Sungai Raya, Samalantan, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, Seluas, dan Jagoi
Babang sedangkan kecamatan yang masuk dalam wilayah Kota Singkawang adalah Kecamatan Tujuh Belas, Roban, dan Pasiran.
Pada tahun 2002, kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkayang kembali bertambah menjadi 10 kecamatan dengan pembentukan 3 kecamatan baru, yaitu: Kecamatan Monterado, Teriak, dan Suti Semarang. Kecamatan Monterado merupakan pemekaran dari Kecamatan Samalantan, Kecamatan Teriak merupakan pemekaran dari Kecamatan Bengkayang, dan Kecamatan Suti Semarang merupakan pemekaran dari Kecamatan Ledo.
Pada awal tahun 2004, dari 10 kecamatan yang ada, Kabupaten Bengkayang dimekarkan lagi menjadi 14 kecamatan dengan 4 kecamatan barunya, yaitu: Kecamatan Capkala, Sungai Betung, Lumar, dan Siding. Kecamatan Capkala merupakan pemekaran dari Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Betung merupakan pemekaran dari Kecamatan Bengkayang, Kecamatan Lumar merupakan pemekaran dari Kecamatan Ledo, dan Kecamatan Siding merupakan pemekaran dari Kecamatan Jagoi Babang.
Pada pertengahan tahun 2006, Kabupaten Bengkayang memekarkan kembali jumlah kecamatan ada menjadi 17 kecamatan dengan penambahan 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Lembah Bawang, dan Tujuh Belas. Kecamatan Sungai Raya Kepulauan merupakan pemekaran dari Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Lembah Bawang merupakan pemekaran dari Kecamatan Samalantan, dan Kecamatan Tujuh Belas merupakan pemekaran dari Kecamatan Sanggau Ledo.
2.3. Sosial Budaya
Penduduk Kabupaten Bengkayang terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan adat istiadat. Keberagaman latar belakang budaya dan adat istiadat tersebut lahir dari penduduknya yang mempunyai beraneka ragam suku. Berbagai suku tersebut antara lain
adalah suku Dayak, Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Ambon, dan lain sebagainya. Namun demikian, penduduk asli Kabupaten Bengkayang adalah berasal dari suku Dayak dan Melayu sedangkan suku lain merupakan pendatang atau perantau yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh nusantara yang datang untuk berbagai tujuan, baik untuk mencari nafkah maupun tujuan khusus lainnya. Pada umumnya, kebanyakan penduduk asli Kabupaten Bengkayang yang berasal dari suku Dayak tinggal di daerah dataran tinggi atau pedalaman sedangkan penduduk yang berasal dari suku Melayu dan suku-suku pendatang lainnya kebanyakan tinggal di daerah dataran rendah atau pesisir.
Selain terdiri dari beraneka ragam suku, penduduk Kabupaten Bengkayang juga terdiri dari bermacam-macam agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Hal ini sesuai dengan salah satu butir penting yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Negara menjamin kehidupan beragama dan senantiasa mengembangkan kerukunan antar umat beragama dan kepercayaan.
Sarana dan prasarana ibadah yang ada pada tahun 2006 tercatat, yaitu Masjid sebanyak 146 unit, Surau sebanyak 118 unit, Gereja Katolik sebanyak 146 unit, Gereja Protestan sebanyak 321 unit, Pura sebanyak 2 unit, Vihara sebanyak 4 unit, dan kelenteng sebanyak 37 unit yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkayang.
BAB III DEMOGRAFI Penduduk pada dasarnya adalah modal dasar pembangunan yang paling penting dan secara tegas digariskan dalam GBHN. Suatu wilayah yang memiliki jumlah penduduk besar berarti memiliki aset potensial yang berguna dalam mendukung percepatan roda pembangunan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang besar tersebut mengindikasikan jumlah angkatan kerja yang tersedia juga dalam jumlah yang besar apalagi jika didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai. Akan tetapi, jika sumber daya penduduk tersebut tidak berkualitas maka penduduk tersebut justru akan menjadi penghambat bagi pembangunan itu sendiri. Mengingat peran dan fungsi tersebut, pembangunan di bidang kependudukan selalu mendapat perhatian utama dalam setiap tahapan pembangunan.
Penduduk memiliki peran ganda dalam pembangunan baik sebagai subyek maupun obyek pembangunan. Hal ini dikarenakan penduduk juga merupakan pelaku pembangunan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Dengan demikian, penduduk yang dimaksud tidak lagi hanya sebagai obyek melainkan juga sekaligus memposisikan diri sebagai subyek pembangunan wilayah.
Peran dan fungsi penduduk sangat strategis dalam dinamika pembangunan di berbagai bidang baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Oleh karena itu, pembangunan bidang kependudukan selalu mendapat tempat utama pada tiap lini tahapan pembangunan. Selain itu, akhir dari setiap tujuan pembangunan adalah meningkatkan mutu penduduk secara utuh dan menyeluruh yang biasanya diawali dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Dipandang dari sisi jumlah, pertambahan penduduk di suatu wilayah akan membawa dampak yang sangat menguntungkan bagi ketersediaan angkatan kerja. Pada sisi lain, penambahan angkatan kerja menuntut perluasan kesempatan kerja. Jika antara keduanya tidak
seimbang maka akan menimbulkan dampak negatif, yaitu lonjakan angka pengangguran (unemployment).
3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Tabel 3.1 Luas Wilayah, Jumlah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006
Kecamatan
Luas Wilayah (Km2)
(1)
(2)
Jumlah Penduduk (Jiwa) (3)
Kepadatan (Jiwa per Km2) (4)
1. Sungai Raya
75,85
19 728
260
2. Capkala
46,35
7 373
159
3. Sungai Raya Kepulauan
394,00
23 120
59
4. Samalantan
420,50
16 367
39
5. Monterado
291,00
24 938
86
6. Lembah Bawang
188,00
4 678
25
7. Bengkayang
167,04
18 536
111
8. Teriak
231,51
12 127
52
9. Sungai Betung
205,95
8 817
43
10. L e d o
481,75
14 255
30
11. Suti Semarang
280,84
4 820
17
12. Lumar
275,21
5 918
22
13. Sanggau Ledo
392,50
11 218
29
14. Tujuh Belas
221,00
11 339
51
15. Seluas
506,50
14 346
28
16. Jagoi Babang
655,00
7 163
11
17. Siding
563,30
7 140
13
5 396,30
211 883
39
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, Proyeksi Penduduk
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 adalah sebesar 211.883 jiwa. Bila dirinci menurut kecamatan maka
Kecamatan Lembah Bawang merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya sedangkan Kecamatan Monterado merupakan kecamatan yang paling banyak penduduknya. Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bengkayang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Dilihat dari kepadatan penduduknya, kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Sungai Raya sedangkan kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Jagoi Babang.
Tabel 3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Bengkayang Kecamatan
1990 - 2000 (1)
1. Sungai Raya
(2)
2000 - 2006 (3)
-0,66
2,38
2. Capkala
0,24
2,75
3. Sungai Raya Kepulauan
-1,36
3,79
4. Samalantan
0,83
3,12
5. Monterado
0,20
2,93
6. Lembah Bawang
0,31
3,18
7. Bengkayang
0,84
3,28
8. Teriak
0,70
3,08
9. Sungai Betung
1,48
2,82
10. L e d o
6,17
3,32
11. Suti Semarang
1,54
3,42
12. Lumar
0,45
3,37
13. Sanggau Ledo
-0,20
2,90
14. Tujuh Belas
1,68
2,63
15. Seluas
1,98
3,32
16. Jagoi Babang
4,78
3,01
17. Siding
1,95
2,91
0,80
3,08
Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, Proyeksi Penduduk
Tingginya kepadatan penduduk suatu wilayah akan menimbulkan banyak permasalahan. Salah satunya adalah masalah pemenuhan kebutuhan perumahan akibat luas lahan yang terbatas. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi juga akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya konflik sosial masyarakat.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bengkayang yang dihitung dengan metode geometrik selama kurun waktu 16 tahun terakhir terlihat berfluktuasi. Dalam kurun waktu 19902000, laju pertumbuhan penduduk per tahun rata-rata hanya mencapai 0,8 persen sedangkan dalam kurun waktu 2000-2006, laju pertumbuhan penduduk rata-rata hanya mencapai 3,08 persen. Rendahnya laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1990-2000 tersebut diperkirakan terjadi karena banyaknya penduduk yang berpindah keluar wilayah kabupaten yang diakibatkan oleh adanya konflik antar suku yang sering terjadi antara tahun 1990-2000 dan puncak konfliknya terjadi pada tahun 1997-1999 yang lalu. Namun demikian, laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi terjadi di Kecamatan Ledo dan Jagoi Babang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya program transmigrasi yang masuk pada kedua kecamatan tersebut yang sebagian besar terjadi antara tahun 1990-2000.
3.2. Komposisi Penduduk
Selain jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk, hal lain yang perlu diketahui adalah komposisi penduduk. Komposisi penduduk dapat dibagi menurut umur dan jenis kelamin. Struktur umur penduduk sangat penting untuk menjadi dasar perencanaan pemerintah dalam segala bidang pembangunan termasuk dalam bidang bisnis. Pengetahuan mengenai struktur umur penduduk di suatu wilayah diharapkan dapat menjadi dasar acuan agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan.
Kebutuhan akan suatu pelayanan juga bervariasi sepanjang siklus kehidupan menurut struktur umur yang ada. Salah satu contoh misalnya jika penduduk suatu wilayah
banyak yang termasuk dalam kelompok umur balita makan kebutuhan akan fasilitas kesehatan balita dan peningkatan gizi akan menjadi hal yang sangat penting. Namun sebaliknya, jika penduduk yang ada banyak yang termasuk dalam kelompok umur lanjut usia (lansia) maka yang menjadi masalah penting adalah penyediaan sarana kesehatan yang bersifat perawatan penyakit kronis. Contoh lain adalah misalnya jika suatu wilayah memiliki jumlah penduduk berusia sekolah dasar yang cukup besar maka pembangunan akan dapat lebih dikonsentrasikan untuk membangun sarana dan prasarana untuk pendidikan sekolah dasar sehingga tidak lagi salah sasaran, misalnya dengan membangun sarana dan prasarana untuk pendidikan tingkat lanjutan. Grafik 2.2.3. Piramida Penduduk Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 75+ 7 0 -7 4 6 5 -6 9 6 0 -6 4 5 5 -5 9 5 0 -5 4 4 5 -4 9 4 0 -4 4 3 5 -3 9 3 0 -3 4 2 5 -2 9 2 0 -2 4 1 5 -1 9 1 0 -1 4 5 -9 0 -4
-20000
-15000
-10000
-5000
0
P e r e m p ua n
5000
10000
15000
20000
L a k i- la k i
Struktur umur penduduk Kabupaten Bengkayang mulai mengalami pergeseran ke level yang lebih tinggi dengan terjadinya transisi struktur umur penduduk muda ke intermediate karena median umur penduduk Kabupaten Bengkayang yang sebesar 20,19. Pada tahun 2006, persentase penduduk usia anak-anak dan remaja (di bawah 20 tahun) adalah sebesar 48,68 persen dengan pembagian sebesar 24,84 persen penduduk usia remaja anak-anak dan remaja berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 23,84 persen berjenis kelamin perempuan dari total
jumlah penduduk Kabupaten Bengkayang. Dengan demikian, diketahui bahwa pada usia tersebut perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat dikatakan hampir berimbang. Selanjutnya, persentase penduduk lanjut usia atau lansia (usia 65 tahun ke atas) pada tahun 2006 adalah sebesar 2,7 persen dari total jumlah penduduk.
