1
BAB I PENDAHULULUAN
A. Latar Belakang Tercapainya masyarakat Indonesia adil, makmur dan sejahtera adalah merupakan cita-cita bangsa. Tercapainya tujuan pembangunan bangsa ini tidak terlepas dari sumber dana yang membiayai setiap program pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Diyakini hingga sekarang bahwa sumber dana negara yang terbesar bersumber dari sektor perpajakkan, bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa pajak negara bisa lumpuh / negara tidak bisa beraktivitas. Sehingga pemungutan pajak berfungsi essensial, terpenting dan harus dilaksanakan oleh negara. Pajak adalah sebagai sumber utama penerimaan Negara,1 Negara memerlukan uang rakyat yaitu pajak rakyat.
2
setiap tahun pajak merupakan sumber penghasilan
yang besar bagi pemerintah.3 Pasal 23A Amandemen ke 4 UUD 1945 adalah merupakan dasar hukum bagi negara dalam hal pemungutan pajak yang menerangkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang, bertujuan agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya, adanya jaminan kejujuran, dan integritas dari petugas, serta jaminan bahwa pungutan tersebut akan dikembalikan lagi ke masyarakat.
1
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak daerah di Indonesia,Jakarta,Yellow Printing, 2007, hal.1 Boediono, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan Kebijakan Perpajakan Pajak Luar Negeri), Jakarta, Diadit Media, 2001, hal.51. 3 Amin Wijaya Tungggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, Jakarta, Rieneka Cipta, 1995, hal.1 2
1
2
Dalam meningkatkan penerimaan pajak tersebut, pemerintah telah melakukan pembaharuan perpajakan (tax reform) sejak 1 Januari 1984. dengan pembaharuan ini akan disederhanakan yang mencakup penyederhanaan jenis pajak. Dengan demikian dapat diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajib, sehingga di satu pihak mendorong WP (Wajib Pajak)
melaksanakan dengan sadar akan kewajibannya
membayar pajak, dan di lain pihak menutup peluang bagi mereka yang menghindari pajak. Secara garis besarnya pajak di Indonesia di bagi 2 (dua) yakni;4 1. Pajak Negara / Pusat, yaitu pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat, penyelenggaraannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara umumnya. 2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, daerah kaupaten/kota, guna pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing. Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang di tunjuk oleh UndangUndang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakkan hukum terhadap masyarakat Wajib Pajak dan penyelengara pemungutan pajak negara / pusat. Dalam hal penyelenggaraan pajak di daerah, pemungutan kepada masyarakat berupa pajak daerah dan retribusi daerah, pelayanan, pengawasan dan penegakkan hukum kepada Wajib Pajak diatur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (disingkat PDRD) dilakukan oleh
4
Ida Zuraida, Penagihan Pajak, Pajak Pusat dan Pajak Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal. 9.
3
Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang PDRD diundangkan pada tanggal 15 September 2009 dimuat dalam LNRI Nomor 130, dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) menyebutkan bahwa BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan) telah menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Karena itu, lebih lanjut Pemerintah Daerah Kota Binjai mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011, Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/Atau
Bangunan (disingkat BPHTB),
diundangkan pada tanggal 20 Januari 2011, dimuat dalam Lembaran Daerah Kota Binjai Tahun 2011 Nomor 2. Perda ini efektif berlaku sejak bulan Januari 2011. Pajak-pajak yang diterima dari pengenaan pajak BPHTB ini seluruhnya masuk dalam kas daerah atau dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Daerah sesuai ketentuan. Pada Pasal 85 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, dan Pasal 2 ayat (3) Perda Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB, menyatakan bahwa yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan, meliputi :5 a. Permindahan hak karena : 1. Jual-beli; 2. Tukar-menukar; 3. Hibah; 4. Hibah wasiat; 5
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB
4
