BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama 40 tahun terakhir industri farmasi India mengalami pertumbuhan yang pesat. Dari 1,6 juta dollar AS pada tahun 1947, industri farmasi mencatat omset penjualan 5,5 miliar dolar AS pada tahun 2004, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 17% (Mazumdar, 2013: 17). Dengan pertumbuhan yang sangat pesat tersebut, India tumbuh sebagai produsen obat generik terbesar di dunia. Kemajuan India dalam bidang farmasi tidak terlepas dari kebijakan dalam Patent act 1970. Pasca kemerdekaan dari Inggris di tahun 1947( Kaul, 2013) India membuat sendiri aturan paten yang sesuai dengan kebutuhan domestiknya. Dalam paten act 1970 India meniadakan aturan paten bagi bidang farmasi, pertanian dan bahan kimia. Aturan tersebut berdampak bagi industri farmasi India, dimana india memproduksi obat-obatan tanpa adanya aturan paten. Selain itu membuat harga produk farmasi India lebih terjangkau. Pada tahun 1995 India bergabung dalam World Trade Organization (WTO), serta dimulai pemberlakuan Trade Related Aspect Of Intellectual Property Right (TRIPS). TRIPS merupakan rezim paten yang diberlakukan dibawah WTO yang mengatur ketentuan paten bagi anggota WTO. Sebagai anggota WTO, India berkewajiban untuk mengharmonisasikan aturan paten India dengan TRIPS. Dalam Patent (amendment) act aturan paten India yang diterbitkan di tahun 2005 India memasukkan pasal 3(d).
1
Pasal 3(d) mengatur hal-hal yang tidak bisa dianggap sebagai invensi, baik kandungan zat yang digunakan, maupun proses yang telah dikenal dan digunakan sebelumnya. Dalam pasal 3(d) dijelaskan bahwa paten hanya akan diberikan pada invensi yang benar-benar berbeda dari invensi yang sudah ada sebelumnya, baik dari jenis zat, proses, maupun alat poduksi. Dalam aturan paten TRIPS, paten diberikan kepada semua penemuan, baik dalam bentuk produk atau proses, selain itu juga paten diberikan bagi semua bidang teknologi, sepanjang penemuan yang bersangkutan baru, melibatkan langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Dalam TRIPS paten haruslah diberikan secara adil tanpa mempersoalkan tempat terjadinya penemuan, bidang teknologi, dan apakah barang tersebut dihasilkan didalam negeri atau diimpor (WTO, Annex 1C, 2014) Dari penjelasan aturan paten TRIPS diatas, serta perbedaan aturan paten yang akan diberlakukan India dalam patent (amendment) act 2005 dibandingkan dengan aturan TRIPS, Mengindikasikan bahwa ada alasan tertentu masuknya pasal 3(d) dalam patent (amendment) act 2005 menghadapi pemberlakuan TRIPS. Sehingga penelitian ini akan menguraikan secara lebih mendalam mengapa pasal 3(d) dimasukan dalam patent (amendment) act 2005.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan permasalahan, yaitu:
Mengapa India memasukkan pasal 3(d) dalam patent (amendment) act 2005 menghadapi pemberlakuan TRIPS?
2
C. Review Literatur Sebuah studi dilakukan oleh Emawati Junus SH, program Pascasarjana Hukum UNDIP, tahun 2012, dengan judul Ketentuan TRIPS pada pengaturan paten di bidang farmasi di Indonesia. Rumusan masalah dalam studi kasus itu adalah 1. Bagaimana konsekuensi TRIPS terhadap pengaturan paten di bidang farmasi di Indonesia, 2. Bagaimana konsistensi kebijakan pemerintah dalam ketentuan TRIPS terhadap pengaaturan paten di bidang farmasi di Indonesia, 3. Bagaimana persfektif peran pemerintah dalam upaya mengurangi dampak negatif dari ketentuan TRIPS terhadap pengaturan paten dibidang farmasi di Indonesia (Junus. 2012). Penelitian tersebut menggunakan teori reward yang menyatakan bahwasebenarnya inventor yang menghasilkan invensi harus dilindungi, harus diberi penghargaan atas jerih payahnya menghasilkan invensi. Teori Recovery menyatakan bahwa inventor telah menghabiskan uang dan waktu dalam melakukan penelitian, sehingga perlu mendapatkan kembali apa yang telah dikeluarkan oleh inventor. Teori incentive menyatakan dalam upaya memperoleh kembali hasil jerih payah dari invensi, perlu adanya incentive yang bertujuan untuk menstimulasi kembali kegiatan penelitian berikutnya. Hasil dari penelitian tersebut adalah setiap negara yang bergabung dalam WTO harus menetapkan standar minimum aturan WTO yang harus diterapkan oleh anggota. Hal tersebut akan memberikan perubahan pada aturan nasional setiap negara anggota, dan aturan perubahan tersebut akan memberikan dampak
3
positif atau negatif bagi anggota WTO, khususnya negara berkembang. Pembaharuan aturan negara anggota yang telah disesuaikan dengan aturan WTO tidak hanya berhenti dari pembentukan aturan, tapi bagaimana implementasi aturan hukum dalam melindungi hak kekayaan intelektual menjadi hal yang berat diimplementasikan bagi negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh kemampuan teknologi dan modal hampir sebagian besar dimiliki negara maju. Negara berkembang memiliki populasi yang besar, sehingga akan susah bagi negara berkembang untuk mengakses obat, karena harga obat yang mahal. Penelitian yang dilakukan oleh Erma berfokus pada relasi kebijakan TRIPS dan implementasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, termasuk Indonesia. Meskipun tidak begitu menguntungkan, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keharusan untuk mengeimplementasikannya karena terikat oleh aturan TRIPS. Penelitian ini masih bisa diperkaya dengan strategi pemerintah dalam upayanya menghadapi TRIPS. Karenanya, penelitian yang akan dilakukan selanjutnya adalah melihat implementasi TRIPS di India. Peneliti berusaha memaparkan kondisi negara berkembang seperti India untuk menyesuaikan aturan yang telah diadopsi dalam WTO, bagaimana India menerapkan aturan yang diberlakukan di India, sesuai dengan hukum WTO, bagaimana India mengambil kesempatan dalam perjanjian TRIPS bagi kepentingan India. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mansi Sood dari National Law School of India University, Bangalore. Studi ini dilakukan tahun 2013 dengan judul Natco Pharma Ltd. V. Bayer Corporation And The Compulsory Licensing Regime In India. Studi tersebut berfokus pada kasus yang terjadi antara India dan
4
Bayer. Kasus tersebut dilatarbelakangi oleh tuntutan pihak Bayer meminta India untuk tidak lagi memberikan izin kepada industri farmasi India untuk terus melakukan produksi untuk versi generik obat kanker yang dimiliki Bayer, yaitu Nexavar (Sood. 2013. Hal. 20-25). Hasil studi menyimpulkan bahwa adanya kerancuan dalam implementasi aturan paten 1970 dengan paten 1888 yang berusaha mengkonsolidasikan hukum dengan paten. Paten 1888 sebagai upaya mendorong penelitian ilmiah baru. Akan tetapi hukum paten yang telah ditetapkan pada tahun 1970 menghapus paten farmasi. sehingga menimbulkan kerancuan pasca kasus Natco v. Bayer. Penelitian diatas bisa diperkaya lagi, berdasarkan pada kebijakan India yang melakukan penolakan terhadap paten. Penelitian yang akan dilakukan selanjutnya dikhususkan untuk menemukan pembeda dengan penelitian sebelumnya antara India dan Bayer dan kasus India dan Novartis, sehingga akan ditemukan pembeda antara kedua kasus tersebut. Penelitian ini akan membahas seberapa besar pengaruh penerapan hukum di India menyangkut tentang pemberian paten atau upaya India untuk melindungi industri farmasi dalam negeri. Bertujuan untuk mendapatkan pemaparan yang lebih jelas tentang Pasal 3 (d) UU Paten India, menemukan motivasi dalam pasal tersebut, apakah mendukung adanya penghargaan atas upaya ilmiah seperti paten atau India ingin mempertahankan posisi sebagai produsen obat bidang farmasi.
5
D. Landasan Konseptual
Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana negara melindungi kebutuhan dan kepentingan negaranya. Penelitian mengenai kebijakan India dalam menambah pasal 3(d) dalam aturan paten menggunakan dua landasan konseptual, yakni teori proteksionisme dan paten.
