Damayanti |1
Bab I Kepentingan India dalam Industri Farmasi Obat Generik serta Hadirnya TRIPS
I.
Latar Belakang
Bab ini menjelaskan kepentingan India dalam industri farmasi obat generik serta kaitannya dengan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS). Pada tahun 1994 India meratifikasi perjanjian TRIPS dibawah General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Perjanjian ini mulai efektif dan berlaku pada 1 Januari 1995 bersamaan dengan berubahnya GATT menjadi WTO (World Trade Organization) (Nandkumar, 2011). Sikap keras India yang sejak awal perundingan Uruguay Round tidak setuju atas hadirnya TRIPS tidak terbayar. India memberikan argumen bahwa negara berkembang belum siap untuk mengimplementasikan aturan TRIPS. Relasi keberatan India terkait ratifikasi TRIPS ternyata sejalan dengan economic interest negaranya. Setelah lepas dari jajahan Inggris pemerintah India melakukan amandemen Undang-Undang (UU) Paten India tahun 1970. Amandemen tersebut fokus pada tidak berlakunya paten pada tiga sektor strategis yang menopang pertumbuhan industri farmasi domestik. UU Paten India 1970 mengatur bahwa perlindungan paten tidak dapat diterapkan pada sektor; a. pertanian, b. industri kimia, dan c. farmasi (Unni, 2012). Amandemen UU Paten India tahun 1970 merupakan strategi pemerintah India untuk mencipatakan economic growth melalui eksistensi industri farmasi obat generik. Kebijakan tersebut menjadi trigger pertumbuhan pesat industri farmasi obat generik. Adanya UU tersebut juga secara otomatis memberikan jaminan bahwa produsen lokal dapat memproduksi obat generik yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat India serta negara berkembang lain yang memiliki keterbatasan finansial.
Damayanti |2
Jika kebijakan tidak berlakunya paten pada tiga sektor tersebut dikaitkan dengan realita di lapangan. Maka dapat dilihat bahwa kebijakan ini memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan industri farmasi obat generik India. Keputusan pemerintah India yang pada akhirnya meratifikasi TRIPS, kemudian mengharuskan pemerintahnya melakukan harmonization of domestic policy serta memenuhi minimum standard dalam TRIPS, juga tidak secara langsung menghentikan perkembangan industri farmasi obat generik yang sudah terlanjur maju pesat (Chun, 2011, p.1). Hal tersebut disebabkan adanya time lag sejak tahun 1970 - 1994 sebelum India meratifikasi TRIPS. Bahkan setelah ratifikasi TRIPS pemerintah India dapat memaksimalkan transition period selama 10 tahun yang diberikan pada negara berkembang oleh WTO (World Trade Organization, 2016). Selama masa time lag yaitu 24 tahun ditambah dengan 10 tahun masa transisi industri obat generik India berkembang sangat pesat hingga saat ini. Perkembangan industri farmasi obat generik India menunjukkan progres yang berarti. Pada tahun 2014 -2015 nilai ekspor obat generik India mencapai 1.063 juta dolar AS. Kawasan Amerika Latin menjadi pasar ekspor utama, Brazil menempati urutan pertama dengan nilai total ekspor 347 juta dolar AS, kemudian diikuti dengan Venezuela 146 juta dolar AS, Mexico 126 juta dolar AS, Columbia 67 juta dolar AS, Chile 56 juta dolar AS, Peru 49 juta dolar AS, Argentina 41 juta dolar AS, Republik Dominika 26,7 juta dolar AS, Guatemala 27,1 juta dolar AS, dan terakhir Haiti 26,9 juta dolar AS. Nilai ekspor obat generik India diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan hingga 20% pada tahun 2020 (Pant, 2016). Pada bulan November tahun 2001 dilaksanakan WTO Ministrial Conference kesembilan di Doha, Qatar. Perundingan ini kemudian dikenal dengan Doha Development Round atau Doha Development Agenda. Pada perundingan kesembilan ini terdapat 21 topik perundingan baru serta agenda untuk mengkaji implementasi perundingan sebelumnya termasuk didalamnya TRIPS. Pada perundingan ini