5. Waris; 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum; 7. Pemisahan hak yang menyebabkan peralihan; 8. Penunjukan pembeli dalam lelang; 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10. Penggabungan usaha; 11. Peleburan usaha; 12. Pemekaran usaha; 13. Hadiah. b. Pemberian hak baru karena : 1. Kelanjutan pelepasan hak; 2. Diluar pelepasan hak Sebagaimana diterangkan di atas bahwa objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangun (disingkat BPHTB), yang artinya seseorang ataupun badan memperoleh suatu hak atas tanah karena seseorang ataupun badan menyerahkan ataupun memindahkan hak kepadanya sebagai yang menerima hak tersebut. Ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima. Hal ini dapat dijumpai dalam peristiwa/perbuatan hukum transaksi (jual-beli) tanah yang pada prakteknya dilaksanakan dihadapan Notaris/PPAT. Pihak yang menyerahkan haknya (disebut penjual) dan pihak yang menerima hak tersebut (disebut pembeli), dan pihak pembeli ini-lah yang dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan bagi pihak penjual dikenakan pajak penghasilan final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan (disebut PPh Final PHTB). Para pihak disebut juga sebagai Wajib Pajak (WP). Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB bagi pihak yang memperoleh/menerima hak atas tanah dan/atau
bangunan,
dan
PPh
F
PHTB
dikenakan
kepada
pihak
yang
5
menyerahkan/memindahkan haknya atas tanah dan/atau bangunan. Karena pihak yang menyerahkan atau melepaskan haknya atas tanah dan/atau bangunan miliknya dianggap mendapatkan suatu hasil/imbalan ataupun keuntungan secara ekonomis. PPh F PHTB dan BPHTB ini seolah tidak dapat dipisahkan dari setiap peristiwa/perbuatan hukum khususnya pada Peralihan/pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena demikian diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengenaan PPh F PHTB diatur berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dari Peralihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, sebagaimana
serta telah
Keputusan diubah
Menteri dengan
Keuangan Peraturan
Nomor Menteri
635/KMK.04/1994 Keuangan
Nomor
243/PMK.03/2008. Bila dilihat dari objek PPh secara umum, maka setiap pendapatan/penghasilan dikenai PPh. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (disebut UUPPh), menyatakan bahwa : Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.6
6
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh
6
Penghasilan yang dikenai pajak bersifat Final (disingkat PPh F) adalah pengasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (disingkat PHTB), sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) huruf d : Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan. Dari uraian peraturan perundang-undangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari satu pihak ke pihak lain dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB. Misalnya saja pengalihan yang disebakan karena jual-beli lazim dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB. Dari transaksi jual-beli umumnya pihak penjual di bebankan PPh F PHTB sedangkan kepada pembeli dikenakan BPHTB. Di Kota Binjai, terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat (pendaftaran tanah untuk pertama kali), untuk memohon sertipikat pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dikenai PPh F PHTB dan BPHTB. Bila tanah dan/atau bangunan yang dimohon/didaftarkan tersebut dapat diberi sertipikat, maka kepada pemohon (pemilik tanah) diwajibkan membayar terlebih dahulu PPh F PHTB dan BPHTB. Pembayaran PPh F PHTB dan BPHTB ini merupakan salah satu syarat sebelum diterbitkannya sertipikat atas nama pemohon hak baru pada Kantor Pertanahan Kota Binjai. Selanjutnya, bila tanah dan/atau bangunan yang baru dimohon/didaftar tersebut telah memperoleh sertipikat, kemudian tanah tersebut di jual atau di alihkan kepada pihak lain, maka tanah tersebut di kenai lagi PPh F PHTB dan BPHTB.
7
Dalam hukum jual-beli, PHTB (Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan) pihak yang mengalihkan (penjual) wajib dikenakan PPh F PHTB dan pihak yang menerima pengalihan tersebut (pembeli) wajib dikenakan BPHTB. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilik tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat bila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan memakai syarat akan dialihkan setelah tanah dan/atau bangunan tersebut bersertipikat, maka pemilik tanah dan/atau bangunan tersebut akan membayar PPh F PHTB sebanyak dua kali yakni pada saat permohonan sertipikat, dan pada saat melakukan pengalihan (jual-beli), dan membayar BPHTB sekali yakni pada saat permohonan sertipikat. Beban pajak tersebut belum termasuk biaya pengenaan tarif PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya biaya lainnya, sehingga bila diakumulasi beban pajak yang ditanggung pemilik tanah tersebut jelas sangat memberatkan. Secara garis besar peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan jual beli.7 Contoh : Harjono memiliki sebidang tanah seluas kurang lebih 600 m2. yang terletak di Keluran Sumber Karya, Kecamtan Binjai Timur Kota Binjai, sesuai AKTA CAMAT (Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi) Nomor : 593.85/121/BT/1995 dengan Surat Keterangan Nomor : 593.21 – 1585 yang dikelurkan Lurah Sumber Karya dan diketahui oleh Camat Binjai Timur. Harjono telah semufakat dengan Sartono
7
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal.1.
