1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat dan sastra bersifat dinamis yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan. Sastra merupakan bagian dari masyarakat, dimana segala bidang kehidupan dalam masyarakat dapat menjadi sumber inspirasi karya sastra. Seperti yang disampaikan oleh Teeuw (1994:204), bahwa hubungan antar masyarakat dengan pencipta karya sastra dikatakan sebagai hubungan dialektik. Sastra dan masyarakat saling mempengaruhi, perkembangan dunia sastra sangat bergantung dengan respon masyarakat,di satu sisi, masyarakat pembaca karya sastra juga tidak mungkin ada tanpa hadirnya sastra di tengah-tengah masyarakat, serta di lain pihak kehadiran pengarang yang juga anggota masyarakat menghadirkan sebuah ide dari luar fenomena sosial. Karya sastra bukanlah gejala tersendiri yang muncul begitu saja, tetapi setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh yang rumit dari faktor sosial dan kultur (Damono, 1978:4). Yang dinamakan sastra lisan, sebenarnya adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1). Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa hubungan masyarakat dengan karya sastra sangat erat. Jenis karya sastra yang berkembang di masyarakat sangat beragam, salah satunya adalah cerita rakyat. Cerita rakyat yang berkembang secara lisan. Menurut Danandjaya (1994: 17-18), foklor lisan mampu
2
mengungkapkan kepada kita secara sadar atau tidak sadar bagaimana folknya berpikir. Cerita rakyat dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu mite, legenda, dan dongeng (Danandjaja 2002). Salah satu jenis tersebut berkembang di kabupaten Bangkalan dan dipercaya pernah terjadi, yaitu sebuah legenda mengenai Ke’ Lesap. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Menurut Danandaja (2002) legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang tidak hanya merupakan cerita belaka namun juga dipandang sebagai sejarah kolektif, namun hal itu juga sering menjadi perdebatan mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah mengalami distorsi. Maka, apabila legenda akan dijadikan bahan sejarah harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur folklornya. Menurut Danandjaya (2002), legenda merupakan cerita rakyat yang memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi, pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang, bersifat migration yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda, dan tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisah pada suatu tokoh atau kejadian tertentu.
3
Bangkalan adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki beberapa legenda yang memiliki corak yang khas daerah, salah satunya adalah legenda Ke’ Lesap. Legenda Ke’ Lesap ini diyakini oleh masyarakat Madura pernah terjadi pada beberapa masa lampau saat masa pemerintahan Panembahan Tjakraningrat. Legenda ini berkisah mengenai seorang tokoh yang bernama Ke’ Lesap, seorang tokoh yang dianggap masyarakat memiliki keterkaitan dengan nama beberapa kabupaten di Madura. Jan Harold Brunvand dalam Danandjaya (1994:67) menggolongkan legenda menjadi empat macam, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat. Legenda Ke’ Lesap ini merupakan legenda setempat, merupakan cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permulaan suatu daerah. Ke’ Lesap adalah salah satu cerita rakyat dari daerah Bangkalan, Madura. Menurut Danandjaya (1991 :2-5) dalam Taum (2011:23), sastra lisan hanya mengacu kepada teks-teks lisan bernilai sastra, sedangkan tradisi lisan lebih luas jangkauannya yang mencakup teknologi tradisional, hukum adat, tarian rakyat, dan makanan tradisional. Legenda Ke’ Lesap ini merupakan cerita lisan yang berada di masyarakat Madura, disampaikan dengan cara tutur. Menurut Danandjaja (2002:4), foklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Hal ini terbukti dari keberadaan legenda Ke’ Lesap dengan keberadaan nama kabupaten Bangkalan. Legenda Ke’ Lesap ini menjadi suatu gambaran akan masyarakat Madura sebelumnya.