Damayanti |3
kemudian dibuat “Doha Declaration on TRIPS Agreement and Public Health” (World Trade Organization, 2001). Eksklusifitas aturan TRIPS yang membatasi akses kesehatan pada negara berkembang, sehingga menimbulkan krisis kesehatan global menjadi faktor utama yang mendorong lahirnya deklarasi tersebut. Pada Doha Declaration on TRIPS Agreement and Public Health dirumuskan mekanisme yang dapat digunakan oleh negara berkembang serta Least Develop Countries (LDC) jika sewaktu-waktu muncul wabah penyakit endemik yang mengancam kesehatan nasional. Kedua mekanisme tersebut adalah compulsory license (CL) dan parallel import. Pada skema CL, dimungkinkan bagi negara yang sedang terserang wabah penyakit untuk memberi izin bagi perusahaan obat generik domestik guna memproduksi obat berpaten dari suatu perusahaan farmasi tanpa memberitahu patent holder (Subhan, 2006, p.152). Kemudian pada mekanisme parallel import, dimungkinkan bagi negara berkembang untuk mengambil keuntungan dari perbedaan harga suatu jenis obat berpaten di satu negara dengan negara lain (Subhan, 2006, p.152). Pada perundingan Uruguay Round, dimana aspek-aspek TRIPS bersifat individualistik serta eksklusif. India menjelaskan bahwa sulit bagi negaranya untuk dapat mengimplementasikan aturan TRIPS khususnya perlindungan paten mengingat bahwa sebagaian besar penduduknya merupakan masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial. Hadirnya obat berpaten tentu akan memberatkan sebagian besar penduduk India. Pada perundingan Doha Round isu yang dibahas tidak hanya seputar cabang IPR yang bersifat individualistik seperti perlindungan paten tetapi juga muncul aspek yang bersifat komunal seperti Genetic Resource, Traditional Knowledge, dan Folklore (GRTKF). Hadirnya Doha Declaration on TRIPS Agreement and Public Health sebagai respon atas mewabahnya penyakit Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS), tentu saja menguntungkan India
Damayanti |4
sebagai eksportir obat generik, terlebih dengan adanya skema TRIPS Flexibilities (Murthy, 2002, p.1). Deklarasi tersebut juga merubah karakteristik perlindungan paten dalam TRIPS yang sebelumnya bersifat eksklusif serta monopolis menjadi lebih lunak. II.
Literature Review
Perdebatan mengenai hadirnya rezim Intellectual Property Rights (IPR) yang diatur dalam WTO sebagai TRIPS sudah dibahas pada banyak literatur. Setelah membaca literatur terkait, penulis menemukan bahwa setidaknya terdapat tiga isu yang selalu menjadi topik perdebatan. Ketiga isu tersebut adalah; 1. Obat berpaten, 2. Obat generik, 3. Rezim IPR (Hoen, 2009, p.43, Malhotra, 2010, p.89, Muzaka, 2011, p.2). Isu-isu tersebut selalu menjadi topik perdebatan karena terdapat perbedaan pandangan antara negara maju, berkembang, dan LDCs. Posisi serta pandangan yang berbeda jelas ditunjukan oleh Multi National Corporation (MNC) sebagai konstituen dari negara maju. MNC farmasi asing menjelaskan tiga argumen bahwa; 1. Obat berpaten merupakan invention yang dihasilkan melalui proses R&D, 2. Invention yang dihasilkan harus diberikan proteksi, 3. Adanya proteksi pada invention merupakan material profit yang harus diterima oleh innovator (Barfield, 2007, p.24). Argumen tersebut menjelaskan bahwa obat berpaten merupakan komoditas yang menghasilkan economic value. Sedangkan negara berkembang dan LDCs merupakan pihak yang tidak setuju atas hadirnya obat berpaten. Pihak yang kontra menjelaskan bahwa; 1. Obat berpaten mempersempit akses kesehatan, 2. Obat berpaten tidak sejalan dengan konsep social welafare, 3. Endemic disease muncul sebagai bentuk dari kegagalan TRIPS yang membatasi akses obat dengan adanya perlindungan paten (Lippert, 1999, p.129). Pernyataan dari kelompok negara berkembang dan LDCs menunjukan bahwa public health merupakan fokus yang harus diperhatikan bukan economic value.