8
(pembeli) untuk melaksanakan jul-beli dengan syarat tanah tersebut harus di sertipikatkan terlebih dahulu oleh Hartono, kemudian baru dilaksakan peralihan (jualbeli) dihadapan Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pada saat pengajuan permohonan sertipikat atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan Kota Binjai, oleh Kepala Kantor Pertanahan mewajibkan Harjono membayar terlebih dahulu PPh F PHTB dan BPHTB, sebagai syarat akhir sebelum sertipikat tanah tersebut diterbitkan. Kemudian setelah memperoleh sertipikat, Harjono dan Sartono melakukan pengalihan (jual-beli) yang dilaksanakan dihadapan pejabat yang berwenang yakni Notaris/PPAT Kota Binjai. Sebelum akta peralihan hak (Akta Jual Beli) ditanda tangani oleh Pejabat tersebut, kepada kedua belah pihak diwajibkan terlebih dahulu membayar PPh F PHTB dan BPHTB. PPh F PHTB dibayar oleh harjono dan BPHTB dibayar oleh Sartono. Setelah bukti pembayaran di serahkan kepada Notari/PPAT, baru-lah akta peralihan dibuat. Selanjutnya salinan akta peralihan hak ini bersama bukti pembayaran PPh F PHTB dan BPHTB dilampirkan dalam berkas permohonan hak baru (pendaftaran peralihan hak) pada Kantor Peranahan Kota Binjai, dan Sertipikat tanah tersebut di BN (balik nama) atas nama Sartono sebagai pembeli (pemegang hak baru). Melihat kenyataan tersebut di atas, terhadap permohonan hak baru (pendaftaran tanah untuk pertama kali) dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB, dan setelah memperoleh sertipikat dilakukan pengalihan hak (jual-beli) juga dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB. Sehingga pengenaan PPh F PHTB bermakna ganda (double tax), subjek pajak yang sama yakni pemilik tanah dikenai PPh F PHTB
9
sebanyak dua kali. “logika-nya, karena tidak mungkin pemilik tanah menjual tanahnya dua kali atau lebih sehingga dibebani baginya PPh F PHTB dua kali atau lebih.” Permohonan hak baru (pendaftaran tanah pertama kali) atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat bertujuan untuk memperoleh sertipikat sebagai bukti telah terdaftar pada Kantor Pertanahan, sehingga pemilik tanah dan/atau bangunan tersebut mendapat legalitas yang kuat. Dengan legalitas yang kuat tersebut, diharapkan memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemegang hak (pemilik tanah), yang sesuai dengan azas dan tujuan pendaftaran tanah, yang terkandung dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, (disebut UUPA). Dengan demikian karena permohonan hak baru (pendaftaran tanah pertama kali) atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat bertujuan untuk memperoleh sertipikat, dan permohonan hak baru (pendaftaran pertama kali) tidak bersifat pengalihan hak (jual-beli), maka seharusnya tidak dibebani pajak penghasilan (PPh F PHTB), karena bukan objek pajak penghasilan. Sebab pemohon (pemilik tanah) tidak mendapat keuntungan secara ekonomis seperti halnya pada pengalihan hak, dimana pihak yang mengalihkan hak akan memperoleh penghasilan/keuntungan berupa hasil penjualan (uang). Hal inilah yang mendasari penelitian ini dilakukan dengan judul “ Pengenaan PPh Final dan BPHTB Terhadap Permohonan Hak Baru atas Tanah dan/atau Bangunan yang Belum Bersertipikat yang Dialihkan Setelah Bersertipikat.”
10
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat di rumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru (pendaftaran tanah pertama kali) atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat di Kota Binjai ? 2. Bagaimana kepastian hukum tentang ketentuan pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat di Kota Binjai ? 3. Bagaimana pemenuhan aspek keadilan dalam pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat di Kota Binjai ? C. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat dan yang sudah bersertipikat. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian hukum pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat.