4
Menurut dongeng yang berkembang di masyarakat Madura, nama Kabupaten Bangkalan berasal dari sebuah kejadian akhir dari tokoh Ke’ Lesap, lebih tepatnya ketika kematian Ke’ lesap. Kata Bangkalan berasal dari kata bhȃngka(h) yang berarti mampus atau tewas dan kata la’an yang berarti sudah (kata penegas yang menyatakan sesuatu yang sudah atau selesai, biasanya di belakang kalimat) (Adrian Pawitra, Kamus Lengakap Bahasa Madura-Indonesia 2009:60). Terdapat suatu hubungan antara penamaan Bangkalan dengan masyarakat Madura. Hal ini sesuai dengan sifat karya sastra yang memiliki hubungan dengan masyarakat. Jika diperhatikan secara lebih cermat, tokoh Ke’ lesap ini tidak hanya berperan penting dalam penamaan Kabupaten Bangkalan, namun juga penamaan di tiga kabupaten lain yang ada di Madura, yaitu Sumenep, Pamekasan dan Sampang serta beberapa nama daerah kecamatan yang ada di Madura. Dongeng kepahlawanan Ke’ Lesap ini menjadi semakin menarik karena tokoh ini memberikan banyak kontribusi dalam penamaan daerah-daerah yang ada di Madura. Dalam dongeng yang beredar, tergambar jelas segala kegiatan dan tingkah laku Ke’ Lesap. Menurut Danandjaya (1994 : 2-4), ada sembilan ciri pengenal utama sastra lisan yang dpat membedakan dari kebudayaan lainnya, yaitu penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, bersifat tradisional, ada dalam versi atau varian yang berbeda, bersifat anonim, biasanya memiliki pola, memiliki kegunaan, bersifat pratologis, menjadi milik bersama dan pada umumnya bersifat polos dan lugu. Kesembilan ciri tersebut dimiliki legenda Ke’ Lesap. Legenda ini
5
berkembang di masyarakat Madura sacara tutur, biasanya legenda ini disampaikan secara tidak formal, misalnya sebagai cerita pengantar tidur atau pengisi waktu luang saat bercengkrama dengan keluarga. Legenda ini pada umumnya disampaikan oleh seseorang yang lebih tua kepada seseorang yang lebih muda. Masih dalam masyarakat Madura, legenda Ke’ Lesap memiliki berbagai variasi cerita. Dalam masyarakat lisan tidak ada teks yang mantap dan baku, yang perlu atau dihafalkan secara eksak (Teeuw, 1994:6). Setiap orang memiliki versi legenda Ke’ Lesap yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan munculnya beberapa versi legenda Ke’ Lesap di masyarakat ini, membuktikan bahwa legenda ini memiliki sambutan yang luas dari masyarakat Madura. Legenda Ke’ Lesap ini merupakan bagian dari sastra lisan yang ada di Indonesia. Penelitian ini fokus pada bentuk kelisanan legenda ini. Bentuk kelisasanan legenda ini memiliki memiliki beberapa aspek yaitu mengenai penutur, formula dan tema. Guna menjabarkan aspek penutur, formula dan tema pada legenda Ke’ Lesap ini, peneliti menggunakan teori Albert B. Lord. Hal ini dikarenakan Albert B. Lord membicarakan mengenai penutur dalam sastra lisan pada buku The Singet of Tale yang ditulisnya. 1.2 Rumusan Masalah Legenda Ke’ Lesap merupakan cerita lisan masyarakat Madura. Legenda ini merupakan legenda yang banyak dikenal oleh masyarakat dari berbagai golongan, baik para tetua maupun generasi muda. Sampai saat ini belum ada kajian secara mendalam untuk legenda Ke’ Lesap ini. Masalah yang dikemukakan di dalam penelitian, lahir sebagai kepekaan tertentu dari pengamat sastra terhadap
6
fenomena literer yang dihadapi (Chamamah, 1990:5-6). Hal ini tidak lepas karena legenda Ke’ Lesap merupakan sebuah karya sastra yang memiliki aspek kelisanan yang layak untuk diteliti. Peneliti mengkaji tentang bagaimana penutur, formula dan tema legenda Ke’ Lesap?
