1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi mendapatkan perhatian
yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Adanya perhatian khusus yang diberikan terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah hal yang wajar, mengingat Indonesia merupakan negara darurat korupsi, hal tersebut dibuktikan oleh adanya laporan dari Transparency International (TI) dalam laporan hasil pengkajiannya yang menyatakan bahwa indeks persepsi tentang korupsi (corruption perception index atau CPI) yang dipublikasikan pada tanggal 3 Desember 2014 menyatakan bahwa Indonesia
memperoleh skor 34, sehingga
menempati urutan ke 107.1 Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau. 2 Perhatian khusus yang diberikan oleh pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ternyata belum memuaskan, walaupun penanganan kasus korupsi sudah lebih baik daripada sebelumnya namun tingkat “dark number of corruptions” diperkirakan lebih jauh daripada “recorded corruptions”, oleh karena itu ketika Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara terkorup di dunia.3 Hal
1
2
3
Transparency International Indonesia,Corruption Perceptions Index 2014, Scores and Ranks 177 Countries and Territories from Around The World on the Perceived Level of Corruption in the Public Sector, dalam www.ti.or.id yang diakses pada tanggal 19 Januari 2016 pada pukul 19.41 WIB. Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indoesia, Jakarta, hlm. 195. Elwi Danil, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya” cetakan ke3,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. V.
1
2
tersebut menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum maksimal. Selain hasil kajian indeks persepsi korupsi yang diluncurkan oleh Transparency International, Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) mengungkapkan hasil surveinya yang menyatakan bahwa pada bulan Maret 2010 Indonesia menempati posisi sebagai negara paling korup di Asia Pasifik.4 Terkait dengan pemberantasan korupsi, Andi Hamzah mengatakan bahwa yang menjadi kendala besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terlalu banyaknya orang yang akan terkena ancaman pidana jika undang-undang pemberantasan korupsi dijalankan dengan sungguh-sungguh, 5 dengan kata lain korupsi di Indonesia tidak hanya dapat dibebankan pada peraturan normatif yang berisi ancaman pidana yang berat namun juga dibutuhkan adanya penegakan hukum yang tegas. Menurut Andi Hamzah, terjadi hal yang lucu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu jika dilihat peraturan normatifnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 maupun undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa ancaman pidana yang terdapat di dalamnya sangat mengerikan.
4 5
Elwi Danil, Op.Cit.,hlm. 67. Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm. 2.
2
3
Dalam undang-undang yang pertama tidak membedakan berat ringannya korupsi namun ancaman pidananya seumur hidup, tetapi tidak ada seorang pun yang dipidana penjara seumur hidup selama dua puluh delapan tahun undangundang tersebut berlaku. Di dalam undang-undang yang saat ini berlaku terdapat ancaman hukuman mati di dalamnya apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, namun demikian tidak pernah ada seorang pun yang dijatuhi pidana mati meskipun uang yang dikorupsi jumlahnya mencapai triliunan rupiah.6 Elwi Danil menyatakan bahwa korupsi seharusnya digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang luar biasa (extraordinary instrument). 7 Selain itu akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.8 Hal tersebut dapat disimpulkan dari konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasionl, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.9 6 7 8
9
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.5. Elwi Danil, Op.Cit., hlm.76. Ermansyah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafiika, Jakarta, hlm. XX. Konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.140).
3
4
Selain itu, konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyatakan: Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.10 Hal serupa juga dapat kita temukan dalam penjelasan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi menggunakan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 disebutkan bahwa korupsi dapat merusak berbagai sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yaitu11: a. Merusak Demokrasi b. Merusak Aturan Hukum c. Merusak Pembangunan Berkelanjutan d. Merusak Pasar e. Merusak Kualitas Hidup f. Merusak Hak Asasi Manusia Singkatnya, korupsi menghambat negara untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: 12 ...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....... Untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi diperlukan adanya peraturan yang tegas serta penegakan hukum yang tegas baik dengan
10
11
12
Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134) United Convention Against Corruption yang diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32.) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke-IV
4
5
instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional. Untuk instrumen hukum nasional, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan untuk instrumen hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Peraturan yang tegas berkaitan dengan hukum normatif dalam bentuk perundang-undangan telah dengan tegas memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, hal tersebut terbukti dengan ancaman hukuman yang berat yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang salah satu bentuk hukumannya adalah pidana mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Selain dalam hukum materiilnya, adanya upaya yang tegas yang dilakukan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi juga meliputi hukum formilnya yaitu dengan adanya aturan yang bersifat khusus yang berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, contohnya yaitu dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penanganan terhadap tindak pidana korupsi. Tindakan tegas dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi merupakan hal yang diperbolehkan berdasarkan Article 65 Paragraf 1 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) juga
5
6
menyatakan bahwa “each State Party may adopt more strict or severe measures than those provided for by this Convention for preventing and combating corruption.”13, yakni setiap Negara Pihak dapat mengambil lebih tindakan tegas atau berat daripada yang disediakan oleh Konvensi ini untuk mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini berarti UNCAC memberikan ruang bagi negara pihak untuk menerapkan tindakan yang lebih tegas daripada yang diatur di dalam UNCAC sendiri. Tindakan lebih tegas tidak hanya terbatas pada ancaman pidana dalam delik korupsi melainkan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian diberikan tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini berarti setelah adanya Komisi Pemberantasan Korupsi. terjadi perubahan penanganan tindak pidana korupsi. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat tiga lembaga yang samasama mempunyai kewenangan untuk menangani tindak pidana korupsi, yaitu: Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam hal penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dan/atau penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam
13
Article 65 paragraph 1 Implementation of The Convention (United Nation Convention Against Corruption) yang diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32).
6
7
tindak pidana korupsi yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: 14 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana korupsi, terdapat kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 15 Kekhususan tersebut dimungkinkan karena berdasarkan Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan:16 Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan di dalam Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut memiliki dua arti. Pertama, semua
14
15 16
17
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137). Mahrus Ali, 2010, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press,Yogyakarta, hlm.177. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 198 Nomor 76). Mahrus Ali,Op.Cit., hlm. 3.
7
8
ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi setiap tindak pidana yang diatur di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua, adanya kemungkinan pengaturan hal-hal tertentu dalam perundang-undangan lain yang mengatur mengenai hukum acara yang khusus bagi tindak pidana tertentu. Sehingga adanya kekhususan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi merupakan hal yang diperbolehkan, hal itu juga sesuai dengan asas hukum “lex specialis derogat legi generalis”17 dimana UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan lex generalis (peraturan yang bersifat umum) sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lex specialis (peraturan yang bersifat khusus). Kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi antara lain adalah adanya fungsi supervisi yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih penanganan perkara yang dilakukan oleh Polri maupun Kejaksaan. Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki kekhususan lain yaitu berkaitan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Komisi Pemberantasan
8
9
Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”17 Dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan apabila tidak terdapat bukti yang cukup. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana dalam hal tidak terdapat cukup bukti maka penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntut umum juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Adanya kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi salah satunya didasari pada banyaknya kasus tertentu yang sering terjadi adanya kebijakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh M.Abdul Kholiq dalam bukunya “Eksistensi dalam Peradilan Korupsi di Indonesia” yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang melatarbelakangi dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: 18
Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya kebijakan SP3 oleh aparat terkait padahal bukti yuridisnya sudah kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus tersebut sudah sampai pengadilan, biasanya putusannya melawan rasa keadilan di masyarakat. Kekhususan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 17
18
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137). Mahrus Ali, Op.Cit., hlm.169.
9
10
kemudian dianggap oleh beberapa pihak merupakan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat),19 sebagaimana dahulu terdapat di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan yang kemudian juga ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia tidak secara tegas menganut salah satu konsep baik rechstaat maupun rule of law karena di dalam konstitusi Indonesia baik konsep rechstaat dan rule of law dipadukan sehingga sering disebut sebagai negara hukum pancasila. Salah satu konsekuensi dari negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain itu juga terdapat prinsip “equility before the law” atau persamaan di depan hukum yang berarti setiap orang tidak boleh dibeda-bedakan di depan hukum. 20 Hal tersebut dengan tegas diatur di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”21 Oleh beberapa pihak, kekhususan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
19
20
21
Abdul Mukhtie Fadjar,2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, Citra Media, Yogyakarta,hlm. 71-72. Jimly Asshidiqie, Prinsip Pokok Negara Hukum menurut Jimly Assidiqie, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11, diakses pada tanggal 30 September 2015 pukul 13.46 WIB. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10
11
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum itu sendiri. Hal tersebut sebagaimana permohonan pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Hengky Baramuli, di dalam permohonannya Hengky Baramuli menyebutkan bahwa berlakunya pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah melanggar adanya prinsip dalam penanganan suatu perkara yaitu presumption of innocence yang berarti bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya. Namun di dalam putusan nomor 60/PUU-VIII/2010 terhadap permohonan yang diajukan oleh Hengky Baramuli tersebut Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 40 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 22 Walaupun demikian, menjadi pertanyaan bagaimana jika pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan bukti yang cukup atau ternyata perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang akan menjadi fokus
permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
22
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-VIII/2010.
11
12
1. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip-prinsip hukum acara pidana? 2. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan hak asasi manusia? 3. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi?
C.
Tujuan Penelitian Penulis menggolongkan tujuan penelitian ini menjadi dua golongan yaitu
tujuan obyektif dan tujuan subyektif. 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip-prinsip hukum acara pidana b. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari hak asasi manusia c. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau pemberantasan tindak pidana korupsi
12
13
2. Tujuan Subyektif Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis dari setiap katalog penelitian dan
penulisan hukum di perpustakaan Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada maupun di internet belum ada penulisan hukum atau penulisan lainnya yang memiliki topik yang sama dengan penulis baik yang dipublikasikan dalam bentuk media cetak ataupun media online. Namun ada beberapa penulisan hukum yang memiliki beberapa kemiripan dengan yang penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis, antara lain: 1. Penulisan hukum yang disusun oleh Adrie Primera Nuari, dari Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada, dengan judul “Penghentian Perkara Oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam Perkara Pidana Atas Nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, 2012, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut:23 a. Rumusan Masalah: 1) Apa saja penghentian perkara dan bagaimana mekanisme yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam suatu perkara pidana?
23
Adrie Primera Nuari, 2012, “Penghentian Perkara Oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam Perkara Pidana Atas Nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Penulisan Hukum
13
14
2) Bagaimana
mekanisme
seorang Jaksa
Agung ketika
melakukan deponeering? 3) Apakah penghentian perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam perkara pidana atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sudah sesuai dengan mekanisme? b. Kesimpulan: 1) Penghentian perkara pidana pada tingkat penuntutan dapat dilakukan dengan cara menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Hal tersebut merupakan kewenangan yang melekat pada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara yang bersangkutan. Alasan dari diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) diatur di dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, yakni sebagai berikut: a. Tidak terdapat cukup bukti b. Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana c. Perkara ditutup demi hukum Yang dimaksud dengan perkara ditutup demi kepentingan hukum adalah Tersangka/Terdakwa meninggal dunia, ne bis in idem atau double jeopardy 2) Pengesampingan Perkara atau biasa disebut dengan deponeering merupakan perwujudan dari keberadaan asas oportunitas dalam penegakan hukum pidana di indonesia. Di Indonesia, deponeering semata-mata hanya melekat sebagai wewenang Jaksa Agung. Jaksa Penuntut Umum yang sedang menangani perkara tidak
14
15
mempunyai
kewenangan
untuk
mengeluarkan
keputusan
pengesampingan perkara. Deponeering diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yakni Pasal 35 huruf c UndangUndang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 3) Dalam perkara pidana atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah terdapat dua penghentian perkara. Pertama, adalah penghentian perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan menerbitkan SKPP dan kedua yaitu deponeering yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk penghentian perkara yang pertama yaitu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), adalah tidak sesuai dengan mekanisme yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangn karena bertentangan dengan syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Sementara itu, untuk deponeering telah sesuai dengan mekanisme. Sedangkan
penulis
lebih
memfokuskan
pada
ketidakwenangan
Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip hukum acara pidana, hak asasi manusia, dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
15
16
2. Penulisan hukum yang disusun oleh Danang Dianto, dari Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada, dengan judul “Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Alasan Pembelaan terpaksa (Noodweer), 2010, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut: 24 a.
Rumusan Masalah: 1) Apakah Polisi atau Jaksa berwenang untuk menentukan suatu perbuatan sebagai pembelaan terpaksa dan menjadikan sebagai
pembelaan
terpaksa
sebagai
alasan
untuk
menghentikan perkara? 2) Bagaimanakah
praktik
penyidikan
selama
ini
apabila
menghadapi kasus pembelaan terpaksa? b.
Kesimpulan: 1) Polisi maupun
jaksa
merasa
tidak
berwenang untuk
menentukan suatu perbuatan sebagai pembelaan terpaksa dan menjadikan sebagai pembelaan terpaksa sebagai alasan untuk menghentikan perkara 2) Penyidikan tetap diteruskan dan apabila semua unsur telah terpenuhi maka proses hukum terhadap kasus tersebut tetap dilanjutkan ke proses hukum berikutnya. Dan penyidik tidak mencamtukan pada berkas hasil penydiikan bahwa pasa kasus
24
Danang Dianto, 2010, “Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Alasan Pembelaan terpaksa (Noodweer)”, Universitas Gadjah Mada, Penulisan Hukum
16
17
yang ebrsangkutn tersebut ada alasan penghapus pidana yang berupa pembelaan terpaksa (noodweer) Fokus penelitian yang dilakukan penulis bukan mengenai kewenangan dari penyidik Polri dan penuntut umum dari Kejaksaan untuk menghentikan perkara berdasarkan keadaan terpaksa, karena penulis berfokus pada ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan ditinjau dari prinsip hukum acara pidana, hak asasi manusia, serta dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Dapat disimpulkan bahwa penulisan hukum ini berbeda dengan penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis
E.
Manfaat Penelitian Penulisan Hukum ini nantinya penulis harapkan dapat memberikan
manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca penulisan hukum ini, yang kemudian penulis bagi kedalam dua bagian yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Bagi Penulis Penulisan Hukum ini menambah wawasan penulis berkaitan dengan hukum acara pidana khusus yang berhubungan dengan korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk menambah wawasan mengenai kekhususan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi jika dibandingkan dengan Polri dan Kejaksaan
17
18
b. Bagi Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Penulis berharap penulisan hukum ini nantinya dapat memperluas wawasan masyarakat dalam bidang hukum acara pidana, dan dapat memberikan sumbangan bagi pemikiran hukum pidana dan acara pidana nantinya dalam ius constituendum atau hukum yang dicitacitakan
2. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat semoga dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan yang meningkatkan wawasan masyarakat terlebih dalam memahami kekhususan Komisi pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. b. Bagi institusi terkait semoga dapat menjadi salah satu referensi dalam pembentukan hukum dimasa yang akan datang sehingga hukum menjadi sinkron satu dengan yang lain
18