D. 1. Teori Proteksionisme Proteksionisme
muncul
sebagai
upaya
negara
untuk
melidungi
kepentingan dalam negeri, berfokus pada ekonomi secara internasional(Sumadji. 2006. Hal. 532) Ada beberapa cara untuk menjaga atau memproteksi diri yaitu dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, seperti tata cara niaga, pajak, tarif masuk, bea cukai, serta pembatasan kuota. Kebijakan
tersebut juga akan
memberikan perlindungan bagi industri lokal. Proteksionisme muncul atas ketidakpuasan terhadap teori pasar bebas yang dikemukakan oleh Adam Smith yang menekankan bahwa negara tidak perlu terlalu ikut campur terhadap pasar (Mark Skousen. 2005). Menurut Adam Smith, pasar dapat tumbuh dengan baik tanpa ada campur tangan yang kuat dari pemerintah, dan biarkan sistem pasar sendiri yang bekerja (invisible hand). Proteksionisme diartikan sebagai upaya perlindungan kebutuhan atau kepentingan nasional (Levi. 1997. Hal. 56). Penolakan terhadap pasar bebas sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama, salah satunya dikemukan oleh Friedrich List dalam buku yang berjudul The National System of Political Economy yang ditulis pada tahun 1841. Friedrich List
6
adalah ilmuwan kelahiran Reutlinngen, Wuttemberg, Jerman. Dalam pemikiran Friedrich List, untuk menghadapi perdagangan internasional atau liberlisasi sumber kekuatan dari negara adalah kekuatan produktivitasnya (Faur. 1997. Hal. 361-362). Yang menarik, Friederich List mempertanyakan tentang upaya ekspansi dalam industri yang tidak dibahas secara kuat oleh Adam Smith, karena Smith beranggapan hal tersebut dapat dicapai jika diberlakukan kebijakan pasar bebas, dimana negara hanya perlu melindungi yang paling memberikan keuntungan serta sesuai dengan situasi dan tanpa perlu negara berusaha untuk merangsang industri (David. 1997. Hal. 363). Kemakmuran menurut Friedrich List tidak diciptakan berdasarkan modal material saja tetapi juga oleh interaksi antara modal material dan keahlian manusia, industri, dan inisiatif (Boianovsky, 2011:5). Kekuatan produktivitas ini berasal dari tiga jenis modal, yaitu modal alam, modal material, dan modal pemikiran. Modal alam terdiri dari tanah, laut, sungai, dan mineral. Modal material terdiri dari mesin, alat, dan bahan baku yang digunakan baik langsung ataupun tidak langsung dalam proses produksi. Sedangkan, modal pemikiran terdiri dari keahlian, pelatihan, industri, perusahaan, angkatan bersenjata, dan pemerintah. Menurut Friedrich List, peran penting negara dalam bidang perekonomian adalah untuk melindungi dan memperbesar kekuatan produktivitas nasional melalui pengembangan industri karena industri ini erat kaitannya dengan perkembangan teknologi, seni, perbaikan infrastruktur, kebebasan politik, urbanisasi, dan alat mencapai kemakmuran (Boianovsky. 2011. Hal. 6).
