BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dewasa ini di dunia kafein banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk
yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein terdapat dalam berbagai minuman dan makanan yang sering dikonsumsi seperti kopi, teh, minuman cola, minuman suplemen dan obat-obatan. Konsumsi kafein rata-rata di dunia adalah 70 mg per hari bagi orang yang dikategorikan bukan pencandu. Di Amerika Serikat, kafein rata-rata dikonsumsi sebanyak 211 mg per hari dan paling banyak dikonsumsi dari minuman kopi, sedang di Inggris dan Asia kafein paling banyak dikonsumsi dari minuman teh dan Inggris adalah konsumsi kafein tertinggi yaitu 444 mg per hari (Donovan dan Devane, 2001). Kafein secara umum dikonsumsi dalam jumlah tidak lebih dari 300 mg per hari. Kebiasaan mengkonsumsi kafein dapat diklasifikasikan dalam tiga level yaitu pengkonsumsi kafein tingkat rendah (kurang dari 200 mg per hari), tingkat sedang (antara 200-400 mg per hari), dan pengkonsumsi kafein tingkat tinggi (lebih dari 400 mg per hari) (Bruce, et al., 1988). Kandungan kafein berbeda-beda dalam berbagai produk, misalnya dalam 150 ml kopi seduhan terdapat sebanyak 110-150 mg, kopi instan 40-108 mg, decaffeinated coffee (kopi dengan kadar kafein rendah) sebanyak 2-5 mg, sementara dalam teh berkisar antara 9-50 mg pada teh seduhan, teh instan 12-28 mg dan minuman teh ringan 22-36 mg. Pada minuman cola mencapai 40-60 mg, minuman energi/suplemen 50-80 mg, coklat 5-35 mg dan obat-obatan 100-200 mg
Universitas Sumatera Utara
(stimulan), 32-65 mg (analgesik/pereda sakit) dan 10-30 mg (obat demam). Secara kimia, kafein dikenal sebagai 1,3,7-trimetilxantin dengan rumus kimia C8H10N4O2 dan termasuk jenis alkaloida. Secara medis, kafein digunakan sebagai perangsang jantung dan meningkatkan produksi urin. Pada dosis rendah, kafein juga berfungsi pembangkit stamina dan penghilang rasa lelah. Kafein di dalam tubuh terikat pada reseptor yang sama yaitu adenosin terdapat dalam sel saraf yang berfungsi memacu produksi hormon adrenalin dan meningkatkan tekanan darah, sekresi asam lambung, dan aktivitas otot, serta merangsang hati melepaskan gula ke dalam aliran darah untuk menghasilkan energi ekstra (Anonime, 2008). Kafein berpengaruh buruk jika dikonsumsi berlebihan. Kafein juga menyebabkan kecanduan atau ketergantungan jika dikonsumsi berturut-turut sebanyak 600 mg (sekitar 5-6 cangkir kopi 150 ml) selama 10-15 hari. Dosis fatal kafein secara oral adalah sekitar 10.000 mg (kira-kira 50-200 cangkir kopi/hari). Penyakit yang timbul jika kafein dikonsumsi berlebihan adalah hipertensi, gangguan ginjal, diabetes hingga penyakit jantung dan stroke (Anonime, 2008). Kebiasaan mengkonsumsi kafein dalam kehidupan sehari-hari akan terjadi interaksi obat jika dikonsumsi bersama parasetamol. Interaksi obat bisa terjadi jika digunakan bersamaan atau hampir bersamaan dengan dua macam obat atau lebih. Interaksi obat bisa memberi efek yang menguntungkan tetapi bisa juga menimbulkan efek yang merugikan atau membahayakan (Gapar, 2003). Interaksi obat tidak hanya terjadi antara obat yang satu dengan obat yang lain. Namun, interaksi juga terjadi antara obat dengan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Contoh, pada pasien hipertensi tidak dianjurkan mengkonsumsi obat antihipertensi bersamaan dengan tembakau (merokok) dan makanan yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung banyak garam karena dapat memperburuk