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Laki-laki (Jiwa)
Kelompok Umur (1)
(2)
0–4
17 851
Perempuan (Jiwa) (3)
17 224
Jumlah (Jiwa) (4)
35 075
5–9
12 859
12 423
25 282
10 – 14
10 519
10 185
20 704
15 – 19
11 404
10 684
22 088
20 – 24
10 435
9 684
20 119
25 – 29
8 698
8 336
17 034
30 – 34
7 615
7 271
14 886
35 – 39
6 749
6 185
12 934
40 – 44
5 809
5 477
11 286
45 – 49
4 904
4 735
9 639
50 – 54
3 943
3 638
7 581
55 – 59
3 006
2 569
5 575
60 – 64
2 200
1 761
3 961
65 – 69
1 476
1 191
2 667
70 – 74
859
730
1 589
75 +
782
681
1 463
109 109
102 774
211 883
2005
106 104
99 773
205 877
2004
103 083
96 576
199 659
2003
100 155
93 498
193 653
2002
97 298
90 508
187 806
Jumlah Tahun
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, Proyeksi Penduduk
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin, dan Rasio di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Kecamatan (1)
1. Sungai Raya 2. Capkala 3. Sungai Raya Kepulauan
Laki-laki (Jiwa) (2)
Perempuan (Jiwa) (3)
Jumlah (Jiwa)
Rasio Jenis Kelamin
(4)
(5)
10 063
9 665
19 728
104
3 840
3 533
7 373
109 104
11 787
11 333
23 120
4. Samalantan
8 517
7 850
16 367
108
5. Monterado
12 965
11 973
24 938
108
6. Lembah Bawang
2 415
2 263
4 678
107
7. Bengkayang
9 497
9 039
18 536
105
8. Teriak
6 234
5 893
12 127
106
9. Sungai Betung
4 610
4 207
8 817
110
10. L e d o
7 341
6 914
14 255
106
11. Suti Semarang
2 479
2 341
4 820
106
12. Lumar
3 065
2 853
5 918
107
13. Sanggau Ledo
5 754
5 464
11 218
105
14. Tujuh Belas
5 865
5 474
11 339
107
15. Seluas
7 387
6 959
14 346
106
16. Jagoi Babang
3 662
3 501
7 163
105
17. Siding
3 628
3 512
7 140
103
109 109
102 774
211 883
106
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang,Proyeksi Penduduk
Rasio jenis kelamin (sex ratio) merupakan angka perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki terhadap setiap 100 penduduk perempuan. Angka rasio jenis kelamin yang lebih dari 100 berarti jumlah penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan. Secara umum, angka rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Bengkayang adalah 106. Hal ini berarti bahwa dari setiap penduduk perempuan Kabupaten Bengkayang, terdapat 106 penduduk laki-laki. Bila diamati masing-masing wilayah kecamatan maka terlihat bahwa pada tahun 2006, Kecamatan Sungai Betung memiliki angka rasio jenis kelamin yang paling tinggi, yaitu 110 sedangkan Kecamatan Siding memiliki rasio jenis kelamin yang paling rendah, yaitu 103.
Tabel 3.5 Angka Beban Tanggungan (Dependency Ratio) Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenis Kelamin
Dependency Ratio (1)
Anak-anak Lansia Jumlah
Laki-laki
Perempuan
(2)
(3)
Total (4)
32,96
31,84
64,80
2,49
2,08
4,57
35,45
33,92
69,37
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, Proyeksi Penduduk
Komposisi umur penduduk suatu wilayah juga dapat dihubungkan dengan Dependency Ratio (DR) atau Angka Ketergantungan. Dependency ratio secara umum dapat menggambarkan beban tanggungan ekonomi kelompok usia produktif (15-64 tahun) terhadap kelompok usia muda (kurang dari 15 tahun) dan usia tua (65 tahun ke atas). Semakin kecil dependency ratio, semakin kecil pula beban kelompok usia produktif untuk menanggung penduduk usia tidak produktif dan sebaliknya.
Secara umum, angka beban ketergantungan Kabupaten Bengkayang masih cukup tinggi, yaitu sebesar 69,37 pada tahun 2006. Besarnya angka beban tanggungan tersebut berarti dari 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung 69 penduduk usia non produktif baik itu anak-anak (0-14 tahun) maupun lansia (65 tahun keatas). Secara rinci, angka beban ketergantungan anak jauh lebih besar dibanding dengan angka ketergantungan lansia (lanjut usia), yaitu sebesar 64,8 dibanding dengan 4,57. Hal ini berarti bahwa angka beban tanggungan untuk anak adalah yang paling berperan dalam tingginya angka beban tanggungan secara total. Dengan demikian, diketahui bahwa penduduk Kabupaten Bengkayang sebagian besar adalah kelompok usia muda yang belum produktif dan belum dapat aktif secara ekonomi.
Dilihat menurut jenis kelamin, angka beban tanggungan laki-laki lebih besar daripada perempuan, baik untuk angka beban tanggungan lansia maupun angka beban tanggungan anak. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk laki-laki yang secara total yang memang lebih banyak dibanding dengan penduduk perempuan.
Tabel 3.6 Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Status Perkawinan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenis Kelamin
Status Perkawinan Laki-laki
Perempuan
(2)
(3)
(4)
Belum Kawin
49,17
38,16
43,98
Kawin
48,52
54,15
51,17
Cerai Hidup
0,24
1,52
0,85
Cerai Mati
2,07
6,17
4,00
100,00
100,00
100,00
(1)
Jumlah
Total
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Status perkawinan merupakan salah indikator yang dapat menunjukkan pola kelahiran atau fertilitas dan kelanggengan rumah tangga. Dilihat menurut status perkawinannya, persentase penduduk Kabupaten Bengkayang yang berstatus belum kawin adalah sebesar 43,98 persen, yang berstatus kawin sebesar 51,17 persen, cerai hidup sebesar 0,85 persen, dan cerai mati sebesar 4 persen.
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa penduduk yang berstatus cerai hidup cukup kecil. Dengan demikian, tergambar bahwa kesadaran penduduk dalam membina rumah tangga telah mantap dan stabil. Dilihat menurut jenis kelaminnya, persentase penduduk perempuan yang berstatus cerai mati lebih tinggi dibanding dengan laki-lakinya. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa rata-rata usia harapan hidup penduduk perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki.
3.3. Rasio Anak dan Wanita (Child Woman Ratio/CWR)
Rasio anak dan wanita adalah hubungan dalam bentuk rasio antara jumlah anak (usia 0-4 tahun) dengan jumlah penduduk wanita usia produktif (15-49 tahun). Pada tahun 2006, besarnya rasio anak dan wanita di Kabupaten Bengkayang adalah sebesar 670. Hal ini berarti bahwa di antara 1000 wanita usia produktif terdapat 670 anak. Angka ini mengindikasikan tingkat fertilitas yang masih cukup tinggi karena masih besarnya jumlah anak balita.
3.4. Rata-rata Umur Kawin Pertama
Umur kawin pertama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fertilitas. Syarifuddin (1993) mengemukakan bahwa umur kawin pertama mempunyai korelasi negatif dengan tingkat fertilitas seorang perempuan. Artinya semakin tua umur kawin pertama seorang perempuan, semakin sedikit pula jumlah anak yang akan dilahirkannya. Hal ini terjadi karena semakin tinggi umur kawin pertama seorang perempuan, semakin pendek pula usia suburnya dan pada akhirnya, akan menurunkan tingkat fertilitas perempuan tersebut.
Tabel 3.9 Persentase Wanita Umur 10 Tahun ke Atas Yang Pernah Kawin Menurut Golongan Umur Kawin Pertama di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Golongan Umur Kawin Pertama
Persentase
(1)
(2)
15 ke Bawah
4,20
16
5,05
17-18
27,53
19-24
50,77
25 ke Atas
12,45
Jumlah
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Dari data yang ada, terlihat umur kawin pertama sebagian besar wanita yang ada di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 adalah antara umur 19-24. Persentase wanita 10 tahun ke atas yang pernah kawin menurut kelompok umur kawin pertama dari yang terbesar adalah kelompok umur 19-24 tahun sebesar 50,77 persen, kelompok umur 17-18 tahun sebesar 27,53 persen, kelompok umur 25 tahun ke atas sebesar 12,46 persen, kelompok umur 16 tahun sebesar 5,05, dan kelompok umur 15 tahun ke bawah sebesar 4,20 persen.
Perkawinan di usia muda cenderung memiliki banyak kendala. Dilihat dari sisi pendidikan, dengan melangsungkan perkawinan di usia muda, tingkat pendidikan yang ditamatkan cenderung akan semakin rendah. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki berdampak pada kurangnya pengetahuan ibu dalam hal merawat anak dan mengatur keluarga. Selain itu, dari sudut kesehatan reproduksi, wanita yang kawin di usia muda, proses reproduksi belum benar-benar matang sehingga lebih rentan kesehatannya jika mempunyai anak. Pada akhirnya, kedua hal tersebut diatas akan menyebabkan semakin tingginya resiko ibu meninggal pada saat melahirkan atau tingginya resiko kematian anak.
3.5. Jumlah Anak Lahir Hidup
Kehadiran anak dalam sebuah keluarga merupakan salah satu hal yang dianggap penting. Dari sisi emosional, anak dianggap penting karena dapat membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi keluarga itu sendiri. Selain itu, kehadiran atau keberadaan anak dalam sebuah keluarga berarti kelanjutan keluarga tersebut dimasa yang akan datang tidak hilang atau dengan kata lain, anak mempunyai peran penting dalam meneruskan garis keturunan.
Banyaknya anak dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang ada dan dianut oleh suatu masyarakat. Sebagai contoh, adanya pandangan “banyak anak banyak rejeki” yang masih dianut oleh sebagian masyarakat. Anak juga dipandang sebagai barang modal oleh
sebagian masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Anak yang banyak berarti lahan pertanian yang dimiki akan digarap oleh anak-anaknya sendiri sehingga keluarga tersebut tidak perlu keluar biaya untuk mempayar pekerja lagi. Preferensi jenis kelamin anak juga mempunyai peran penting dalam masyararakat tertentu. Sebagai contoh, sebuah keluarga akan terus menambah anaknya jika belum dapat anak laki-laki karena hanya anak laki-laki dianggap mampu menjadi penerus keluarga.
Tabel 3.10 Persentase Wanita Umur 10 Tahun ke Atas Yang Pernah Kawin Menurut Jumlah Anak Lahir Hidup di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jumlah Anak Lahir Hidup
Persentase
(1)
(2)
0
5,10
1
16,41
2
21,21
3
20,62
4
12,83
5
8,43
6
5,57
7
4,41
8
2,56
9
1,42
10+
1,44
Jumlah
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Dengan adanya program Keluarga Berencana (KB) mulai awal tahun 1970-an, terbukti pandangan masyarakat tentang pandangan banyak anak banyak rejeki mulai luntur dan digantikan menjadi keluaga kecil bahagia sejahtera. Diharapkan dengan jumlah anak yang tidak terlalu banyak, kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu, orang tua dapat mengikuti perkembangan fisik dan psikologis anaknya lebih optimal. Tujuan akhir program KB
ini adalah diharapkan akan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih baik dan lebih handal dalam segala bidang di masa mendatang. Jumlah anak yang dilahirkan hidup pada wanita pernah kawin usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Bengkayang ternyata masih cukup tinggi. Terlihat bahwa persentase wanita yang pernah kawin dan memiliki 5 atau lebih adalah sebesar 23,82 persen. Namun demikian, jika dilakukan perbandingan antara wanita yang memiliki jumlah anak kurang atau sama dengan empat orang dan yang lima orang atau lebih maka persentasenya masih lebih banyak keluarga yang jumlah anak lahir hidupnya kurang atau sama dengan empat. Dari data jumlah anak lahir hidup diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kelahiran di Kabupaten Bengkayang masih cukup tinggi.
3.6. Jumlah Anak Masih Hidup
Tabel 3.11 Persentase Wanita Umur 10 Tahun ke Atas Yang Pernah Kawin Menurut Jumlah Anak Masih Hidup di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jumlah Anak Masih Hidup
Persentase
(1)
(2)
0
5,89
1
17,14
2
21,17
3
21,30
4
12,28
5
8,82
6
5,97
7
3,07
8
2,67
9
0,89
10+
0,80
Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
100,00
Data jumlah anak yang masih hidup merupakan salah satu indikator penting dalam kependudukan. Dari data ini, dapat diketahui tingkat kematian, derajat kesehatan masyarakat, pemenuhan gizi, dan penyediaan prasarana kesehatan dalam masyarakat.
Persentase jumlah anak yang masih hidup di Kabupaten Bengkayang menurut data Susenas tahun 2006 cukup bagus. Dari wanita pernah kawin berusia 10 tahun ke atas yang mempunyai anak lebih dari dua orang, sebesar 55,79 persen anak yang dilahirkan masih hidup sampai sekarang. Hal ini berarti bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan, pemenuhan gizi masyarakat, dan derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 sudah cukup baik.
BAB IV PENDIDIKAN Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat adalah indikator pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan masyarakat karena sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas sumber dayanya. Pengalaman menunjukkan bahwa kebodohan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang yang saling terkait. Kebodohan dapat menjadi sumber kemiskinan dan kemiskinan dapat menjadi sumber kebodohan. Pada dasarnya, pendidikan adalah upaya sadar seseorang untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, serta memperluas wawasan. Pendidikan juga merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subyek sekaligus obyek dalam pembangunan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia maka pembangunan di bidang pendidikan dilaksanakan melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan yang diupayakan diharapkan merupakan pendidikan yang berkualitas dengan sistem pengelolaan yang efisien. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai kebutuhan jaman sedangkan yang dimaksud dengan efisiensi pengelolaan pendidikan adalah pendidikan yang diselenggarakan diharapkan dapat berdaya guna dan berhasil guna. Pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 sebagai pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1989 yang tidak memadai lagi serta perlu disempurnakan sesuai amanat perubahan UUD 1945. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan UUD dan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Sisdiknas tersebut dimaksudkan sebagai arah dan strategi pembangunan nasional di bidang pendidikan.
Strategi pembangunan pendidikan dijabarkan melalui empat sendi pokok, yaitu pemerataan kesempatan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan, dan efisiensi pengelolaan. Pemerataan kesempatan pendidikan diupayakan melalui penyediaan sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah baru dan penambahan tenaga pengajar mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Relevansi pendidikan merupakan konsep “Link dan Match”, yaitu pendekatan atau strategi meningkatkan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja.
Upaya perbaikan pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan pemerintah secara bertahap sejak tahun 1994. Mulai tahun tersebut, pemerintah mulai melaksanakan program wajib belajar 6 tahun yang dilanjutkan dengan program wajib belajar 9 tahun. Dengan semakin lamanya usia wajib belajar ini, diharapkan tingkat pendidikan masyarakat semakin membaik. Bersamaan dengan itu, pembangunan sarana fisik dan prasarana pendidikan juga terus dipacu sehingga penduduk usia sekolah dapat semakin mudah mengakses fasilitas pendidikan yang ada.
Peningkatan kualitas masyarakat tentunya tidak hanya terbatas pada golongan usia sekolah saja tetapi diharapkan dapat mencakup golongan usia menengah keatas. Wujud dari penerapan tujuan tersebut antara lain dengan dilaksanakannya program Kejar Paket A dan Kejar Paket B. Dengan adanya program ini, diharapkan kelompok penduduk yang tidak masuk dalam usia sekolah dapat mengambil kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar dan menengah.
Pemerintah Kabupaten Bengkayang sendiri telah melakukan berbagai upaya dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan maupun penyediaan fasilitas pendidikan yang ada. Hal
ini seiring dengan adanya program wajib belajar 9 tahun yang semakin memacu pemerintah daerah dalam meningkatkan kulitas pendidikan yang ada. Diharapkan upaya yang ada ini dapat mengarah pada perbaikan pendidikan penduduk.
4.1. Angka Partisipasi Kasar
Indikator ini digunakan untuk mengukur proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka partisipasi kasar dapat memberikan gambaran tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu.
Tabel 4.1 Angka Partisipasi Kasar Penduduk Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenjang Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
(1)
(2)
(3)
Jumlah (4)
SD
95,60
96,79
96,16
SLTP
63,08
67,98
65,32
SLTA
50,35
54,19
52,00
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Berdasarkan hasil Susenas 2006, pada jenjang pendidikan sekolah dasar, angka partisipasi kasar (APK) Kabupaten Bengkayang adalah sebesar 96 yang artinya bahwa pada tahun 2006 terdapat sebanyak 96 murid sekolah dasar dari 100 penduduk usia 7-12 tahun. Dilihat menurut jenis kelamin, angka partisipasi kasar perempuan lebih tinggi dibandingkan lakilaki. Angka partisipasi kasar untuk tingkat sekolah menengah pertama pada tahun yang sama adalah sebesar 65 yang artinya dari 100 penduduk usia 13-15 tahun, ditemui 65 yang berstatus murid SLTP. Selanjutnya, angka partisipasi kasar untuk tingkat sekolah menengah atas adalah sebesar 52 pada tahun 2006 yang artinya pada tahun 2006, dari 100 penduduk usia 16-18 tahun, terdapat 52 orang yang berstatus sebagai murid SLTA. Jika dilihat menurut jenis
kelamin, angka partisipasi kasar pada jenjang sekolah menengah baik menengah pertama maupun menengah atas angkanya lebih besar perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Angka partisipasi kasar laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan di semua tingkat pendidikan mengindikasikan bahwa partisipasi sekolah perempuan di semua tingkat masih lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Faktor yang dimungkinkan menjadi penyebabnya adalah untuk anak-laki-laki setelah tamat SD cenderung untuk bekerja membantu orang tua, apalagi sebagian besar masyarakat Kabupaten Bengkayang bekerja di sektor pertanian yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun demikian perlu dikaji lebih dalam penyebab adanya tren penurunan partisipasi sekolah ini lebih lanjut.
Adanya pola angka partisipasi kasar yang semakin rendah seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan salah satunya dipengaruhi oleh masih kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan. Selain itu, kondisi sosial ekonomi yang serba paspasan dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang masih relatif banyak mendorong pendidikan yang dimiliki masih relatif rendah. Dengan kata lain, semakin sedikit penduduk yang mengenyam pendidikan seiring dengan semakin tinggi jenjang pendidikannya.
4.2. Angka Partisipasi Murni
Angka partisipasi murni menunjukkan proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya. Angka partisipasi murni akan selalu lebih rendah dibandingkan angka partisipasi kasar karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. Angka partisipasi murni membatasi usia murid sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya sehingga angkanya lebih kecil. Indikator angka partisipasi murni dapat memberikan gambaran yang lebih baik daripada angka partisipasi kasar karena indikator ini memberikan gambaran kekonsistenan antara umur penduduk dengan pendidikan yang disarankan untuk usia yang bersangkutan.
Tabel 4.2 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenjang Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
SD
94,24
96,10
95,12
SLTP
60,63
61,44
61,00
SLTA
38,57
40,97
39,60
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Pada tahun 2006, pada jenjang pendidikan sekolah dasar, angka partisipasi murni di Kabupaten Bengkayang sebesar 95,12 persen. Hal ini berarti bahwa dari 100 penduduk usia 712 tahun, sebanyak 95 orang sudah mengikuti pendidikan sekolah dasar sesuai dengan jenjang pendidikan yang seharusnya dijalani pada umur tersebut. Untuk jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni jenjang tersebut pada tahun 2006 adalah sebesar 61,00 persen. Angka ini berarti bahwa pada tahun 2006, dari 100 penduduk usia 13-15 tahun, ada sebanyak 61 orang yang sekolah sesuai dengan jenjang pendidikan yang seharusnya dijalani, yaitu sekolah menengah pertama. Selanjutnya, angka partisipasi murni pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2006 adalah sebesar 39,60 persen. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2006, dari 100 penduduk usia 15-18 tahun, ada sekitar 40 orang yang sekolah sesuai dengan jenjang pendidikan yang seharusnya dijalani, yaitu sekolah menengah atas. Sama halnya dengan angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni perempuan selalu lebih tinggi dibanding dengan laki-laki di setiap jenjang pendidikan.
4.3. Angka Partisipasi Sekolah
Angka partisipasi sekolah mengukur proporsi anak yang bersekolah pada suatu kelompok umur sekolah jenjang pendidikan tertentu. Angka partisipasi sekolah memberikan gambaran secara umum tentang banyaknya anak kelompok umur tertentu yang sedang bersekolah, tanpa memperhatikan jenjang pendidikan yang sedang diikuti. Secara aktual,
evaluasi program pendidikan lebih tergambar oleh angka partisipasi sekolah, yaitu angka yang menunjukkan secara lebih tepat jumlah penduduk yang masih bersekolah menurut kelompok usianya. Indikator angka partisipasi sekolah sedikit berbeda dengan angka partisipasi kasar karena bila angka partisipasi kasar lebih menekankan pada keikutsertaan sekolah anak berdasarkan jenjang pendidikan sedangkan indikator angka partisipasi sekolah lebih menekankan pada keikutsertaan dari golongan usia pendidikan.
Tabel 4.3 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenjang Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
(1)
(2)
(3)
Jumlah (4)
SD
94,99
97,95
96,38
SLTP
85,28
86,14
85,67
SLTA
62,13
73,17
66,89
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Angka partisipasi sekolah menurun seiring dengan meningkatnya golongan usia. Golongan usia 7-12 tahun memiliki angka partisipasi sekolah yang relatif lebih tinggi. Hal ini terlihat pada angka partisipasi sekolah di Kabupaten Bengkayang tahun 2006 yang sebesar 96,38. Selanjutnya, angka partisipasi sekolah golongan usia 13-15 pada tahun 2006 adalah sebesar 85,67. Angka partisipasi sekolah golongan usia 16-18 pada tahun 2006 sebesar 66,89.
Jika angka partisipasi sekolah dilihat menurut jenis kelamin maka terlihat pula untuk penduduk Kabupaten Bengkayang tahun 2006, angka partisipasi sekolah penduduk perempuan lebih tinggi dari pada penduduk laki-laki. Namun demikian, angka partisipasi sekolah yang ada harus tetap ditingkatkan guna peningkatan sumber daya manusia yang ada.
4.4. Angka Melek Huruf
Ukuran yang sangat mendasar dari tingkat pendidikan adalah kemampuan baca-tulis penduduk dewasa (Literacy Rate). Kemampuan baca-tulis tercermin dari data angka melek huruf. Dalam hal ini, angka melek huruf merupakan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca huruf latin dan huruf lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna memberantas buta huruf, antara lain adalah dengan adanya program Kejar Paket A dan B yang ditujukan bagi masyarakat yang tidak mampu khususnya yang tinggal di daerah pedesaan.
Tabel 4.4. Angka Melek Huruf Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
(1)
(2)
(3)
Jumlah (4)
15 – 19
98,38
98,65
98,50
20 – 24
97,04
96,80
96,92
25 – 34
98,81
95,74
97,34
35 – 49
94,38
77,08
85,89
50+
67,98
32,39
52,19
Total
91,90
81,24
86,88
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Berdasarkan data Susenas tahun 2006, diketahui bahwa angka melek huruf di Kabupaten Bengkayang adalah sebesar 86,88. Dari sisi gender, angka melek huruf laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini tidak terlepas karena masih adanya budaya masyarakat yang membedakan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan antara laki-laki dengan perempuan dimasa lampau selain karena keterbatasan rumah tangga untuk dapat menyekolahkan seluruh anak-anaknya. Tren angka melek huruf menurut seiring dengan kelompok usia yang ada. Hal ini cukup dimaklumi mengingat di masa lampau pendidikan masyarakan belum menganggap penting sekolah sehingga angka melek huruf pada kelompok
usia tua relatif lebih kecil. Hal ini juga menunjukkan adanya keberhasilan program pemerintah dalam hal pengentasan buta huruf. Target utama dalam pengentasan buta huruf masih dititik beratkan di daerah pedesaan khususnya untuk kaum perempuan. Apabila target tersebut dapat tercapai maka niscaya buta huruf di Kabupaten Bengkayang dapat segera diatasi.
4.5. Pendidikan yang Ditamatkan
Perlunya pendidikan yang intensif yang berkaitan dengan kemampuan dasar penduduk dapat dilihat dari tamatan pendidikan penduduk. Untuk itu, dikenal indikator tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk yang menunjukkan persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut pendidikan terakhir yang ditamatkan atau ijazah tertinggi yang dimiliki.
Tabel 4.5 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenjang Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
SD
29,98
28,11
29,10
SLTP
18,31
15,92
17,18
SLTA
9,10
8,72
8,93
Perguruan Tinggi
2,51
1,3
1,94
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang
Pada tahun 2006, persentase penduduk 10 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan sekolah dasar adalah sebesar 29,10 persen. Selanjutnya, yang telah menamatkan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat pertama adalah sebanyak 17,18 persen, diikuti sekolah lanjutan tingkat atas sebesar 8,93 persen, dan perguruan tinggi sebesar 1,94 persen.
Perbedaan tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk dapat dilihat dari jenis kelamin. Tingkat pendidikan penduduk laki-laki di semua jenjang pendidikan relatif lebih tinggi
dibanding tingkat pendidikan penduduk perempuan. Akan tetapi, melihat kecenderungan yang diperlihatkan oleh partisipasi sekolah penduduk, tidak tertutup kemungkinan bahwa indikator tingkat pendidikan tersebut pada tahun-tahun yang akan datang cenderung lebih baik untuk penduduk perempuan.
Persebaran penduduk yang tidak merata dan penyediaan kelengkapan berbagai sarana pendidikan yang masih sangat terbatas sangat berpengaruh pada distribusi penduduk menurut pendidikan. Upaya peningkatan pendidikan di Kabupaten Bengkayang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk memacu perbaikan tingkat pendidikan penduduk harus dilakukan percepatan. Selain program wajib belajar 9 tahun yang harus terus digalakkan, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan juga harus terus ditingkatkan, dan sasaran peningkatan kualitas pendidikan juga harus dipertajam. Perlu dukungan dari semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat guna percepatan peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Kabupaten Bengkayang di masa yang akan datang.
4.6. Ketersediaan Sarana Pendidikan
Disamping indikator-indikator yang memperlihatkan perkembangan sekolah, juga perlu dilihat indikator lain yang memperlihatkan keberadaan sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki serta daya serap fasilitas dan tenaga pengajar. Penyediaan sarana dan prasarana belajar mengajar merupakan salah satu bagian dari upaya pemerataan kesempatan pendidikan.
Upaya pemerintah Kabupaten Bengkayang dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun semakin baik. Hal ini tercermin dari keberadaan sarana dan prasarana pendidikan mulai dari tingkat sekolah taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas yang semakin diperbaiki baik dari segi jumlah maupun fasilitasnya dari tahun ke tahun.
Dengan adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan yang ada, diharapkan kualitas pendidikan masyarakat Kabupaten Bengkayang juga semakin baik.
Tabel 4.6 Banyaknya Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenis Fasilitas
Gedung Sekolah
(1)
(2)
TK
20
SD
228
MI
7
SLTP
39
MTs
5
SLTA
14
MA
2
SMK
2
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang
Tabel 4.7 Rasio Murid dan Guru di Kabupaten Bengkayang Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006 Jenis Sekolah
Guru
Murid
Rasio
(1)
(2)
(3)
(4)
TK
43
586
14
SD
1 779
34 217
19
MI
56
526
9
SLTP
578
7 649
13
MTs
56
376
7
SLTA
292
3 902
13
MA
28
134
5
SMK
54
576
11
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang
Salah satu indikator penting dalam hal penyediaan sarana dan prasarana sekolah adalah dilihat dari rasio murid dan guru. Semakin sedikit jumlah guru yang mengajar dan jumlah murid yang diawasi maka diharapkan semakin baik juga kualitas murid yang diajar karena perkembangan prestasi masing-masing murid lebih dapat diawasi.
Tabel 4.8 Rasio Murid dan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bengkayang Menurut Kecamatan Tahun 2006 Kecamatan
Guru
Murid
(1)
(2)
(3)
(4)
365
6.415
18
48
1.192
25
1. Sungai Raya 2. Capkala 3.
Rasio
Sungai Raya Kepulauan1)
4. Samalantan
199
3.816
19
5. Monterado
161
4.123
26
7. Bengkayang
188
3.534
19
8. Teriak
118
2.485
21
6. Lembah Bawang2)
9. Sungai Betung
75
1.372
18
113
1.953
17
11. Suti Semarang
29
921
32
12. Lumar
74
915
12
215
3.202
15
144
2.674
19
16. Jagoi Babang
66
943
14
17. Siding
40
1.198
30
1.835
34.743
19
10. L e d o
13. Sanggau Ledo 14. Tujuh Belas3) 15. Seluas
Jumlah Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang
Dari tabel rasio murid dan guru, terlihat bahwa secara umum rasio murid dan guru di Kabupaten Bengkayang sudah relatif baik. Namun demikian rasio murid dan guru tidak terdistribusi secara merata di seluruh wilayah. Rasio murid dan guru untuk tingkat pendidikan dasar di kecamatan yang sulit dijangkau masih besar seperti untuk Kecamatan Suti Semarang dan Kecamatan Siding rasio murid dan guru masih diatas 30. Data rasio murid dan guru menjadi data yang penting untuk disajikan sampai per tingkat pendidikan dan masing-masing sekolah sebagai bahan perencanaan penambahan tenaga guru dan penempatannya dalam rangka percepatan pembangunan di sektor pendidikan. Dilihat berdasarkan gender, guru yang berada di daerah perkotaan cenderung sebagian besar merupakan perempuan sedangkan untuk di daerah yang jauh cenderung laki-laki. Ini juga dapat mengindikasikan tidak adanya kesetaraan gender dalam hal tenaga pengajar.
4.7. Angka Putus Sekolah
Salah satu indikator penting dalam hal pendidikan adalah angka putus sekolah. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang, angka putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar pada tahun 2006 sebesar 1,7 yang artinya bahwa dari 100 penduduk usia 7-12 tahun yang sekolah SD terdapat sekitar 2 orang yang putus sekolah. Selanjutnya untuk tingkat sekolah menengah pertama angka putus sekolahnya sebesar 4,25 artinya bahwa dari 100 penduduk usia 13-15 tahun yang sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama terdapat sekitar 4 orang yang putus sekolah. Angka putus sekolah untuk tingkat sekolah menengah atas sebesar 1,69 yang artinya dari 100 orang usia 16-18 tahun yang sekolah pada jenjang sekolah menengah atas terdapat 2 orang yang putus sekolah pada jenjang tersebut. Namun demikian, angka putus sekolah ini belum dipisahkan menurut jenis kelamin.
BAB V KESEHATAN Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta kualitas hidup dan usia harapan hidup dan mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Target grup program kesehatan lebih ditekankan pada masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok masyarakat tertinggal. Peran serta masyarakat perlu terus ditingkatkan melalui pengelolaan kesehatan terpadu termasuk dunia usaha. Secara kualitas dan kuantitas, penyediaan berbagai sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan penyediaan obat juga harus terus ditingkatkan.
Menjadi tugas berat bagi pemerintah untuk dapat mencapai visi yang ada dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 dan yang tercantum dalam Propenas yaitu “Menuju Indonesia Sehat 2010” mengingat pembangunan kesehatan menyentuh hampir diseluruh aspek kehidupan manusia dan harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan terarah. Program pemerintah yang harus dicapai dalam bidang kesehatan antara lain adalah dengan melakukan upaya perbaikan gizi masyarakat, menciptakan lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat di dalamnya, serta peningkatan kesehatan reproduksi remaja dan keluarga berencana. Untuk itu, diperlukan peran aktif dari semua kalangan untuk dapat mencapai tujuan yang dimaksud.
Isu gender dalam bidang kesehatan sangat terkait erat dengan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang pelayanan kesehatan dan program/kebijakan kesehatan. Masalah reproduksi dan nutrisi merupakan masalah kesehatan perempuan, tetapi dalam pandangan yang luas, perempuan memerlukan pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan perempuan “seutuhnya”, tanpa memandang usia dan status sosial. Kesehatan dalam hal ini adalah kesejahteraan total, yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-
faktor biologis dan reproduksi, tetapi juga oleh pengaruh beban kerja, nutrisi, stress, perang dan migrasi, dan yang lainnya (Van der Kwaak, 1991).
Upaya kesehatan di Kabupaten Bengkayang sejauh ini telah diarahkan untuk dapat meningkatkan mutu dan pelayanan kesehatan yang makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Slogan menuju Bengkayang sehat tahun 2010 menjadi tugas penting dalam rangka percepatan pembangunan khususnya di bidang kesehatan di Kabupaten Bengkayang.
5.1. Angka Kematian Bayi dan Anak
Angka kematian bayi merupakan indikator penting untuk melihat tingkat kesehatan masyarakat. Angka ini sangat sensitif terhadap perubahan kondisi bayi, orang tua, khususnya sang ibu, kondisi perumahan, serta kondisi kesehatan lingkungan orang tua sang bayi tinggal. Angka kematian bayi ini dirumuskan sebagai jumlah kematian bayi berumur dibawah 1 tahun selama tahun tertentu dibagi dengan jumlah kelahiran pada tahun yang sama. Biasanya angka kematian bayi dibedakan menurut jenis kelamin.
Berdasarkan data susenas 2003-2004, angka kematian bayi laki-laki lebih besar dibanding angka kematian bayi perempuan dan tren penurunan bayi. Angka kematian bayi lakilaki pada tahun 2003 di Kabupaten Bengkayang sebesar 53,71 dan pada tahun 2004 menjadi sebesar 53,60. Selanjutnya, angka kematian bayi perempuan pada tahun 2003 adalah sebesar 40,29 dan pada tahun 2004 menjadi sebesar 40,21. Artinya di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2003, dari setiap 1000 kelahiran yang terjadi terdapat sekitar 54 bayi laki-laki dan 41 bayi perempuan yang meninggal. Namun demikian, pada tahun 2004 terdapat sekitar 53 bayi lakilaki dan 40 bayi perempuan yang meninggal. Target Indonesia Sehat 2010 adalah menurunkan angka kematian sampai 40 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup. Data angka kematian bayi untuk tahun 2006, diperoleh dari laporan registrasi puskesmas adalah sebanyak 59 kematian bayi dan kelahiran hidup sebanyak 4.150 kejadian sehingga berdasarkan laporan tersebut
angka kematian bayi yang ada sebesar 14,22 per 1000 kelahiran hidup. Namun demikian, angka tersebut belum mencerminkan kondisi sesungguhnya mengingat pencatatan vital masalah kependudukan (lahir, mati, dan pindah) belum bagus sehingga diduga pelaporan banyaknya kelahiran baik yang hidup maupun yang mati tidak semuanya tercatat. Apalagi jika dilihat lebih jauh di daerah pedesaan yang masih belum terjangkau fasilitas kesehatan, masyarakat masih menggunakan bidan kampung dimana resiko pada saat proses kelahirannya lebih tinggi.
Angka harapan hidup adalah salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengetahui rencana pembangunan di bidang kesehatan di masa yang akan datang sekaligus sebagai evaluasi pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan. Angka harapan hidupjuga dibedakan menurut jenis kelamin.
Rata-rata angka harapan hidup penduduk laki-laki Kabupaten Bengkayang tahun 2004 adalah sebesar 65,30 dan meningkat menjadi sebesar 66,10 pada tahun 2005. Selanjutnya, rata-rata angka harapan hidup penduduk perempuan Kabupaten Bengkayang tahun 2004 adalah sebesar 69,20 dan meningkat menjadi 70,10 pada tahun 2005. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata hidup penduduk perempuan lebih lama dibanding dengan penduduk laki-laki. Hal ini disebabkan karena perbedaan daya tahan hidup antara penduduk laki-laki dengan perempuan. Rata-rata daya tahan hidup penduduk perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Sebagai contoh, pada saat lahir, bayi laki-laki lebih sering terkena penyakit kuning yang rawan berakibat pada kematian bayi laki-laki sedangkan bayi perempuan lebih jarang mengalaminya. Pada saat dewasa, penduduk laki-laki juga lebih sering bekerja pada bidang yang berhubungan langsung dengan hal-hal yang membahayakan nyawa sedangkan penduduk perempuan jarang yang bekerja pada bidang tersebut.
5.2. Angka Kematian Ibu dan Partisipasi KB
Data Maternal Mortality atau yang biasa dikenal dengan angka kematian ibu adalah informasi yang sangat sulit untuk diperoleh. Data ini sulit diperoleh karena sangat bergantung pada ingatan responden tentang riwayat kematian ibu atau saudara perempuan dan penyebab kematiannya. Asumsi yang digunakan untuk menghitung angka kematian ibu ini adalah kematian perempuan saat melahirkan adalah sebesar 15 persen dari total banyaknya perempuan yang melahirkan. Angka kematian ibu ini dirumuskan sebagai banyaknya kematian ibu yang terjadi dari proses kelahiran sampai masa nifas dibagi dengan banyaknya perempuan yang melahirkan pada tahun tertentu.
Tabel 5.2. IMR, Angka Harapan Hidup, MMR Menurut Jenis Kelamin Tahun 2003, 2004, 2006
Uraian (1)
2003
2004
LK
PR
LK
PR (4)
2006*
(2)
(3)
(4)
1. Infant Mortality Rate
53,71
40,29
53,60
40,21
14,22
2. Angka Harapan Hidup
64,47
67,69
63,40
67,71
68,30
-
450,00
-
513,31
144,60
3. Maternal Mortality Rate
(4)
Sumber: Laporan Indikator Database, 2003-2004 Keterangan: * Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang
Berdasarkan data susenas 2003-2004 yang telah dihitung oleh S.G. Made Mamas diperoleh angka maternal mortality rate di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2003 sebesar 450 kematian dan pada tahun 2004 menjadi sebesar 513,31 kematian. Artinya bahwa dari setiap 100.000 perempuan yang melahirkan bayi hidup sampai dengan selesai masa nifas, perempuan yang meninggal selama proses melahirkan dan masa nifas pada tahun 2003 adalah sebesar 450 kematian ibu dan pada tahun 2004 menjadi sebanyak 513. Angka ini masih sangat
tinggi sehingga masih perlu penanganan yang cukup serius guna menurunkan angka kematian ibu ini.