1.3 Tinjauan Pustaka Belum ada sebuah kajian yang dilakukan dengan dongeng ke’ Lesap ini. Menurut penutur, bapak Moh. Hasan Sasra, tokoh sesepuh yang ada di Bangkalan, legenda Ke’ Lesap ini telah dituliskan dari sastra lisan menjadi sastra tulis kemudian diterjemahkan dalam bentuk bahasa Indonesia oleh peneliti dari UIOWA. Selain keterangan yang diberikan oleh penutur tersebut, peneliti belum menemukan kajian yang lebih mendalam pada dongeng Ke’ Lesap ini. Sementara itu, banyak sekali penelitian yang menggunakan kajian sastra lisan Albert B. Lord, beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Djumiati. Penelitian tersebut berjudul Ma I’o dalam Tradisi Sasadu Masyarakat Sahu Telaah Pendekatan Puitika Sastra Lisan, penelitian tersebut mengulas mengenai pengungkapan puitika sastra lisa Ma I’o yang dilihat dari tukang cerita Ma I’o pertunjukkan, masyarakat, dan teksnya. Penelitian ini menyatakan bahwa sebuah tradisi Sasadu yang ditampilkan pada saat upacara panen merupakan hasil dari konvensi para tukang cerita terdahulu dengan komposisi teks yang tidak baku mengingat ditemukan banyak variasi teks Ma I’o. Selanjutnya adalah sebuah penelitian yang disusun oleh Azramal dengan judul Kajian Struktur, Formula, dan Fungsi terhadap Kada (Sastra Lisan
7
Moronene). Penelitian ini mengenai kajian terhadap struktur, formula, dan fungsi Kada. Struktur Kada berisikan komposisi hubungan larik, baris-baris, persajakan, gaya bahasa, dan aspek kelisanan. Fungsi Kada dibedakan menjadi fungsi historis, fungsi heroic, fungsi pengesahan, pranata-pranata kebudayaan dan fungsi politik. Penelitian Arief Nur Mustaqim, dengan judul Kidung Dewa Yajna pada Upacara Ritual
Tumpek Pengantag di Desa Adat Penglipuran, Kelurahan
KUbu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali : Telaah Aspek Kelisanan Albert B. Lord. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan aspek-aspek kelisanan sebagaimana yang diungkapkan oleh Lord yang terdapat dalam kidung Dewa Yajna pada pelaksanaan upacara Ritual Tumpek Pengatag dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam kidung tersebut. Permasalahan yang dibahas adalah aspek kelisanana meliputi proses transmisi, formula, ekspresi formulaik, aspek pertunjukkan, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung bagi kemaslahatan masyarakat Desa adat panglipuran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi pelantunan kidung Dewa Yajna dalam acara Tumpek Pengatag dinyanyikan oleh pada sinden yang terdiri dari 20 orang. Seorang sinden, melalui proses transmisi pasif, yaitu dengan menghafal kata per kata dari bagian kidung dengan belajar kepada seorang guru yang menguasai Kidung Dewa Yajna. Pelaksanaan upacara tidak diiringi dengan alat music hanya mengandalkan suara lantunan dari para sinden. Konvensi upacara Tumpek Pengatag tersebut terdiri dari persiapan, ritual, penutup. Kidung Dewa Yajna tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kawitan atau pembuka, bagian
8
pengawak atau inti, dan bagian penutup. Formula yang terdapat dalam kidung ini berupa penyebutan bebaten, penyebutan tempat persemayaman dewa, penyebutan manifestasi Tuhan YME berupa wujud dari para dewa, dan harapan yang hendak dicapai dari pelaksanaan ritual ini. Terdapat sebuah penelitian dengan judul Tegghesan Macapat Layang Jatiswara pada Upacara Nyadhar Ketiga Desa Pinggir Papas Sumenep yang ditulis oleh Wahedi. Penelitian tersebut memberikan gambaran menganai tahapantahapan untuk menjadi tokang tegghes, pola pewarisan atau cara seseorang untuk menjadi tokang tegghes, dan tema yang terdapat di dalam Layang Jatiswara yang ditembangkan pada macapat upacara nyadhar ketiga. Dalam melakukan tegghesan, tokang tegghes memanfaatkan beberapa frasa, klausa atau kalimat yang menjadi formula dan ungkapan formulaiknya.
1.4 Tujuan Penelitian Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penutur, formula dan tema legenda Ke’ Lesap. Pengungkapan ini dikaji dengan teori Albert B. Lord. Sedangkan tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan model pemahaman yang dapat digunakan pembaca untuk memahami sebuah sastra lisan yang berkembang di masyarakat dengan memanfaatkan teori Albert B. Lord.