11
3. Untuk mengetahui dan menganalisis aspek keadilan dalam pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang di alihkan setelah bersertipikat. D. Manfaat Penelitian. Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1.
Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademis maupun masyarakat umum guna menambah khasanah ilmu dalam hukum, khususnya dapat memberi masukan bagi penyempurnaan peraturan dalam masalah perpajakkan khususnya mengenai pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap kegiatan pendaftaran tanah atau permohonan hak baru.
2.
Manfaat Praktis Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pendaftaran tanah (permohonan hak baru) atas tanah yang belum bersertipikat dan yang sudah bersertipikat, dan menjadi jalan keluar terhadap masalah yang diteliti dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang perpajakan.
E. Keaslian Penelitian. Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada program studi pasca sarjan Megister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Pengenaan PPh Final dan BPHTB
12
Terhadap Permohonan Hak Baru atas Tanah dan/atau Bangunan yang Belum Bersertipikat yang Dialihkan Setelah Bersertipikat”, belum pernah dilakukan, penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah : 1. Tesis atas nama Belinda Siti Ayesha dengan judul Hak Pemungutan pajak Penghasilan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (Studi Di Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota). Pokok masalahan dalam penelitian ini adalah : a. Apakah pemungutan Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dapat dikenakan terhadap semua jenis tanah dan bangunan ? b. Bagaiamana upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan terhadap pemungutan Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ? c. Apakah kendala-kendala yang terdapat dalam pembayaran Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut? 2. Penelitian yang dilakukan oleh M. Syahrizal, Mahasiswa Magister Knotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Tinjauan Yuridis atas Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) terhadap Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan di Kota Kisaran.” Pokok masalah dalam Penelitian ini adalah :
13
a. Apakah pengaturan PPh dan BPHTB tentang mengharuskan Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak terutang ? b. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaa pemungutan PPh dan BPHTB ? c. Bagaimana penyelesaian terhadap kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pembayaran PPh dan BPHTB ? Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan hukum. Adapun pengutipan-pengutipan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah dicantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaedah dan etika penulisan ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka teori Kerangka teori merupakan pemikiran atas butir-butir pendapat, atau teori,
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problematika) yang menjadi perbandingan, pegangan teoritis.8 Fred N Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behaviour Reasearch bahwa suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proporsisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.9
8
M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 Fred N Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioural, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2004, hal.14. 9
14
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian10. Soejono Soekanto mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11 Penelitian hukum dalam tataran teori ini diperlukan bagi mereka yang ingin mengembangkan suatu bidang kajian hukum tertentu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuannya dalam penerapan aturan hukum. Dengan melakukan telaah mengenai konsep-konsep hukum.12 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarnnya.13 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.14 Teori diartikan sebagi ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (varibel) dalam bidang tertentu sehingga dapat digunakan sebagi kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.15 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan
10
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, Cetakan I, Mandar Maju, 1994, hal.80.
11
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal.6.
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2006, hal. 73
13
M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta, Ui-Press, 1996, hal.203 Made Wiranatha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi Dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, hal.6. 15 Bintoro Tjokro Amidjojo, Teori Dan Strategi Pembangunan Nasional, CV.Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal.12. 14
15
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.16 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian.17 Suatu teori atau fenomena juga merupakan kesimpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum18. Tidak setiap kekuasan dalam masyarakat disebut baik.19 Teori yang digunakan sebagai pisau analitis dalam penelitian ini sebagai teori utama adalah Teori Keadilan. Menurut Plato, semua orang harus memiliki sifat adil atau keadilan dalam diri mereka, keadilan paling kecil bisa diwujudkan dalam keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban bagi diri sendiri.20 Menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani” Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosial. Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain.
16
lexy j. Maleong, Metologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993,
hal.35. 17
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192 Mukti Fajar Dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empuiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134, 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke V, Bandung, 2000, hal.53. 20 Pieter Mahmud Marzuki(a), Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal.158 18
16
Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undangundang. Ia menganggap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma “adil” dengan kata lain dari “benar”.21 Keadilan merupakan fokus utama dari setiap hukum dan keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan, seperti pendapat John Rawls yang dikutip Munir Fuady sebagai berikut : Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujudkan ke dalam masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut diperlukan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Karena merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka terhadap kebenaran, dan keadilan tidak ada kata kompromi.22 Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak dapat membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal yang lebih besar yang didapat orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan kepada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.23 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid),
21
kemanfaatan
(rechtsuilititeit)
dan
kepastian
hukum
Diterjemahkan dari karya Hans Kelsen, introduction to problem legal theory (Clarendon Press-oxford, 1996) dalam buku L. Stanly L. Poulson, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2012, Hal. 48 22 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, Hal. 94 23 John Rawls, A Theory Of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
17
(rechtszekerheid).24 Dalam bukunya Inleiding Tot DE Studie Van Het Nederlandse Recht, Apeldoorn mengatakan bahwa : Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk menciptakan kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama yang lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya.25 Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum itu bisa diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Sudikno Mertokusumo, menyatakan : Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu meniti beratkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan menimbulkan rasa tidak adil. Adapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex duraset tamen scipta” (UndangUndang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).26 Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul, pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya pikulnya masing-masing.27
24
Ahmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, Hal. 85. 25 R Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 57. 26 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar) Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 136 27 Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, Hal. 9.
18
Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasari atas empat azas, yaitu equity, certainty, convenience dan economic. Sedangkan Dora Hancock dalam bukunya : Taxation: Policy and Practice, mengutip pernyataan Stilglist-Pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa ada lima karakteristik yang diharapkan dalam suatu sistem pemungutan pajak, yaitu Economically efficient, Administratively Simple, Flexible, Politically Accountable, Fair.28 Azas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang di terimanya dari negara. Azas keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Suatu pemungutan pajak dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam kondisi yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals). Azas keadilan vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yang
mempunyai tambahan kemampuan
ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Agar terjaga keseimbangan dan agar tercapai sistem perpajakan yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Mansury : Itulah tiga azas yang seharusnya dipegang teguh sistem PPh kita yang seimbang memperhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy Principle adalah kepentingan pemerintah, The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan Certainty Principle adalah kepentingan pemerintah dan masyarakat.
28
Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan implementasi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hal. 157.
19
Suatu pemungutan pajak dikatakan optimal apabila dalam pemungutannya terpenuhi azas revenue productivity dengan tetap menjaga keadilan dalam pemungutannya.29 Dalam mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.30 Menurut J.J.H Bruggink mengatakan : Seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan sistem konseptual aturanaturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang dipositifkan. 31 Sedangkan Subekti, dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Keadilan” mengatakan bahwa : Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Pengabdian tersebut dilakukan dengan cara menyelenggarakan “Keadilan dan Ketertiban”. Keadilan ini digambarkan sebagai suatu keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang yang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan mengguncang. Kaidah ini menurut “dalam keadaan yang sama dan setiap orang menerima yang sama pula.32 Aspek keadilan dalam pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB pada dasarnya dapat berpengaruh pada sistem pengenaan pajak atas objek tanah dan/atau bangunan baik dalam hal pendaftaran tanah maupun peralihan hak ; 29
Salman, Otje dan Susanto, Anton F, teory Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, 2013, Hal. 60. 30 W. Fiedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Telaah Krisis Atas Teori-Teori Hukum, terjemahan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Raja Grasindo Persad, Jakarta, 1993, Hal. 7. 31 Otje Salman dan Susanto, Anton F, teory Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013, Hal. 60. 32 R. Soerosa, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal. 57
20
a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran tanah; b. Struktur hukum, yang terdiri dari lembaga hukum, lembaga pemerintahan dan Badan Pertanahan; c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum dan realitas sosial masyarakat. Pemungutan pajak harus diatur dalam Undang-Undang, tujuannya agar ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk Negara dan Wajib Pajak dalam menyelenggaran pendaftaran tanah dan pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, menjadi landasan yuridis pengenaan/pemungutan pajak. Sebaliknya bila ada pungutan pajak yang tidak berdasarkan Undang-Undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut perampokan (taxation without representation is robbery). Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan merata ini menjadi parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak. Negara memiliki hak untuk memungut pajak, namun pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengabaikan teori dan azas hukum yang ada.