7
Tindakan proteksionisme dapat diartikan sebagai strategi pemerintah untuk
melindungi
keberlangsungan
ekonomi
dengan
cara
melakukan
perlindungan bagi produk domestik maupun sektor penunjang lainnya, seperti sektor industri. Karena pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan setiap kebijakan negara perlu memperhatikan kondisi domestik dalam memajukan ekonomi negara tersebut. Ada tiga gagasan utama dasar sistem Proteksionisme oleh Friedrich List: 1. Gagasan Infant Industry. Negara yang baru masuk kedalam bidang industri akan kurang menguntungkan jika dihadapkan dengan negara-negara maju. Kekurangan itu tercermin dari pengalaman dan pola yang sudah sangat matang yang dimiliki oleh industri negara maju. Keunggulan industri negara maju juga didukung oleh riset dan modal yang memadai jika dibandingkan dengan industri baru, khususnya negara-negara berkembang. Ketidakmampuan mengendalikan industri akan membuat negara-negara berkembang akan sulit untuk membangun industri dalam negeri. Dibutuhkan strategi dalam menghadapi persaingan industri perdagangan internasional, dibutuhkan perlindungan bagi industri baru. Hanya dengan cara ini akan menciptakan kemampuan kompetisi bagi negara berkembang dalam perdagangan internasional. Kebijakan proteksionisme memiliki sejumlah argumen yang menguatkan kebijakan tersebut sebagai suatu kebutuhan pemerintah dalam rangka melindungi sektor perekonomian dan standar kehidupan rakyat. List mengungkapkan bahwa infant industry belum memiliki kapabilitas
8
dan stabilitas ekonomi maupun ketrampilan manufaktur seperti industriindustri yang lebih besar sehingga apabila tidak ada perlindungan pemerintah maka akan memperkecil kesempatan bersaing di pasar global. “Pohon yang berbuah lebih bernilai dibandingkan buah itu sendiri.” Kemakmuran sebuah bangsa tidak besar dari hanya mengumpulkan kekayaan, akan tetapi proporsi yang lebih adalah perkembangan kekuatan produksinya (List. 1841). Menjadi kewajiban utama bagi pemerintah dalam melindungi industri domestik yang baru berkembang dengan membatasi impor barang dari negara-negara telah memiliki industri yang maju (Riding. 2004. Hal.3). Kemudian pembentukan hukum yang sesuai dengan kebutuhan, hal ini berguna untuk melindungi peraturan sesuai dengan tata hukum yang dibuat dan diimplementasikan. Argumen tersebut diperkuat oleh pendapat Friedrich List yang menyatakan bahwa kemampuan untuk menghasilkan barang produksi lebih penting daripada hasil produksi itu sendiri (List.1966. Hal. 145). 2. Gagasan Forced Capital Investment. Setiap negara industri memperoleh keuntungan dari arus perdagangan internasional. Setiap perubahan dengan mengikuti
kebutuhan
pasar
sangat
mungkin
dilakukan,
demi
memenangkan perdagangan internasional. Negara industri memiliki kesempatan untuk lebih mengambil peran perdagangan internasional. Kondisi tersebut akan berbeda jika sebuah negara tidak menggabungkan antara industri dan hasil sumber daya alam. Ketika sumber daya alam
9
dapat diproses menggunakan industri maka akan memberikan nilai lebih bagi produk itu sendiri, sehingga akan memberikan daya saing lebih ketika dihadapkan pada persaingan perdagangan internasional. Negara-negara yang berfokus pada hasil pertanian dan penjualan bahan baku dalam memperoleh keuntungan, tidak akan mendapatkan posisi yang sama jika dibandingkan dengan industri padat modal atau manufaktur. Tahap awal akan sangat sulit bagi setiap negara untuk memulai membangunan manufaktur, akan tetapi akan berdampak pada keuntungan panjang di masa yang akan datang. Dalam melakukan proteksionisme, pemerintah memungkinkan melakukan upaya menghambat industri atau produk asing yang mengancam perusahaan domestik atau produk domestik. Kebijakan tersebut juga akan memberikan perlindungan bagi industri lokal. Selain itu negara
berperan
dalam
mengurangi
ekspor
produk
luar
serta
mengembangkan produksi dalam negeri sebagai upaya untuk mengurangi saling ketergantungan produk luar (William Rappard. 1939). India membutuhkan strategi dalam mengahadapi TRIPS. Strategi tersebut dibutuhkan dalam mempertahankan dan melindungi industri India. Pertumbuhan industri farmasi yang baik akan berpengaruh positif jika India mampu mengambil langkah tepat dalam membuat kebijakan menghadapi TRIPS. Pertumbuhan industri India yang telah tumbuh dengan baik dalam kurun waktu 1970-1995. Kondisi tersebut harus dipertahankan dan ditingkatkan pasca pemberlakuan paten TRIPS. Langkah tersebut tercermin dalam gagasan forced capital investment, dimana dalam gagasan tersebut diuraikan bahwa pemerintah harus mampu meni
10
ngkatkan industri domestik. Kekuatan industri domestik akan memberikan daya saing yang baik di perdagangan internasional. Pemerintah juga diharapakan mampu melindungi industri farmasi domestik. Dalam hal pemberlakuan TRIPS, maka pemerintah India wajib melindungi industri domestik melalui kebijakan yang akan diterapkan pemerintah. 3. Gagasan National Interest. Setiap negara memiliki sejarahnya masingmasing. Sejarah juga mempengaruhi kepentingan dalam jaringan perdagangan internasional. Negara-negara dunia menggunakan kekuatan politik untuk memperoleh keuntungan dalam perdagangan internasional. Kesejahteraan ekonomi sebuah negara terkait dengan kemampuan dalam pengaruh politik dan ekonomi kontrol dalam persaingan global di antar negara, negara-negara besar dan maju menggunakan kekuatan politik dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Langkah-langkah tersebut juga perlu dilakukan pemerintah dalam melindungi kepentingan nasional, sehingga pemerintah pada dasarnya memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengontrol hubungan ekonomi antara warga dan masyarakat negara-negara lain. Selanjutnya, Friedrich List menekankan pada pentingnya kesatuan negara dan kepemimpinan dalam pembangunan negara. Friedrich List percaya bahwa kemakmuran tergantung kepada kapasitas nasional untuk mencapai tujuan kolektifnya. Kondisi ini tercapai jika kepentingan individu berada di bawah kepentingan nasional. Friedrich List juga menganjurkan tentang pentingnya transparansi administrasi publik dan sistem hukum, demokrasi parlementer,
11
kekuasaan politik yang terdesentralisasi, dan kebebasan mengemukakan pendapat. Friedrich List percaya bahwa pembangunan nasional tergantung kepada hubungan langgeng antara transformasi politik dan ekonomi. Intinya adalah pada tahap awal pemerintah haruslah kuat dan kemudian pemerintahan tersebut haruslah baik. Teori proteksionisme dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan India memasukkan pasal 3(d) dalam aturan paten 2005. Proteksionisme yang digunakan untuk analisis permasalahan ini terutama menggunakan dua gagasan utama Friederich List mengenai Force capital Invesment dan National Interest. Kedua gagasan inilah yang nanti akan diuraikan untuk melihat kondisi di India terkait kebijakan paten. Kemudian ditambah dengan melihat kondisi farmasi di India dalam keterkaitannya dengan upaya proteksi pemerintah India. D. 2. Paten Berdasarkan perjanjian TRIPS di WTO, hak kekayaan intelektual yang dilindungi yaitu hak cipta, paten, merek dagang, desaim produksi industri, indikasi-indikasi geografis, desain layout dari sirkuit terpadu (integrated circuit) serta perlindungan terhadap informasi-informasi rahasia. Dalam aturan paten yang dikeluarkan oleh TRIPS menyatakan bahwa pemberian paten untuk waktu selama 20 tahun. Paten diberikan baik dalam bentuk proses atau produk pada semua bidang. Akan tetapi pemberian paten dapat dilarang oleh pemerintah jika perolehan paten hanya untuk kepentingan komersial sebagai respon bagi kepentingan umum dan moralitas. Perjanjian paten memberikan keterangan tentang hak-hak minimum yang akan dinikmati pemegang paten. Selain itu juga ada pengecualian bagi pemilik
12
paten yang harus dipatuhi, misalnya penggunaan paten dengan kondisi tertentu, dimana pemberian paten sebagai tanda otoritas bahwa pemegang paten bisa berbuat apapun. Dari hasil pertemuan para menteri pada Special Declaration of the Ministerial Conference di Doha bulan November 2001, ada kesepakatan yang muncul di antara negara-negara anggota dengan adanya perjanjian TRIPS maupun paten, yaitu tidak mencegah negara anggota untuk melakukan upaya preventif mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Selain itu juga muncul fleksibilitas yang akan diterapkan hingga tahun 2016 bagi negara kurang berkembang untuk melakukan pembebasan perlindungan paten bagi produk farmasi, misalnya dengan langkah mengabaikan paten. Akan tetapi pasca trips negara yang kurang berkembang tahun 2016. Maka Negara-negara yang tidak mampu memproduksi sendiri obat untuk dalam negeri mereka, bisa mengimpor obat paten yang sesuai dengan lisensi (WTO. 201. Hal. 9). Selain mengadopsi peraturan TRIPS, dalam proses penyesuaian peraturan paten India, India memasukkan pasal 3(d) UU Paten. UU tersebut tentang tindakan paten India. Dalam pasal tersebut berbunyi “Articulates that reformulations of pre-existing drugs, which do not improve the efficacy of the product, are ineligible for extended patents.” Pasal tersebut bermakna bahwa hak paten tidak akan didapatkan atau tidak bisa diperpanjang jika formulasi ulang terhadap obat-obat yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak meningkatkan efektifitas dari produk lama sehingga tidak memenuhi syarat untuk diajukan.