1.5 Kajian Teori Teori Albert B. Lord dalam penelitian ini. Disampaikan Lord dalam buku The Singer of Tale (1981), bahwa ada beberapa hal dalam sastra lisan, yaitu
9
bagaimana posisi penutur dalam pertunjukkan sastra lisan, hubungan antara pertunjukkan dan transmisi pada penutur, serta bagaimana penutur menciptakan formula dan menggunakan tema dalam kegiatan penceritaannya. Berdasarkana rumusan masalah yang telah ditentukan oleh peneliti, maka digunakan teori Albert B. Lord dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan Albert B. Lord mengulas mengenai bagaimana penutur dalam sebuah sastra lisan serta mengulas mengenai formula dan tema yang digunakan oleh penutur dalam pertunjukkan tersebut. Disampaikan Lord dalam buku The Singer of Tale (1971), bahwa ada beberapa hal dalam sastra lisan, yaitu penutur, formula, dan tema. 1.5.1
Penutur, Pertunjukkan dan Pelatihan Sastra lisan merupakan sebuah pertunjukkan dengan cara pelafalan,
penyampaian sebuah teks secara lisan oleh seseorang. Seseorang tersebut oleh Lord disebut Singer. Our singer of tale is a composer of tale. Singer, performed, composer, and poet are one under different aspects but at the same time (Lord, 1971:13 ). Misal dalam sebuah pertunjukkan, ada seseorang yang medongengkan sebuah cerita. Seseorang tersebut adalah singer atau penutur. Selain sebagai penutur, orang tersebut adalah pemain atau pelaku pertunjukkan tersebut, juga sebagai pengarang, penggubah, atau penyusun cerita. Istilah penutur, pemain, pengarang atau penyusun cerita memiliki perbedaan, namun dalam pertunjukkan sastra lisan, ketiga hal tersebut dilakukan oleh orang yang sama dalam waktu yang sama. Seorang penutur tidak hanya semata-mata sebagai seseorang yang membawa tradisi, namun juga seseorang yang membuat tradisi. Kebanyakan orang sulit untuk memandang seorang penutur cerita sebagai pembuatnya
10
sekaligus, karena kebiasaan kita yang tidak pernah melihat bahwa penutur bisa juga sebagai pembuat. Di Yugoslavia contohnya, puisi epik dinyanyikan atau dipertunjukkan dalam beberapa acara. Biasanya yang melakukan adalah para lelaki. Dulunya, di desa-desa, ada sebuah rumah yang mengadakan acara dan mengundang semua orang. Dan pemilik rumahlah yang menjadi penutur, tetapi karena jarak rumah yang berjauhan maka ada tamu yang datang lebih dulu lalu ada yang menyusul nantinya. Disinilah tugas sang penutur, dimana dia harus bisa mempertahankan ceritanya sambil memberi salam kepada yang berpamitan dan yang baru datang. Bahkan jika para tamu itu menyela si penutur dengan gosip ataupun topik yang lain. Berbeda dengan di kota, orang (penutur) lebih sering berkumpul di kafe atau tempat makan. Pertunjukan para penutur itu juga mempengaruhi jumlah penonton yang ada. Penutur harus bisa membuat penonton merasa dihibur sebaik mungkin. Jika si penutur mempunyai bakat yang luar biasa, maka penontonnya akan mendengarkan sampai akhir, walau si penutur memberi jeda di tengah-tengah pertunjukan. Ada juga penutur yang memperpanjang ceritanya karena merasa penonton sangat tertarik. Jika ada penutur yang merasa ceritanya tidak menarik, dia langsung mengetahuinya dari respon penonton. Lalu dia akan menyelesaikan ceritanya dalam waktu yang cepat. Ada juga penutur yang tidak bisa melihat penonton, jadi walaupun penonton merasa bosan, dia tetap melanjutkan ceritanya. Parry menjabarkan dalam bukunya mengenai sebuah proses pelatihan seorang penutur dari Šećo Kolić. Šećo here roughly distinguishes all three stage
11
of learning; firs, the period of listening and absorbing; then, the period of application; and finally, that of singing before a critical audience (Lord, 1971:21). Ada tiga tahap dalam pembelajaran sastra lisan. Pertama adalah tahap mendengarkan. Dari tahap ini, si penutur yang belajar memulai dengan mendengarkan berbagai macam materi yang akan dipelajarinya. Penutur dapat mengetahui tentang macam-macam cerita, macam-macam karakter, bagaimana ritme tiap cerita, bagaimana menciptakan suasana, dan bagaimana pergantian ekspresi tiap karakter. Dalam hal ini penutur baru bisa melihat, ayah, paman, maupun kakeknya yang sedang bercerita, karena yang harus dilihat bukan hanya pada saat pertunjukan saja, akan tetapi keseharian si penutur itu sendiri. Kedua adalah belajar menyanyikan lagu yang sudah ia pelajari tanpa musik yang mengiringi. Dia harus bisa memperkirakan ritmenya sendiri. Yang harus dilakukan adalah, dia harus mengulang-ulang bait atau bagian puisi atau lagu yang sama dengan intonasi dan ritme yang berbeda untuk menciptakan variasi sampai dia bisa menghafal seluruh cerita. Yang terakhir adalah pada saat penutur baru sudah siap dan dapat menceritakan ceritanya untuk yang pertama kali didepan penonton secara penuh. Dari sini muncul dua faktor yang sangat membedakan sastra lisan dan sastra tulis, yaitu teks dan waktu. Sastra lisan tidak mempunyai teks yang pasti untuk setiap pertunjukannya dan juga waktu untuk penciptaannya tergolong sangat cepat, karena penutur harus langsung memikirkan cerita pada saat pertunjukan berlangsung. Tidak seperti sastra tulis yang bisa ditulis sewaktuwaktu, tergantung dari penulisnya sendiri. Jadi para penutur harus bisa membuat
12
cerita secara cepat karena penonton menunggu kelanjutan ceritanya. Terkadang jika para penutur tidak bisa mencari lanjutan yang tepat, maka mereka akan menggunakan pola ataupun formula yang sudah ada. We must remember that the oral poet has no idea of a fixed model text to serve as his guide (Lord, 1971:22). Tidak ada dua penutur yang dapat menceritakan kembali sebuah cerita dengan cerita, ritme, dan ekspresi yang sama. Pasti ada perbedaan diantara mereka, walaupun sedikit di bagian tertentu saja. He has models enough, but they are not fixed and he has no idea of memorizing them in a fixed form (Lord, 1971:22). Oleh sebab itu, bahkan satu orang penutur yang menyampaikan cerita yang sama pun, dalam pertunjukkannya pasti memiliki perbedaan.
1.5.2
Formula Kajian sastra lisan dengan menggunakan konsep formula pada mulanya
diperkenalkan oleh Milman Parry. Ide Milman Parry ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Albert B. Lord dengan menggunakan teori formula untuk mengkaji puisi lisan Yugoslavia. Lord mengungkapkan pengertian formula adalah “a group of works which is regularly employed under the same metrical condition to express a given essential idea” yaitu kelompok kata yang dipergunakan berulang-ulang secara
teratur dalam kondisi
matra
yang sama
untuk
mengungkapkan suatu ide pokok (Lord, 1971 : 30). Kelompok kata yang disebut formula itu dapat berupa kata, frase, klausa, atau larik. Kondisi matra yang direalisasikan dalam peengulangan ini sangat berguna bukan hanya untuk
13
penonton tetapi juga membantu kelancaran pencerita membuat komposisi ceritanya. Pada kasus Homeric ketika itu tidak cukup berbicara mengenai pengulangan dalam Homer, dalam persediaan epitet pada sebuauh syair kepahlawanan dan frase yang klise. Beberapa istilah tersebut masih samar dan sangat terbatas. Dalam bukunya, Lord mengemukakan bahwa penelitian formula dilakukan
dengan
analisis
tekstual
dengan
menghitung
pengulangan,
mengklasifikasi frase yang sama dan menggali sebuah teknik komposisi dari manipulasi formula. Dalam pembahasan sebuah formula ini, Lord tidak hanya memandang dari luar ketika menganalisis teks, tetapi juga dari sudut pandang dari penutur (singer) dan tradisi (Lord, 1971 : 30). Lord mengibaratkan sebuah lanskap pemandangan dalam melihat sebuah formula dalam teks. Ketika memperhatikan sebuah pemandangan, kita tidak hanya melihar secara keseluruhan sebagai suatu gambaran yang utuh, namun, menurut Lord, untuk melihat formula, saat kita memandang sebuah lanskap pemnadangan, kita juga harus melihat bagaimana ketinggian gunung, kedalaman lembah, dan kakilembahnya. Pada dasarnya, formula tidak bersifat sama dan mutlak bagi semua pencerita, formula tidak memiliki nilai yang sama pada pencerita muda (junior) dan dewasa (senior), bahkan akan berbeda juga antara pencerita yang belum dan sudah terlatih. Pencerita pada tahap awal mempelajari formula dengan memperhatikan dan mendengarkan pertunjukan dari guru atau pencerita lain. Dia mempelajari pola-pola yang terdapat pada penceritaan yang dilakukan seperti mengukur, penggunaan kata-kata dan melodi penyampaian, hingga pada akhirnya
14
dia mampu untuk menyampaikan ceritanya sendiri. Pada awal penceritaan, pencerita muda akan melakukan asimilasi terhadap formula berdasarkan pada pengalaman yang dia dapat. Formula belum dapat ditampilkan dengan sempurna, namun semakin lama dia akan mampu untuk mengembangkan cerita berdasarkan pada formula. Pada saat bercerita, dia akan menyadari kebutuhannya dalam bercerita sehingga melakukan komposisi berdasarkan pada kebutuhan tersebut. Dengan demikian, tema yang dimiliki murid akhirnya sama dengan tema yang dimiliki sang guru meskipun mungkin juga ada pengurangan dan penambahan. Dengan cara ini, dia memperoleh pembelajaran pada formula dari pencerita sebelumnya dan pada akhirnya mampu menciptakan formulanya sendiri berdasarkan kebiasaan. Pola pembelajaran seperti inilah yang dilakukan oleh pencerita-pencerita pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan usia, pengalaman dan keterlatihan merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penciptaan komposisi dari formula. Esensi dari cerita sama, namun ada perbedaan berupa penambahan atau pengurangan antara pencerita satu dengan yang lain. Oleh karena itu, keseragaman mutlak dalam formula jarang ditemukan, hal ini karena sifat tuturan bahasa yang bersifat labil dan tergantung pada penuturnya. Formula yang paling stabil dapat ditemukan dalam bentuk puisi. Formula yang stabil dapat mengungkapkan nama-nama aktor, tindakan utama, waktu dan tempat (Lord, 1971 : 34 ). Lord menyatakan bahwa penyair-penyair lisan tidak menghafalkan puisinya lewat naskah atau teks. Seperti halnya ketika mempelajari bahasa ibu, pencerita tidak menghafalkan persatuan kata, frase atau kalimat puisi, namun dengan mendengarkan secara otomatis dia akan terbiasa dengan formula