Pada tahun 2006, berdasarkan registrasi puskesmas terdapat 6 kejadian kematian ibu baik pada saat melahirkan maupun masa nifas. Berdasarkan data tersebut dihitung bahwa angka kematian ibu pada tahun 2006 sebesar 144,6 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini dirasa masih belum mencakup semua kejadian yang ada. Data angka kematian ibu juga sangat sulit diperoleh mengingat registrasi yang ada belum mencakup seluruh kejadian kematian ibu dan penyebabnya.
Tabel 3.12 Persentase Penduduk Wanita Umur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin Menurut Penggunaan Cara/Alat KB di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Penggunaan Cara/Alat KB (1)
Persentase (2)
Sedang Menggunakan
59,26
Sudah Tidak Menggunakan Lagi
20,05
Tidak Pernah Menggunakan
20,69
Jumlah
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Jumlah penduduk perempuan Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 adalah sebanyak 102.774 jiwa. Dari total penduduk perempuan tersebut, yang tergolong dalam wanita usia subur atau WUS (usia 15-49 tahun) ada sekitar 50,96 persen. Dari total jumlah wanita usia subur (WUS) tersebut terdapat sekitar 62,08 persen wanita usia subur yang berstatus kawin (pasangan usia subur/PUS). Kelompok pasangan usia subur inilah yang memiliki peran besar terhadap pertambahan penduduk karena resiko terjadinya kehamilan dan kelahiran paling tinggi terdapat pada kelompok ini. Kelompok pasangan usia subur inilah yang menjadi sasaran utama program keluarga berencana.
Dari keseluruhan penduduk wanita yang berumur 15-49 tahun yang berstatus kawin, terdapat 59,26 persen di antaranya yang sedang menggunakan salah satu alat atau cara KB sedangkan sisanya sebanyak 20,05 sudah tidak menggunakan lagi dan sebanyak 20,68 persen tidak pernah menggunakan alat/cara KB sama sekali. Jenis alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 adalah pil KB dan suntik KB. Persentase PUS yang menggunakan alat kontrasepsi jenis suntik ada sebanyak 66,36 persen dan yang menggunakan alat kontrasepsi jenis pil ada sebanyak 25,67 persen. Untuk jenis alat kontrasepsi yang lain, persentase PUS yang menggunakannya relatif sedikit, yaitu hanya sebesar sebesar 2,31 persen untuk MOW/Tubektomi, sebesar 1,39 persen untuk MOP/Vasektomi, sebesar 0,46 persen untuk AKDR/IUD/Spiral, dan sebesar 2,88 persen untuk Susuk/Norplan/Alwalit. Yang menarik disini adalah masih ditemukan PUS yang menggunakan metode tradisional untuk KB. Besarnya PUS yang menggunakan metode tradisional pada tahun 2006 sekitar 0,92 persen.
Tabel 3.13 Persentase Wanita Umur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin Menurut Cara/Alat KB yang Digunakan di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Cara/Alat KB (1)
Persentase (2)
MOW/Tubektomi
2,31
MOP/Vasektomi
1,39
AKDR/IUD/Spiral
0,46
Suntikan KB
25,67
Susuk KB/Norplan/Alwalit Pil KB
2,88 66,36
Kondom/Karet KB
0
Intervag/Tissue Kondom Wanita Cara Tradisional
0 0,92
Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
100
Penggunaan alat kontrasepsi yang sifatnya tetap masih sangat kecil di wilayah Kabupaten Bengkayang. Alat kontrasepsi yang termasuk jenis tetap adalah jenis MOP, MOW, IUD/AKDR, dan susuk KB. Persentase PUS yang menggunakan jenis alat kontrasepsi mantap (kontap) hanya sekitar 7,04 persen. Kecilnya persentase PUS yang menggunakan kontap ini dimungkinkan karena masih banyak PUS yang ingin menambah anak sehingga lebih memilih jenis alat kontrasepsi non kontap sehingga lebih memudahkan jika sewaktu-waktu ingin mempunyai anak lagi. Selain itu, faktor biaya juga sangat menentukan jenis alat kontrasepsi ini karena relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan yang lain. Penggunaan jenis alat kontasepsi mantap ini juga memiliki kelebihan, terlebih dari segi persentase kegagalannya. Alat kontrasepsi jenis kontap memiliki resiko kegagalan KB lebih kecil dibanding dengan alat kontrasepsi non kontap sehingga peluang mendapatkan anak yang tidak diinginkan lebih kecil.
Preferensi penggunaan jenis alat kontrasepsi oleh masyarakat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor harga alat kontrasepsi merupakan faktor utama bagi pasangan usia subur dalam menggunakan jenis alat kontrasepsi tertentu. Faktor kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi juga menjadi salah satu faktor penentu jenis alat kontrasepsi yang digunakan. Selain itu, preferensi alat kontrasepsi yang digunakan dipengaruhi oleh efek samping dari alat kontrasepsi tersebut. Masyarakat mempunyai kebebasan dalam memilih jenis alat kontrasepsi yang paling aman, nyaman, murah, dan mudah untuk diperoleh. Namun demikian, peran pemerintah dalam penyediaan alat kontrasepsi dan pelayanan KB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga masih perlu melakukan penyuluhan tentang keefektifan alat kontrasepsi yang digunakan serta efek samping yang mungkin terjadi untuk masing-masing jenis alat kontrasepsi yang ada.
Penekanan penggunaan alat/cara KB masih ditekankan hanya untuk penduduk perempuan padahal keberhasilan program Keluarga Berencana sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh partisipasi perempuan. Penduduk laki-laki juga harus ikut berperan aktif dalam mendukung keberhasilan KB. Hal ini terbukti dari preferensi penggunaan jenis alat kontrasepsi
yang biasa digunakan oleh laki-laki masih sangat kecil persentasenya. Pilihan alat kontrasepsi pria yang digunakan juga masih sangat terbatas, yaitu hanya MOP dan kondom. Untuk itu, peran serta laki-laki dalam KB masih sangat perlu ditingkatkan sehingga di masa yang akan datang, keberhasilan pembangunan demografi (melalui program KB) bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan saja.
5.3. Penolong Persalinan, Lama Pemberian Asi, dan Imunisasi
Tingkat kematian (mortalitas) bayi dan ibu selain dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik ibu hamil dan bayi, juga dipengaruhi oleh penolong pada saat proses persalinan. Proses persalinan dianggap lebih aman jika yang menangani adalah tenaga medis atau tenaga non medis yang sudah terlatih dibandingkan dengan tenaga non medis yang sifatnya masih tradisional seperti dukun. Masyarakat tradisional memiliki kecenderungan menggunakan tenaga dukun dalam membantu proses persalinannya dengan peralatan yang digunakan sederhana dan tidak steril sehingga sangat berbahaya dalam proses persalinan.
Tabel 5.4. Penolong Persalinan Pertama di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Penolong Kelahiran
Penolong Pertama
(1)
(2)
Penolong Terakhir (3)
1. Dokter
4,29
5,46
2. Bidan
67,76
67,95
3. Paramedis lain
0,48
0,48
4. Dukun
26,31
25,83
5. Famili
0,70
0,11
6. Lainnya
0,48
048
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Di masa sekarang ini, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar pada masalah kesehatan khususnya dalam hal penurunan angka kematian bayi. Banyak hal yang
telah dilakukan guna menurunkan angka kematian bayi, diantaranya dengan menyediakan tenaga bidan sampai tingkat desa (yang dikenal dengan bidan desa) dan pemberian pelatihan kepada dukun tentang cara penanganan persalinan yang sesuai dengan standar medis. Bukti nyata yang diberikan adalah semakin turunnya angka kematian bayi maupun ibu setiap tahunnya.
Pada tahun 2006, berdasarkan data Susenas 2006, dapat diketahui bahwa persentase persalinan yang penolong persalinan pertamanya adalah tenaga dokter, bidan, dan tenaga paramedis lain hanya sebesar 72,53 persen sedangkan untuk penolong kelahiran terakhir tenaga medis adalah sebesar 73,89 persen. Meskipun dari tahun ke tahun kesadaran masyarakat untuk melahirkan dibantu dengan tenaga medis, namun persentase penlong persalinan yang dilakukan oleh tenaga dukun masih dianggap besar. Hal ini salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya fasilitas polindes yang ada terlebih tenaga bidan yang ada. Berdasarkan dari data Dinas Kesehatan pada tahun 2006 terdapat 81 polindes yang tersebar di seluruh Kabupaten Bengkayang namun tenaga bidan desa yang tersedia hanya 62 orang. Untuk itu, kebijakan dalam hal kesehatan harus lebih diarahkan pada penambahan jumlah fasilitas kesehatan yang dapat menjangkau sampai masyarakat tingkat bawah serta tenaga medis yang dibutuhkan.
Air susu ibu (ASI) mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan anak sejak dilahirkan. Banyak keunggulan ASI yang tidak dapat digantikan oleh susu lainnya seperti mengandung lebih banyak gizi dan paling sempurna untuk pertumbuhan anak, dapat menjaga kekebalan tubuh anak sehingga anak lebih kebal terhadap berbagai penyakit, dan yang jelas lebih hemat dan ekonomis.
Persentase balita yang diberi ASI sudah cukup tinggi di Kabupaten Bengkayang. Artinya, kesadaran masyarakat tentang arti penting kesehatan bayi juga meningkat. Berdasarkan data Susenas diperoleh bahwa pada tahun 2005 masih ada balita yang tidak
diberi ASI sedangkan tahun 2006 sudah tidak ada lagi. Namun demikian, lama pemberian ASI harus lebih disosialisasikan guna memaksimalkan peran penting ASI. Sebagai contoh perlu adanya sosialisasi adanya ASI ekslusif yang seharusnya diberikan oleh balita dan pemberian ASI lebih dari usia 2 tahun sudah tidak baik bagi kesehatan balita.
Tabel 5.5. Lama Pemberian ASI Pada Balita di Kabupaten Bengkayang Tahun 2005-2006 Lama Pemberian ASI
2005
(1)
(2)
2006 (3)
0
0,17
0,00
1–5
2,34
1,37
6 – 11
7,11
4,90
12 – 17
41,77
12,34
18 – 23
8,22
30,19
> 24
40,39
51,20
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2005-2006
Selain penolong persalinan, pemberian Asi yang penting dalam mejaga kesehatan balita dan mengurangi angka kematian bayi dan balita adalah dengan adanya imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh yang dilaksanakan terus menerus, menyeluruh, dan sesuai standard sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutuskan rantai penularan penyakit.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan, tahun 2006 target yang diharapkan dalam program imunisasi belum tercapai. Tingkat capaian untuk imunissi BCG pada tahun 2006 mencapai 92,5 persen, DPT 1 sebesar 88,2 persen, DPT 2 sebesar 83,1 persen, DPT 3 sebesar 75,6 persen, Polio 1 sebesar 91,2 persen, polio 4 sebesar 74,5 persen, hepatitis B 1 sebesar 83,5 persen, Hepatitis B 3 sebesar 65,9 persen, dan Campak sebesar 81,1 persen. Masih perlu menggugah kesadaran masyarakat akan arti pentingnya imunisasi terhadap balita
mengingat masih ada orang tua yang tidak mau mengimunisasi anaknya dimana salah satu alasannya adalah setelah diberi imunisasi anaknya malah demam atau sakit.
5.4. Status Gizi
Tabel 5.7. Hasil Pemantauan Status Gizi Balita di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Status Gizi
Kecamatan Buruk (1)
1. Bengkayang
(2)
Kurang (3)
Baik
Lebih
(4)
(5)
KEP Total (%) (6)
6,96
23,04
69,35
0,66
30,00
2. Teriak
10,10
28,45
61,24
0,21
38,60
3. Ledo
3,69
20,96
74,88
0,46
24,70
4. Suti Semarang
0,23
10,07
89,70
0,00
10,30
5. Sanggau Ledo
3,21
12,02
81,55
3,21
15,20
6. Seluas
2,35
10,97
86,21
0,47
13,30
7. Jagoi Babang
3,08
22,91
73,15
0,86
26,00
8. Samalantan
4,80
18,71
75,27
1,22
23,50
9. Monterado
2,88
19,04
76,80
1,28
21,90
10. Capkala
4,80
18,35
74,96
1,89
23,20
11. Sungai Raya
2,62
10,31
86,77
0,31
12,90
12 . Sungai Raya Kepulauan
4,07
19,96
74,81
1,16
24,00
4,25
18,42
76,25
1,08
22,70
Kabupaten
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang, Profil Kesehatan 2006
Pemantauan status gizi pada balita menjadi hal yang penting mengingat hal ini merupakan upaya untuk memperoleh data status gizi balita, sebagai bahan penilaian dari kegiatan yang telah dilaksanakan dan sebagai bahan perencanaan kegiatan tahun berikutnya. Berdasarkan standar pelayanan kesehatan minimal bidang kesehatan yang digunakan untuk menilai status gizi pada balita adalah kecamatan bebas rawan gizi, yaitu kecamatan yang memiliki persentase KEP berada dibawah 15 persen. Dari data Dinas Kesehatan diperoleh bahwa di Kabupaten Bengkayang hanya tiga kecamatan yang tidak rawan gizi yaitu Kecamatan
Sungai Raya, Kecamatan Seluas, dan Kecamatan Suti Semarang. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah mengingat berdasarkan data yang ada hanya 25 persen wilayah Kabupaten Bengkayang yang bebas dari rawan gizi.
BAB VI KEGIATAN EKONOMI 6.1. Ketenagakerjaan
Indikator ketenagakerjaan merupakan indikator penting dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan, baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Indikator ketenagakerjaan dapat memberikan gambaran tentang daya serap ekonomi terhadap pertumbuhan penduduk dan produktifitas tenaga kerja. Apabila perekonomian tidak dapat menyerap pertumbuhan tenaga kerja maka peningkatan pengangguran tidak dapat dihindari sehingga pada akhirnya, banyaknya pengangguran tersebut akan mengakibatkan banyak terjadinya masalah sosial. Selain itu, informasi dan kondisi ketenagakerjaan suatu daerah menjadi semakin penting mengingat salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan lapangan pekerjaan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia merupakan hak yang dijamin oleh negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 2 yang berbunyi bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Untuk itu, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya.
Dalam era otonomi daerah saat ini, data dan indikator ketenagakerjaan memberikan peranan yang besar dalam mendukung perencanaan dan evaluasi pembangunan. Dengan mengetahui indikator ketenagakerjaan suatu daerah, diharapkan dapat diketahui besarnya potensi penduduk yang dapat aktif dalam kegiatan ekonomi sehingga pada akhirnya, dapat diperkirakan output yang dihasilkan. Dengan demikian, dengan adanya indikator ketenagakerjaan, dapat diketahui daya serap perekonomian terhadap pertumbuhan tenaga kerja, struktur perekonomian, serta tingkat kesejahteraan masyarakat.
Penyusunan indikator ketenagakerjaan semakin dikembangkan dari tahun ke tahun mengingat masih banyak keterbatasan khususnya untuk data sektor informal. Sektor informal yang dimaksud adalah sektor yang tidak memiliki keteraturan organisasi yang jelas seperti jumlah jam kerja yang tidak teratur, institusi yang tidak terdaftar, tidak adanya hierarki organisasi, dan beberapa konsep lainnya. Sebagai contoh, yang masuk dalam sektor informal adalah petani, pedagang kaki lima, jasa tukang pijit, dan lain sebagainya. Menurut Adiningsih (1984), yang masuk ke dalam sektor informal adalah yang bekerja dengan status pekerjaan utamanya berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar, dan pekerja keluarga. Gambar 6.1 Diagram Ketenagakerjaan
PENDUDUK
USIA KERJA
ANGKATAN KERJA
BEKERJA
MENCARI PEKERJAAN
SEDANG BEKERJA
PENGANGGURAN
MEMPERSIAPKAN USAHA
SEMENTARA TIDAK BEKERJA
BUKAN USIA KERJA
BUKAN ANGKATAN KERJA
SEKOLAH
MENGURUS RUMAH TANGGA
MERASA TIDAK MUNGKIN MENDAPATKAN PEKERJAAN
LAINNYA
SUDAH MENDAPAT PERKERJAAN TAPI BELUM MULAI BEKERJA
Pendekatan teori ketenagakerjaan dalam Susenas (BPS) menggunakan Standard Labour Force Concept atau konsep dasar angkatan kerja. Dalam pendekatan ini, penduduk dikelompokkan menjadi penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Penduduk usia kerja dibedakan atas dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pengukuran ini didasarkan pada time reference kegiatan yang dilakukan selama seminggu yang lalu sebelum pencacahan. Selanjutnya, yang dimaksud dengan penduduk usia kerja mengacu pada usia 15 tahun keatas.
6.1.1.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Tingkat partisipasi angkatan kerja menunjukan besaran rasio antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja. Adapun yang masuk angkatan kerja (labour force) adalah penduduk usia kerja yang bekerja (employed), tidak bekerja, dan mencari pekerjaan (unemployed). Yang masuk dalam kategori bukan angkatan kerja (not in labour force) adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, mengurus rumah tangga, dan melaksanakan kegiatan lainnya (pensiun, cacat, dan sebagainya).
Pendekatan angkatan kerja memiliki aturan dasar yang harus konsisten. Azas pertama adalah eksklusivitas yang berarti bahwa penduduk usia kerja hanya dapat digolongkan dalam satu kategori dalam komposisi penduduk usia kerja. Seseorang yang dikategorikan bekerja tidak boleh dimasukkan lagi dalam kategori sekolah atau mengurus rumah tangga meskipun dalam kenyataannya orang tersebut melakukan dua aktivitas yang berbeda. Azas kedua adalah prioritas yang berarti bahwa urutan prioritas kategori ditentukan secara pasti, yaitu bekerja, mencari pekerjaan, sekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya. Jika seseorang bekerja tetapi juga sekolah maka orang tersebut digolongkan sebagai penduduk bekerja. Demikian pula, bila seseorang mengurus rumah tangga tetapi juga bekerja maka orang tersebut dikategorikan sebagai bekerja meskipun sebagian besar waktu yang dimiliki digunakan
untuk mengurus rumah tangga atau sekolah. Azas ketiga adalah rujukan waktu, BPS menggunakan konsep seminggu terakhir sebagai rujukan waktu survei.
BPS mendefinisikan bekerja sebagai kegiatan ekonomi yang dimaksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh upah atau gaji, pendapatan atau keuntungan, paling tidak satu jam selama periode yang termasuk dalam rujukan survei (seminggu yang lalu). Selanjutnya, konsep mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei, orang tersebut sedang mencari pekerjaan. Konsep mencari pekerjaan tidak terbatas pada rujukan waktu seminggu yang lalu karena jika mereka sedang berusaha mendapatkan pekerjaan dan permohonannya telah dikirim lebih dari seminggu yang lalu maka tetap dianggap sebagai mencari kerja. Tabel 6.1 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Seminggu yang Lalu dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Kegiatan Seminggu Yang Lalu
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
Angkatan Kerja Bekerja Mencari Pekerjaan Bukan Angkatan Kerja Sekolah
74,54
42,04
59,22
69,06
33,98
52,53
5,48
8,06
6,70
25,46
57,96
40,78
21,62
21,57
21,60
Mengurus Rumah Tangga
0,16
33,65
15,94
Lainnya
3,68
2,74
3,23
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2006, diketahui bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Kabupaten Bengkayang adalah sebesar 59,22 persen, baik yang sedang bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2006, dari 100 penduduk usia kerja (15 tahun keatas), terdapat diantaranya 59 orang yang masuk dalam angkatan kerja atau dengan kata lain, ada sekitar 59 persen penduduk usia kerja yang aktif
secara ekonomi. Dilihat menurut jenis kelamin, TPAK laki-laki lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan. Hal ini dirasa wajar mengingat perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga dan bukan masuk dalam penduduk yang aktif secara ekonomi.
6.1.2.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Pengangguran (unemployed) didefinisikan sebagai penduduk usia kerja yang sama sekali tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Namun demikian, mulai tahun 2001, konsep tersebut sedikit dilonggarkan sesuai dengan rekomendasi ILO. Seseorang yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena alasan ekonomis (merasa tidak akan memperoleh pekerjaan atau sedang memiliki pekerjaan tetapi belum mulai) dikategorikan sebagai pengangguran.
Salah satu tantangan besar pemerintah dewasa ini adalah menciptakan lapangan kerja atau usaha yang layak bagi angkatan kerja yang cenderung meningkat seiring dengan perubahan struktur umur penduduk dari waktu ke waktu. Untuk itu, indikator tingkat pengangguran ini menjadi sangat penting apalagi sejak krisis moneter tahun 1997. Angka pengangguran di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan belum dapat diselesaikan dengan baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Pengangguran memberikan dampak yang negatif bagi pembangunan karena tingkat pengangguran yang tinggi akan mendorong banyak muncul masalah sosial dan masalah kemiskinan hingga kriminalitas.
Berdasarkan data Susenas, dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran di Kabupaten Bengkayang masih relatif kecil. Angka pengangguran pada tahun 2006 adalah sebesar 6,7 persen. Dilihat menurut jenis kelamin, angka pengangguran laki-laki lebih rendah dibanding dengan angka pengangguran perempuan. Angka pengangguran laki-laki sebesar 5,48 persen dan angka pengangguran perempuan sebesar 8,06 persen. Angka pengangguran
ini bisa dikatakan masih kecil dan hal ini berhubungan dengan sebagian besar wilayah Kabupaten Bengkayang adalah daerah pedesaan dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya di sektor agraris. Menurut Uzair (2004), angka pengangguran di daerah pedesaan yang mayoritas mata pencaharian di bidang agraris cenderung rendah dan kurang sensitif terhadap perubahan. Dalam hal ini, tingkat setengah penggangguran relatif lebih baik.
6.1.3.
Kontribusi Sektor dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Struktur
perekonomian
berangsur-angsur
akan
berubah
seiring
dengan
perkembangan suatu daerah. Daerah yang masih belum berkembang biasanya masih didominasi oleh sektor pertanian dan daerah yang mulai maju cenderung didominasi sektor industri, perdagangan, dan jasa.
Peran pemerintah juga sangat berpengaruh pada sektor yang ekonomi yang dianggap cukup potensial. Adanya kebijakan pemerintah membangun kompleks-kompleks pasar dan pertokoan yang ada di perkotaan akan memacu invesrtor untuk mengambil peran dalam sektor perdagangan sehingga sektor perdagangan akan berperan penting dalam perekonomian yang ada. Selain itu, iklim usaha dan kebijakan pemerintah dalam memberikan kemudahan memberikan ijin berbagai jenis usaha juga sangat mendorong adanya investasi yang akan ditanamkan.
Secara umum, komposisi pekerja yang ada di Kabupaten Bengkayang dilihat menurut sektor yang ada masih didominasi oleh sektor pertanian. Pada tahun 2006, persentase penduduk usia kerja yang bekerja di sektor pertanian adalah sebesar 69,28 persen. Dilihat menurut jenis kelamin, persentase penduduk laki-laki usia kerja yang bekerja di sektor pertanian adalah sebesar 67,14 persen sedangkan untuk perempuan adalah sebesar 74,16 persen. Sektor kedua yang menyerap tenaga kerja di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2006 adalah sektor perdagangan dengan persentase penduduk usia kerja yang bekerja pada sektor
tersebut sebesar 9,02 persen. Dilihat menurut jenis kelamin, penduduk laki-laki yang masuk usia kerja yang bekerja di sektor ini adalah sebesar 8,25 persen dan perempuan sebesar 10,79 persen.
Tabel 6.2 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Kegiatan Seminggu Yang Lalu
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Pertanian
67,14
74,16
69,28
2. Pertambangan dan Penggalian
5,18
0,36
3,71
3. Industri
5,44
5,30
5,40
4. Listrik, Gas, dan Air Minum
0,16
0,00
0,11
5. Konstruksi
3,12
0,00
2,17
6. Perdagangan
8,25
10,79
9,02
7. Transportasi dan Komunikasi
4,77
0,00
3,32
8. Keuangan
0,16
0,36
0,22
9. Jasa-jasa
5,78
9,03
6,77
10. Lainnya
0,00
0,00
0,00
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Secara umum, jenis pertanian yang cukup berperan di Kabupaten Bengkayang adalah pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Jenis tanaman pangan yang paling menonjol adalah tanaman padi sedangkan tanaman perkebunan yang menonjol adalah perkebunan karet dan lada. Masyarakat Kabupaten Bengkayang sebagian besar mengusahakan dua jenis komoditi tersebut dan kedua komoditi tersebut dapat diusahakan secara bersamaan. Setelah mengusahakan padi (biasanya jenis padi yang diusahakan adalah padi ladang dengan masa tanam setahun sekali dan padi sawah dengan masa tanam dua kali setahun), aktivitas masyarakat sehari-hari adalah menoreh karet. Seiring dengan produksi dan harga jual kedua jenis komoditi tersebut yang semakin baik, masyarakat lebih cenderung tetap mengusahakan sektor pertanian tersebut daripada harus susah-susah mencari pekerjaan. Hal ini yang menjadi alasan sektor pertanian masih cukup besar menyerap tenaga kerja yang ada
di Kabupaten Bengkayang. Alasan lain adalah sulitnya memperoleh pekerjaan di sektor lain karena tidak ada lowongan pekerjaan di sektor selain sektor pertanian dan juga latar belakang pendidikan yang kurang memadai sehingga merasa tidak yakin akan mendapat pekerjaan.
6.1.4.
Status Pekerjaan
Status pekerjaan biasanya dikaitkan kegiatan usaha yang dilakukan yang dikategorikan sebagai sektor formal atau informal. Dalam konsep Susenas, yang masuk dalam sektor formal adalah mereka yang bekerja dengan status usaha sebagai buruh atau karyawan dengan jumlah jam kerja tetap, ada upah dan gaji yang jelas, serta ada keterikatan dan aturan yang jelas dalam bekerja. Yang masuk dalam sektor informal adalah mereka yang bekerja dengan status selain sebagai buruh atau karyawan dengan jumlah jam kerjanya tidak tetap dan tidak ada keterikatan tertentu untuk memasuki suatu usaha (tidak ada ikatan dan mudah ganti pekerjaan). Tabel 6.3 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Status Pekerjaan
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Berusaha Sendiri
31,87
18,40
27,77
2. Berusaha dibantu Buruh Tak Tetap
27,09
9,91
21,85
2,47
0,81
1,97
20,18
9,48
16,92
1,78
1,61
1,73
3. Berusaha dibantu Buruh Tetap 4. Buruh/Karyawan/Pegawai 5. Pekerja Bebas Sektor Pertanian 6. Pekerja Bebas Sektor Non Pertanian 7. Pekerja Tak Dibayar
2,81
1,61
2,44
13,78
58,18
27,32
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Berdasarkan data Susenas, sebagian besar penduduk Kabupaten Bengkayang bekerja di sektor informal. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja di sektor
formal pada tahun 2006 adalah sebesar 16,92 persen. Sebaliknya, persentase penduduk usia kerja yang bekerja di sektor informal pada tahun 2006 adalah sebesar 83,08 persen. Jika dilihat lebih jauh, sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor informal memiliki status bekerja yaitu adalah berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak dibayar, dan pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga. Dilihat menurut jenis kelamin, yang menarik adalah bahwa pada penduduk perempuan usia kerja yang bekerja, yang memiliki status bekerja sebagai pekerja tak dibayar ada lebih dari separuh, yaitu sebesar 58,18 persen sedangkan untuk sektor formal, penduduk perempuan yang bekerja hanya sebesar 9,48 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di dunia kerja sebagian besar belum diakui eksistensinya.
Terdapat pola hubungan antara besarnya penduduk yang bekerja dengan status pekerjaan berusaha dibantu buruh tidak dibayar dengan pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga. Banyaknya pekerja yang berstatus pekerjaan berusaha sendiri dibantu buruh tak dibayar berkorelasi positif dengan pekerja dengan status pekerjaan pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga. Biasanya pola hubungan ini ditemui di sektor pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor perdagangan di daerah perkotaan. Di sektor pertanian, terjadi kecenderungan anggota keluarga membantu dalam usaha kepala rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian. Di sektor perdagangan, juga terjadi hal yang sama, yaitu kepala keluarga memiliki usaha di sektor perdagangan dan anggota keluarganya membantu usaha kepala rumah tangga seperti menjaga usaha perdagangan yang ada.
6.1.5.
Jam Kerja
Jumlah jam kerja selama seminggu yang lalu dapat menunjukkan produktivitas pekerja dalam suatu jenis kegiatan pekerjaan. Selain itu, dapat juga menunjukkan besarnya pengangguran terselubung atau setengah pengangguran (under employment) di suatu daerah. Pengangguran terselubung dapat diartikan sebagai banyaknya penduduk yang bekerja dengan
jumlah jam kerja dibawah jumlah jam kerja normal. Jumlah jam kerja yang dianggap normal adalah sebanyak 35 jam.
Tabel 6.4 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Jumlah Jam Kerja dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Status Pekerjaan
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
0
1,18
1,17
1,18
1–9
0,47
1,08
0,66
10 – 24
9,33
26,39
14,53
25 – 34
19,11
27,18
21,57
35 – 44
30,56
19,13
27,08
45 – 49
32,04
18,41
27,87
50+
7,31
6,64
7,11
Sumber: BPS Kabupaten Bengkayang, diolah dari Susenas 2006
Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja dengan jumlah jam kerja diatas jam kerja normal pada tahun 2006 adalah sebesar 62,06. Namun demikian, untuk penduduk usia 10 tahun keatas, yang bekerja dengan jumlah jam kerja dibawah jam kerja normal pada tahun 2006 adalah sebesar 36,76. Jika dilihat menurut jenis kelamin, penduduk yang bekerja dibawah jumlah jam kerja normal sebagian besar adalah perempuan dan dimungkinkan bekerja di sektor informal. Hal ini dirasa wajar mengingat sebagian besar perempuan yang ada berstatus ibu rumah tangga yang mengurus rumah tangga dan jika bekerja hanya bersifat membantu suami dan berstatus pekerja keluarga. 6.2. Kemiskinan
Masalah kemiskinan adalah masalah yang walaupun dipercaya sudah seusia peradaban manusia namun belum dapat dianalisis secara komprehensif dan mendalam hingga sekarang. Hal ini dikarenakan belum ada satu pun konsep yang dapat diterima secara universal
dan belum ada satu pun metode pengukuran yang diterima secara luas. Analisis masalah kemiskinan secara makro dikenal sejak awal 1970an yang dipelopori oleh Sayogyo, Penny, dan Singarimbun. Sam F. Poli dan Hendra Asmara juga merupakan pendahulu dalam analisis kemiskinan dan distribusi pendapatan. BPS sendiri baru mulai melakukan analisis masalah kemiskinan sejak publikasi “Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976-1981” yang diterbitkan pada tahun 1984. Sejak kemunculan publikasi tersebut, BPS secara berkelanjutan melakukan analisis kemiskinan dengan menggunakan data Susenas.
Permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen petani gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil, dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung, dan sebagainya. Akar permasalahan pedagang kecil, pengrajin kecil, pemulung di kota, pengangguran, buruh musiman, dan sebagainya bisa berbeda. Jika permasalahan yang membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan bisa diidentifikasi dengan baik maka program yang tepat akan dapat dirumuskan. Profil kemiskinan semestinya menyajikan tentang akar permasalahan seperti itu, yaitu tentang permasalahan lebih mengakar pada faktor orangnya, masalah infrastruktur atau strukturnya, masalah ketrampilan, dan sebagainya. Informasi yang tersedia dalam Susenas tidak dapat mengungkapkan permasalahan tersebut secara tuntas karena lebih merupakan informasi tentang karakteristik rumah tangga miskin.
Berdasarkan data rumah tangga miskin penerima BLT tercatat terdapat 16.799 rumah tangga miskin dan mencakup 71.018 penduduk miskin di seluruh wilayah Kabupaten Bengkayang. Data rinci mengenai kemiskinan ini belum tersedia. Ada beberapa pendapat penelitian yang mengungkapkan adanya faktor-faktor penyebab kemiskinan. Menurut penelitian Todaro (2000) yang menyatakan bahwa salah satu ciri kemiskinan di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah sebagian besar penduduk miskin yang ada biasanya tinggal di daerah pedesaan. Selanjutnya menurut Quibria (1991) yang menyatakan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan umumnya lebih miskin.
Diperkirakan angka kemiskinan
Kabupaten Bengkayang mengalami penurunan
seiring dengan peningkatan harga produk pertanian yang cukup signifikan. Pengaruh peningkatan harga produk pertanian cukup signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan Kabupaten Bengkayang mengingat sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penduduk miskin juga bekerja pada sektor yang sama. Namun demikian perlu kajian yang mendalam tentang kemiskinan ini khususnya dalam persamaan konsep kemiskinan itu sendiri.
BAB VII PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK
Kiprah perempuan di Indonesia pada sektor publik masih tergolong rendah. Rendahnya peran perempuan ini diantaranya disebabkan adanya sikap atau pandangan bahwa perempuan hanya bertugas melakukan kegiatan yang sifatnya reproduktif, yaitu hanya berkaitan dengan pemeliharaan, pengembangan, serta menjamin kelangsungan sumber daya manusia dalam keluarga. Dengan demikian, hal ini berdampak pada pengambilan kebijakankebijakan di masyarakat yang sifatnya membatasi peran perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Secara legal, persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki di Indonesia telah diatur di dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan sehingga dari segi hukum, pencapaian kesetaraan gender tidak ada hambatan. UndangUndang Dasar 1945 (Amandemen) Pasal 28b Ayat 2 menyebutkan bahwa ”Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kekerasan dan diskriminasi”. Hal ini sejalan dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Perempuan dapat berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan nasional serta memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menikmati hasil pembangunan. Namun demikian, pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari, masih ditemukan banyak kendala dan keraguan. Peran perempuan dalam berbagai sektor publik (kemasyarakatan) masih banyak terhambat oleh alasan budaya, tradisi, dan tata nilai yang telah melembaga di masyarakat. Untuk itu, perlu adanya sebuah perubahan cara pandang terhadap masalah perempuan dan perannya dalam segala bidang. Permasalahan utama yang dihadapi dalam hal gender dan peran serta perempuan harus dimulai dari merubah cara pandang tentang perempuan sebagai “konco wingking” (atau
sebagai pengurus rumah tangga) menjadi partner kerja yang setara dengan tetap mengetahui segala keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki. Apabila cara pandang yang dimiliki masyarakat sudah berubah maka peran perempuan dalam berbagai sektor publik akan lebih baik lagi.
7.1. Politik dan Legislatif
Anggota dewan yang duduk di lembaga legislatif merupakan representasi dari penduduk atau masyarakat dalam menentukan tata penyelenggaraan pembangunan. Dalam hal ini, baik penduduk laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama agar suaranya dapat disampaikan melalui wakilnya yang duduk di lembaga legislatif. Namun demikian, pada kenyataannya, komposisi keanggotaan yang ada masih timpang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan adanya pengambilan keputusan yang bias gender yang hanya menguntungkan salah satu pihak.
Di Kabupaten Bengkayang, perempuan yang ikut berpartisipasi sebagai politisi masih sangat sedikit. Hal ini dapat dilihat dari keanggotaan perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perempuan yang menjadi anggota DPRD persentasenya masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dari 25 kursi yang ada di DPRD, hanya ada 1 kursi yang diwakili oleh perempuan atau dengan kata lain, keterwakilan perempuan di DPRD hanya sebesar 4 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa komposisi perempuan di lembaga legislatif masih sangat kecil dibandingkan dengan kaum laki-laki. Keterwakilan perempuan yang sangat kecil tersebut mengakibatkan sulitnya mengarahkan kebijakan yang disusun untuk dapat responsif gender.
7.2. Pemerintahan dan Pegawai Negeri Sipil
Peranan perempuan selain sebagai politisi di bidang legislatif juga berperan dalam kehidupan kemasyarakatan dalam bidang eksekutif. Peranan perempuan di bidang eksekutif tersebut sangat diperlukan sebagai salah satu bentuk kontribusi kaum perempuan dalam pembangunan. Peran perempuan ini mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan yang mendukung kesetaraan gender bila menduduki posisi strategis sebagai penentu kebijakan.
Tabel 7.1 Banyaknya Pegawai Negeri Sipil Menurut Eselon dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Eselon
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
II.a
0
0
0
II.b
13
1
14
III.a
63
6
69
III.b
0
0
0
IV.a
125
20
145
IV.b
0
0
0
201
27
228
Jumlah
Sumber: Bagian Kepegawaian Pemda Kabupaten Bengkayang
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemda Kabupaten Bengkayang adalah sebanyak 2.972 orang (tidak temasuk tenaga guru). Namun demikian, belum ada database yang lengkap yang dapat menunjukkan adanya jumlah pegawai menurut jenis kelamin. Menurut sumber yang terkait, tercatat bahwa jumlah pegawai laki-laki adalah sebanyak 2.255 orang dan jumlah pegawai perempuan adalah 137 orang. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa persentase pegawai perempuan yang ada hanya 5,73 persen dari total keseluruhan pegawai. Selanjutnya, dilihat menurut eselon, ada sebanyak 228 pegawai menduduki berbagai eselon yang ada. Dari sejumlah pegawai yang menduduki eselon tersebut, tercatat sebanyak 201 orang merupakan pegawai laki-laki dan sebanyak 27
orang yang merupakan pegawai perempuan. Dengan kata lain, hanya terdapat sekitar 11,84 persen pegawai perempuan yang sudah menduduki eselon yang ada. Namun demikian, diharapkan peran serta perempuan dalam pemerintahan dan sebagai penentu kebijakan semakin besar sehingga kebijakan yang disusun dalam pembangunan bersifat responsif gender dan pembangunan yang ada dapat berpihak pada perempuan.
BAB VIII KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis (PBB : Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Bentuk kekerasan terhadap perempuan sangat beragam, yaitu berupa kekerasan fisik, seksual, dan psikologis, antara lain: penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pengancaman, perampasan kemerdekaan, dan penculikan. Negara telah mengatur tentang perlindungan perempuan dari tindak kekerasan yang diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen) Pasal 28b Ayat 2. Selanjutnya, dari undang-undang dasar tersebut, dijabarkan lagi dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban KDRT.
Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di lingkungan keluarga (domestik), di masyarakat, dan negara baik di rumah tangga, di tempat umum, maupun di tempat kerja. Pelakunya dapat perorangan, kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, maupun oleh instansi negara yang mengakibatkan penderitaan bagi perempuan. Media cetak atau elektronik pada saat ini banyak menyajikan informasi berdampak negatif yang dapat merendahkan derajat perempuan. Meningkatnya ragam tayangan yang mengeksploitasi perempuan, kemudahan masyarakat dalam mengakses tayangan tersebut, serta rendahnya kontrol atau pengawasan dari pemerintah dan masyarakat secara tidak langsung merupakan pemicu meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus yang sampai saat ini sukar untuk ditangani. Susahnya penanganan ini disebabkan masih lemahnya undang-undang yang mengaturnya sehingga pelaku tindak kekerasan belum diberikan hukuman yang setimpal (berat).
Data banyaknya kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan didasarkan pada laporan kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Bengkayang yang bersumber dari Polres Bengkayang tahun 2005 sampai dengan 2007. Selama kurun waktu tersebut, tindak kekerasan yang dilaporkan terjadi di Kabupaten Bengkayang adalah sebanyak 16 kasus, terdiri dari KDRT sebanyak 2 kasus, perkosaan dan pelecehan seksual sebanyak 11 kasus, dan trafficking sebanyak 3 kasus. Diduga, masih banyak kejadian kejahatan terhadap perempuan yang belum dilaporkan. Salah satu penyebabnya adalah masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang hukum dan budaya untuk menutupi masalah dalam rumah tangga karena dianggap sebagai aib yang tidak boleh diceritakan kepada masyarakat umum.
Tabel 8.1 Banyaknya Kasus Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bengkayang Tahun 2005 – 2007 Tahun
KDRT
Perkosaan dan Pelecehan Seksual
Traficking
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2005
0
3
0
3
2006
1
4
2
7
2007
1
4
1
6
Jumlah
2
11
3
16
Sumber: Polres Bengkayang Keterangan: Tahun 2007 kondisi sampai bulan November
Meskipun berdasarkan data yang ada, kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Bengkayang tahun 2005-2007 tergolong sedikit namun disadari bahwa diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak dalam permasalahan ini. Untuk mengantisipasi terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan, diperlukan adanya perlindungan yang spesifik gender bagi kaum perempuan. Selain itu, perlu payung hukum yang jelas dalam hal perlindungan perempuan khususnya dalam bentuk peraturan daerah sehingga edukasi masalah gender ini dapat lebih digiatkan.
BAB IX
MASALAH ANAK 9.1. Kepemilikan Akta Kelahiran
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian yang berkaitan dengan hak anak adalah masalah akta kelahiran. Hal ini dikarenakan kelahiran merupakan salah satu peristiwa yang dialami oleh setiap orang yang harus dicatat dan dikukuhkan oleh negara dalam bentuk akta kelahiran. Dalam hal ini, kelahiran yang dimaksud adalah kelahiran bayi dalam keadaan hidup, baik yang diketahui asal-usulnya maupun yang tidak diketahui asal-usulnya (misalnya anak temuan), baik yang lahir dari perkawinan sah maupun anak hasil hubungan di luar pernikahan.
Keberadaan akta kelahiran menjadi hal yang penting karena setiap anak mempunyai hak untuk mengetahui identitas dirinya, yaitu mengenai identitas kedua orangtua maupun tempat, dan tanggal kelahiran. Selain itu, dengan adanya akta kelahiran, seseorang memiliki jaminan dan kepastian hukum mengenai status keperdataannya yang meliputi identitas, nama, dan kewarganegaraanya serta hubungan hukum dengan orang tuanya. Dengan demikian, hak anak tersebut untuk dapat memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak di masa yang akan datang akan lebih terjamin.
Akta kelahiran dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1.
Akta Kelahiran Pokok, yaitu pembuatan akta kelahiran yang diperuntukkan pada bayi yang baru lahir dan tidak melewati 60 hari sejak kelahirannya.
2.
Akta Kelahiran Terlambat, yaitu pembuatan akta kelahiran yang diperuntukkan pada anak yang sudah melewati 60 hari sejak kelahirannya tetapi tahun kelahirannya lebih atau sama dengan tahun 1985 (tahun 1985 ke atas).
3.
Akta Kelahiran Dispensasi, yaitu pembuatan akta kelahiran yang diperuntukkan pada orang yang tahun kelahirannya kurang dari tahun 1985 (sebelum tahun 1985).
Tabel 9.1. Banyaknya Pembuatan Akta Kelahiran Menurut Jenisnya di Kabupaten Bengkayang Tahun 2006 Jenis Akta
Jumlah
(1)
(14)
1. Akta Kelahiran Pokok
779
2. Akta Kelahiran Terlambat 3. Akta Kelahiran Dispensasi Jumlah
2 482 613 3 874
Sumber/Source : Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bengkayang
Pada tahun 2006, di Kabupaten Bengkayang, tercatat pembuatan akta kelahiran sebanyak 3.874 berkas. Dari sejumlah pembuatan akta kelahiran tersebut, hanya terdapat sebanyak 779 atau hanya sekitar 20 persen akta kelahiran yang termasuk jenis akta kelahiran pokok sedangkan akta kelahiran yang tercatat paling banyak dibuat adalah akta kelahiran jenis akta kelahiran terlambat, yaitu sebanyak 2.482 berkas atau sekitar 64 persen dari keseluruhan pembuatan akta kelahiran. Selanjutnya, tercatat sebanyak 613 atau sekitar 16 persen akta kelahiran yang termasuk akta kelahiran dispensasi. Dengan demikian, data tersebut dapat menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Bengkayang akan pentingnya pembuatan akta kelahiran segera setelah terjadinya kelahiran masih relatif kurang. 9.2. Pekerja Anak
Masalah lain yang menjadi pembahasan pada anak-anak adalah masalah pekerja anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya anak usia sekolah yang terpaksa harus bekerja sehingga harus meninggalkan bangku sekolah atau memang tidak dapat bersekolah sama sekali. Kesulitan ekonomi keluarga yang dihadapi orangtua seringkali memaksa anak-anak untuk bekerja membantu orangtua menafkahi keluarga. Padahal seharusnya sebagai anakanak, mereka mempunyai hak untuk belajar dan bermain serta mengalami tumbuh kembang
secara wajar sehingga di masa yang akan datang, mereka dapat diharapkan menjadi generasi penerus yang berkualitas.
Pada umumnya, anak-anak yang bekerja tidak mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya seperti mendapatkan upah yang rendah dan bahkan seringkali mengalami eksploitasi. Kebanyakan anak-anak tersebut bekerja sebagai anak jalanan di pasar-pasar atau tempat-tempat umum bahkan tidak jarang dari mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar secara ilegal. Banyak pengusaha yang lebih senang mempekerjakan anak sebagai buruh mereka karena pada umumnya, pekerja anak dapat dibayar jauh lebih murah dari upah seharusnya dan tidak banyak menuntut karena takut dan ketidaktahuan atau kurang pengetahuan. Namun demikian, informasi atau data yang akurat mengenai anak yang bekerja atau pekerja anak ini sangat sulit untuk dapat diperoleh.
Fenomena pekerja anak biasa banyak terjadi dalam rumah tangga atau pekerja keluarga dan biasanya dilakukan oleh anak perempuan yang jenjang pendidikannya hanya sampai tingkat sekolah dasar. Alasan mereka bekerja pada umumnya adalah untuk membantu perekonomian orangtua karena kebanyakan anak merasa bangga apabila sudah dapat membantu orangtuanya. Pekerja keluarga tersebut beranggapan bahwa menjadi pekerja keluarga merupakan alternatif yang lebih baik karena tidak memerlukan keterampilan khusus, pendidikan yang tinggi, atau pengalaman khusus. Selain itu, pekerjaan rumah tersebut juga disamakan dengan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari tanpa berpikir masalah yang akan terjadi apabila tidak mengerjakan pekerjaan dengan benar.
Konvensi ILO Nomor 138 mengenai batas usia minimum anak diperbolehkan bekerja dan Rekomendasi Nomor 146 yang diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 telah mendeklarasikan bahwa batas usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun dan pekerja apapun yang membahayakan anak-anak secara fisik, mental, atau kesehatan, atau moral anak tidak boleh dilakukan oleh mereka yang berusia di
bawah 18 tahun. Ketetapan usia minimum tersebut tentunya menjadi acuan bagi anak yang bekerja sebagai pekerja keluarga. Di kabupaten Bengkayang, data mengenai pekerja anak dan kegiatannya belum dapat diperoleh secara akurat. Hal ini dikarenakan belum adanya pencatatan yang tertib dilakukan oleh instansi yang berwenang. Selain itu, data yang diperoleh dari hasil Survei yang dilakukan oleh BPS juga belum dapat menampilkan data tersebut karena jumlah sampel yang terlalu kecil.
BAB X PENUTUP 10.1.
Kesimpulan
Dari berbagai hal yang telah dijelaskan didepan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Bahwa perempuan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan bangsa dan negara, karena kualitas sumber daya manusia masa depan ditentukan oleh kemampuan wanita merawat anaknya pada usia dini.
2.
Penduduk Kabupaten Bengkayang masih didominasi oleh penduduk usia muda sehingga beban ketergantungan (dependency ratio) masih sangat tinggi. Selain itu, komposisi penduduk perempuan lebih sedikit dibanding penduduk laki-laki.
3.
Rata-rata pendidikan perempuan di Kabupaten Bengkayang masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pendidikan laki-laki. Namun demikian, kemampuan bertahan perempuan di tingkat pendidikan tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki.
4.
Angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, dan budaya masyarakat masih mengutamakan pendidikan laki-laki dibandingkan perempuan.
5.
Pengarusutamaan Gender belum terlaksana dengan baik di Kabupaten Bengkayang, dimana salah satunya dibuktikan dengan masih kurangnya keterwakilan perempuan di tingkat eksekutif dan legislatif khususnya yang memegang jabatan.
6.
Kesetaraan gender dalam hal sosial ekonomi belum tercapai di Kabupaten Bengkayang. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi dan produktivitas perempuan di berbagai lapangan pekerjaan yang berakibat hilangnya peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi.
10.2.
1.
Saran
Perlu adanya peraturan daerah yang mengatur adanya advokasi terhadap perempuan untuk dijadikan pedoman dan dilaksanakan di Kabupaten Bengkayang.
2.
Diperlukan upaya nyata untuk lebih memberdayakan perempauan baik dalam legislatif, eksekutif, maupun di dunia usaha.