21
Dalam pemungutan pajak dikenal adanya azas kepastian (certainty), menurut Haula Rosdiana dan Edy Slamet Irianto, azas certainty merupakan unsur dari azas ease of administration. Azas certainty mengatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak dan seluruh masyarakat, sebagaiman dikutip dari The News Encyclopeda Britanica “Taxation” : Tax laws and regulation must be comprenhensible to the taxplayer, they must be unambigous and certain, both the taxplayer and to the tax administrator.33 Azas kepastian antara lain kepastian mengenai siapa-siapa yang dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya antara lain prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka Wajib Pajak akan sulit untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiscus (petugas Pajak) akan kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak juga dalam melayani hak-hak Wajib Pajak. Sommerfeld menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk pemungutan pajak yang terperinci, advanced rulling, maupun interprestasi hukum yang lainnya. Terlepas
33
Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hal. 167
22
daripada adanya sanksi, secara sadar atau tidak, pada umumnya orang mentaati hukum yang ada. Menurut Utrecht, orang mentaati hukum karena : a. Karena orang merasakan bahwa peraturan –peraturan itu dirasakan sebagai hukum. b. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional (rasioneele aanvaarding). Agar tidak mendapat kesukaran-kesukaran orang memilih untuk mentaati saja pada peraturan hukum, karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum. c. Karena masyarakat mengkehendakinya. d. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasa malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar sesuatu kaidah sosial/hukum.34 2.
Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisir dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Untuk menjawab permasalahan secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan : a.
Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang terutang oleh yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 34
hal. 23-24
E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Iktiar Baru, Jakarta, 1983,
23
b.
Pengenaan Pajak adalah pembebanan kewajiban pembayaran pajak kepada Wajib Pajak;
c.
PPh adalah Pajak Penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau di peroleh oleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut;
d.
PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenai bersifat final, yakni penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau badan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dengan dasar pengenaan pajak tertentu, pada saat penghasilan itu diterima, dan langsung lunas;
e.
PPh F PHTB adalah pajak penghasilan Final atas penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
f.
BPHTB adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, yaitu pengenaan pajak terhadap perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
g.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
h.
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah peralihan hak seseorang atau badan atas Tanah dan/atau Bangunan kepada pihak lain (orang atau badan);
i.
Tanah adalah permukaan bumi;
j.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut;
24
k.
Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang belum terdaftar pada Kantor Pertanahan;
l.
Sertipikat adalah surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang sesuatu;
m. Sertipikat Tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria; n.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang atau berdasarkan Undang-Undang lainnya;
o.
PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu Pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah / hak milik atas satuan rumah susun dalam rangka tugas pokok;
p.
Permohonan Hak Baru adalah permohon hak yang diajukan oleh orang pribadi ataupun badan pada Kantor Pertanahan untuk menyatakan dirinya sebagai pemegang hak yang baru, yang sah dan sempurna menurut hukum, atas tanah dan/atau bangunan yang telah diperoleh/dimilikinya.
G. Metode Penelitian. Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
25
atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, maka diadakan pemeriksaan
mendalam
terhadap
fakta
hukum
tersebut,
untuk
kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala
yang
bersangkutan.35
Penelitian
hukum
dilakukan
untuk
mengidentifikasi sumber hukum yang dapat diterapkan pada problem hukum tertentu dan menemukan solusi atas problem yang diidentifikasikan tersebut. 36 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Sifat dan jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, artinya
penelitian ini merupakan penelitian yang berupaya menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan PPh F PHTB dan BPHTB kemudian akan dibandingkan dengan pelaksanaan pemungutan terhadap objek PPh F PHTB dan BPHTB di Kota Binjai. Jenis penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris/ hukum sosiologis, yakni metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir. Metode yuridis sosiologis dalam penelitian tesis ini yaitu dari hasil
35
Soerjono, Soekanto, Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 43 36 Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, 2014 hal. 31
26
pengumpulan dan penemuan data, wawancara serta informasi, melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang berkaitan dengan “PPh F PHTB, BPHTB dan Pendaftaran Tanah (permohonan hak baru) atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat". Metode pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini bersifat Deskriptif yaitu dengan menggambarkan keadaan yang berhubungan dengan pengenaan pajak PPh F PHTB, BPHTB terhadap pendaftaran tanah dan pengalihan hak atas tanah. Penelitian ini dimulai dari pengumpulan data yang berhubungan dengan pembahasan di atas, lalu menyusun, mengklasifikasikan dan menganalisisnya, serta kemudian menginterprestasikan data, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti. Dengan penelitian yang bersifat yuridis empiris dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwa. 2.
