BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah I.1.1 Hubungan Internasional Kontemporer Perubahan konstelasi politik dunia dewasa ini membawa perubahan dalam hubungan antar elemen-elemen yang terdapat dalam tataran hubungan internasional. Hubungan internasional yang pada awalnya mengkaji peperangan dan perdamaian serta kemudian meluas untuk mempelajari perkembangan, perubahan dan kesinambungan yang berlangsung dalam hubungan antara negara atau antarbangsa dalam konteks sistem global, menjadi kajian hubungan internasional yang tidak hanya fokus pada hubungan politik yang berlangsung antar negara, tapi juga mencakup peran dan kegiatan yang dilakukan oleh actor-aktor bukan negara (non – state sector), inilah kemudian yang disebut dengan hubungan internasional kontemporer. 1 Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan internasional kontemporer bukanlah ilmu yang mengkaji hubungan politik ansich, tetapi juga mencakup sekelompok kajian lainnya seperti tentang interdependensi perekonomian, kesenjangan utara dan selatan, keterbelakangan, perusahaan transnasional (TNC’s / MNC’s), hak asasi manusia, organisasi-organisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, lingkungan hidup, gender dan sebagainya. 2 Hal ini mengakibatkan ruang lingkup yang dikaji oleh ilmu hubungan internasional menjadi lebih luas dengan mencakup bahan pengkajian mengenai berbagai
1
T. May Rudi, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global Isu, Konsep, Teori, dan Paradigma, Bandung : PT Refika Aditama, 2003, hal. 1. 2 Dikutip oleh Rudi dari Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to International Relations, New York : Oxford University Press, 1999, hal. 34-35
aspek dalam kehidupan masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Meskipun begitu, hubungan internasional bukanlah ilmu yang mencakup kajian yang begitu luas, batasan yang dipakai dalam hubungan internasional adalah mengkaji hal-hal atau aspek-aspek tersebut dari sudut pandang keterhubungan global (global connections) yang bersifat non domestik, yang melintasi batas wilayah masing-masing negara. Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara-negara (state actors) maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara (non state actors). 3 Pola hubungan atau interaksi ini dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan (conflict). Dari ketiga pola interaksi ini, tentu yang diaharapkan adalah pola yang berbentuk kerjasama. Masalah yang muncul adalah bagaimana memelihara, mempertahankan dan meningkatkan kerjasama yang berlangsung secara adil, dan saling menguntungkan, kemudian bagaimana mencegah dan menghindari konflik, serta bagaimana mengubah kondisi-kondisi persaingan konflik menjadi kerjasama. Di era globalisasi sekarang ini, pola-pola kerjasama bilateral, multilateral dan global penting diperbanyak dan ditingkatkan, karena semakin luas dan banyaknya permasalahan global yang tidak dapat lagi ditanggulangi oleh banyak negara, apalagi hanya satu negara, tetapi perlu pemecahan masalah yang dilakukan secara kolektif atau bersama banyak negara serta dengan mengikutsertakan pula aktor-aktor non negara. Selain masalah global yang merupakan kelanjutan dari masalah yang sudah ada seperti pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan pertambahan produksi energi, ketersediaan air yang minim, kemiskinan, kelaparan dan masalah lainnya, sekarang muncul pula masalah-masalah baru seperti perusakan dan pencemaran lingkungan hidup 3
K.J. Holsti, International Politics : A Framework For Analisis, New Jersey : Prentice, hal inc, 1995, terjemahan Wawan Juanda, Politik Internasional : Suatu Kerangka Analisis, Bandung : Bina Cipta, 1997, hal.26-28
(environmental issues), senjata pemusnah massal (weapon mass destruction), perkembangan industri dan berbagai dampak dari globalisasi, liberalisasi perdagangan dunia, terorisme serta ‘triple T revolution’ (revolusi di bidang teknologi, transportasi dan telekomunikasi) 4.
I.1.2 Komunitas ASEAN dan Keamanan Regional Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa hubungan internasional tidak hanya mengkaji hubungan politik antarnegara, tetapi juga mengkaji organisasi-organisasi internasional. Organisasi adalah suatu wadah yang terdiri dari unit-unit yang saling bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Association Of East Asia Nation (ASEAN) adalah salah satu organisasi internasional yang berbasis negara-negara sekawasan Asia Tenggara yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Asal mula berdirinya ASEAN tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia Ke-2 (PD 2) Pasca PD 2 kawasan Asia Tenggara banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dari negara-negara besar yang terlibat dalam perang tersebut. Selain itu kawasan ini juga banyak diwarnai konflik kepentingan antar negara tetangga, seperti konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.5 Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlunya kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan membangun rasa saling percaya (confidence building), serta mendorong kerjasama pembangunan kawasan. Dampak positif dari meredanya rasa saling curiga dan konflik di antara negara-negara Asia Tenggara telah mendorong upaya pembentukan organisasi kerjasama kawasan.
4 5
Op.Cit., T. May Rudi, hal. 3 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu RI, ASEAN Selayang Pandang, 2007, hal. 1
Upaya tersebut membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Deklarasi ASEAN atau disebut juga Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima negara yakni, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura yang masing-masing diwakili oleh Menteri Luar Negeri. Deklarasi ini menandai berdirinya organisasi ASEAN yang dimasa awalnya lebih diwarnai upaya-upaya pembangunan rasa saling percaya antarnegara anggota guna mengembangkan kerjasama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif.6 Dari awal pembentukannya sampai sekarang, ASEAN telah berusia lebih dari 40 tahun. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan yang positif dan signifikan yang mengarah kepada pendewasaan ASEAN. Tidak ada yang menyangkal bahwa kerjasama ASEAN selama ini masih banyak berkutat pada masalah bilateral yang beragam diantara Negara tetangga di kawasan ini. Di balik masalah bilateral di sana-sini, ASEAN terus direvitalisasi. Kerjasama ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan melalui dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Hal ini diperkuat dengan telah disahkannya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi landasan hukum dan landasan jati diri ASEAN ke depannya. Komitmen untuk mewujudkan komunitas ASEAN yang awalnya ditetapkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015 melalui penandatanganan “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Commuity by 2015” pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu Filipina pada Januari 2007. Tujuan dari pembentukan Komunitas ASEAN adalah untuk lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi
6
M. Rajendran, ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action, Kuala Lumpur : Arena Buku sdn.bhd, 1985, hal. 5
perkembangan konstelasi politik internasional. ASEAN menyadari sepenuhnya bahwa ASEAN perlu menyesuaikan cara pandangnya agar dapat lebih terbuka dalam menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal.7 Negara-negara
ASEAN
menyadari
perlunya
meningkatkan
konsolidasi,
kohesivitas dan efektifitas kerjasama. Dimana kerjasama-kerjasama dalam ASEAN tidak lagi hanya berfokus pada kerjasama-kerjasama ekonomi namun harus juga didukung oleh kerjasama lainnya di bidang keamanan dan sosial budaya. Agar tercipta keseimbangan tersebut, pembentukan ASEAN didasari dengan tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Keseimbangan baru ini diperlukan mengingat banyak masalah bilateral yang terus membayangi dan karena sensitivitasnya perlu di dorong oleh rasa kekitaan dan keterbukaan (we feeling), agar urusan tidak menjadi timbunan beban bersama. Ide terciptanya Komunitas ASEAN yang mulai berlaku pada tahun 2015 mengadopsi dari apa yang tengah berlangsung di kawasan Eropa dengan konsep Uni Eropa yang menyatukan berbagai masyarakat dari Negara-negara Eropa dalam satu komunitas bersama. 8 Jadi dengan demikian nantinya akan tercipta keamanan, kegiatan perekonomian bersama antarnegara ASEAN. Lebih jauh dikatakan Rencana Aksi ASEAN Security Community (ASC-PoA) juga sederet kegiatan yang digulirkan melalui Vientienne Action Programmes (VAP) perlu dipahami sebagai langkah membangun rasa kekitaan. Semangat keterbukaan, pelan-pelan disebar ke kawasan agar tercipta sebuah atmosfir tingkat yang sama, diikuti berkurangnya resistensi atau kecurigaan, ketika kita
7
Ibid., hal. 28 Syamsul Arifin, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008, hal 4
8
memasuki urusan bilateral begitu luas dan dianggap sensitif. Semangat menciptakan komunitas keamanan regional adalah starting point dalam mencapai Komunitas ASEAN, hal ini berarti keamanan dan perdamaian harus lebih dulu tercipta di kawasan Asia Tenggara sehingga yang selanjutnya adalah terciptanya kemakmuran ekonomi bersama. Dengan begitu pilar Komunitas Keamanan ini harus menjadi prioritas, apabila stabilitas keamanan telah tercapai maka kemakmuran masyarakat adalah suatu keniscayaan. Namun sejarah berdirinya ASEAN tidak bisa dilepaskan dari tarikan ketegangan bilateral. Walaupun kawasan Asia Tenggara dipandang seperti kawasan yang tertib, namun potensi konflik untuk muncul tetap besar. Dalam perjalanannya, ada tiga macam konflik yang sering mempengaruhi ASEAN , yakni : 1) perselisihan perbatasan atau teritorial, 2) perselisihan yang mengancam stabilitas keamanan, dan 3) perselisihan yang muncul sehubungan dengan kebijakan pengelolaan.9 Namun belakangan pemasalahan keamanan di kawasan Asia Tenggara lebih berat dengan munculnya serangkaian aksi serangan teroris di berbagai Negara anggota ASEAN. Berbeda dengan konflik yang sering terjadi dimana saling melibatkan dua Negara atau lebih, isu terorisme muncul sebagai musuh baru bersama yang dapat mengancam setiap Negara dan harus ditanggulangi bersama. I.1.3 Posisi ASEAN dalam Mengatasi Terorisme di Asia Tenggara
Sebagai
organisasi
regional,
ASEAN
bertugas
sebagai
wadah
dalam
menyelesaikan permasalahan keamanan yang mengancam setiap anggotanya. Kalau sebelumnya ASEAN disibukkan dengan perselisihan dua negara atau lebih mengenai perbatasan atau teritorial, kini ASEAN menerima beban berat dengan munculnya masalah primordialisme yang dapat menimbulkan masalah terorisme, sehingga tidak jarang ada
9
Asvi Warman Adam, dkk, Konflik Teritorial di Negara-Negara ASEAN, Jakarta : PPW-LIPI, 1992, hal. 1-2
anggapan bahwa di kawasan ini terorisme dapat tumbuh dengan subur. Issue terorisme adalah issue yang mengancam Negara-negara Asia Tenggara, meskipun lebih banyak terjadi di Indonesia, tetapi tetap saja turut melibatkan negara lain khususnya Negara tetangga di Asia Tenggara. Berikut ini data-data serangan terorisme yang terjadi di Indonesia 10 I.
Kasus Pemboman yang terjadi Tahun 1999 dan Malam Natal tahun 2000
LOKASI
TARGET
MEDAN
15 GEREJA
BATAM
3 LOKASI
PEKAN BARU
2 LOKASI
JAKARTA
7 GEREJA
JAKARTA
MESJID ISTIQLAL
BANDUNG
4 LOKASI
MOJOKERTO
3 LOKASI
MATARAM
1 LOKASI
JAKARTA
KEDUBES PHILIPINA
II. Kasus Pemboman yang terjadi tahun 2001 •
Plaza Atrium Jakarta 1 Agustus 2001
•
Gereja Santa Ana Tanggal 1 Agustus 2001
III. Serangan Teror yang berskala besar sejak 2002-2005 •
10
Tanggal 12 Oktober 2002 di Sari Club, Paddy’s Pub, Bali
Makalah Rousdy Soeriaatmadja, Strategi Nasional Dalam Mencegah dan Memberantas Terorisme, dalam seminar Sehari “Sosialisasi ASEAN Convention On Counter Terrorism”, Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, Tanggal 21 Agustus 2007
•
Tanggal 5 Agustus 2003 di Hotel JW. Marriot, Jakarta
•
Tanggal 9 September 2004 di Gedung Kedubes Australia, Kuningan Jakarta
•
Tanggal 1 Oktober 2005 Pantai Jimbaran Bali Urgensi terciptanya keamanan regional mendapat porsi perhatian lebih oleh
negara-negara ASEAN. Dalam merespon hal tersebut, Negara-negara ASEAN berpegang teguh pada ASEAN Security Community (ASC). Kesepuluh Negara anggota ASEAN telah menandatangani sebuah konvensi dengan Judul ASEAN Convention On Counter Terrorism (ACCT) pada tanggal 13 Januari 2007 di Cebu Filipina. Dengan adanya konvensi ini, Negara anggota ASEAN didorong untuk bekerja secara proaktif serta meningkatkan kerjasama dalam rangka mencegah dan menangani terjadinya aksi-aksi terorisme khususnya di wilayah negara anggota ASEAN. Upaya penanganan aksi terorisme ini cukup penting, karena dalam satu dekade terakhir sebagian besar wilayah ASEAN di cap oleh dunia internasional sebagai salah satu sarang teroris sehingga menjadi salah satu faktor yang mendorong rendahnya iklim investasi di ASEAN. Oleh karena itu, hasil nyata dari konvensi ini diharapkan menjadi sebuah jawaban kepada banyak pihak yang telah berpikirkan skeptis terhadap negara anggota ASEAN. Hasil nyata dari konvensi ini akan menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN mampu bekerjasama untuk mengatasi terorisme dan menjaga kestabilan kawasan. Pada akhirnya, diharapkan adanya peningkatan iklim investasi di wilayah ASEAN.
I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan persoalan yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : bagaimana upaya yang dilakukan oleh organisasi ASEAN untuk
mengatasi aksi terorisme dalam kerangka ASEAN Commuity 2015 dan ASEAN Security Community. I.3 Pembatasan Masalah Dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian ini, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalah. penelitian ini hanya mengkaji upaya ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama di Asia Tenggara mengatasi aksi terorisme yang berlandaskan pada ASEAN Convention On Counter Terrorism (ACCT) yang ditandatangani tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina. I.4 Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan apa saja upaya kerjasama regional yaitu ASEAN dalam mengatasi aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Selain tujuan umum, dapat pula diambil tujuan khusus sebagai penjabaran dari tujuan umum di atas, yaitu : •
Untuk mengetahui bagaimana upaya suatu kerjasama dalam mengatasi bahaya yang mengancam keamanan anggotanya khususnya kerjasama di kawasan.
•
Untuk mengetahui sejauh mana dan apa saja upaya yang dilakukan suatu kerjasama dalam mengatasi ancaman keamanan bagi Negara anggotanya.
•
Untuk melihat dan menyelesaikan potensi terorisme di kawasan
•
Bagi mahasiswa departemen Ilmu Politik agar dapat melihat bagaimana pentingnya sebuah kerjasama dalam lingkup internasional
•
Untuk dapat mengetahui peran penting dari suatu kerjasama antar Negara sekawasan khususnya kerjasama regional ASEAN
I. 5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam mengetahui ASEAN Community dan ASEAN Security Community dan prospeknya terhadap perkembangan pertahanan dan keamanan negara-negara ASEAN. Serta juga dapat melihat apakah bibit teror di kawasan ASEAN masih berpotensi untuk berkembang serta agar dapat melihat secara dini untuk dicegah.
I.6 Kerangka Dasar Pemikiran I.6.1 Teori Hubungan Internasional Teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga menjelaskan fenomena secara ilmiah.11 Teori sebagai perangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis, yaitu untuk mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan yang lainnya dengan data dasar sehingga dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk menjelaskan fenomena yang diamati. 12 Apa yang terjadi dalam dunia internasional dapat memberikan pengaruh bagi setiap negara di dunia dan Hubungan Internasional menjelaskan apa yang terjadi dan pengaruh-pengaruh yang diakibatkan, bisa berakibat baik dan juga bisa berakibat fatal. Hal ini mengesahkan perlunya studi hubungan internasional karena asumsi dari studi ini adalah bahwa potensi bahaya itu bisa dikurangi dan kemungkinan untuk menciptakan perdamaian bisa ditingkatkan, asalkan umat manusia mau melakukan sesuatu demi tujuan itu.13
11
Mokhtar Mas’oed, Teori dan Metodologi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Antar Universitas Studi Sosial UGM, 1998, hal. 61 12 Gleen E Smellbecker dan Lexy J Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, hal. 61 13 MokhtarMas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hal. 31
Hubungan internasional dibentuk oleh hubungan antarnegara yang saling memiliki nilai-nilai berharga yang ingin diraih demi kehidupan warga negaranya, nilainilai tersebut adalah hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh warga negara seperti keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan. Negara dipandang sebagai yang essensial bagi kehidupan warga negaranya, tanpa negara kehidupan manusia menjadi dibatasi, tidak menyenangkan, terpencil, miskin serta tidak berperikemanusian.14 Ada beberapa pendekatan yang terdapat dalam Teori Hubungan Internasional yang salah satunya akan digunakan untuk menjelaskan fenomena secara ilmiah. Pendekatan hendaknya dinilai secara positif untuk memberikan sumbangan kepada ilmu Hubungan Internasional. Pendekatan merupakan cara yang memungkinkan setiap orang berusaha untuk menyelidiki, menyelami dan memecahkan masalah. Dalam studi Hubungan Internasional, terorisme sudah menjadi bagian dari isu global saat ini. Bahkan dikatakan bahwa terorisme adalah non state sector baru dalam HI, seperti yang telah ditulis di awal bahwa HI kontemporer tidak hanya berfokus pada negara tetapi juga aktor-aktor 15 di luar negara. Terminologi terorisme dicirikan oleh dan hampir seluruhnya dengan penggunaan kekerasan (use of violence) dengan melibatkan jaringan yang luas melintasi batas-batas negara. Disini HI berperan membentuk kesadaran untuk menciptakan kerjasama antarnegara untuk mengatasinya. Pendekatan yang mementingkan kerjasama banyak digunakan dalam pendekatan liberalis dalam HI. Dalam pandangan Liberalis meyakini bahwa kerjsama negara dalam sebuah institusi/organisasi internasional dapat terwujud bukan sekedar distribusi power saja sebab pandangan liberalis tentang sistem internasional tidak terlalu buruk. Liberalis juga 14
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 3 15 Menurut Couloumbis dan Wolfe, aktor adalah unit yang mampu melakukan tindakan dalam mencapai tujuan tertentu, misalnya Negara sebagai suatu organisasi diciptakan dan disiapkan untuk mencapai tujuan tertentu melalui berbagai tindakan yang direncanakan. dikutip dari R. Soeprapto, Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 4
menolak pandangan yang mengatakan bahwa politik sebagai hutan rimba dan lebih mengumpamakan menanam perang atau damai . Dibutuhkan bentuk kerjasama antar aktor politik yang dijalankan dengan damai dan diwujudkan dalam suatu struktur kelembagaan berupa institusi atau organisasi internasional. Mengenai sistem internasional, kaum liberalis memiliki asumsi; pertama, lebih menekankan kepada penjelasan mengapa kerjasama ekonomi dan lingkungan lebih dimungkinkan. Kedua, kerjasama tersebut akan mengurangi perang. Ketiga, kecurangan dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat kerjasama internasional. Keempat, institusi akan memberikan jalan keluar untuk mengadapi persolaan dan kelima, pembentukan institusi akan mengekang negara melakukan tindakan berbahaya. Jadi jelas kerjasama yang dilakukan dalam satu wadah organisasi internasional dapat dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. 16 Sedangkan pendekatan neorealis dapat melihat terjadinya tindakan terorisme sebagai akibat dari apa yang telah dibuat oleh Negara sehingga menciptakan suatu sistem. Seperti yang dituliskan oleh Kenneth Waltz : “anarchy as a condition of possibility for or permissive cause of war, arguing that wars occur because there is nothing to prevent them”. 17 I.6.2 Organisasi Internasional
Menurut Daniel S. Cheever dan H. Field Haviland Jr. organisasi internasional adalah pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan
fungsi-fungsi
yang
memberi
manfaat
timbal-balik
yang
16
Makalah Dewi Triwahyuni, Teorisme dalam non state sekto baru dalam HI, diakses dari http://www.dewitri.wordpress.com, diakses tanggal 30 November 2008
17
Friedrich Kratochwil dan Edward D. Mansfield, International Organization A Reader, 1994, Harper Collins College Publishers New York, hal, 79
diejawantahkan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala. Dari definisi tadi secara sederhana organisasi internasional mencakup adanya tiga unsur, yakni : 18 1. Keterlibatan Negara dalam suatu pola kerjasama 2. Adanya pertemuan-pertemuan secara berkala 3. Adanya staf yang bekerja sebagai “pegawai sipil internasional’ (International civil servant) Sementara pendapat yang lain yakni T. May Rudi menjelaskan bahwa organisasi internasional adalah pola kerjasama yang melintasi batas-batas Negara, dengan di dasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan
untuk
berlangsung
serta
melaksanakan
fungsinya
secara
berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada Negara yang berbeda. Dari penjelasan May Rudi tadi dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam organisasi internasional, yaitu : 19 1. Kerjasama yang ruang-lingkupnya melintasi batas Negara 2. Mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama 3. Baik antar pemerintah maupun non-pemerintah 4. Struktur organisasi yang jelas dan lengkap 5. Melaksanakan fungsi secara berkesinambungan Lebih jauh lagi dalam Hubungan Internasional, seperti yang dikemukakan oleh Kratochwil dan Gerard Ruggie, apa yang disebut sebagai pemerintahan internasional 18
T. May Rudi, Administrasi & Organisasi Internasional, Bandung : PT Rafika Aditama, 2005, hal. 2 19 Ibid., hal. 3
adalah apa yang dilakukan oleh Organisasi Internasional. Kemudian, ada beberapa peran aktual dan potensial dari organisasi internasional dalam pengungkapan yang lebih luas dari proses pemerintahan internasional. Perspektif ini dibagi dalam tiga wilayah, yaitu :20 -
wilayah pertama, penekanan pada peran dari organisasi internasional dalam meresolusi inti permasalahan internasional. Seperti displomasi preventif dan penjaga perdamaian sebagai suatu peran dalam wilayah perdamaian dan keamanan, pengawasan penggunaan nuklir oleh IAEA, memfasilitasi proses dekolonisasi dan masalah lainnya.
-
Wilayah kedua, perspektif perubahan peran organisasi dari fokus pada solusi dari pada masalah kepada konsekwensi kelembagaan jangka panjang tertentu dari suatu kegagalan untuk mengatasi substansi masalah melalui alat kelembagaan yang tersedia.
-
Wilayah ketiga didalam perspektif peran organisasi dimulai dengan sebuah kritik pada pengharapan transformasional dari teori integrasi dan kemanusian berubah fokus kepada perhatian yang lebih general dengan bagaimana institusi inernasional merefleksikan dan sampai taraf tertentu memperbesar dan memodifikasi karakteristik tampilan dari sistem internasional. Disini, organisasi internasional dilihat sebagai pemberi legitimasi bersama yang potensial, kendaraan dalam politik internasional dalam agenda penyatuan, forum untuk membentuk koalisi antarpemerintah yang dikenal sebagai alat koordinasi kebijakan antarpemerintah. Singkatnya Organisasi Internasional di bentuk oleh anggota-anggotanya sebagai
wadah kerjasama untuk menyelesaikan permasalahan dan pencapaian tujuan bersama. Semua anggotanya berperan membesarkan dan menggerakkan jalannya organisasi
20
Friedrich Kratochwil, Op.Cit., hal 6
tersebut sebaliknya organisasi membantu mereka meraih apa yang mereka inginkan seperti dalam kepentingan nasionalnya. I.6.3 Regionalisme Snyder berpendapat bahwa region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu. Meskipun demikian, kedekatan geografis saja tidak cukup untuk menyatukan negara dalam satu kawasan. Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama. Dengan demikian, syarat terbentuknya satu kawasan dapat terpenuhi secara geografis dan struktural. Dengan logika ini, maka seharusnya semua kawasan di dunia dapat menjadi sekumpulan negara yang mendeklarasikan diri mereka sebagai satu kawasan yang sama. Namun pada kenyataannya, tidak semua kawasan memiliki intensitas interaksi dan kemajuan yang sama antara satu kawasan dengan yang lainnya. 21
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dan lain-lain. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada negara-negara superpower.
21
Wiwien Apriliani, Kevinder, Muhammad Fitriady, Teori Regionalisme, dapat diakses di http://skiasyik.wordpress.com/2008/04/. Diakses tanggal 8 Januari 2008
Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu: 22 1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak
aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dll. 3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Kawasan yang dapat memulai interaksi antar negara di dalamnya, akan terus berkembang karena efek kerjasama “spillovers” hingga akhirnya tercipta integrasi kawasan. Hal ini berbeda dengan kawasan lain yang tidak memiliki kerjasama kawasan. Maka kawasan tersebut akan tertinggal dibanding kawasan yang lain.
Sementara itu, berdasar “New Regional Theory”, perkembangan regionalisme tergantung pada tiga hal. Yakni, dukungan dari kekuatan besar di dalam kawasan (regional great power), tingkat interaksi antar negara dalam kawasan, dan saling kepercayaan antar negara dalam kawasan. Melalui teori ini, dapat dipahami bahwa mengapa satu kawasan lebih tertinggal dibanding yang lainnya adalah karena permasalahan kekuatan dan keinginan negara yang bersangkutan untuk membentuk satu kawasan. Bisa jadi suatu kawasan tidak tercipta integrasi karena memang integrasi tersebut tidak diinginkan dan diupayakan oleh para great powers.
Selain teori di atas, Hennet membagi tingkatan regionalisme ke dalam lima tahapan yang meningkat secara gradual. Lima tahapan ini menunjukkan kematangan suatu kawasan seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan internasional antar negara di kawasan. Tahapan ini dapat menjawab pertanyaan mengapa satu kawasan dapat
22
Ibid.
lebih maju dibandingkan dengan kawasan yang lain dan persyaratsn apa yang harus diupayakan agar tercipta integrasi kawasan yang lebih matang. Tahapan tersebut adalah : 23 1. Simple Geographic Unit of States Kriteria: Tidak ada kerjasama dan interaksi rutin antar negara di dalam kawasan. Kerjasama terjadi hanya ketika ada ancaman, dan kerjasama tersebut juga berakhir ketika ancaman sudah berakhir. Sangat bergantung pada sumber daya pribadi, yakni pada masing-masing negara.
2. Set of Social Interactions Kriteria : Dalam kawasan sudah tercipta interaksi antar negara namun hanya diatur normanorma atau institusi informal
3. Collective Defense Organisation Kriteria : Negara mulai bersekutu dengan negara lain yang memiliki pemikiran yang sama di dalam satu kawasan untuk melawan ancaman bersama atau musush bersama. Ada perjanjian formal yang mengikat dan mengatur negara-negara dalam satu kawasan. Ada kombinasi kekuatan, meski bukan berupa penggabungan apalagi peleburan
23
Ibid.
4. Security Community Kriteria: Interaksi antar masyarakat sipil antar negara sudah mulai dikembangkan. Tercipta hubungan yang damai antar nmegara dalam kawasan. Adanya kesepakatan untu memilih menggunakan cara-cara damai untuk menyelesaikan masalah.
5. Region State Kriteria: Kawasan sudah memiliki identitas bersama yang berbeda dari kawasan lain Kawasan memiliki kapabilitas bersama sebagai satu kawasan Kawasan memiliki legitimasi sebagai satu kesatuan regional I.6.4 Keamanan Kolektif (Collective Security) Keamanan kolektif, menurut Inis Claude dari artikel "Keamanan Kolektif sebagai Pendekatan untuk Perdamaian", dilihat sebagai kompromi antara konsep dunia dan pemerintah negara-negara berbasis keseimbangan daya sistem, di mana yang kedua adalah dianggap sebagai merusak atau bukan cukup baik untuk menjaga perdamaian, dan yang pertama dianggap tidak dapat dilaksanakan saat ini. 24 Ketika keamanan kolektif adalah memungkin, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk bekerjanya keamanan kolektif. Kolektif keamanan adalah salah satu jenis strategi dalam membangun koalisi yang sekelompok negara yang setuju untuk tidak saling menyerang dan saling
24
http://www.colorado.edu/conflict/peace/treatment/collsec.htm
membela satu serangan terhadap salah satu dari yang lain, jika serangan itu dilakukan. Dimana "satu serangan terhadap satu pihak, ini adalah satu serangan terhadap semua. "Ini berbeda dari" pertahanan kolektif "yang merupakan koalisi dari berbagai negara yang setuju untuk mempertahankan kelompok mereka sendiri terhadap serangan dari luar. Oleh karena itu NATO dan Pakta Warsawa adalah contoh pertahanan kolektif, sedangkan PBB merupakan keamanan kolektif. Pendukung dari keamanan kolektif mengatakan ini jauh lebih efektif daripada pendekatan keamanan negara yang mencoba untuk bertindak sendiri, sebagai negara yang lemah mungkin tidak dapat membela diri mereka sendiri, dan negara-negara yang mencoba menjadi sering tidak pernah terlibat dalam perlombaan senjata yang sebenarnya memperkecil, daripada meningkatkan, keamanan mereka selama jangka panjang. Pecahnya Perang Dunia ke 2 menuntun pada penyelesaian yang ditegaskan dalam Perjanjian Versailles. Perjanjian Versailles merupakan anjuran oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson
yang beranggapan bahwa perang dapat dihindari dengan
menciptakan organisasi internasional berdasarkan prinsip collective security. Kemudian dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa yang beranggotakan Negara-negara yang cinta damai, setiap pelanggaran kedaulatan Negara anggota oleh Negara lain, merupakan suatu agresi yang pada akhirnya mengancam semua, sehingga harus direspon secara kolektif.25
I.6.5 Kesatuan Regional Menurut M. Rajendran kesatuan regional adalah :
25
Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional 1 Konsep dan Teori, Bandung : PT Refika Aditama, 2006, hal.210
Regional integration or political refers primarily to the creation, by a number states,of larger unit (community) at the international level, through peaceful and noncoercive means. 26
Lebih jauh ia mengatakan bahwa kesatuan regional melibatkan kesatuan di seluruh bidang dalam keikutsertaan suatu negara termasuk militer, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. 27 Pendapat yang lain, Amitai Etzimi mencoba untuk mengartikan kesatuan regional, yaitu hasil akhir dari penyatuanyang bersifat politik. Lain hal dengan Philipe C. Schmitter memandangnya sebagai adaptasi dan oreintasi dari susunan fakta-fakta dan mendefinisikannya sebagai sebuah proses dimana unit-unit nasional yang terbagi sebagian atau seluruhnya dari keputusan yang berwenang dengan sebuah organisasi internasional yang muncul. 28
I.6.6 Komunitas Keamanan Karl W. Deutchs mendefinisikan komunitas keamanan sebagai kelompok Negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan damai antarnegara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam waktu yang cukup lama. 29 Berdasarkan definisi ini, komunitas keamanan memiliki beberapa sifat utama. Pertama, interaksi damai yang terjalin cukup lama membuat upaya kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di dalamnya sebagai suatu hal yang tidak dikehendaki dan dengan sendirinya membuat perang dapat dihindarkan. Komunitas keamanan dengan demikian lebih peduli pada bagaimana mengendalikan konflik bukan
26
M. Rajendran, Op.Cit., hal. 2 Ibid. 28 Ibid. 29 Bambang Cipto, Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007, hal. 5 27
pada bagaimana menghilangkan perbedaan di antara Negara-negara anggota yang secara alamiah selalu memiliki perbedaan visi tentang persoalan yang mereka hadapi bersama. Sifat utama kedua, adalah bahwa di dalam komunitas keamanan tidak terdapat upaya melakukan perencanaan darurat yang menuju ke persiapan peperangan atau ketiadaan perlombaan senjata diantara para anggotanya. Oleh karena itu, menurut Deutschs, keberadaan atau keterlembagaan komunitas keamanan dapat diukur dari ada atau tidak adanya hubungan kekerasan berskala besar antaranggota di dalamnya. 30
I.6.7 Komunitas ASEAN 2015 (ASEAN Community 2015) Perkembangan Organisasi ASEAN memasuki babak baru dengan diadopsinya Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 yang mencita-citakan ASEAN sebagai komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020. Selanjutnya ASEAN juga mengadopsi Bali Concord II pada KTT ke 9 ASEAN di Bali Tahun 2003 yang menyetujui pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Pembentukan Komunitas ASEAN ini merupakan bagian dari upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasi ASEAN. Selain itu, juga merupakan upaya evolutif ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang agar dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak kepada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama
30
Ibid., hal.6
ASEAN yaitu saling menghormati (mutual respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (non-interference), konsensus, dialog dan konsultasi. 31 Komunitas ASEAN terdiri dari tiga pilar yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Social-Cultural Community/ASCC).
Pencapaian
Komunitas
ASEAN
semakin
kuat
dengan
ditandatanganinya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015” oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke 12 ASEAN di Cebu Filipina, 13 Januari 2007. Dengan ditandatanganinya deklarasi ini, para pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. 32 Berikut ini kerjasama yang terkait dalam upaya pembentukan ASEAN Community 2015 : 33 1. Kerjasama terkait dengan Pilar Komunitas Keamanan ASEAN Kerjasama ini terdiri dari : Beberapa perkembangan mengenai implementasi Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN adalah sebagai berikut : -
Piagam ASEAN (ASEAN Charter)
-
Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLAT)
-
Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme (ASEAN Convention on Counter Terorism/ACCT)
31
Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, Op.Cit. Menunggu Implementasi Piagam ASEAN, http://harianberitasore.go.id diakses tanggal 14 Mei 2008 33 Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, Op.Cit., hal. 29 32
-
ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM)
-
Rencana pembentukan Traktat Ekstradisi ASEAN
-
Penyelesaian sengketa laut China selatan
2. Kerjasama terkait Pilar Komunitas Ekonomi ASEAN Kerjasama ini terdiri dari : a. Kerjasama di sektor industri b. Kerjasama di sektor perdagangan - ASEAN Free Trade Area (AFTA) - Perdagangan bebas dan Mitra Wicara (FTA) c. Kerjasama di sektor jasa d. Kerjasama di sektor Investasi e. Kerjasama di sektor Komoditi dan Sumber Daya Alam f.
Kerjasama disektor Usaha Kecil dan Menengah
g. Kerjasama ekonomi subregional ASEAN 3. Kerjasama terkait Komunitas Sosial Budaya ASEAN Kerjasama ini terdiri dari : a. Kerjasama kebudayaan, penerangan dan pendidikan b. Kerjasama Bidang Pembangunan Pedesaan dan Pengentasan Kemiskinan c. Kerjasama Bidang Ketenagakerjaan d. Kerjasama Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial e. Kerjasama IPTEK, lingkungan hidup dan bencana alam f.
Kerjasama Bidang Sumber Daya Manusia dan Yayasan ASEAN
I.6.8 Terorisme Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang betujuan untuk mencapai
tujuan. Perkembangannya bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme. 34 Terorisme sudah dikenal dari masa Yunani Kuno ketika Xenophon (431-350 SM), Kaisar Tiberius (14-37 M), Caligula (37-41 M) dari Romawi telah mempraktikkan terorisme dalam penyingkiran atau pembuangan, perampasan harta benda dan menghukum lawan-lawan politiknya. 35 Namun sampai saat ini untuk mendefinisikan terorisme sangat sulit karena terorisme dapat dipandang dari beberapa sudut ilmu sosiologi, kriminologi, politik, hubungan internasional, psikiatri dan hukum, ditambah lagi terorisme terus berubah wajah dari waktu ke waktu, pada suatu waktu terorisme merupakan tindakan yang dilakukan oleh Negara, pada waktu yang lain terorisme juga dapat dilakukan oleh kelompok non Negara atau oleh keduanya. Pada sejarah terorisme modern, terorisme muncul pada akhir abad ke 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I dan hampir di seluruh permukaan bumi. Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal damai. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi Negara super power yang meluas menjadi konflik timur – barat dan menyeret ke beberapa dunia ketiga menyebabkan timbulnya konflik utara-selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak Negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejola. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara dunia ketiga dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya terorisme.
34
Andre H Pareira, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung : PT Citra Adityabhakti, 1999 35 Sunan J Rustam, Terorisme Dalam Perspektif Hukum Internasional, Artikel Harian Kompas Edisi 15 Oktober 2002, Jakarta, hal.4
Terorisme
berkembang
dikarenakan
fenomena
globalisasi,
kemajuan
transportasi dan arus informasi. Selain itu terorisme dicirikan oleh dan hampir seluruhnya dengan penggunaan kekerasan. Kekerasan tersebut dapat beupa penyenderaan, pembajakan ( hijack), pemboman dan penyerangan-penyerangan yang tidak mengenal sensor (undiscriminated) yang biasa menjadi targetnya adalah masyarakat sipil. Walaupun terorisme belum dapat didefinisikan secara baku, ada beberapa sarjana maupun lembaga yang membentuk satu definisi terorisme, yakni : a. Menurut Walter Laqueur : “terrorism has been defined as the substate application of violence or threatened violence intended to show panic in society, to weaken oe even overthrow the incumbents, and to bring about political change. It shades on occasion into guerilla warfare (although unlike guerillas, terrorist are unable or enwilling to take or hold territory) and even a substitute for war between states.”36
b. Menurut The Central Intelligence Agency (CIA) : “the threat or use of violence for political purpose by individuals or groups, wheter acting for, or in opinion to established governmental authority, when such actions are intended to shock or intimidate at target group wider than the immediate victims.” 37
c. Menurut Konvensi PBB 1937 : Segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok atau masyarakat luar.38 d. Menurut W J S Purwadarminta : Praktik-Praktik tindakan terror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai sesuatu (khususnya tujuan politik). 39
36
Lukman Hakim, Terorisme di Asia Tenggara, Surakarta : FSIS, 2004, hal.9 Ibid.,hal.14 38 Ibid. 37
e. Menurut Pasal 6 UU No.15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme : setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang lain secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda milik orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau keahancuran terhadap objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik dan fasilitas internasional. 40 Sedangkan kalau berbicara mengenai mengapa aksi terorisme terjadi, tentu ada sebab yang mendahuluinya. Fenomena terorisme selalu dimuati rasa sakit hati yang mendalam terhadap ketidakadilan sosial, ketidakadilan politik maupun ketidakadilan ekonomi dimana sebagai sasaran utama adalah sang penguasa atau sistem yang berlaku. Kelompok ekstrim yang menganggap terorisme sebagai satu-satunya cara yang dapat membawa perubahan. Mereka menginginkan terjadinya perubahan radikal secara status qou atau bertujuan untuk mempertahankan hak-hak istimewa yang terancam. 41 Dengan demikian terorisme dianggap satu-satunya cara, sarana, strategi dan teknik mutakhir yang fanatis untuk membuahkan hasil yang diinginkan sesegera mungkin. Teroris umumnya disebabkan oleh faktor-faktor ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, pertentangan ideologi, agama, etnik, perbedaan pandangan individu, keinginan memisahkan diri dari suatu negara, maupun akibat dari kesenjangan sosial. Terorisme yang disebabkan faktor nasionalisme, yaitu : untuk menuntut hak-hak politik, menuntut untuk pembebasan tanah air, dan nasionalisme kelompok minoritas yang merasa tertindas. sedangkan terorisme yang disebabkan oleh faktor politik umumnya adalah tuntutan kelompok yang merasa lebih berhak untuk mendapatkan kekuasaan atau bagian dari kekuasaan.
39
Ibid., hal.16 Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 41 Andre H Pareira, Op. Cit., hal.185 40
Ditinjau dari aspek kemiskinan, banyak ahli yang tidak sependapat, atau kalau pun sependapat, maka faktor ini hanya menjadi pemicu tidak langsung. tidak dapat disangkal bahwa aksi-aksi terorisme, baik yang berdimensi lokal maupun yang berdimensi internasional juga merupakan sebuah bentuk penolakan, resistensi, atau pun reaksi tandingan yang diperlihatkan sebuah kelompok dalam lingkungan terbatas ataupun luas, karena persamaan gagasan dan persepsi terhadap sistem ekonomi dunia yang dinilai timpang tidak adil dan merugikan mayoritas masyarakat dunia, atau masyarakat lain yang minoritas, yang aspirasinya disalurkan oleh perjuangan gerakan tersebut. Keprihatinan yang besar atas realitas kemiskinan yang semakin meluas dan kesenjangan yang tinggi dalam sebuah Negara, maupun antara sedikit Negara maju dan banyak Negara berkembang dan terbelakang di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan bahkan Eropa serta sebagian benua Amerika lainnya, adalah kondisi yang menyuburkan pertumbuhan gerakan terorisme dan aksi-aksi mereka diberbagai belahan dunia. Sehingga walaupun munculnya gerakan dan aksi-aksi terorisme yang dilancarkan tidak selalu tepat dalam waktu yang bersamaan atau serentak, namun tingkat keprihatinan yang sama atas realitas kemiskinan dan kesenjangan sosial disekitarnya, maupun atas sistem dunia yang terus berlangsung telah menyebabkan mudah berkembangnya gerakan dan aksi-aksi terorisme di suatu Negara, kawasan dan dunia secara lebih luas. Dengan kata lain, ketidakadilan sosial dan ekonomi secara akumulatif akan menjadi lahan yang subur bagi terciptanya radikalisme dan terorisme.
I.6.7 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism/ACCT) Konvensi ini ditandatangani pada KTT k-12 ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007. Konvensi ini merupakan Rencana Aksi Komunitas Keamanan
ASEAN yang ditetapkan di Vientiane, Laos.Indonesia sebagai Lead Sheppherd di bidang perumusan pemberantasan teorisme telah memelopori proses perumusan ACCT. Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat guna peningkatan kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter regional, ACCT bersifat komprehensif (meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan program rehabilitasi) sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan dengan konvensi sejenis. dalam memahami tindakan terorisme, pemahaman ASEAN mengacu pada lingkup yang terdapat pada perjanjian-perjanjian berikut : 42
a. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, signed at The Hague on 16 December 1970; b. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, concluded at Montreal on 23 September 1971; c. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, adopted in New York on 14 December 1973; d. International Convention Against the Taking of Hostages, adopted in New York on 17 December 1979; e. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, adopted in Vienna on 26 October 1979; Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to theConvention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, done at Montreal on 24 February 1988;
42
http://www.aseansec.org/asean_project.htm diakses 5 November 2008
f.
Convention or the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, done at Rome on 10 March 1988;
g. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, done at Rome on 10 March 1988; h. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, adopted in New York on 15 December 1997; i.
International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, adopted in New York on 9 December 1999;
j.
International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism, adopted in New York on 13 April 2005;
k. Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, done at Vienna on 8 July 2005; l.
Protocol of 2005 to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, done at London on 14 October 2005; and
m. Protocol of 2005 to the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, done at London on 14 October 2005.
I.7 Metodologi Penelitian I.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif
dengan
pendekatan
analitis.
Penelitian
deskriptif
bertujuan
untuk
mendeskripsikan apa yang sedang berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, da menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. 43 Berita dan dokumen serta data yang didapat dari sumber data, kemudian akan
43
Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, hal. 26
dianalisis. Menurut Masri Singarimbun artinya penelitian dilakukan dengan cara mengembangkan konsep dan menghimpun data-data serta fakta-fakta yang ada kemudian melakukan analisis terhadap data-data dan fakta-fakta tersebut. 44 I.7.2 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan fakta-fakta dalam rangka pembahasan masalah dalam skripsi ini adalah melalui observasi dan wawancara terhadap pejabat ASEAN di Departemen Luar Negeri atau jajaran yang merupakan representatif dari Derpartemen Luar Negeri, serta penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang berupa buku-buku, literature, kamus, artikel-artikel dalam majalah, jurnal ilmiah, bulletin, dll, dan juga dokumentasi atas dokumen resmi ASEAN yang didapat dari akses internet. I.7.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman (understanding). 45 Dalam kerangkan penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan data hendaknya peneliti tidak memberikan interpretasi sendiri. Temuan lapangan hendaknya dikemukakan dengan berpegang pada prinsip emik dalam memahami realitas. Penulisan hendakya tidak bersifat penafsiran atau evaluatif. 46
I.7.4 Sistematika Penulisan
44
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, (editor), Metode Penelitian Survey, Edisi Revisi, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 4 45 Lexy Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Karya, 1990, hal. 108 46 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2001, hal. 187
Penulisan skripsi ini direncanakan terdiri dari beberapa bab, kemudian tiap bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dan pengantar dari keseluruhan skripsi. Dalam bab ini akan dijelaskan dan diuraikan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, landasan teoritis, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II :
SEJARAH ASEAN Bab ini akan membahas tentang sejarah pembentukan ASEAN, proses dan perkembangan ASEAN serta tujuan dan sasarannya.
BAB III : GAMBARAN MENGENAI ASEAN COMMUNITY 2015 DAN ASEAN SECURITY COMMUNITY Bab ini akan membahas tentang sejarah pembentukan ASEAN Community, Kerangka, proses dan perkembangan ASEAN Community dan ASEAN Security Community serta tujuan dan sasarannya. BAB IV : UPAYA ASEAN DALAM MENGATASI TERORISME DI ASIA TENGGARA Bab ini akan membahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan ASEAN dalam mengatasi terorisme di kawasan Asia Tenggara. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian