BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini memiliki daerah perbatasan yang sama yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di daerah pegunungan ini terletak sebuah kuil yang pernah diperebutkan oleh Thailand dan Kamboja, kuil tersebut ialah Kuil Preah Vihear. Kuil ini sudah diperebutkan ketika Kamboja masih dalam penjajahan Perancis dan Thailand masih disebut dengan Kerajaan Siam. Tahun 1962 akhirnya Mahkamah Internasional akhirnya menetapkan secara resmi status akan kepemilikan Kuil Preah Vihear. Kuil ini pun ditetapkan masuk dalam kedaulatan Kamboja. Mendapatkan status kepemilikan akan Kuil Preah Vihear tentunya membuat Pemerintahan Kerajaan Kamboja berupaya untuk melindungi kuil tersebut. Pemerintah Kamboja pun akhirnya mengusulkan Kuil Preah Vihear agar dapat ditetapkan sebagai sebuah Warisan Budaya Dunia oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2001. UNESCO merupakan sebuah lembaga bagian dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang membidangi masalah pendidikan dan
kebudayaan. Usulan yang dilakukan oleh Kamboja ini dilakukan pada tahun
1
2
2001 dan tentunya bertujuan agar Kuil Preah Vihear ini dapat dilindungi oleh UNESCO dan seluruh masyarakat di dunia. GAMBAR 1 Kuil Perah Vihear di Perbatasan Thailand dan Kamboja
Sumber : Situs resmi VOAIndonesia, 2014 Tahun 2008 akhirnya UNESCO secara resmi menetapkan bahwa Kuil Preah Vihear merupakan sebuah Warisan Budaya Dunia milik Kamboja. Keputusan UNESCO ini tentunya disambut sangat antusias oleh masyarakat Kamboja. Namun sayangnya, penetapan ini mendapatkan reaksi kurang baik dari Thailand. Thailand mulai menunjukan sikap penolakannya terhadap penetapan tersebut karena beberapa alasan. Salah satunya Thailand beranggapan Kuil Preah Vihear bukan saja milik Kamboja karena masyarakat Thailand yang tinggal di daerah perbatasan dekat kuil juga melakukan persembahyangan di Kuil Preah Vihear. Aksi penolakan dari
3
Thailand inilah yang pada akhirnya memicu timbulnya konflik di antara Thailand dan Kamboja di daerah Kuil Preah Vihear. Konflik ini pun akhirnya mengalami puncaknya di tahun 2011 ketika kedua negara mengalami kontak senjata (Mangku, 2011). Konflik yang terjadi di perbatasan Thailand dan Kamboja ini mendorong Pemerintah Kamboja untuk meminta bantuan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar konflik ini dapat diselesaikan. Kamboja meminta bantuan PBB dalam menyelesaikan konflik perbatasan ini karena kurangnya kepercayaan Kamboja terhadap organisasi regional yang memayungi kedua negara tersebut yakni Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Menanggapi laporan dari Kamboja, PBB pun akhirnya memanggil ASEAN untuk segera menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. PBB juga menunjuk ASEAN sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Hal ini dikarenakan ASEAN juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan di kawasan Asia Tenggara (Putra, et al, 2013). ASEAN dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara Thailand dengan Kamboja menggunakan mekanisme penyelesaian konflik sesuai perannya sebagai sebuah organisasi regional. Sesuai dengan salah satu prinsip ASEAN yang menyatakan tidak akan melakukan intervensi terhadap negara anggotanya dan dalam penyelesaian konflik akan selalu menggunakan jalur damai. Maka dalam penelitian ini penulis meneliti
4
terkait upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik perbatasan yang terjadi antara Thailand dan Kamboja pada tahun 2008-2012. I.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan menggambarkan bagaimana upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dengan Kamboja tahun 2008-2012.
I.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menggambarkan upaya-upaya yang
dilakukan
oleh
ASEAN
selaku
organisasi
regional
dalam
menyelesaikan konflik perbatasan Thailand dan Kamboja pada tahun 20082012. I.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi peneliti lainnya yang membahas upaya yang dilakukan sebuah organisasi regional dalam sebuah penyelesaian konflik diantara negara anggotanya. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional untuk melihat bagaimana sebuah kebijakan penyelesaian konflik itu di ambil.
I.5 Tinjauan Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh Marlisa Audya Putri (2014) yang berjudul “Upaya PBB dalam Penyelesaian Konflik Antara Maroko dan
5
Sahara Barat” menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sebuah konflik memerlukan pihak ketiga untuk membantu proses terciptanya perdamaian. Keinginan Maroko untuk tetap menguasai daerah Sahara Barat, sehingga timbul konflik diantara kedua negara tersebut. Penyelesaian konflik ini pun memerlukan bantuan pihak ketiga dalam penyelesaiannya, yakni PBB. Putri (2014) menggunakan teori konflik untuk menentukan jenis konflik yang terjadi di Maroko dan Sahara Barat. Selanjutnya Putri (2014) menggunakan konsep organisasi internasional yang digunakan untuk menjelaskan
mengenai
PBB
yang
merupakan
sebuah
organisasi
internasional yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia yang diwujudkan dengan cara mengirimkan pasukan penjaga perdamaian yang mengawasi proses referendum kedua belah pihak yang berkonflik. Putri (2014) juga menggunakan konsep mediasi untuk menjelaskan salah satu upaya dari sebuah organisasi internasional dalam menyelesaikan konflik. PBB menjalankan perannya sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Maroko dengan Sahara Barat. Sehingga kedua belah pihak yang berkonflik ini menyepakati perjanjian untuk melakukan gencatan senjata. Penelitian Putri (2014) menjelaskan bagaimana upaya sebuah organisasi internasional dalam menyelesaikan sebuah konflik sedangkan dalam penelitian yang penulis tulis menjelaskan bagaimana upaya dari sebuah organisasi regional dalam menyelesaikan konflik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014) penulis juga menggunakan konsep mediasi
6
untuk menjelaskan salah satu upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Thailand dengan Kamboja. Penelitian yang menjadi tinjauan pustaka berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi Asrieyani (2013) yang berjudul “Upaya Office Of The High Commissioner for Human Right dalam Penyelesaian kasus Genosida Etnis Rohingya di Myanmar (1978-2012)”. Aksi genosida ini terjadi dikarenakan kebijakan Pemerintah Myanmar yang tidak mengakui keberadaan Etnis Rohingya sebagai bagian etnis dari Myanmar. Sehingga banyak pelanggaran HAM yang terjadi pada etnis tersebut. Melihat kondisi pelanggaran HAM yang terjadi, PBB melalui OHCHR mengambil upaya dalam penyelesaian aksi genosida ini yang mana OHCHR merupakan komisi khusus yang membidangi masalah penegakan dan perlindungan HAM. Penelitian Arsrieyani (2013) menggunakan konsep mediasi. Konsep ini digunakan untuk membahas upaya PBB menyelesaikan aksi genosida Etnis Rohingya melalui OHCHR. Upaya OHCHR dalam penyelesaian konflik ini ialah berupaya sebagai inisiator, fasilitator dan mediator. OHCHR sebagai inisiator dimana OHCHR melakukan penyelidikan khusus terhadap kasus pelanggaran HAM yang menimpa Etnis Ronghiya dan melakukan negosiasi dengan Pemerintah Myanmar untuk menghentikan aksi genosida ini. Upaya sebagai fasilitator dilakukan dengan cara
memfasilitasi
Pemerintah Myanmar
untuk
melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk mendapatkan bantuan dalam penyelesaian konflik pelanggaran HAM genosida terhadap etnis Ronghiya. Upaya sebagai mediator dilakukan dengan cara berdiskusi dan mendorong
7
Pemerintah Myanmar untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara di sekitar Myanmar untuk meminta bantuan dalam menyelesaikan aksi genosida terhadap Etnis Rohingya. Pemerintah Myanmar pun akhirnya membentuk Komisi Investigasi Independen yang akan menangani masalah kasus pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya. Penelitian yang dilakukan oleh Asrieyani (2013) ini
membahas
mengenai peran organisasi internasional yaitu PBB melalui salah satu lembaga bentukannya yakni OHCHR dalam menyelesaikan konflik dengan cara
langsung
mengintervensi
Pemerintah
Myanmar
agar
segera
menyelesaikan kasus genosida yang terjadi pada Etnis Rohingya. Langkah yang telah ditempuh oleh OHCHR ialah sebagai inisiator, fasilitator dan mediator. Hal ini serupa dengan yang penulis teliti terkait peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik antara Thailand dan Kamboja. ASEAN sebagai organisasi
regional
melalui proses
mediasi,
yang
dalam
menyelesaikan kasus ini ASEAN berusaha tetap memegang prinsipnya yakni tidak melakukan intervensi terhadap negara anggotanya. Hal inilah yang membedakan penelitian yang penulis tulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Asrieyani (2013).
I.6
Kerangka Konsep Penelitian ini menggunakan dua konsep yakni konsep organisasi regional dan mediasi. Kedua konsep ini dapat membantu penulis untuk menjelaskan upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam penyelesaian
8
konflik perebutan Kuil Preah Vihear yang dilakukan oleh Thailand dan Kamboja. A.
Konsep Organisasi Regional Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan struktur dalam dunia internasional pun berubah dari bipolar menjadi multipolar. Perubahan ini menimbulkan munculnya kerjasama-kerjasama baru baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kerjasama ini biasanya dibentuk karena memilki letak geografis yang berdekatan, memiliki tujuan yang sama dan bisa juga terjadi dikarenakan memiliki sejarah yang sama (Setneg, 2014). Kerjasamakerjasama ini dapat dilihat dalam bentuk munculnya organisasiorganisasi salah satunya organisasi regional. Organisasi regional merupakan kerjasama antar negara yang dilakukan dalam suatu kawasan wilayah tertentu. Kerjasama antar negara di kawasan regional ini tentunya diharapkan dapat membantu PBB dalam hal menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Sebagaimana disebutkan dalam situs resmi UN (2015) hubungan antara negara yang tergabung dalam organisasi regional dapat terkoordinasi dengan baik maka hal ini akan membantu untuk menghindari adanya konflik bersenjata. Organisasi regional juga dibentuk dengan alasan untuk memajukan keadaan perekonomian dan politik bersama (Jones, 1993).
9
Perkembangan
dari
sebuah
organisasi
regional
dapat
dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni : pertama, kekuatan sebuah organisasi regional yang dapat dilihat dari integrasi dalam organisasi regional tersebut. Kedua, kepercayaan antar negara anggotanya. Ketiga, interaksi dari negara-negara anggotanya. Ketiga faktor tersebutlah yang membedakan integritas dari sebuah organisasi regioanal (Tsardanidis, 2005). Pramono (2011) menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi tingkat integritas yang dimiliki oleh sebuah organisasi regional, yakni : pertama, intensitas perang yang terjadi dalam sebuah kawasan regional. Hal ini dikarenakan semakin banyak intensitas perang yang terjadi maka harapan akan perdamaian itu semakin kuat. Kedua, kuat atau tidaknya keterikatan dari sebuah perjanjian yang telah disepakati oleh negara-negara anggota dari organisasi regional tersebut. Ketiga, tingkat efektivitas dari penerapan perjanjian ataupun kesepakatan yang telah dilakukan. Keempat, bentuk dari kerjasama yang dihasilkan melalui organisasi regional tersebut. Organisasi regional memiliki beberapa bentuk sesuai fungsinya atau tujuan dibentuknya organisasi tersebut. Miller (dalam Suparman, et al, 2010) mengklasifikasikan organisasi regional dalam tiga bentuk, yakni : (1) kerjasama, organisasi regional mengembangkan kebijakan bersama dengan negara anggotanya untuk menghadapi intervensi dari pihak
luar
dan
juga
mereka
memiliki
cara
sendiri
untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi diantara negara anggotanya; (2)
10
aliansi, organisasi regional dibentuk karena negara anggotanya memilki kesepakatan di bidang pertahanan yang berifat mengikat, dan; (3) fungsionalis, organisasi regional bergerak sesuai dengan bidangnya masing-masing dan dalam menyelesaikan konflik tanpa menggunakan kekerasan. ASEAN merupakan salah satu bentuk dari organisasi regional yang dibentuk oleh negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Melalui ASEAN negara-negara ini telah menyepakati sebuah perjanjian yang disebut Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Dalam perjanjian ini negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kawasan regional ini diselesaikan melalui cara damai. Proses dari sebuah penyelesaian konflik ini diawali melalui negosiasi antar pihak yang sedang berkonflik. Namun, ketika proses negosiasi ini tidak mampu menyelesaikan konflik maka ASEAN akan menyarankan untuk melakukan mediasi dan penyelidikan untuk membantu penyelesaian konflik.
B.
Konsep Mediasi Mediasi merupakan salah satu cara penyelesaian konflik yang melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Upaya yang dilakukan oleh pihak ketiga ini disebut dengan mediator. Dimana mediator akan berupaya mempertemukan kedua belah pihak yang
11
berkonflik untuk melakukan perundingan yang nantinya diharapkan dapat menimbulkan sebuah kesepakatan damai (Volman, 2014). Jeong (2010) menjelaskan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan dalam hubungan internasional. Mediasi digunakan untuk menyelesaikan konflik baik di tingkat negara, kelompok ataupun internasional. Konsep ini menjadi cara yang paling banyak digunakan karena melalui mediasi proses penyelesaian konflik dapat dilaksanakan tanpa harus menggunakan otoritas hukum dan tidak menggunakan kekuatan militer di dalamnya. Mediasi juga merupakan sebuah proses dimana adanya keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pihak ketiga ini disebut dengan mediator. Mediator ini bersifat netral dan dapat diterima oleh pihak yang berkonflik. Mediator ini dapat dilakukan oleh individu, negara maupun sebuah organisasi. Mitchell (2003) menjelaskan mediasi merupakan sebuah keterlibatan pihak ketiga dalam sebuah penyelesaian konflik. Mediator lebih bersifat sebagai fasilitator dimana mediator akan membantu pihak yang berkonflik untuk mencari cara bagaimana proses dalam penyelesaian konflik. Mediator akan membantu pihak yang berkonflik untuk menemukan proses yang cocok dalam penyelesaian konflik tersebut sehingga dalam hal ini mediator bukanlah pihak yang memberikan solusi dalam penyelesaian sebuah konflik.
12
Jeong (2010) juga mengklasifikasikan mediasi dalam tiga model. Pertama, mediasi fasilitatif yang merupakan sebuah proses mediasi dimana mediator akan membangun sebuah kepercayaan antara pihak yang berkonflik untuk menciptakan suasana yang kondusif. Mediator juga memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara pihak yang berkonflik untuk melakukan sebuah negosiasi sampai akhirnya menciptakan sebuah kesepakatan damai. Dalam proses ini mediator akan mencari informasi dari masing-masing pihak yang berkonflik sehingga mampu memberikan saran yang dapat diterima dalam proses penyelesaian konflik. Kedua, mediasi evaluatif yang merupakan sebuah proses mediasi dimana mediator bersifat tidak memihak dan telah mendapatkan kepercayaan dari pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Mediator dalam ini merupakan pihak yang sudah ahli dan berpengalaman dalam mengambil sebuah keputusan penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disepakati oleh pihak-pihak yang sedang berkonflik. Ketiga, mediasi transformatif merupakan proses mediasi yang lebih fokus untuk meningkatkan hubungan antara pihak yang berkonflik dan membantu mereka untuk mengembangkan kemampuannya untuk terlibat secara penuh dalam proses penyelesaian konflik. Bindshedler dalam penelitian yang dilakukan oleh Mangku (2012) yang berjudul “Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional
Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN”,
disebutkan bagaimana positif dan negatifnya menggunakan mediasi
13
dalam sebuah penyelesaian konflik. Dilihat dari segi positifnya, mediator dalam hal ini dapat membantu untuk memberikan rekomendasi terkait upaya damai, mendorong terjadinya pertemuan kedua belah pihak yang berkonflik untuk melakukan perundingan penyelesaian konflik, memberikan bantuan seperti bantuan ekonomi dan
mengawasi proses perdamaian. Apabila upaya mediator ini
dilakukan oleh sebuah negara, maka akan sangat diuntungkan karena negara dapat menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam upaya mediasi. Namun penyelesaian konflik melalui mediasi ini ada juga sisi negatifnya karena rekomendasi penyelesaian konflik yang diusulkan oleh mediator sifatnya tidak mengikat. Mediasi dipilih sebagai salah satu konsep yang dipakai oleh penulis
dalam
penelitian
ini
untuk
menggambarkan
upaya
penyelesaian konflik antara Thailand dan Kamboja yang dilakukan oleh ASEAN. ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi Thailand dan Kamboja berperan sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Melalui upaya mediasi ini ASEAN akhirnya dapat meredam konflik yang terjadi di daerah perbatasan kedua negara tersebut.
I.7
Metode Penelitian Penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Gumilar Rusliwa Somantri (2005) dalam penelitian
14
yang berjudul “Memahami Metode Kualitatif”, metode penelitian kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang lebih menekankan terhadap proses dari terjadinya sebuah fenomena sosial. Metode penelitian kualitatif memiliki empat jenis, yakni: observasi, analisa percakapan, analisa wacana dan analisa isi. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi dokumen yang diperoleh dari buku terkait upaya dalam penyelesaian konflik, jurnal online seperti ejurnal Ilmu Hubungan Internasional dan MAKARA SOSIAL HUMANIORA serta dari website atau situs resmi PBB, UNESCO dan berita online yang berkaitan mengenai Kuil Preah Pihear dan upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Thailand dengan Kamboja. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari penelitian terdahulu dalam bentuk buku, jurnal online serta website yang disajikan kembali. Adapun lokus waktu dari penelitian ini ialah dari tahun 2008-2012. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008 sejak Kuil Preah Vihear ditetapkan sebagai Warisan Dunia milik Kamboja oleh UNESCO mulai muncul pangkalan-pangkalan militer di daerah kuil tersebut yang akhirnya memicu timbulnya konflik. Hingga pada tahun 2012 Thailand dan Kamboja akhirnya sepakat untuk melakukan gencatan senjata. I.8
Sistematika Penulisan Bab I penelitian menjelaskan terlebih dahulu mengenai latar belakang dari judul penelitian ini. Dijelaskan pula rumusan masalah, manfaat serta tujuan dari dilakukannya penelitian. Selain itu, penulis juga menggunakan tinjauan pustaka yang diperoleh dari penelitian terdahulu yang juga meneliti
15
terkait upaya organisasi internasional dalam penyelesaian konflik. Penelitian ini juga didukung dengan adanya konsep
untuk membahas
permasalahan penelitian yang peneliti sedang teliti. Kemudian yang terakhir, dalam penelitian ini terdapat metode penelitian yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah serta sebagai acuan dalam hal penulisan penelitian. Bab II dalam penelitian dimulai dengan menjelaskan profil negara Thailand dan Kamboja. Lalu menjelaskan mengenai Kuil Preah Vihear. Setelah itu dijelaskan status penetapan Kuil Preah Vihear oleh Mahkamah Internasional dan UNESCO. Penolakan Thailand terhadap status penetapan kuil juga dijelaskan pada bab ini yang akhirnya berujung pada konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Bab III menjelaskan mengenai profil ASEAN dan upaya ASEAN sebagai organisasi regional dalam menyelesaikan konflik antara Thailand dan Kamboja. Dengan kata lain pada bab ini menjawab dari rumusan masalah yang menjelaskan upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik perbatasan yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. Bab IV merupakan bab terakhir dalam penelitian ini yang memuat kesimpulan serta saran terkait penelitian yang penulis lakukan.