Lokasi penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Binjai
3.
Populasi penelitian dan sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah Notaris/PPAT Kota Binjai. Data dari
Ketua Pengda Ikatan Notaris dan IPPAT Kota Binjai-Langkat, Notaris/PPAT Kota Binjai berjumlah 25 (dua puluh lima) orang.37 Jumlah tersebut seluruhnya dijadikan sampel dalam penelitian ini (disebut sampel jenuh). Penelitian ini didukung dengan data penunjang melalui informan yaitu : masing-masing 1 (satu) orang dari Pegawai 37
Data dari Ketua Pengda Ikatan Notaris dan IPPAT Kota Binjai-Langkat.
27
Kantor Pertanahan Kota Binjai, Camat Kota Binjai, Pegawai/Petugas Kantor Dinas Pendapatan Kota Binjai, Pegawai/Petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Binjai. 4.
Sumber data Dalam penelitian ini jenis data yang dipergunakan yaitu data primer dan data
sekunder, sebagai berikut : a. Data Primer. Data primer adalah data penelitian lapangan yang terkait dengan pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat, melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuisioner, dan informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah ditentukan yaitu Notaris/PPAT Kota Binjai, Pegawai Kantor Pertanahan Kota Binjai, Camat Kota Binjai, Pegawai Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Binjai, dan Pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Binjai. b. Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier ; (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a.
Norma atau kaidah dasar
28
b.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perpajakan khususnya mengenai pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat, yaitu : 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebagai Pengganti Peraturan
Pemerintah
Nomor
10
Tahun
1961,
tentang
pendaftaran tanah; 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak Penghasilan; 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Restribusi Daerah; 6. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
29
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menetri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas dan/atau Bangunan; 9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Tentang Perubahan pertama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; 10. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak daerah Dan Restribusi Daerah; 11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Notaris, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Notaris; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain tulisan atau pendapat para pakar hukum dibidang perpajakan. (3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer maupun hukum sekunder berupa kamus, kamus hukum, majalah
30
dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. 5.
Alat Pengumpul Data Dalam penelitian ini, sebagai alat penelitian menggunakan; a. Studi
dokumen/kepustakaan
atau
penelitian
kepustakaan
(library
research), dengan cara mengumpulkan semua buku-buku peraturan peundang-undangan, dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian; b. Kuisioner, melakukan tanya jawab kepada responden melalui kuisioner yang telah dipersiapkan, sehingga lebih mudah mengetahui dan mendapatkan informasi yang diperlukan. c. Wawancara, untuk memenuhi data pimer, dilakukan wawancara atau interview dengan informan sehingga peneliti akan secara langsung memperoleh data yang dikehendaki pada saat itu juga. Wawancara, dimaksudkan melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan nara sumber untuk mendapatkan informasi.38 6.
Analisis Data Analisis data terhadap data primer, mengenai Permohonan Hak Baru
(Pendaftaran tanah) dikaitkan dengan pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB, setelah terlebih dahulu diadakan pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan kemudian
38
Soerjono Soekanto, dan Mahmudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 161
31
dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, data tabel dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan logika deduktif, yaitu berpikir dari yang umum menuju hal yang lebih khusus dengan menggunakan perangkat yuridis empiris, yaitu dengan cara melakukan interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi terutama hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, dikaji, dan diteliti serta dievaluasi, kemudian data dikelompokan atas data yang sejenis untuk kepentingan narasi dan tabel. Evaluasi dan penafsiran secara kualitatif untuk menilai jawaban, dianalisis dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk memperoleh kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Dari kegiatan interprestasi data primer yang diperoleh diharapkan dapat menghasilkan sebuah kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.