13
E. Argumen Utama
India memasukkan pasal 3(d) dalam patent (amendment) act 2005 menghadapi TRIPS sejalan dengan pemikiran proteksionisme dan paten. Pasal 3(d) berguna untuk melindungi industri farmasi India dan perdagangan India dalam menghadapi perdagangan internasional dari upaya monopoli paten pasca pemberlakuan TRIPS. khususnya antisipasi terhadap upaya monopoli paten seperti
penyalahgunaan
evergreening.
Selain
itu
diikuti
upaya
untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas industri farmasi domestik India. Sehingga pemberlakuan rezim TRIPS akan memberikan manfaat bagi India.
F. Metode Penelitian
F. 1. Batasan Permasalahan Permasalahan yang diteliti adalah tentang perkembangan industri farmasi India beserta strategi yang dilakukan pemerintah India. Strategi dari pemerintah India dapat diamati dari kebijakan pemerintah terhadap industri farmasi dan regulasi yang dianggap mampu mendorong terciptanya pemenuhan obat yang terjangkau dan berkeadilan. Lebih khusus obyek penelitian yang digunakan dalam analisis dimulai dari tahun 1852
hingga 2005. Tahun 1852 dipilih karena
merupakan tahun dimana dikenalkannya paten di India, sedangkan tahun 2005 sebagai waktu penerapan pasal 3(d) dalam aturan paten India. F. 2. Pengumpulan Data Penelitian dilakukan secara kualitatif menggunakan studi pustaka. Studi pustaka dipilih karena untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian terkait
14
ekonomi politik, dapat dilakukan dengan menganalisis data yang sudah ada. Hal ini karena ketersediaan data untuk materi penelitian memungkinkan untuk diperoleh dari data pustaka. Data atau informasi yang diperoleh dapat melalui literatur atau dokumen dalam bentuk buku, laporan, maupun hasil penelitian terdahulu yang dikeluarkan oleh pemerintah, organisasi serta lembaga survei terkait. Adapun literatur diakses dari media cetak serta media internet. Sementara validitas data dilihat dari pihak yang mempublikasikan data tersebut. F. 3. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang relevan, memilih, serta mengkaji data. Data-data kemudian dianalisis menggunakan kerangka konseptual yang ada sehingga diperoleh kesimpulan guna menjawab perumusan masalah. Analisis kualitatif yang digunakan menerapkan metode deduktif. Metode deduktif merupakan metode penelitian yang mendasarkan pada kajian kerangka teori, ditarik suatu argumen utama untuk kemudian diuji melalui data empiris, sehingga selanjutnya akan diketahui apakah argumen utama terbukti dan mampu menjawab pertanyaan penelitian atau sebaliknya. G. Sistematika Penulisan Penelitian diawali dari gambaran umum yang diuraikan dalam BAB I berupa latar belakang, pokok permasalahan, hipotesis, teori, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada BAB II akan diuraikan
15
tentang sejarah industri India, faktor-faktor pendukung yang memberikan dampak signifikan dalam pertumbuhan farmasi India, baik dari sisi produk, maupun langkah pemerintah India dalam menjalankan industri farmasi. Selain itu juga akan dipaparkan perkembangan paten, kebijakan paten dalam perdagangan internasional, serta tantangan dalam pemberlakuan paten bagi negara-negara anggota WTO, khususnya negara berkembang, dimana negara berkembang membutuhkan persiapan yang lebih matang dalam mempersiapkan diri dalam penerapan TRIPS. BAB III akan berisi pembahasan yang akan fokus menjawab pertanyaan atau rumusan masalah. Untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah akan disesuaikan dengan teori proteksionisme, tentang Force Capital Investment dalam upaya pembangunan pertumbuhan industri farmasi dan juga National Interest dalam upaya melindungi kepentingan India dalam industri farmasi maupun dalam perdagangan internasional, serta akan membahas hukum paten yang telah ditetapkan oleh TRIPS, maupun peraturan India yang akan memberikan gambaran langkah atau latar belakang alasan India memasukkan pasal 3 (d) dalam aturan paten 2005. Kemudian BAB IV akan menyimpulkan BAB I, BAB II dan BAB III serta saran.
16