15
dari puisi tersebut. Yang perlu dia ingat adalah pola dasarnya, dan ketika dia sudah menguasai pola dasarnya, maka dia mampu membuat kombinasi dengan melakukan subtitusi kata-kata berdasarkan pola yang ada. Pembelajaran pada formula dari pencerita sebelumnya dijadikan stok yang membantu pencerita untuk membuat komposisi melalui proses penyesuaian. Penyesuaian ini dapat berupa pembangunan bermacam pola formula baru dan juga ritme ekspresi. Kemudian, setiap penyair tradisional menyampaikan ceritanya dengan menciptakan teks kembali secara spontan dengan mempergunakan kata, kata majemuk, frase yang tersedia dalam ingatan penyair dan siap dipergunakan kapan saja. Kata, frase, dan kalimat inilah yang menjadi formula yang dimiliki penyair lisan. Lord menguraikan bahwa dalam teks lisan terdapat unsur-unsur pengulangan yang menjadi stock in trade tukang cerita. Frase-frase yang berulang ini merupakan formula. Frase-frase ini dapat berupa epitet, paralelisme, pleonasme, dan kiasmus. Fromula ini tidak dihafalkan secara menyeluruh oleh pencerita, namun sering terjadi asimilasi terhadap pengalaman yang menciptakan suatu bentuk komposisi baru pada formula berdasarkan kebutuhan dan kreatifitas pencerita selama pertunjukan. Formula sangat bermanfaat bagi pencerita sebagai repertoar untuk secara cepat membuat komposisi baru berdasarkan formula tersebut pada saat bercerita. Formula ini juga berfungsi untuk menciptakan aspek estetis pada sastra lisan, meskipun pada awalnya formula-formula ini diciptakan bukan untuk membuat aspek estetis namun untuk menyampaikan makna berdasarkan kepentingan tertentu.
16
1.5.3
Tema Formula dan kelompok formula, baik besar maupun kecil, keduanya
memiliki sebuah tujuan, yaitu sesuatu yang ingin diceritakan (Lord, 1971 :68). Tema adalah kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik yang disusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu. Tema dapat mengalami perkembangan, hal ini dikarenakan tema bukanlah sesuatu yang tetap karena setiap penutur memiliki tema sendiri. Menurut Lord, siapapun yang menyaksikan sebuah epik lisan dari negara manapun, memiliki kemiripan pada kejadian dan deskripsi secara terus menerus walaupun seseorang tersebut mencari berbagai variasi epik lisan yang ada dari banyak penutur dari banyak negara. Menurut Lord (mengikuti Parry), kelompokkelompok ide yang secara reguler untuk menceritakan kisah merupakan tematema cerita (Lord, 1971 :68). Hal ini dicontohkan pada Song of Bagdad, tema besar yang menaungi adalah pertemuan, kemudian ada subtema yang membawahi, yaitu para anggota dewan yang berkumpul, perundingan, kemudian diakhiri dengan munculnya seorang utusan yang ditunjuk untuk menyampaikan surat. Setiap penyair tradisional menyampaikan ceritanya dengan menciptakan teks kembali secara spontan dengan mempergunakan kata, kata majemuk, frase yang tersedia dalam ingatan penyair dan siap dipergunakan kapan saja. Kata, frase, dan kalimat inilah yang menjadi formula yang dimiliki penyair lisan. Lord
17
menguraikan bahwa dalam teks lisan terdapat unsur-unsur pengulangan yang menjadi stock in trade tukang cerita. Frase-frase yang berulang ini merupakan formula. Tema
yang didengar
oleh pencerita dapat
berkembang dengan
memasukkan repertoar dari pencerita yang lain yang mungkin lebih dari satu pencerita. Pencerita lisan yang benar-benar berbakat atau sudah terlatih mampu mengkombinasikan pendengaran dan pembelajaran dalam satu proses. Dengan demikian, tema yang dimiliki murid akhirnya sama dengan tema yang dimiliki sang guru meskipun mungkin juga ada pengurangan dan penambahan. Dengan cara ini, dia memperoleh pembelajaran pada formula dari pencerita sebelumnya dan pada akhirnya mampu menciptakan formulanya sendiri berdasarkan kebiasaan. Pola pembelajaran seperti inilah yang dilakukan oleh penceritapencerita pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan usia, pengalaman dan keterlatihan merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penciptaan komposisi dari formula. Esensi dari cerita sama, namun ada perbedaan berupa penambahan atau pengurangan antara pencerita satu dengan yang lain. Oleh karena itu, keseragaman mutlak dalam formula jarang ditemukan, hal ini karena sifat tuturan bahasa yang bersifat labil dan tergantung pada penuturnya. Pembentukan sebuah tema dilakukan sangat awal sekali oleh penutur. Pembentukan ini sangat dipengaruhi oleh penutur yang pertamakali dilihat. Kemudian seiring waktu, terdapat unsur-unsur yang dapat ditambahkan sendiri, biasanya secara tidak sadar atau bergantung inspirasi saat itu. Meskipun, sekali lagi harus ditekankan bahwa tidak ada paksaan kepadanya dari luar untuk
18
melakukannya. Hal ini menjadikan tema tumbuh dan mencapai perkembangan dalam praktik seorang penyanyi. Banyak perkembangan yang mungkin terjadi setelah perbendaharaan penyanyi ini meliputi lebih dari satu lagu, ketika lagu dalam perbendaharaan sendiri mulai mempengaruhi satu sama lain. Proses tersebut dapat berubah dalam kurun waktu tertentu. Seorang penutur tidak akan memproduksi ulang sebuah tema dengan katakata yang sama persis. Tema, walaupun disampaikan secara verbal, tidak memeiliki kata-kata yang paten, tapi merupakan sebuah kumpulan ide (Lord, 1971 :69). Walaupun tema mengalir secara alami membentuk sebuah cerita yang hidup didalam
pikiran
pencerita,
tema-tema
tersebut
memiliki
wilayah
semi
independennya sendiri. Tema dalam syair lisan adalah satu kesatuan sendiri bagi keseluruhan sebuah cerita. Hal ini berlaku secara umum dan bagi seorang pencerita. Seorang pencerita memunculkan tema untuk sebuah cerita yang ia ciptakan kembali di setiap pertunjukannya. Seorang pencerita umumnya memiiki satu bentuk dasar dari sebuah tema minor, tetapi cerita yang dibawakan fleksibel dalam artian bahwa memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian-penyesuaian disaat-saat tertentu. 1.6 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan, atas dasar teori yang digunakan, merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antar konsep tersebut (Faruk, 2012:22). Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa terdapat
19
aspek kelisanan seperti penutur, formula dan tema dalam legenda Ke’ Lesap yang disampaiakan.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Menurut Sugiono, (2012:137), ada beberapa jenis setting penelitian dan beberapa jenis sumber data. Selain itu, juga ada beberapa jenis teknik pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan setting natural, yaitu di kediaman penutur saat berlangsung proses penyampaian cerita. Jika dilihat dari jenis sumber datanya, penelitian ini menggunakan sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiono, 2012:137). Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara. Pemilihan teknik wawancara dilakukan karena peneliti ingin mengetahui hal-hal yang lebih mendlaam dari narasumber, sumber data primer adalah seorang tokoh penutur sekaligus tokoh kebudayaan yang ada di Bangkalan. Wawancara dilakukan secara terstuktur. Hal ini dikarenakan peneliti telah memiliki beberapa cacatan yang ngin diketahui dari narasumber. Wawancara dilakukan secara face to face. Wawancara pertama dilakukan saat peneliti melakukan studi pendahuluan mengenai legenda-legenda yang ada di Bangkalan. Kunjungan selanjutnya adalah kegiatan perekaman cerita yang dilakukan oleh penutur, selanjutnya diikuti dengan wawancara tidak terstruktur mengenai penutur secara menadalam.
20
Selain menggunakan wawancara, penelitian ini menggunakan observasi, nonpartisipan yaitu peneliti terlibat langsung dengan aktivitas orang-orang yang sedang diamati namun peneliti terlibat hanya sebatas pengawas (Sugiono, 2012:145). Observasi yang dilakukan merupakan jenis observasi terstruktur, yaitu observasi yang telah dirancang secara sistematis tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya (Sugiono, 2012:146). Objek material penelitian ini adalah cerita lisan legenda Ke’ Lesap. Langakah pertama yang diambil adalah penentuan informan. Informan dalam penelitian ini sekaligus seorang pencerita. Informan pada penelitian ini adalah seorang seniman senior yang berdomisili di kabupaten Bangkalan. Informan adalah seseorang yang lahir dan tinggal di Kabupaten Bangkalan. Informan memberikan keterangan dan menuturkan legenda dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Secara tidak formal, informan juga bersedia serat terbuka dalam memberikan informasi mengenai legenda Ke’ Lesap. Dalam keseharian, informan mengguanakan bahasa ibu yaitu bahasa Madura, baik bahasa Madura enje’-iya, enggi-enten, hingga enggi-bunten. Peneliti menggunakan metode wawancara terpimpin, hal ini dikarenakan peneliti telah mempersiapkan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian agar lebih focus. Peneliti juga bertindak sebagai pewawancara terikat oleh suatu fungsi, bukan saja sebagai pengumpul data tetapi relevan dengan maksud penelitian yang telah dipersiapkan, serta ata pedoman
yang
memimpin
jalannya
tanya-jawab
(Supardi,
2006:100).
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan penutur cerita. Objek material yang ada kemudian di rekam. Perekaman dilakukan dengan
21
menggunakan alat perekam dari telepon genggam. Proses perekaman ini bertujuan untuk mendokumentasikan cerita tutur legenda Ke’ Lesap. Setelah dilakukan perekaman penyampaian legena tersebut, peneliti melakukan penurunan teks. Paa proses ini, peneliti mengbah bentuk teks legenda Ke’ Lesap dari yang semula berbentuk cerita lisan ke dalam bentuk tulis. Data yang diperoleh ditranskripsikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Setelah
mendapatkan
objek
material
yang
dimaksud,
peneliti
mentransipsikan dan menterjemahkan. Peneliti mengubah bentuk teks legenda Ke’ Lesap dari yang semula dalam bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis. transkripsi legenda ini dilakukan secara setia. Setelah proses transkripsi, dilakukan proses penterjemahan pada legenda Ke’ Lesap. Penterjemahan adalah pengalihan amanat antara budaya dan atau antara bahasa dalam tuturan gramatikal dan leksikal dengan efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dilaksanakan (Kridalaksana, 1982:128). Penterjemahan dilakukan dari bahasa Madura ke bahasa
Indonesia.
Hal
ini
dimaksudkan
agar
pembaca
lebih
mudah
memahaminya. Pada proses penterjemahan bahasa Indonesia ini, peneliti di bantu warga asli Madura yang juga menggunakan bahasa ibu bahasa Madura serta menggunakan Kamus Bahasa Madura untuk mencari padanan kata bahasa Madura terebut dalam Bahasa Indonesia dengan menyesuaikan konteks.
22
1.7.2 Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2012:25). Penelitian ini menggunakan metode teori Albert B. Lord guna menemukan formula dan tema yang digunakan oleh penutur serta mengenai penutur itu sendiri. Setelah melewati tahap pengumpulan data, peneliti mendengarkan rekaman legenda Ke’ Lesap yang disampaikan kemudian dilanjutkan dengan membaca legenda Ke’ Lesap yang telah ditranskripsikan. Kemudian peneliti melanjutkan ke proses penemuan komposisi, transformasi, performance, formula, tema dan fungsi legenda Ke’ Lesap. Setelah menetapkan data yang ditemukan, peneliti kemudian menganalisis data temuan tersebut dengan menggunakan teori Albert B. Lord. Kemudian setelah proses analisi selesai, peneliti menentukan kesimpulan dari semua proses kerja penelitian, dilanjutkan dengan menyusun dan melaporkan hasil penelitian.
1.8 Sistematika penyajian Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari enam bab, antara lain: BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II Kondisi Sosial Budaya Kabupaten Bangkalan.
23
BAB III Penutur, pertunjukkan dan pelatihan.. BAB IV Formula Legenda Ke’ Lesap. BAB V Tema Legenda Ke’ Lesap. BAB VI Penutup, merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai penelitian ini. Selanjutnya terdapat daftar pustaka dan lampiran yang berisi teks cerita, data informan, korpus data dan dokumentasi.