Damayanti |5
Isu kedua adalah munculnya obat generik. Pihak yang mendukung obat generik dimotori oleh developing countries dan LDCs. Pihak yang pro menjelaskan bahwa; 1. Konsep health for all selaras dengan hadirnya obat generik yang dapat dijangkau oleh semua kalangan, 2. Obat generik merupakan solusi untuk merespon endemic disease, 3. Negara produsen obat generik memiliki kemungkinan untuk memperluas pasar pada LDCs dan developing countries (Singh, 2005, p.153). Ketiga pernyataan tersebut menjelaskan posisi developing countries yang memberikan pemahaman bahwa obat generik merupakan akses bagi kaum ekonomi lemah. Sebaliknya pihak yang menentang hadirnya obat generik datang dari perusahaan farmasi besar yang berbasis di negara maju. MNC menjelaskan keberatannya atas obat generik sebagai berikut; 1. Obat generik tidak sejalan dengan skema production cost khususnya biaya research and development (R&D), 2. MNC tidak dapat menentukan fixed price dari obat yang diproduksi, 3. Obat generik melemahkan aturan dalam IPR (Merril A., 2004, p.1). Klaim yang diajukan MNC tersebut menjelaskan bahwa invention dapat muncul dengan dukungan teknologi serta finansial. Isu ketiga adalah rezim IPR. Sejak awal dirumuskan dan diadopsi sebagai salah satu perjanjian dalam WTO, selalu terdapat friksi antara negara maju, negara berkembang serta LDCs. Kelompok negara maju menjelaskan bahwa; 1. Hadirnya IPR diperlukan sebagai stimulus untuk tetap melahirkan inovasi baik initial discovery maupun post discovery, 2. IPR berfungsi sebagai protector kemungkinan adanya tindakan piracy, 3. Pengawasan terhadap IPR harus dipusatkan pada institusi berbasis IPR pada tiap-tiap negara (Sell K., 2003, p.37). Argumen tersebut menjelaskan bahwa negara maju memandang IPR sebagai bentuk proteksi. Sebaliknya negara berkembang dan LDCs memiliki pandangan yang berbeda, kelompok negara berkembang dan LDCs berargumen bahwa; 1. IPR tidak dapat dengan mudah diimplementasikan terkait dengan latar belakang negara berkembang yang bersifat komunal, 2. Invention yang muncul merupakan public goods, 3. Adanya
Damayanti |6
institusi berbasis IPR dinilai tidak relevan mengingat biaya yang diperlukan (Ostry, 1999, p.202). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa rezim IPR tidak sejalan dengan nilai-nilai kultural yang melekat pada negara berkembang dan LDCs. Selain tiga isu yang menjadi perdebatan antara developed countries, developing countries dan LDCs. Kehadiran IPR khususnya perlindungan paten yang bersifat fluktuatif dapat dilihat pada dua momen. Uruguay Round menjadi momen dimana negara maju berhasil untuk mendorong hadirnya rezim IPR yang bersifat “one size fits all” ini. Momen tersebut menjadi permulaan adanya minimum standard pada semua cabang IPR. Dalam perjalanannya, IPR terus mendapatkan kritik dari berbagai pihak khususnya negara berkembang. Sebagai respon atas national health emergency maka dirumuskan TRIPS Flexibilities pada Doha Round. Uruguay Round dan Doha Round menggambarkan fenomena yang berbeda yaitu the rise of IPR yang dirayakan negara maju kemudian the regression of IPR yang disyukuri oleh LDCs dan negara berkembang. Hal menarik yang muncul dari perdebatan ini adalalah strategi pemerintah India untuk menghadapi tuntutan bisnis farmasi global. Dalam hal ini MNC farmasi asing menjadi pihak yang berlindung pada aturan perlindungan paten TRIPS. Kapasitas India sebagai eksportir obat generik yang dijuluki sebagai “pharmacy of developing world” selalu dikeluhkan oleh MNC farmasi asing karena dianggap bertentangan dengan prinsip perlindungan paten dalam TRIPS (Hoen, 2009, p.XVII). India menjadi subjek penelitian menarik karena tidak banyak negara yang serius serta konsisten memperjuangkan kepentingan ekonominya terkait perlindungan paten dalam kerangka TRIPS.
Damayanti |7
III.
Pertanyaan Penelitian
Apa Strategi Pemerintah India untuk Melawan Bisnis Farmasi Global dalam Kerangka TRIPS? IV.
Landasan Konseptual
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut maka diajukan kerangka konseptual yang merujuk pada aturan TRIPS dalam WTO. Pemilihan regulasi dalam TRIPS sebagai kerangka konseptual dirasa tepat karena adanya room to maneuver yang dapat digunakan sebagai basis argumen untuk memperkuat posisi negara berkembang seperti India serta melemahkan posisi MNC farmasi asing. Faktor lain adalah TRIPS menyediakan ruang bagi India untuk dapat menyesuaikan dengan sistem yang berlaku pasca ratifikasi pada Uruguay Round. Pada bagian ini akan dijelaskan room to maneuver dalam TRIPS yang dapat dimanfaatkan oleh India sebagai basis untuk melawan MNC farmasi asing. TRIPS memiliki tiga celah yang dapat dimanfaatkan, ketiga skema tersebut adalah; 1. Pasal 27 ayat 1 TRIPS terkait subjek paten (World Trade Organization, 2016), 2. Mailbox application system (World Trade Organization, 2006), 3. Compulsory license (World Trade Organization, 2016). Ketiga loop holes dalam TRIPS tersebut akan dijelaskan pada uraian berikut. Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application. (5) Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or locally produced (World Trade Organization, 2016)
Damayanti |8
Pada poin pertama yaitu subjek paten, seperti yang dijelaskan dalam pasal 27:1 TRIPS. Dijelaskan bahwa perlindungan paten harus diberikan kepada setiap invensi baik dalam bentuk paten proses maupun paten produk. Dalam implementasinya negara dapat memilih serta menselaraskan aturan domestiknya apakah perlindungan paten pada negaranya lebih tepat diberikan dalam bentuk paten proses atau produk. Jika kewajiban proteksi tersebut dikaitkan dengan pelindungan paten pada industri farmasi obat generik India. Pemerintah India memilih untuk tidak memberikan perlindungan produk paten tetapi proses paten (Ghai, 2010, p.1). Dengan memberlakukan proses paten maka dimungkinkan bagi suatu invensi yang sudah ditemukan sebelumnya untuk dikembangkan menggunakan metode yang berbeda guna mendapatkan perlindungan proses paten baru. Some developing countries delayed patent protection for pharmaceutical products (and agricultural chemicals) until 1 January 2005. This was allowed under provisions that say a developing country that did not provide product patent protection in a particular area of technology when the TRIPS Agreement came into force (on 1 January 1995), has up to 10 years to introduce the protection However, for pharmaceuticals and agricultural chemicals, countries eligible to use this provision (i.e. countries that did not provide protection on 1 January 1995) had two obligations. They had to allow inventors to file patent applications from 1 January 1995, even though the decision on whether or not to grant any patent itself need not be taken until the end of this period — Article 70.8. This is sometimes called the “mailbox” provision (a metaphorical “mailbox” is created to receive and store the applications). The date of filing is significant, which is why the mailbox provisions were set up. It is used for assessing whether the application meets the criteria for patenting, including novelty (“newness”) (World Trade Organization, 2006) Pada poin kedua yaitu hadirnya mailbox application system yang diwajibkan selama masa transisi. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa negara berkembang
Damayanti |9
memiliki waktu selama 10 tahun untuk tidak memberikan perlindungan produk paten pada komoditas obat-obatan. Selain itu selama masa transisi negara juga harus memberlakukan mailbox application system sebagai sarana untuk menampung aplikasi permohonan paten. Dalam hal ini keputusan pemberian perlindungan paten sepenuhnya diberikan pada pemerintah negara berkembang dengan menimbang aspek kebaharuan (novelty). India menggunakan mailbox application system sebagai alat untuk menolak permohonan perlindungan paten dari MNC Farmasi asing. Pemerintah India memperkuat basis argumennya dengan menetapkan tingginya standar aspek novelty pada invensi yang muncul. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah India dengan menggunakan novelty sebagai alat untuk menolak permohonan paten dari MNC farmasi asing terefleksi pada amandemen UU Paten India pasal 3 (d) tahun 2005. Compulsory licensing is when a government allows someone else to produce the patented product or process without the consent of the patent owner. In current public discussion, this is usually associated with pharmaceuticals, but it could also apply to patents in any field. The agreement allows compulsory licensing as part of the agreement’s overall attempt to strike a balance between promoting access to existing drugs and promoting research and development into new drugs. But the term “compulsory licensing” does not appear in the TRIPS Agreement. Instead, the phrase “other use without authorization of the right holder” appears in the title of Article 31. Compulsory licensing is only part of this since “other use” includes use by governments for their own purposes” (World Trade Organization, 2016) Poin ketiga yaitu munculnya CL sebagai salah satu bentuk TRIPS Flexibilities. Pada skema CL dijelaskan bahwa ketika terjadi krisis kesehatan nasional, negara dapat memproduksi versi generik dari obat berpaten tanpa persetujuan dari pemegang hak paten. Adanya praktik CL tentu akan sangat menguntungkan industri farmasi obat
D a m a y a n t i | 10
generik India. Wabah penyakit yang menjangkit sebagian negara di Afrika serta keterbatasan finansial masyarakatnya semakin melegalkan posisi India pada praktik CL. Pemerintah India bersikap responsif dengan adanya mekanisme CL dalam TRIPS Flexibilties. Hal tersebut terefleksi pada UU Paten India pasal 84 (1). Pemerintah India menjelaskan bahwa skema CL dapat diberlakukan pada kondisi; a. Setelah 3 tahun berakhirnya masa perlindungan obat berpaten, b. Jika suatu invensi tidak dapat dijangkau oleh masyarakat India, kemudian c. Jika suatu invensi tidak bekerja sebagaimana mestinya di wilayah India (Chander, 2013, p.26). Berikut ini merupakan kutipan pasal 84 (1) (Section 84, 1970); India Patent Act Section 84 (1) At any time after the expiration of three years from the date of the grant of a patent, any person interested may make an application to the Controller for grant of compulsory licence on patent on any of the following grounds, namely: a. If reasonable requirements of public have not been satisfied b. If patent invention is not available to the public at the affordable price c. If patent invention is not worked in the territory of India India dengan sangat baik dapat menggunakan CL sebagai alat untuk memperluas pasar obat generiknya tidak hanya dalam lingkup domestik tapi juga global. UU Paten India pasal 84 (1) dan UU Paten India pasal 92 (A) merupakan UU Paten India yang menjelaskan dalam kondisi apa CL dapat berlaku. Berikut ini merupakan subtansi pasal 92 (A) (Section 92, 1970); Section 92 A Compulsory license for exported patented of pharmaceutical products in certain exceptional circumstances
D a m a y a n t i | 11
(1) Compulsory license shall be available for manufacture and export of patented pharmaceutical product to any country having insufficient or no manufacturing capacity in the pharmaceutical sector for the concerned product to address public health problem, provided compulsory license has been granted by such country or such country has, by notification or otherwise allowed the importation of patented pharmaceutical product from India. (2) The controller shall, on receipt of the application in the prescribed manner, grant compulsory license solely for manufacture and export of the concerned pharmaceutical products to such country under such term and condition as may be specified and published by him (3) The provision of subsection (1) and (2) shall be without prejudice to the extent to which pharmaceutical product produced under a compulsory license can be exported under any other provision of this Act. Explanation,- For the purpose of this section, ‘pharmaceutical products’ means any patented product, or product manufactured through a patented process, of the pharmaceutical sector needed to address public health problem and shall be inclusive of ingredients necessary for their manufacture and diagnostic kits required for their use. (Section 92 (A), 1970) Ketiga strategi yang sudah dijelaskan sebelumnya dipahami sebagai room to maneuver dalam TRIPS yang dimanfaatkan oleh India sebagai negara berkembang. Celah dalam TRIPS tersebut digunakakan untuk mempertahankan kepentingan ekonomi India sebagai eksporter obat generik serta alat untuk menolak kehadiran MNC farmasi asing di India. V.
Argumen Utama
Setelah meratifikasi perjanjian TRIPS kekhawatiran bahwa akan terjadi peningkatan harga obat yang signifikan sebagai akibat dari ekspansi yang dilakukan oleh MNC farmasi asing dengan menggunakan basis aturan perlindungan paten dalam TRIPS tidak terbukti. Eksistensi industri farmasi obat generik India bahkan tetap
D a m a y a n t i | 12
berkembang baik untuk mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Hal lain yang menjadi bukti regresi pada industri farmasi obat generik India pasca ratifikasi TRIPS adalah minimnya kehadiran MNC farmasi asing di India. Sebagai upaya untuk mengatasi hal tersebut pemerintah India menerapkan dua strategi. Pada strategi pertama yaitu internal aspect pemerintah India menjalin koalisi dengan India Pharmaceutical Association (IPA). Relasi antara pemerintah dan aktor domestik ini merupakan landasan untuk merumuskan kebijakan nasional yang pro terhadap pelaku industri farmasi obat generik. Pada strategi pertama, terlihat bahwa relasi antara pemerintah India dan IPA sangat terintegrasi. Relasi tersebut menjadi basis untuk merumuskan kepentingan nasional India untuk kemudian diajukan pada perundingan internasional. Pada strategi kedua yaitu external aspect, India melakukan diplomasi legal dengan mencari loop holes yang memanfaatkan room to manuever dalam TRIPS untuk kemudian diselaraskan dengan kepentingan ekonomi negaranya. Selain itu pemerintah India juga melakukan diplomasi ekonomi dengan negara berkembang yang menjadi pasar prospektif melalui dua forum kerjasama yaitu BIMST EC dan IBSA. Pada strategi kedua yang tersusun atas diplomasi legal dan diplomasi ekonomi terlihat bahwa India dapat memanfaatkan room to maneuver dalam TRIPS dengan baik sebagai berikut; a. Pemilihan proses paten sehingga industri farmasi domestik tetap dapat melakukan reserve engineering, b. Pemilihan mailbox application system sebagai alat untuk menolak aplikasi perlindungan paten dari MNC farmasi asing dengan mengamandemen UU Paten India pasal 3 (d) tahun 2005 tepat sebelum masa transisi berakhir, c. Perumusan UU Paten India pasal 84 (1) dan 92 (A) untuk merespon skema ekspor obat generik seperti yang terefleksi pada aturan CL dalam TRIPS Flexibilities. Pada diplomasi ekonomi signifikansi terlihat pada peningkatan nilai ekspor obat generik, peningkatan permintaan, serta ekspansi basis produksi.
D a m a y a n t i | 13
VI.
Batas Penelitian
Penelitian ini mengkaji strategi pemerintah India yang berbasis pada regulasi TRIPS untuk melawan MNC farmasi asing. Dalam hal ini MNC farmasi asing dipahami sebagai representasi bisnis farmasi global. Analisa akan dimulai dengan munculnya TRIPS sebagai perjanjian baru pada Uruguay Round yang menyediakan ruang bagi negara berkembang untuk dapat menyesuaikan dengan sistem serta standar yang berlaku. Penelitian akan fokus pada masa transisi yang dimulai pada tahun 1995 kemudian berakhir pada tahun 2005. Penelitian ini juga akan meninjau TRIPS Flexibilities dalam Doha Declaration on TRIPS Agreement and Public Health mengingat bahwa deklarasi tersebut lahir pada tahun 2002 ketika masa transisi masih berlangsung. Selain membatasi jangka waktu penelitian, topik analisa juga dibatasi. Penelitian ini akan membahas dua aspek yaitu; internal dan external. Aspek internal akan menjelaskan koalisi antara pemerintah India dan IPA. Kemudian pada aspek eksternal yang tersusun atas diplomasi ekonomi dan legal, akan dijelaskan strategi yang digunakan oleh pemerintah India untuk mengembangkan industri farmasi obat generik domestik serta implementasi penggunaan room to maneuver dalam TRIPS untuk melawan MNC farmasi asing. VII. Metode Penelitian 7.1 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode studi pustaka. Metode tersebut dipilih mengingat fokus analisis penelitian. Pada aspek internal, data terkait koalisi yang dijalin oleh pemerintah India dengan asosiasi industri farmasi obat generik domestik akan digunakan sebagai bahan analisis. Kemudian Pada aspek eksternal, data terkait diplomasi ekonomi dan legal yang dilakukan oleh India khususnya pengembangan industri obat generik serta strategi yang
D a m a y a n t i | 14
digunakan untuk melawan MNC farmasi asing akan digunakan sebagai bahan analisis. Selain itu data terkait sengketa yang melibatkan pemerintah India dan farmasi asing juga akan digunakan sebagai bahan analisis dari implikasi aturan perlindungan paten yang begitu ketat di India. 7.2 Teknik Analisa Data Data yang terkumpul dalam penelitan ini akan dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif. Pada internal aspect, data terkait relasi yang terbangun serta lobbying yang dilakukan oleh IPA kepada pemerintah akan dianalisis untuk mengetahui apakah pemerintah India mempertimbangkan masukan dari aktor domestik ini untuk kemudian dijadikan landasan dalam merumuskan kebijakan nasional. Lalu pada external aspect yang pertama yaitu diplomasi ekonomi data terkait kerjasama ekonomi yang dijalin oleh pemerintah India dengan negara berkembang dan LDCs akan dianalisa untuk melihat signifikansi pertumbuhan industri farmasi obat generik setelah TRIPS efektif berlaku. Kemudian pada external aspect yang kedua yaitu diplomasi legal, data terkait strategi mencari loop hole dalam TRIPS yang dilakukan oleh pemerintah India kemudian menselaraskan kepentingan ekonominya akan dianalisa dengan aturan dalam TRIPS sebagai berikut; a. Paten proses akan dianalisa dengan pasal 27:1 TRIPS, b. Optimalisasi mailbox application system akan dijelaskan dengan hadirnya UU Paten India pasal 3 (d) tahun 2005, c. Skema CL akan dijelaskan dengan UU Paten India pasal 84 (1) dan 92 (A). VIII. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bagian. Bab I secara singkat menggambarkan munculnya TRIPS sebagai perjanjian baru pada Uruguay Round serta relasi keberatan India. Pada bab ini juga akan dijelaskan konsekuensi kewajiban harmonization of domestic policy pasca ratifikasi serta potensi industri farmasi obat generik India. Secara
D a m a y a n t i | 15
umum kerangka bab I terdiri atas latar belakang, literature review, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, serta sistematika penulisan penelitian. Bab II memaparkan koalisi yang dibangun antara pemerintah India dan IPA yang mewakili sebagaian besar pelaku dalam industri farmasi obat generik di India. Bab III menjelaskan mengenai diplomasi ekonomi serta legal India dalam pengembangan industri farmasi obat generik serta strategi yang digunakan untuk melawan MNC farmasi asing. Bab IV memuat analisis sengketa antara pemerintah India dan MNC farmasi asing yaitu Novartis terkait perlindungan paten pada Glivec. Bab V merangkum analisis yang tersusun atas strategi internal aspect dan external aspect sebagai upaya untuk melawan MNC farmasi asing.