1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara buruh dengan pengusaha) adalah salah satu alasan yang olehnya dapat dikatakan bahwa tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah upaya peniadaan ketimpangan hubungan diantara keduanya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Geoffrey Kay and James Mott1, “The main object of labour law has always been, and i venture to stay will always be, to be a contervailing force to counteract the inequality of bargaining power which is inherent and must be inherent in the employment relationship.....it is an attempt to infuse law into a relation of command and subordination”. Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini buruh dari kesewenang-wenangan pengusaha. Fungsi dan tujuan hukum ketenagakerjaan tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya, yang oleh Gustav Radbrugh 2 disebut sebagai tiga nilai dasar dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal inilah yang selanjutnya diuraikan oleh Theo Huijbers3 sebagai tiga tujuan hukum: pertama, mewujudkan
1
Geoffrey Kay and James Mott, 1982, Political Order and The Law Of Labor, The Macmillan Press Ltd, London, hlm. 112. 2 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 137. 3 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 289.
2
keadilan dalam hidup bersama, kedua, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, dan ketiga, menjaga hak-hak manusia, demikian ideal tujuan dari hukum. Disamping itu, Mochtar Kusumaatmadja juga berpendapat bahwa fungsi hukum yang disampaikan Theo Huijbers tersebut masih bersifat konservatif dengan titik berat pada fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis. Mochtar Kusumaatmadja4 menekankan fungsi hukum dalam negara yang sedang membangun, hendaknya mampu membantu proses perubahan masyarakat tersebut, sebagaimana pendapat Roscoe Pound “law as tool of social engineering...”. Selain itu perlu juga memperhatikan pendapat Sunaryati Hartono5 bahwa hukum bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Ide yang dicita-citakan itu tidak lain adalah merupakan tujuan hukum itu sendiri. Gerakan buruh dalam berbagai kesempatan menuntut kenaikan upah menjadi isu yang selalu hangat. Alih alih memperjuangkan hak, masyarakat umum justru bersikap apatis. Kecenderungan buruh untuk memanfaatkan momentum politik dalam upaya menuntut kenaikan upah tanpa bertanggung-jawab terhadap perannya sebagai konsumen yang memiliki pengaruh kuat dalam proses pembentukan harga yang notabene berpengaruh terhadap naik/turunnya KHL (kebutuhan hidup layak) adalah sebab yang cenderung membawa masyarakat pada sikap apatis terhadap
4 Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, hlm. 14. 5 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm. 1.
3
gerakan yang terkonsolidasi melalui serikat ini. Kemampuan serikat dalam mengkonsetrasikan massa buruh adalah pokok permasalahan yang mendasari dilematika buruh secarah keseluruhan. Dalam kaitannya dengan agenda utama pemenuhan rasa adil bagi kedua belah pihak (buruh dan pengusaha), serikat adalah poros utama kekuatan buruh. Sebagaimana
yang
telah
diketahui,
kebebasan
berserikat
buruh
diakomodasikan lebih dulu melalui konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang Freedom of Assotiation and Protection of The Right to Organize Convention dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui KEPPRES Nomor 83 Tahun 1998. Pemerintah melalui Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh memang telah memberi ruang untuk buruh mengkonsolidasikan gerakannya dengan memanfaatkan kebebasan alam demokrasi. Kendatipun demikian, melalui Undang Undang yang sama pula telah diatur bahwa salah satu sifat dari serikat buruh ialah bertanggung jawab. 6 Tanggung jawab yang dimaksud dalam hal ini tentunya agar buruh melalui serikatnya dapat memperjuangkan hak tanpa melupakan kewajiban sebagai buruh dan Warga Negara Indonesia yang mana juga melekat padanya kewajiban moril menjaga stabilitas pasar melalui penguatan peran sebagai konsumen cerdas, hal ini erat kaitannya dengan penggantungan hajat hidup Warga Negara Indonesia bukan buruh pada pasar yang sama yang didalamnya beredar item standar kebutuhan hidup layak
6
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, Pasal 3
4
sebagai dasar penetapan Upah Minimum dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Karl Marx7 menjelaskan bahwa kepentingan utama pengusaha adalah memperoleh keuntungan yang maksimum. Sebaliknya, buruh perlu upah yang mengurangi keuntungan pengusaha yang lebih besar, dan manakala pengusaha tidak memenuhi tuntutan buruh terjadilah konflik industri. Konflik berkembang atas dasar terjadinya pertentangan kepentingan antara buruh dengan yang mempekerjakan terhadap pemberian upah, akibat perbedaan pemaknaan dan kepentingan, maka konflik industri muncul. Kondisi ini tampak jelas di Indonesia, di mana dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya saling mempengaruhi dan bersifat transisional.8 Aksi demonstrasi yang demikian marak digelar buruh nyaris setiap tahun, utamanya pada momentum-momentum politik baik daerah maupun pusat lambat laun justru memberi kesan hanya mau menang sendiri buruh. Betapa tidak, mengandalkan keputusan dewan pengupahan terkait Standar Kebutuhan Hidup Layak, buruh menuntut kenaikan upah yang mana pemilihan waktu aksi penuntutan kenaikan upah ini digelar kerap kali berdekatan dengan momentum politik. Sedikit banyak hal ini menjelaskan kesadaran buruh akan potensi yang dimilikinya terkait jumlah anggota sebagai kekuatan yang dapat memperkuat posisi tawar dihadapan
7 Yudistira K. Garna, 1990, Antropologi-Sosiologi, Teori Perkembangan dan Penerapan, Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia, hlm. 65. 8 Atwar Bajari & S. Sahala Tua Saragih, 2011, Komunikasi kontekstual, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 122.
5
pemerintah untuk melancarkan upaya melemahkan pengusaha, dan berujung pada penentuan item standar kebutuhan hidup layak dan kenaikan upah. Perseteruan buruh dan pengusaha harus kembali didudukkan pada posisi yang berimbang. Pengawasan terhadap pengusaha melalui pengendalian harga yang diwakili oleh dewan pengupahan dinilai telah berjalan cukup efektif. Kendati pun demikian, kebebasan yang cenderung telah dimanfaatkan berlebih oleh buruh untuk berserikat
sekiranya
dapat
lebih
dikendalikan.
Pemberdirian
serikat/federasi/konfederasi yang hanya menambah titik konsentrasi tanpa orientasi berorganisasi
yang
memiliki
perbedaan
mencolok
dengan
serikat/federasi/konfederasi lainnya justru akan menciptakan ketidak-stabilan. Pun terkait didalamnya pengawasan terhadap serikat buruh yang telah berdiri untuk mengawal anggotanya menciptakan pasar yang kondusif bagi setiap pihak. Hal ini menjadi penting mengingat konflik buruh dan pengusaha menyinggung kestabilan harga, yang jelas sangat bergantung pada hajat hidup orang banyak. Pada tahun 1976, Marx menjawab pendapat Weston yang menilai kenaikan upah buruh sebagai pemicu kenaikan harga di pasar. Hal yang mendasari pendapat Weston tersebut adalah buah dari penilaian lainnya yakni; upah riil itu bersifat konstan. Dan karena upah riil bersifat konstan maka daya beli buruh tidak akan pernah dipengaruhi oleh nominal kenaikan upah. Nilai komoditi yang dapat dibeli buruh akan tetap sama seperti sebelum kenaikan upah terjadi. Lebih sederhana dapat diartikan, Weston beranggapan bahwa kenaikan upahlah yang memicu
6
kenaikan harga, dan karenanya dinaikkan setinggi apapun upah buruh tidak akan pernah tiba pada kategori cukup9. Menanggapi pendapat Weston yang menyatakan upah riil bersifat konstan, Marx menggunakan pendekatan teori pembentukan pasar/harga yakni pertautan penawaran-permintaan. Bahwa nilai yang beredar tidak bersifat konstan (terlepas jika upah riil buruh dinilai konstan oleh Weston) karena bersandar pada tarik menarik kepentingan penjual dan pembeli di pasar oleh peraduan gelombang penawaran dan permintaan. Dengan demikian, buruh yang dalam hal ini berperan sebagai pembeli juga ikut memainkan peran dalam proses pembentukan harga, itu berarti harga barang dapat dikendalikan. Justru dengan menaikkan upah buruh pada taraf tertentulah pasar tidak lagi se-kaku penafsiran Weston. Hal menarik yang dapat ditarik dalam problem buruh di Indonesia ialah; teori penawaran-permintaan yang digunakan Marx membantah pandangan Weston tersebut sekiranya dapat digunakan justru untuk mempertanyakan peran buruh pada proses pembentukan harga sebagaimana yang diatur dalam regulasi terkait pengupahan. Selain itu, fluktuatifnya tingkat kenaikan inflasi seperti yang umum diketahui adalah unsur penting yang seharusnya dapat disertakan sebagai indikator berpengaruh dalam upaya meminimalisir kericuhan pasar yang notabenenya merupakan dampak dari kenaikan upah minimum melalui survey harga item komponen standar Kebutuhan Hidup Layak.
9
Karl Marx, 1969, Value, Price, and Profit, International Publishers, New York, hlm. 6.
7
Pemilihan waktu diadakannya aksi menuntut kenaikan upah sedikit banyak dapat menjawab kegamangan ini. Indikasi kuat telah terjadi perselingkuhan antara buruh dan pemerintah guna melemahkan peran pengusaha adalah hal yang menarik untuk dikaji. Pada akhirnya, kecenderungan adanya agenda pelemahan peran pengusaha tersebut hanya dapat terwujud jika buruh mampu menyeragamkan langkah dengan mengatasnamakan pembebasan hak-hak buruh. Serikat buruh sebagai wadah penyalur aspirasi buruh, salah satunya melalui aksi menuntut kenaikan upah, tidak lepas dari hambatan dan tantangan baik yang berasal dari serikat buruh maupun dari luar. Tantangan yang sedang dihadapi Serikat Buruh meliputi lingkup eksternal dan internal organisasi buruh.10 Meningkatnya kompetisi di tingkat global secara langsung mempengaruhi hubungan industrial buruh, pengusaha dan negara di tingkat nasional. Salah satu pengaruhnya ditandai dengan kecenderungan sebagian besar pengusaha yang tidak menerima kehadiran serikat buruh sebagai representasi kolektif kepentingan buruh. Disisi lain, perpecahan internal berupa penciptaan faksi-faksi buruh mendorong beberapa buruh untuk menolak merepresentasikan dirinya melalui serikat. Selain itu, campur tangan negara melalui regulasi dan pengawasan terhadap hubungan buruh - pengusaha belum mampu memenuhi rasa adil atas tuntutan peran kedua belah pihak, hal ini ditandai dengan masih maraknya pelanggaran bahkan kejahatan dalam hubungan industrial di Indonesia.
10
Serikat Pekerja di Era Reformasi, http://rianirachmawati.multiply.com, diakses pada tanggal 23 april 2014
8
Di samping tantangan-tantangan tersebut, juga terdapat faktor internal atau eksternal yang dapat mempengaruhi kondisi serikat buruh :11 1. Permasalahan internal Secara keseluruhan permasalahan internal timbul oleh karena tindakan yang egois dari para anggota dan pimpinannya dimana buruh mempunyai nilai yang rendah pada komitmen dan loyalitas akan idealisme serikat buruh dan pencapaian tujuan negara. 2. Permasalahan eksternal Pemerintah menganggap bahwa serikat buruh mendorong gerakan anti pemerintah, hal ini memberikan halangan yang besar bagi hubungan antara serikat buruh dengan pemerintah. Sikap pemerintah yang terlalu memihak pemilik kepentingan (dalam hal ini manajemen/pengusaha) memungkinkan pemerintah untuk tidak lagi bersikap sebagai regulator pada setiap perselisihan perburuhan. Undang Undang yang ditetapkan hanya sebagai hiasan tanpa implementasi yang jelas di lapangan. Selain tantangan dan hambatan tersebut, serikat buruh yang dilandasi dengan adanya kebebasan berserikat, pada dasarnya juga memberikan implikasi terhadap perjuangan hak hidup buruh yang dapat dinilai relevan dengan perkembangan ekonomi belakangan ini. Kendali pemerintah melalui lembaga terkait izin pemberdirian serikat buruh seharusnya dapat lebih mengendalikan pemberdirian serikat buruh. Hal ini dikarenakan memiliki visi yang sama, sehingga orientasinyapun tidak jauh berbeda dengan serikat yang sebelumnya telah berdiri. 11
Serikat Pekerja, http://psi-tudiproject.atijembar.net, diakses pada tanggal 18 mei 2012
9
Ini dimaksudkan, jika tidak segera diperketat maka akan mendorong politisasi serikat buruh sebagai media penggembosan konsentrasi massa yang ideal untuk ditunggangi. Terlepas dari pengendalian pemberdirian serikat sebagai upaya membatasi ruang aspirasi buruh, pemerintah juga perlu memikirkan ulang kebijakan standar KHL melalui dewan pengupahan yang cenderung telah mengalami pergeseran orientasi pembelaan hak hidup. Dengan menyerahkan sepenuhnya standar UMP pada indikator KHL secara tidak langsung pemerintah justru mendorong inflasi terus meninggi. Lebih jauh ide penghapusan regulasi terkait standar KHL dapat dipertimbakan untuk diganti dengan penetapan standar UMP berdasarkan sektor kerja yang berbasis pada peningkatan nilai produktifitas perusahaan. Pada tanggal 23 Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dimana meskipun item KHL masih termasuk sebagai komponen kebijakan sistem pengupahan, adanya pertimbangan inflasi ke dalam formulasi baru pengupahan merupakan hal yang baru dalam sistem pengupahan di Indonesia. Keluarnya peraturan tentang pengupahan yang baru tersebut tidak dapat lepas dari pro dan kontra. Dimana gejolak aksi gerakan buruh hingga saat ini pun masih terus terjadi dalam upaya memajukah hak kesejahteraan buruh. Berkaitaan dengan diterbitkannya peraturan tersebut, sejumlah konfederasi serikat buruh menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tersebut dengan alasan serikat buruh tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Berbeda dengan buruh, pengusaha justru menyambut baik Peraturan Pemerintah terkait pengupahan tersebut karena dapat mempermudah
10
perusahaan menentukan besaran biaya tenaga kerja untuk satu tahun ke depan. Sementara itu, serikat buruh sebagian besar justru menolak itu yang ditandai aksi demontrasi di sejumlah kota.12 Terlepas dari adanya regulasi tersebut diatas, dalam spektrum yang lebih luas, masalah ketenagakerjaan di Indonesia tampaknya masih berkutat pada rendahnya tingkat kesejahteraan buruh, sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan sumberdaya manusia, rendahnya ruang penggajian, hingga jaminan sosial. Kondisi ini tentu membuat semakin krusial persoalan relasi produksi yang dihadapi buruh. Padahal eksistensi buruh dalam hubungan produksi merupakan satu kesatuan dari sistem industri atau perusahaan yang di dalamnya terdapat status dan peran masing-masing.13 Adanya permasalahan sebagaimana yang dideskripsikan di atas, membuat penulis tertarik untuk melakukan ikhtiar akademik, melalui penelitian yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERAN SERIKAT BURUH TERHADAP PENENTUAN STANDAR KEBUTUHAN HIDUP LAYAK” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperoleh beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
12
Benarkah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Perbaiki Nasib Buruh ?, http://www.antaranews.com/berita/526104/benarkah-pp-pengupahan-perbaiki-nasibburuh, diakses pada tanggal 2 desember 2015. 13 Suwandi Sumartias, 2011, Kiprah Buruh Dalam Hubungan Industrial dalam buku Komunikasi Konstekstual: Teori dan Praktik Komunikasi Kontemporer, Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 117.
11
1. Bagaimanakah peran serikat buruh terhadap penentuan standar kebutuhan hidup layak ? 2. Bagaimanakah relevansi komponen kebijakan standar kebutuhan hidup layak terhadap pemenuhan kesejahteraan buruh ? C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan hukum ini adalah : 1. Tujuan Subyektif Penulis membuat penulisan hukum ini, agar penulis dapat memenuhi syarat kelulusan dan mendapatkan gelar Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2. Tujuan Objektif Sesuai permasalahan yang akan diteliti, maka tujuan objektif dari penulisan hukum ini adalah : a. Untuk mengetahui dan mengkaji peran serikat buruh dalam penentuan standar kebutuhan hidup layak. b. Untuk mengetahui dan mengkaji relevansi komponen kebijakan standar kebutuhan hidup layak terhadap pemenuhan kesejahteraan buruh. D. Keaslian Penelitian Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada Penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:
12
1. Penulisan Thesis dengan judul “Kajian Politik Hukum Tentang Perlindungan Hak Berserikat Buruh di Indonesia”.14 Penelitian ini ditulis oleh Herdiansyah Hamzah pada tahun 2012. Titik berat penelitian ini berada pada perlindungan hak berserikat bagi buruh, baik dalam tataran implementasi politik hukum dalam menjamin hak berserikat bagi buruh, maupun peran pemerintah dalam menjamin terlaksananya hak berserikat bagi buruh tersebut. Penulis dalam thesis ini menyimpulkan bahwa: Pertama, politik perburuhan dalam perlindungan hak berserikat buruh di Indonesia, berbeda disetiap masa, baik pada masa orde lama, orde baru, maupun orde reformasi sekarang ini. Implementasi politik hukum perburuhan belum sepenuhnya menjamin dan melindungi terlaksananya hak berserikat bagi buruh. Politik hukum perburuhan akan dapat diimplementasikan dengan baik, ketika buruh diberikan peran dan partisipasi dalam perumusan kebijakan perundangundangan yang menyangkut kepentingan buruh itu sendiri. Kedua, Peran dan keterlibatan pemerintah khususnya dalam menjamin hak terlaksananya kebebasan berserikat, masih sangat minim. Hal tersebut terlihat dari upaya pemerintah yang lamban dan pasif disetiap kasus-kasus pelanggaran berserikatyang terjadi. Penulis dalam thesis ini menegaskan bahwa minimnya peran dan keterlibatan pemerintah dalam menjamin hak terlaksananya kebebasan berserikat tersebutlah yang membuat tingkat kepercayaan serta harapan serikat buruh terhadap pemerintah semakin menurun, sehingga
Herdiansyah Hamzah, 2012, “Kajian Politik Hukum Tentang Perlindungan Hak Berserikat Buruh di Indonesia”, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 14
13
membuat serikat buruh lebih memilih untuk melakukan upaya perlindungan terhadap kebebasan berserikat dengan caranya sendiri. 2. Penulisan Thesis dengan judul “Perlindungan Buruh Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dengan Pengusaha Pada Perusahaan Tekstil Di Kota Surakarta”.15 Titik berat penelitian ini berada pada perlindungan hukum bagi buruh dan kendala dalam pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang dikhususkan pada perusahaan tekstil di kota Surakarta. Penelitian ini ditulis oleh Sungkowo Raharjo pada tahun 2015. Penulis dalam thesis ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu di perusahaan tekstil kota Surakarta belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum pada buruh. Selain dikarenakan oleh masih adanya perusahaan yang memberikan masa percobaan pada buruh dan tidak dicatatkan sebagai PKWT pada Dinas Tenagakerja, masih ditemukan pelanggaran terhadap jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh karena tidak sesuai dengan peraturan perundangan, tidak diikutkan Jamsostek, serta masih ditemukannya kerja lembur yang melebihi batas maksimal jam kerja lembur yang telah ditentukan. Sementara itu, kendala dalam memberikan perlindungan terhadap buruh adalah belum adanya sanksi terhadap pelanggaran tidak dicatatkannya PKWT pada Dinas Tenagakerja, kurang optimalnya kinerja pegawai pengawas dalam melakukan pengawasan, dan hambatan dari kurangnya efisiensi perusahaan yang tempat kerjanya masih
Sungkowo Raharjo, 2015, “Perlindungan Buruh Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dengan Pengusaha Pada Perusahaan Tekstil Di Kota Surakarta”, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15
14
bersifat sewa sehingga tidak ada kepastian mengenai kelanjutan usaha utamanya mengenai kondisi ekonomi yang tidak menentu. Sementara itu, dari pihak buruh kendala berupa tidak melapor adanya pelanggaran yang dilakukan pengusaha dengan alasan takut kalau di PHK atau tidak diperpanjang lagi PKWT-nya. 3. Penulisan Thesis dengan judul “Perlindungan Hak Pekerja Yang Diputus Hubungan Kerjanya Dengan Putusan Pengadilan Industrial Pasca Putusan Pailit Oleh Pengadilan Niaga”.16 Penelitian ini ditulis oleh Cesar Antonio Munthe pada tahun 2015. Titik berat penelitian ini berada pada analisis perlindungan hak dan kedudukan pekerja yang diputus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan niaga. Penulis dalam thesis ini menyimpulkan bahwa: Pertama, buruh yang diputus hubungan kerja dengan putusan pengadilan hubungan industrial pasca putusan pengadilan niaga tetap memiliki alas hak (rechtitle) untuk melaksanakan pemenuhan hak-haknya yaitu pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja upah, maupun uang pengganti hak maupun hal-hal lain yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama. Kedua, buruh yang diputus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pengadilan niaga mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen karena pasca putusan pailit kedudukan buruh sebagai kreditur tunggal batal demi hukum.
Cesar Antonio Munthe, 2015, “Perlindungan Hak Pekerja Yang Diputus Hubungan Kerjanya Dengan Putusan Pengadilan Industrial Pasca Putusan Pailit Oleh Pengadilan Niaga”, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 16
15
4. Penulisan Thesis dengan judul “Jaminan dan Perlindungan Upah Pekerja/Buruh Dalam Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.17 Penelitian ini ditulis oleh Sherly Fitriana Haris pada tahun 2014. Titik berat penelitian ini berada pada penerapan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam mengakomodasi dan menjamin upah burhu dalam kepailitan dan untuk mengetahui hubungan tanggung jawab kurator terhadap hak-hak buruh yang tidak terakomodasi. Penulis dalam thesis ini menyimpulkan bahwa: kedudukan buruh untuk memperoleh haknya berupa upah dalam perkara kepailitan masih lemah. Hal ini dikarenakan tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas terhadap hak-hak buruh di perusahaan yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. Secara garis besar, keempat penulisan hukum di atas memiliki tema yang sama dengan penelitian oleh penulis yakni tentang buruh/serikat buruh dan kompleksitas sistem pengupahan buruh. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan penulis lebih spesifik yakni mengenai peran serikat buruh terhadap penentuan standar kebutuhan hidup layak dengan jenis metode penelitian normatif yang bersifat deskriptif analisis. Dengan demikian, penulisan thesis ini telah memenuhi kaedah penelitian sehingga layak untuk diteliti.
Sherly Fitriana Haris, 2014, “Jaminan Dan Perlindungan Upah Pekerja/Buruh Dalam Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 17
16
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dibidang ilmu hukum perdata khususnya hukum perburuhan yang berkaitan dengan sisi teoritis dan konstruksi hukum dari Upaya Penentuan Standar Kebutuhan Hidup Layak melalui Peran Serikat Buruh sebagai dampak pelaksanaan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Buruh dalam kaitannya dengan Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa lebih dipahami secara komprehensif bagi semua pihak terutama pihak tenaga kerja dan pengusaha serta pemerintah. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kerancuan baik bagi buruh,
pengusaha, maupun pemerintah dalam menciptakan pasar yang
kondusif bagi semua pihak dengan kaitannya terhadap sistem pengupahan di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kotribusi, saran, gambaran yang sederhana namun menyeluruh, maupun masukan bagi dewan pengupahan khususnya pihak pemerintah mengenai Penentuan Standar Kebutuhan Hidup Layak yang terselenggara melalui penerapan regulasi terkait Peran Serikat Buruh sebagai dampak pelaksanaan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Buruh dalam kaitannya dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.