tekanan darah. Demikian juga parasetamol tidak dianjurkan dikonsumsi bersamaan dengan kafein dalam jumlah banyak seperti terdapat dalam minuman dan makanan misalnya kopi, teh, minuman cola, suplemen dan obat-obatan (Donovan dan Devane, 2001). Dewasa ini banyak terdapat sediaan yang mengandung parasetamol dikombinasikan dengan kafein dan diformulasi dalam satu tablet atau kapsul seperti Panadol Extra® (Sterling), Alfidon® (Graha Farma), Copara® (First Medifarma), Oskadon® (Supra Ferbindo Farma), Prodol® (Mecosin), Sydrac® (Bernofarm), Tetiga Forte® (Kaliroto) (ISFI, 2007). Kafein yang ditambahkan dalam sediaan parasetamol dimaksudkan untuk meningkatkan efek analgesikantipiretik parasetamol (Renner, et al., 2007). Parasetamol secara luas digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak memiliki aktivitas antiinflamasi yang besar sehingga tidak digunakan untuk pengobatan inflamasi. Parasetamol digunakan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan (Katzung, 1997). Karena parasetamol dapat ditoleransi dengan baik, tidak memiliki efek samping seperti aspirin (cocok sebagai pengganti aspirin untuk penggunaan analgesik atau antipiretik), dan dapat diperoleh tanpa resep, menjadikan obat ini sebagai analgesik utama yang umum disediakan di rumah tangga (Goodman dan Gilman, 2007). Parasetamol sebagai analgesik-antipiretik sangat aman jika digunakan dalam dosis terapi. Namun jika melebihi dosis terapi dapat merusak hati bahkan menyebabkan kematian. Dosis terapi parasetamol berkisar antara 5-20 μg/ml. Pada orang dewasa, hepatotoksisitas terjadi setelah penggunaan parasetamol
Universitas Sumatera Utara
dosis tunggal 10-15 g (150-250 mg/kg BB), 20-25 g atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian. Ini adalah karena terjadi konversi parasetamol menjadi metabolit reaktif toksik. Jalur eliminasi parasetamol adalah melalui konjugasi dengan cara membentuk glukuronida dan sulfat. Jalur metabolisme parasetamol adalah melalui sitokrom P450 dengan membentuk senyawa antara yaitu N-asetilp-benzokuinonimin (NAPQI) yang sangat elektrofilik. Pada keadaan normal, senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasinya dengan glutation (GSH) dan kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam merkapturat dan sistein lalu diekskresi melalui urin. Namun pada keadaan overdosis parasetamol, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat rendah. Berkurangnya GSH mengakibatkan NAPQI berikatan secara kovalen dengan makromolekul sel sehingga terjadi disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman dan Gilman, 2007). Para peneliti dari Department of Medicinal Chemistry, terutama Dr. Sid Nelson di University of Washington Seattle telah melakukan uji toksikologi yang menduga bahwa kombinasi parasetamol dan kafein dalam dosis besar dapat menyebabkan risiko kerusakan hati atau hepatotoksik (Anonimb, 2007). Beberapa kasus nefrotoksik dan kardiotoksik juga telah dilaporkan terjadi pada overdosis parasetamol (Segal, et al., 1978). Adanya kafein akan menginduksi enzim pemetabolisme parasetamol (CYP3A4) di hati, sehingga metabolisme parasetamol meningkat. Dengan demikian, jumlah metabolit toksik (NAPQI) yang dihasilkan juga meningkat (Lee, et al., 1997). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dirasa perlu melakukan penelitian dan kajian untuk membuktikan apakah kafein mempengaruhi dan meningkatkan toksisitas parasetamol jika dikombinasi baik kombinasi tetap atau terpisah.
Universitas Sumatera Utara
1.2
Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian, diduga bahwa
penggunaan
kafein
bersama
parasetamol
dapat
meningkatkan
toksisitas
parasetamol. Penelitian dilakukan dengan mengamati toksisitas parasetamol yaitu terutama kerusakan pada hati, ginjal dan jantung setelah pemberian parasetamol dengan 3 (tiga) variasi dosis
yaitu
dosis
90, 270, dan 900 mg/kg BB
dibandingkan pemberian kafein dosis 27 mg/kg BB bersama parasetamol dengan variasi dosis yang sama. Dosis parasetamol dan kafein diperoleh dari dosis manusia dewasa dengan berat badan 70 kg, yaitu parasetamol sebesar 1000 mg (batas atas dosis lazim) divariasikan dengan 3x lipatnya, dan kafein sebesar 300 mg (konsumsi rata-rata kafein per hari), dikonversikan ke hewan tikus dengan berat badan 200 g sehingga diperoleh dosis untuk tikus seperti di atas. Parameter yang diukur antara lain Cmax, tmax, AUC, Cl, kadar AST dan ALT, serta gambaran mikroskopik histopatologis jaringan hati, ginjal, dan jantung. Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1. Variabel Bebas • Parasetamol dosis 90 mg/kgBB (PCT 90) • Parasetamol dosis 270 mg/kgBB (PCT 270) • Parasetamol dosis 900 mg/kgBB (PCT 900) • Kafein dosis 27 mg/kg BB Parasetamol dosis 90 mg/kg BB (C+PCT 90) • Kafein dosis 27 mg/kg BB Parasetamol dosis 270 mg/kg BB (C+PCT 270) • Kafein dosis 27 mg/kg BB Parasetamol dosis 900 mg/kg BB (C+PCT 900)
Variabel Terikat
Parameter
Toksisitas Parasetamol
Cmax, tmax, AUC, Cl
Kerusakan hati, ginjal, dan jantung
AST ALT Gambaran histopatologis hati, ginjal, dan jantung
Gambar 1.1 Skema yang menggambarkan kerangka pikir penelitian
Universitas Sumatera Utara
1.3
Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan dalam latar belakang, maka rumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut: a. apakah pemberian kafein bersama parasetamol menginduksi toksisitas parasetamol? b. apakah peningkatan dosis parasetamol setelah pemberian kafein meningkatkan toksisitas parasetamol? c. apakah kerusakan hati, ginjal, dan jantung semakin parah setelah pemberian kafein bersama parasetamol?
1.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut: a. pemberian kafein bersama parasetamol dapat menginduksi toksisitas parasetamol. b. peningkatan dosis parasetamol setelah pemberian kafein meningkatkan toksisitas parasetamol. c. kerusakan hati, ginjal, dan jantung semakin parah setelah pemberian kafein bersama parasetamol.
1.5
Tujuan Penelitian
1.5.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuktikan kemungkinan
kerusakan hati, ginjal, dan jantung setelah penggunaan kafein bersama parasetamol.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan antara lain:
a. mengetahui adanya peningkatan toksisitas parasetamol akibat pemberian kafein
bersama
parasetamol
dengan
menentukan
parameter
farmakokinetika seperti Cmax, tmax, AUC, dan Cl, menentukan kadar serum transaminase AST dan ALT yang menjelaskan biokimia hati dan jantung dan sekaligus sebagai penanda terhadap terjadinya kerusakan hati dan jantung. b. mengetahui adanya peningkatan toksisitas parasetamol akibat peningkatan dosis parasetamol setelah pemberian kafein yang diamati dari data parameter famakokinetika dan kadar AST dan ALT. c. mengamati secara mikroskopik gambaran histopatologis jaringan hati, ginjal, dan jantung sebagai indikator penegasan terhadap terjadinya kerusakan jaringan.
1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan yang
bermanfaat tentang penggunaan kafein secara benar untuk menghindari interaksi obat yang merugikan dengan obat lain dan membuka kemungkinan bagi penelitian lanjutan untuk meneliti interaksi obat lain yang dapat mempengaruhi fungsi organ-organ penting lainnya yang membahayakan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara