BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urban farming atau urban agriculture
1
, merupakan aksi bertani,
mengolah, mendistribusikan bahan pangan di dalam wilayah batas kota. Aktivitas ini melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan lahan terbengkalai di perkotaan untuk ditanami oleh tanaman-tanaman produktif (Lanarc, 2013). Berdasarkan sejarah dunia, urban farming muncul sebagai respon terhadap buruknya situasi dan kondisi ekonomi beberapa negara pada saat perang dunia. Sekitar 20 juta victory garden dibuat selama perang dunia kedua
2
. Victory garden
diimplementasikan dengan membangun taman di sela-sela ruang yang tersisa. Hasil dari program tersebut membuat pemerintah Amerika Serikat mampu menyediakan 40% kebutuhan pangan warganya pada waktu itu. Victory gardenlah yang akhirnya menjadi awal mula kemunculan urban farming pada masa kini3. Selama ini, tendensi gerakan urban farming yang muncul di berbagai negara didasari atas masalah kerawanan pangan yang dialami negara tersebut.
1
Urban Agriculture sebenarnya tidak terbatas hanya pada aktivitas pertanian atau bercocok tanam saja, didalamnya juga termasuk aktivitas berternak, serta proses terkait lainnya seperti produksi dan distribusi, pemasaran dari hasil produknya yang masih dalam lingkup area perkotaan. Namun, dalam penelitian ini isu utama yang diangkat adalah salah satu subsitem dari urban agriculture yaitu urban farming. Untuk lebih lengkap lihat Rene Van Veenhuizen, Cities Farming for The Future: Urban Agriculture for Green and Production Cities, 2006. 2 Urban Farming; Land Use tersedia di http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/906081550?accountid=13771, diakses pada 14 Maret 2014 3 Urban Farming Sebuah Gaya Hidup, Lihat http://beritalingkungan.com/2012/02/urban-farmingsebuah-gaya-hidup.html, diakses pada 14 Maret 2014
1
Kerawanan pangan biasanya diakibatkan oleh beberapa hal, dalam konteks ini contoh di beberapa wilayah menunjukan bahwa proses urbanisasi, kemiskinan serta embargo dari negara lain menyebabkan semakin sulitnya akses terhadap komoditas pangan. Havana, Kuba, merupakan salah satu kota yang dianggap sukses dalam mengimplementasikan urban farming di wilayah mereka. Urban farming yang diterapkan di Havana merupakan respon terhadap krisis makanan akibat jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 serta embargo perdagangan terhadap negara ini oleh Amerika Serikat4. Pada masa itu Kuba terpaksa harus menyusun ulang sistem perdagangan, persediaan, dan sistem agrikultural mereka. Awalnya masing-masing masyarakat mulai menanam kebutuhan pangan dasar mereka di sudut-sudut kota, namun pada kelanjutannya implementasi urban farming tidak hanya dilakukan oleh individu dan inisiasi dari komunitas masyarakat lokal tetapi juga terintegrasi kedalam strategi pemerintah5. Hampir serupa dengan Havana, implementasi urban farming di Detroit Amerika merupakan salah satu respon terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh kota tersebut. Masyarakat Detroit bekerja sama melalui strategi grass roots untuk meremajakan kembali kota mereka dengan urban farming. Mereka membangun kebun sendiri di belakang rumah maupun kebun bersama di lahan terbengkalai. Urban farming dianggap mampu memberikan semacam harapan dan kebanggaan kepada masyarakat serta komunitas sekitar. Masyarakat 4
Organic Agriculture in Cuba, tersedia di www.unep.org/greeneconomy/SuccesStories/OrganicAgricultureinCuba/tabid/29890/Default.aspx diakses pada 15 Agustus 2014 5 Gonzalez Novo, Mario dan Catherine Murphy, Urban agriculture in the city of Havana dalam Annotated Bibliography on Urban Agriculture prepared for Swedish International, 2000, Hlm. 61
2
kembali memiliki harapan untuk hidup lebih sehat serta akses yang lebih mudah terhadap buah-buahan, dan sayuran segar 6. Sementara itu, Widyawati (2013) menyebutkan bahwa urban farming di Indonesia nampaknya belum menjadi prioritas utama bagi negara ini, sehingga belum banyak pihak yang berkewajiban menangani perkembangannya. Setiawan dan Rahmi (2004) mengemukakan bahwa sebagian besar pelaku urban farming melihat kegiatan ini sebagai kegiatan sampingan, berdasarkan hasil dari penelitian mereka hanya sekitar seperempat dari pelaku yang melakukannya sebagai pekerjaan pokok. Adapun sebagian besar dari pelaku urban farming adalah masyarakat miskin perkotaan, hanya sedikit pelaku yang berasal dari kelompok penduduk yang berpenghasilan menengah ke atas 7 . Hal tersebut menunjukan bahwa urban farming sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun, aksi urban farming semakin massif digalakkan dan mulai dikenal secara luas ketika diluncurkannya sebuah komunitas yang fokus mengkampanyekan aksi ini yaitu Indonesia Berkebun. Pada kelanjutannya, urban farming mulai menjelma menjadi suatu aksi kolektif masyarakat beberapa kota di Indonesia. Pencetus awal dari gerakan ini adalah Ridwan Kamil salah satu tokoh kreatif asal Bandung yang kini juga menjabat sebagai walikota Bandung. Gerakan
6
Can Urban Farming Save the World? SBU Speaker to Share Progress He Sees in Detroit tersedia di http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/1050633527?accountid=13771, diakses 14 Maret 2014 7
B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi, Ketahanan Pangan, Lapangan Kerja, dan Keberlanjutan Kota: Studi Pertanian Kota di Enam Kota Indonesia, 2004, hlm.40
3
urban farming muncul pertama kali di Jakarta sekitar akhir tahun 20118. Jakarta memang menjadi kota pertama yang meluncurkan komunitas Jakarta Berkebun dengan kesiapannya melaksanakan tanam perdana di Spring Hill pada tanggal 20 Februari 2011. Beberapa bulan kemudian kemunculan komunitas-komunitas berkebun di kota lain ikut menyusul, seperti Bandung, Semarang, Padang, Medan dan Bogor. Akhirnya diputuskan untuk dibentuk payung besar bagi komunitaskomunitas ini yaitu Indonesia Berkebun. Hingga saat ini, Indonesia Berkebun telah menyebar di 33 kota dan 9 kampus di seluruh Indonesia. Bandung merupkan salah kota pertama yang meluncurkan komunitas berkebun sebelum terbentuknya Indonesia Berkebun. Hasil wawancara observasi awal yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa awal perumusan konsep gerakan ini pertama kali tumbuh di kota Bandung. Kota ini sebetulnya sudah mulai merumuskan konsep dan membentuk Bandung Berkebun pada 15 Februari 2011, bahkan tanggal tersebut hingga kini diperingati sebagai hari kelahiran komunitas ini. Namun, karena satu dua lain hal mereka baru melaksanakan tanam perdananya pada tanggal 21 Mei 2011 di kebun Sukamulya, Bandung9. Mereka
8
http://indonesiaberkebun.org/background/, diakses pada 14 Maret 2014 awalnya gerakan ini bergerak sekitar bulan Oktober 2010 melalui akun media sosial Twitter Ridwan Kamil, dibantu insiasinya oleh penggiat lain seperti Shafiq Pontoh, Sigit Kusumawijaya, dll. Gerakan ini ternyata mampu menarik minat masyarakat lainnya. Sehingga, pada tanggal 20 Februari 2011 diselenggarakanlah penanaman perdana di Springhill, sekaligus penetapan tanggal lahir dari Indonesia Berkebun. 9 Komunitas Bandung Berkebun Gelar Hari Tanam Perdana, tersedia di http://www.tribunnews.com/regional/2011/05/19/komunitas-bandung-berkebun-gelar-hari-tanamperdana diakses pada 10 Maret 2014. Apabila dilihat dari proses perumusan konsep dapat dikatakan Bandung Berkebun lebih dulu lahir dibandingkan Jakarta Berkebun bahkan Indonesia Berkebun. Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan komunitas ini baru mendeklarasikan diri ke khalayak publik melalui tanam perdana pada bulan Mei 2011. Pertama, lebih ke arah faktor teknis yaitu belum tersedianya lahan yang akan dijadikan lokasi untuk aksi tanam perdana. Jakarta pada saat itu dikatakan lebih siap secara teknis untuk segera melakukan tanam perdana. Kedua, adalah faktor perumusan konsep itu
4
mendeklarasikan diri kepada masyarakat dengan nama Bandung Berkebun. Sedikit berbeda dengan gerakan urban farming di negara lain yang berangkat dari isu kerawanan pangan yang sangat mendesak, dalam konteks gerakan yang dipelopori oleh Bandung Berkebun secara khusus dan Indonesia Berkebun secara umum, gerakan ini diawali oleh keprihatinan para inisiatornya akan banyaknya ruang atau lahan kosong terbengkalai di perkotaan yang tidak termanfaatkan secara optimal. Mengapa lahan terbengkalai menjadi permasalahan mendasar bagi gerakan ini? Lingkungan perkotaan di Indonesia cenderung dicirikan dengan banyaknya tanah-tanah terbuka. Hal tersebut dikarenakan proses perkembangan kota yang tidak terencana sehingga banyak lahan-lahan kosong diantara kawasan pemukiman. Selain itu, kondisi tersebut diperparah dengan proses spekulasi tanah yang tidak terkontrol, sehingga memicu terjadinya lahan-lahan terlantar di perkotaan di Indonesia (Setiawan dan Rahmi, 2004). Terlebih lagi, ruang telah menjadi komoditas ekonomi pasar di Indonesia, harga dasar tanah menjadi terlalu tinggi, hajat hidup untuk khalayak ini dilemparkan ke sistem pasar bebas, tidak dikendalikan dengan suatu sistem yang adil (Kamil, 2015). Di sisi lain, saat ini telah terjadi degradasi keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan Indonesia, begitu pula di kota Bandung. Gerakan urban farming muncul sebagai respon terhadap isu awal mendasar berupa carut marut tata ruang perkotaan di Indonesia.
sendiri,berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan diketahui bahwa komunitas Bandung Berkebun ingin mengimplementasikan suatu kegiatan urban farming yang tidak sekedar mengangkat aktivitas berkebun semata, mereka ingin memasukan unsur-unsur nilai masyarakat urban seperti misalnya fun serta edukatif
5
Serupa dengan komunitas berkebun di kota lainnya Bandung Berkebun berupaya memanfaatkan lahan-lahan sisa dan terbengkalai di kota menjadi lahan yang lebih produktif melalui aksi urban farming atau berkebun. Komunitas ini menjadikan berkebun di perkotaan sebagai media untuk memperkenalkan gaya hidup hijau kepada masyarakat melalui kegiatan yang mudah, fun, inovatif dan edukatif. Bandung Berkebun mencoba menonjolkan inovasi dan kreativitas dalam berkebun yang mereka sebut dengan Creatifarming 10 . Selain itu dalam rangka menyebar luaskan ide dan gagasan gerakan urban farming ke seluruh kota Bandung, komunitas ini melakukan kolaborasi dengan banyak komunitas lain di Bandung baik yang concern terhadap isu lingkungan maupun komunitas lainnya yang memiliki visi serupa dengan Bandung Berkebun. Usia pergerakan Bandung Berkebun saat ini baru menginjak tahun keempat. Namun, komunitas ini telah mampu meraih pencapaian-pencapaian yang tidak sedikit di usianya yang masih terbilang relatif singkat. Pada tahun 2011, di usianya yang bahkan belum menginjak tahun pertama komunitas ini telah turut serta menjadi bagian dalam event internasional Tunza International Children and Youth Conference On the Environmental 2011 yang dihelat di kota Bandung. Sebagai kelanjutan dari event Tunza, Bandung Berkebun menginisiasi dan melaksanakan program Kampung Urban Farming di RW 4 Taman Sari dan RW 8 Babakan Siliwangi. Program ini merupakan aksi pengembangan masyarakat yang mendorong warga sekitar untuk memanfaatkan lahan terbengkalai di sekitar mereka melalui aksi urban farming khususnya menggunakan instalasi vertical 10
.BdgBerkebun FAQ (Frequently Ask Question) tersedia di http://www.bdgberkebun.com/p/faq.html, diakses pada 14 Maret 2014
6
farming. Keberhasilan dari pelaksanaan program Kampung Urban Farming bahkan menjadikan Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan mengadopsi program ini menjadi salah satu program pemerintah di tahun 2014, dimana Bandung Berkebun juga diikutsertakan sebagai partner Dispertapa dalam pelaksanaan program ini di 151 kecamatan di seluruh kota Bandung. Komunitas ini juga berhasil melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak baik itu komunitas, kampus, sekolah serta masayarakat dalam menyebarkan gagasan serta ide-ide kreatif mereka terkait urban farming11. Bandung Berkebun melalui berbagai programnya telah mendorong terbentuknya kebiasaan berkebun di masyarakat serta terciptanya komunitas-komunitas berkebun di wilayah kota Bandung. Hal tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam apa yang membuat komunitas ini mampu meraih pencapaian-pencapaian seperti itu. Padahal sama seperti komunitas berkebun di kota lainnya, mereka berangkat dari isu dan konsep yang serupa. Oleh karena itu, proses mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dalam meraih pencapaian berupa kemampuan merangkul berbagai pihak baik itu masyarakat, komunitas, swasta, dan pemerintah untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan yang mereka perjuangkan menarik perhatian peneliti untuk ditelaah secara lebih mendalam. Peneliti ingin mengkaji bagaimana mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun sebagai sebuah komunitas lokal dalam memperjuangkan visi
11
Untuk keterangan lebih jelas mengenai pihak mana saja yang pernah melakukan kolaborasi dengan Bandung Berkebun telah dilampirkan dalam Informasi Umum
7
memanfaatkan lahan terbengkalai melalui aksi urban farming atau dalam kalimat sederhananya adalah impian masyarakat se-Bandung ngebon12. 1.2 Rumusan Masalah Adapun pertanyaan pokok dari penelitian ini adalah bagaimana Bandung Berkebun mampu meraih pencapaian seperti saat ini berupa kemampuan merangkul berbagai pihak baik itu masyarakat, komunitas, kampus, swasta, serta pemerintah untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat? Sementara itu rumusan masalah dari penelitian ini adalah. 1. Bagaimana Bandung Berkebun mengakses sumber daya yang ada di sekitarnya sehingga mereka dapat meraih pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat? 2. Bagaimana Bandung Berkebun memobilisasi seluruh sumber daya yang telah berhasil diaksesnya sehingga memungkinkan mereka mampu meraih pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat? 1.3 Tujuan Penelitian 1.
Untuk memahami bagaimana mekanisme akses terhadap sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun sehingga mereka dapat meraih
12
Berkebun, Ibid dan hasil wawancara
8
pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat. 2.
Untuk memahami bagaimana proses mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun sehingga mereka dapat meraih pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan yang diperjuangkannya.
1.4 Review Terhadap Kajian Terdahulu Awalnya peneliti mengalami kesulitan dalam mencari kajian dan penelitian ataupun studi khusus yang serupa dengan penelitian ini guna mendapatkan referensi gambaran serta perbandingan studi semacam ini. Namun, seiring berjalannya waktu peneliti menemukan beberapa penelitian yang mengangkat isu urban farming serta menjadikan Bandung Berkebun sebagai subjek penelitian mereka. Pertama, penelitian yang membahas tentang isu urban farming dan Bandung Berkebun adalah penelitian yang dilakukan oleh Fandi Puriandi dan Petrus N. Indrajati (2012). Mereka ingin mengkaji kegiatan urban farming yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dari aspek proses perencanaan kebunnya. Dengan mengeksplorasi kegiatan pertanian kota yang dilakukan oleh Bandung Berkebun, diharapkan dapat diketahui bagaimana kegiatan pertanian kota yang dilakukan oleh komunitas tersebut, serta persoalan yang dihadapi selama pelaksanaan kegiatan pertanian kota tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan fokus pada bidang perencanaan wilayah dan kota. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, mereka mengemukakan bahwa kegiatan urban farming
9
yang dilakukan oleh Bandung Berkebun belum sepenuhnya memenuhi kriteria proses perencanaan kegiatan berkebun. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Mariana Iftisan (2013) tentang program Kampung Urban Farming yang dilakukan oleh Bandung Berkebun di salah satu wilayah rukun warga kota Bandung. Penelitian ini menjadikan masyarakat yang dijadikan target pelaksanaan program sebagai subjek penelitian. Mariana (2013) membahas tentang persepsi masyarakat serta partisipasi masyarakat dalam program Kampung Urban Farming di Kelurahan Taman Sari Bandung yang dilakukan oleh Komunitas Bandung Berkebun. Mariana (2013) melakukan penelitian kuantitatif dalam melihat persepsi serta partisipasi masyarakat disana. Penelitian ini mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan, serta persepsi masyarakat dalam pengetahuan, praktik dan sikap, serta keberlanjutan dari program urban farming itu sendiri. Temuan penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat cukup baik dalam program urban farming tersebut, namun partisipasi mereka belum mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua masyarakat di wilayah tersebut ikut terlibat. Penelitian selanjutnya tentang urban farming dan komunitas Bandung Berkebun dilakukan oleh Cipta Vidyana (2014) yang berjudul “Community Garden di Indonesia”. Vidyana meneliti tentang kegiatan urban agriculture dalam skala kecil (komunitas) dilihat dari sudut pandang konsep community garden. Penelitian yang dilakukannya mengambil komunitas Bandung Berkebun sebagai kasus implementasi community garden di Indonesia. 10
Terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi (2004). Penelitian ini mengkaji implementasi urban farming di enam kota di Indonesia yaitu Surabaya, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Pacitan, dan Salatiga. Penelitian ini melihat urban farming atau pertanian kota secara komprehensif yang meliputi jenis pertanian, perikanan dan peternakan. Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa sebagian besar pertanian kota masih menggunakan model-model pertanian konvensional dan belum banyak yang mempraktekan model-model pertanian alternatif. Sebagian besar pertanian kota masuk dalam kelompok pertanian yang meliputi tanaman pangan, sayuran, buah, toga dan tanaman hias. Lokasi pertanian kota dilaksanakan baik di daerah pusat, tengah dan pinggiran kota, lahan yang digunakan umumnya lahan-lahan terlantar dan tanah-tanah pekarangan. Sebagian besar pelakunya adalah masyarakat miskin kota dan sebagian besar masih melihatnya sebagai pekerjaan sampingan. Pertanian kota cenderung mempunyai dampak positif dalam konteks pemanfaatan lahan terlantar, namun juga memberikan potensi pencemaran lingkungan terutama karena penggunaan pestisida. Pertanian kota mempunyai kendala baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Pada saat penelitian ini berlangsung belum ada dukungan yang memadai dari pihak pemerintah dan non pemerintah yang membantu pengembangan pertanian kota di Indonesia. Secara umum, penelitian ini menyimpulkan bahwa praktek pertanian kota di Indonesia berlangsung secara luas, namun belum dikembangkan secara optimal. Berbeda dari kajian-kajian sebelumnya, penelitian ini lebih menekankan pada Bandung Berkebun dilihat sebagai suatu bentuk organisasi gerakan sosial
11
yang berupaya mengakses dan memobilisasi sumber daya di sekitarnya dalam rangka pencapaian tujuannya. Komunitas ini melakukan gerakan mengajak masyarakat Bandung untuk memanfaatkan lahan terbengkalai di sekitar mereka melalui urban farming. Peneliti ingin melihat proses di balik pencapaianpencapaian komunitas ini di usia pergerakannya yang baru menginjak empat tahun. Faktor apa yang memberikan perbedaan antara komunitas berkebun di Bandung dengan komunitas berkebun di kota lainnya, padahal mereka berangkat dari isu dan konsep gerakan yang serupa. Kuncinya adalah dengan melihatnya melalui sudut pandang pendekatan mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh komunitas Bandung Berkebun. 1.5 Kerangka Teoritik 1.5.1
Gerakan Sosial Dalam
rangka
menjawab
pertanyaan
penelitian
diatas,
peneliti
menggunakan teori gerakan sosial sebagai alat untuk membuat analisis yang sistematis mengenai proses mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dalam mencapai visi mereka. Gerakan sosial pada hakikatnya merupakan hasil perilaku kolektif. Serupa dengan Giddens (1993:642) dalam Suharko (2015:15), gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Keterkaitan antara aksi kolektif dengan gerakan sosial bisa berlaku selama aksi kolektif tersebut merupakan “suatu perlawanan terhadap perilaku atau legitimasi aktor politik maupun sosial tertentu yang tidak ditujukan bagi masalah-masalah yang tidak disebabkan secara 12
langsung oleh manusia (non human cause)” (Triwibowo, 2006:6). Definisi lainnya mengenai gerakan sosial datang dari Mc Carthy dan Zald (1977) dalam Triwibowo (2006:13), mereka mengemukakan bahwa gerakan sosial adalah “Seperangkat opini dan kepercayaan (opinion and beliefs) dalam satu kelompok masyarakat yang mencerminkan preferensi bagi perubahan pada sebagian elemen struktur sosial dan/ atau distribusi kemenfaatan (rewards) dalam tatanan masyarakat yang lebih luas.”
Doug Mc Adam mengemukakan bahwa gerakan sosial memiliki suatu siklus kehidupan, yaitu diciptakan, tumbuh, mencapai kesuksesan atau kegagalan, terkadang bubar dan berhenti atau hilang eksistensinya. Para teoritisi gerakan sosial dari berbagai perspektif memiliki semacam titik temu kesepahaman mengenai faktor yang dapat menjelaskan siklus gerakan sosial tersebut. Pertama, adanya kesempatan politik. Para teoritisi gerakan sosial menegaskan pentingnya suatu sistem politik dalam menyediakan kesempatan bagi aksi-aksi kolektif. Kedua, adanya struktur mobilisasi. Struktur ini dapat diartikan sebagai wahanawahana kolektif baik formal maupun nonformal yang digunakan oleh sekelompok orang untuk memobilisasi dan melibatkan diri dalam aksi kolektif. Wahanawahana kolektif tersebut dapat berupa kelompok, organisasi serta jaringan informal yang berada pada tingkat menengah. Ketiga, proses pembingkaian. Proses ini menunjuk pada upaya strategis yang dilakukan secara sadar oleh kelompok-kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama mengenai dunia dan diri mereka sendiri yang melegalkan dan mendorong aksi kolektif (Suharko dalam Putra dkk., 2006).
13
1.5.2
Pendekatan Mobilisasi Sumber Daya Gerakan sosial yang dilakukan oleh Bandung Berkebun merupakan
gerakan yang berupaya untuk mendorong masyarakat Bandung memanfaatkan lahan sisa, negatif, terbengkalai di sekitar mereka melalui urban farming. Meskipun gagasan yang diusung adalah hal terkait konsep pertanian atau cenderung berbau lingkungan, namun gerakan ini tidak didasari oleh suatu permasalahan lingkungan yang krusial, bukan pula suatu gerakan yang memperjuangkan perubahan struktur kesempatan bagi kelompok tertindas. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang dikemukakan oleh John D. Mc Carthy, Mayer N. Zald dan Bob Edwards dalam upaya memahami lebih mendalam mengenai gerakan urban farming yang diinisiasi oleh Bandung Berkebun sebagai sebuah gerakan sosial. Pendekatan ini muncul di Amerika Serikat yang memiliki latar belakang sosial politik yang berbeda dengan Eropa. Amerika Serikat tidak mempunyai tradisi yang kuat dalam demokrasi sosial dan korporatisme serikat buruh, gerakan buruh pun bukan merupakan kekuatan yang cukup signifikan disana (dibandingkan dengan di Eropa Barat). Oleh karena itu, bagi intelekual Amerika, gerakan sosial kontemporer tidak disebabkan oleh perubahan sosial yang mendasar, namun lebih karena kemampuan dari kelompok-kelompok kepentingan untuk secara terus-menerus memobilisasi sumber daya dan meraih representasi politik di dalam sistem. Mereka tidak tertarik pada bagaimana mengungkap penyebab munculnya gerakan sosial, karena mereka anggap sebagai sesuatu yang given/self evident, sehingga
14
fokus mereka lebih kepada mengungkapkan mengapa ada gerakan sosial yang berhasil dan ada yang gagal. Pendekatan mobilisasi sumber daya menekankan pada baik dukungan masyarakat dan kendala dari fenomena gerakan sosial. Pendekatan ini mengkaji berbagai sumber daya yang harus dimobilisasi, keterkaitan gerakan sosial kepada kelompok lainnya, ketergantungan gerakan pada dukungan eksternal untuk sukses, dan taktik yang digunakan oleh penguasa untuk mengontrol atau menggabungkan gerakan (Mc Carthy dan Zald, 1977). Pendekatan ini dengan kata lain lebih menekankan pada faktor teknis, ketimbang melihat penyebab munculnya gerakan sosial. Teori mobilisasi sumber daya menjelaskan mengenai betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi dan tatktik yang efektif. Sementara itu, individu-indvidu yang terkait dalam gerakan sosial dalam sudut pandang mobilisasi sumber daya terdiri dari (Crossley, 2004:86-87); adherent yaitu pihak-pihak yang mendukung atau percaya akan tujuan dari gerakan; nonadherent adalah pihak yang tidak percaya atau tidak sejalan dengan tujuan gerakan; konstituen yaitu adherent yang sekaligus berkontribusi sumber daya secara langsung bagi gerakan; serta conscience konstituen yaitu konstituen yang mendukung gerakan walaupun hal tersebuut tidak memberikan manfaat kepadanya, khusus untuk tipe terakhir biasanya digunakan dalam konteks-konteks gerakan yang memperjuangkan kaum-kaum tertindas atau kaum disabilitas.
15
Bandung Berkebun merupakan komunitas lokal yang melakukan aktivitas gerakan dengan tujuan untuk mengajak dan meningkatkan kesadaran masyarakat kota Bandung akan pentingnya kegiatan berkebun di perkotaan, kegiatan ini awalnya muncul lebih dikarenakan kekhawatiran para inisiatornya terhadap banyaknya ruang-ruang negatif atau lahan terbengkalai di perkotaan yang tidak teroptimalkan dengan baik. Namun, pada kelanjutannya gerakan ini juga diarahkan sebagai salah satu upaya solusi isu ketahanan dan kemanan pangan tingkat lokal. Komunitas ini bisa diasumsikan sebagai sebuah wadah bagi pergerakan para penggiat yang ada didalamnya. Seperti apa yang dikemukakan oleh Canel (1997) dalam Triwibowo (2006:11), penggunaan pendekatan mobilisasi sumber daya pada penelitian ini juga dilakukan dengan memusatkan analisisnya
pada
seperangkat
proses
kontekstual
(keputusan
mengenai
pengelolaan sumber daya, dinamika organisasi serta perubahan politik) yang memampukan Bandung Berkebun untuk mengoptimalkan potensi-potensi struktural yang dimiliki guna mencapai tujuannya (visi). 1.5.2.1 Tipologi Sumber Daya Gerakan Sosial Sumber daya yang penting bagi mobilisasi suatu gerakan sosial memiliki banyak variasi. Dalam beberapa tahun terakhir, analis mobilisasi sumber daya diuntungkan oleh perkembangan luas ilmu sosial. Mereka mendapatkan keuntungan lebih dalam melakukan spesifikasi dan pembedaan diantara tipe-tipe sumberdaya yang ada. Edwards dan Mc Charty dalam Snow (2004:125) mengemukakan lima tipe sumber daya yang biasanya dimiliki oleh suatu organisasi gerakan sosial. 16
Sumber daya Moral (Moral Resources) Sumber daya moral dapat berupa legitimasi, dukungan solidaritas,
dukungan simpati dan selebriti (Snow 1979; Cress and Snow 1996). Para teoritikus neo-institusional organisasional membuat klaim yang kuat tentang pentingnya legitimasi sebagai penghubung antara konteks makro kultural dan proses organisasional meso dan level mikro. Oleh karena itu muncul klaim bahwa aktor kolektif yang paling mampu mendekati kesesuaian (mimic) dengan bentuk institusional yang terlegitimasi dalam melakukan jenis-jenis usaha tertentu, maka mereka akan mendapatkan suatu keuntungan dibandingkan dengan kelompok lain yang tidak mampu mencerminkan bentuk tersebut. Sumber daya moral cenderung berasal dari luar ruang lingkup gerakan sosial atau organisasi gerakan sosial (OGS), dan secara umum dianugerahkan (bestowed) oleh sumber-sumber eksternal yang memang dikenal memilikinya. Kunci utama yang membedakannya disini adalah pihak luar (outsiders) yang memiliki sumber daya ini akan mentransferkannya kepada suatu gerakan sosial sekaligus juga mampu menarik kembali sumber daya tersebut. Oleh karena itu, sumber daya moral yang dianugerahkan oleh pihak eksternal ini bisa ditarik kembali, mereka juga cenderung sulit diakses dan hak kepemilikan tinggi dibandingkan dengan sumber daya kultural yang ada di poin selanjutnya.
17
Sumber Daya Kultural (Cultural Resources) Sumber daya kultural adalah artefak dan produk kultural seperti misalnya
sarana konseptual (conceptual tools) dan pengetahuan khusus yang menjadi dikenal secara luas, meskipun belum tentu secara universal. Sumber daya ini termasuk didalamnya adalah pengetahuan bersama yang dipahami tanpa terkatakan (tacit knowledge), misalnya tentang bagaimana menyelesaikan tugas-tugas spesifik seperti mengadakan sebuah konferensi pers, menjalankan pertemuan (meeting), membentuk organisasi, menginisia si festival, atau berselancar di dunia maya. Tidak setiap anggota dari masyarakat atau kelompok memiliki kompetensi spesifik atau pengetahuan yang bisa menjadi nilai bagi gerakan sosial atau OGS. Kunci yang membedakan antara sumber daya kultural dan moral adalah sumber daya kultural memiliki ketersediaan yang lebih luas, hak kepemilikan rendah (less proprietary), dan mudah diakses untuk digunakan, terlepas dari penilaian yang menguntungkan dari pihak –pihak yang berada di luar suatu gerakan sosial atau OGS. Sumber daya kultural juga bisa berupa penerbitan produksi-produksi yang relevan seperti misalnya musik, literatur, majalah, koran, dan film atau video. Produk kultural semacam itu akan memfasilitasi proses rekrutmen dan sosialisasi dari adherent baru dan membantu gerakan memelihara kesiapan dan kapasitas mereka untuk aksi kolektif.
18
Sumber Daya Sosial Organisasional (Social Organizational Resources) Kategori sumber daya ini memiliki tiga bentuk umum yaitu infrastruktur,
jejaring sosial (network), dan organisasi. Tiga bentuk tersebut bervariasi dalam formalitas organisasi, tapi yang menjadi penekanan disini adalah sejauh mana akses terhadap mereka dapat dikendalikan. Infrastruktur adalah sumber daya yang setara dengan barang-barang publik seperti pelayanan pos, sanitasi, atau infrastruktur sipil seperti jalan, trotoar, lampu jalan yang memfasilitasi kelancaran dari fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari. Infrastruktur adalah sumber daya sosial non-kepemilikan. Secara kontras, akses terhadap jejaring sosial terutama kelompok-kelompok dan organisasi formal dan karenanya sumber daya yang melekat di dalamnya dapat dikendalikan. Untuk penggunaan sumber daya ini dalam berbagai tingkatan dapat dilakukan dengan cara penolakan untuk pihak luar dan ditimbun untuk pihak dalam. Manfaat utama dari penggunaan setiap bentuk sumber daya sosial organisasional adalah untuk menyediakan akses terhadap bentuk sumber daya lainnya, sehingga isu yang sering diangkat adalah akses yang tidak merata terhadap sumber daya sosial organisasional diantara kawasan-kawasan potensi munculnya gerakan sosial. Akses yang berbeda seperti ini menciptakan kesenjangan lebih lanjut dalam kapasitasnya untuk mengakses sumber daya krusial dari jenis lainnya.
19
Sumber Daya Manusia (Human Resources) Tipe sumber daya ini lebih nyata dan mudah diapresiasi dibandingkan tiga
jenis sumber daya sebelumnya. Kategori ini mencakup sumber daya seperti tenaga kerja, pengalaman, keterampilan dan keahlian. Selain itu, kategori ini juga menyertakan kepemimpinan, karena melibatkan kombinasi sumber daya manusia lainnya disertakan
disini. Sumber daya manusia yang dimaksud
disini adalah pada per individu ketimbang dalam suatu struktur sosial organisasional atau budaya secara lebih umum. Individu biasanya memiliki kontrol kepemilikan atas penggunaan tenaga mereka serta sumber daya manusianya, kecuali dalam kasus-kasus ekstrim seperti kerja paksa atau pemerasan. Melalui partisipasi mereka, individu membuat tenaga mereka menjadi mudah diakses dan digunakan untuk gerakan tertentu atau OGS. OGS dapat mengumpulkan dan menyebarkan individu yang notabene lebih mudah diangkut secara nyata (portable), contohnya dibandingkan sumber daya sosial organisasional. Namun, kapasitas gerakan untuk menyebarkan personelnya dibatasi oleh kerja sama dari individu yang terlibat. Dan partisipasi mereka pada gilirannya dibentuk oleh faktor spasial, faktor ekonomi, serta oleh hubungan sosial, kewajiban bersaing, kendala arah hidup, dan komitmen moral. Isu kuncinya adalah apakah ketersediaan individu terampil akan meningkatkan mobilisasi gerakan bergantung pada bagaimana keahlian mereka sesuai dengan kebutuhan gerakan atau OGS.
20
Sumber Daya Material (Material Resources) Kategori sumber daya material mengkombinasikan apa yang dikatakan
oleh ekonom sebagai finasial, modal fisik, termasuk sumber daya moneter, properti, ruang kantor, peralatan dan persediannya. Edwards dalam Ritzer (2007:3905) mengemukakan pentingnya sumber daya moneter dalam gerakan sosial tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, seberapa banyak sumber daya bentuk lainnya yang dimobilisasi oleh suatu gerakan, hal tersebut akan dikenakan biaya dan seseorang harus membayar tagihannya. Sumber daya material menerima perhatian yang paling analitis, karena sumber daya ini secara umum lebih nyata, hak kepemilikannya lebih tinggi, dan dalam hal uang lebih dapat dipertukarkan (fungible). Dengan kata lain, uang dapat dikonversi menjadi bentuk lain dari sumber daya, namun hal sebaliknya kurang sering terjadi. 1.5.2.2 Mekanisme Akses Sumber Daya Sebelum sumber daya yang hadir dalam konteks tertentu dapat dimanfaatkan oleh aktor gerakan sosial, hal pertama yang paling penting adalah bagaimana sumber daya tersebut dapat diakses terlebih dahulu. Berikut empat mekanisme akses terhadap sumber daya yang dapat dilakukan oleh aktor gerakan sosial (Mc Carthy dan Edwards dalam Snow 2004:131),
Produksi secara Mandiri (Self Production) Jenis mekanisme ini mengacu pada cara-cara dimana OGS dan pemimpin
gerakan membuat atau menambah nilai sumber daya yang telah dikumpulkan,
21
terkooptasi atau telah disediakan oleh patron. Mekanisme paling dasar dimana gerakan sosial mendapatkan akses pada sumber daya adalah dengan menghasilkannya sendiri secara internal. Gerakan sosial menciptakan produk kultural seperti bingkai aksi kolektif, taktik repertoar, musik, literatur, dan template organisasi untuk membuat tipe tertentu dari kegiatan koletif atau isu kampanye. Gerakan membentuk OGS, membangun jejaring (networks), dan membentuk koalisi. Gerakan juga menghasilkan sendiri sumber daya manusianya
melalui
pelatihan
aktivisnya
untuk
kepemimpinan,
dan
mensosialisasikan anak-anak atau penerus mereka kepada nilai-nilai dan praktek gerakan. Mereka juga memproduksi item-item tertentu untuk dijual, seperti literatur, produk yang memiliki makna simbolis terkait gerakan seperti T-Shirt, cangkir, poster, seni dll.
Agregasi Agregasi mengacu pada mekanisme dimana sumber daya yang dimiliki
oleh individu tersebar dikonversi menjadi kolektif, untuk selanjutnya dapat dialokasikan oleh aktor gerakan. Gerakan sosial mengagregasi sumber-sumber yang dimiliki secara privat dari penerima manfaat (beneficiary) dan conscience constituents dalam rangka untuk mencapai tujuan kolektif.
Kooptasi atau Apropriasi Gerakan sosial seringkali memanfaatkan hubungan yang mereka miliki
dengan organisasi atau kelompok sosial yang sudah ada, dimana organisasi
22
tersebut tidak dibentuk untuk tujuan eksplisit dari gerakan yang bersangkutan. Kooptasi dalam konteks ini mengacu pada transparansi, peminjaman berizin dari sumber daya yang telah diagregasi oleh kelompok tersebut. Sementara itu apropriasi (pengambilan untuk diri sendiri) mengacu pada pemanfaatan secara rahasia atau ilegal (surreptitious) dari sumber daya yang telah dikumpulkan sebelumnya oleh kelompok lain. Proses kooptasi, bersamanya, membawa suatu transfer sejumlah kontrol kepemilikan atas sumber daya yang telah terkooptasi tersebut. Besarnya kontrol kepemilikan sangat bervariasi bergantung
pada
tipe
sumber
dayanya.
Selain
itu,
kooptasi
juga
mengimplikasikan beberapa bentuk hubungan timbal balik selanjutnya serta pemahaman bahwa sumber daya akan digunakan untuk tujuan yang telah disepakati bersama.
Patronase Mekanisme terakhir ini mengacu pada penganugrahan (bestowed) sumber
daya pada sebuah OGS oleh seorang individu atau organisasi tertentu yang seringkali menjadi patron. Dalam hubungan patronase moneter, patron menjadi pihak eksternal dari gerakan atau OGS yang menyediakan sejumlah besar dukungan finansial, namun biasanya mereka juga menjalankan sejumlah kontrol kepemilikan atas bagaimana uang tersebut digunakan serta bahkan mungkin berupaya untuk mengerahkan pengaruh mereka atas operasional harian dan pembuatan keputusan kebijakan dalam gerakan atau OGS tersebut. Hubungan patronase bisa juga melibatkan penyediaan sejumlah sumber daya manusia, termasuk khususnya pinjaman personel untuk periode waktu 23
tertentu. Patronase semacam ini bisanya terjadi ketika ada koalisi beberapa SMO dan event-event yang kompleks. Sementara itu, patronase dalam sumber daya moral terjadi ketika individu atau organisasi yang dihormati secara luas mengakui suatu OGS atas prestasi positifnya. 1.5.2.3 Proses Kunci Mobilisasi Sumber Daya Mc Carthy dan Edwards dalam Snow (2004:136) mengemukakan bahwa ketersediaan sumber daya bagi suatu gerakan maupun organisasi gerakan sosial merupakan suatu keniscayaan. Pembentukan awal dari sebuah organisasi gerakan sosial membutuhkan mobilisasi dan agregasi dari setidaknya sejumlah minimum sumber daya, begitu pula pada saat proses pemeliharaannya. Saat organisasi tersebut telah terbentuk, hampir serupa dengan jenis organisasi lainnya, organisasi gerakan sosial dapat dipandang kurang lebih sebagai sekumpulan cara atau mekanisme melakukan sesuatu yang dilaksanakan secara rutin. Pola umum dari praktek-praktek yang telah terlembagakan tersebut juga tentang repertoar pilihan dalam relasi pertukaran dan cara yang dipilih dalam mengakses sumber daya, serta yang terpenting adalah menentukan tingkatan serta bentuk mobilisasi sumber daya material dan aktivisme dalam setiap gerakan sosial. Praktek umum ini pada kelanjutannya terbentuk oleh pola yang lebih luas dari lokasi dan stratifikasi sosial sumber daya.
Membentuk organisasi dan membangun kapasitas organisasi Pada tahap awal pembentukan organisasi gerakan sosial, dalam beberapa contoh kasus, para arsiteknya membuat berbagai pilihan strategis tentang
24
tujuan, struktur, dan bentuk-bentuk aksi kolektif yang akan diwujudkan dalam berbagai cara mereka melakukan sesuatu nantinya. Pada kelanjutannya ketika organisasi gerakan sosial terus berproses dan beradaptasi, pilihan pola atau bentuk yang telah diputuskan saat tahap pendirian awal seringkali akan sangat sulit diubah begitu organisasi telah berdiri dan berjalan, karena hal tersebut akan mempertaruhkan identitas publik yang telah mereka bangun, bahkan dalam batas tertentu juga akan mempertaruhkan investasi uang, waktu dan tenaga dari para konstituen dan adherent yang telah diberikan atas dasar kesamaan pilihan dari pola yang telah dibangun sebelumnya. Adopsi dari struktur organisasi gerakan sosial tertentu memiliki potensi dalam menghambat penggunaan dan fasilitasi dari teknologi mobilisasi tertentu. Sebagai contoh, organisasi profesional seperti Children’s Defense Fund (Skocpol 1999 dalam Edwards dan Mc Carthy 2004) memilih untuk tidak mendaftar individu anggotanya, menanggalkan sumber potensial berupa dukungan keuangan yang stabil serta ikatan yang kuat pada konstituen, yang berpotensi untuk dimobilisasi dalam aksi kolektif masa. Selain itu, contoh lainnya adalah organisasi gerakan sosial lokal yang terasosiasi dengan Industrial Areas Foundation (Warren 2001 dalam Edwards dan Mc Carthy 2004),
mereka memilih untuk bergantung pada organisasi ketimbang pada
anggota individu, sehingga mereka berhasil dalam menstabilkan aliran finansial yang cukup besar, yang dapat diarahkan pada upaya aksi kolektif daripada ke arah pemeliharaan keanggotaan individu.
25
Pilihan bentuk organisasi seperti itu dapat memberikan implikasi langsung pada kemampuan dari kelangsungan organisasi gerakan sosial dalam membangun kapasitas organisasi untuk beberapa tipe aksi kolektif. Pilihan tentang bentuk organisasi seperti ini ditempuh untuk tujuan pembangunan kapasitas organisasi, namun juga dapat membatasi jenis teknologi mobilisasi 13 yang lebih mudah diakses oleh para pememimpin organisasi gerakan sosial.
Mobilisasi uang Teknologi untuk memobilisasi uang dapat dibedakan menjadi pertama narrowcast yaitu teknologi yang dirancang untuk menargetkan beberapa (sejumlah kecil) sumber uang yang terkonsentrasi secara mendalam. Kemudian kedua adalah broadcast, yaitu teknologi yang dirancang untuk menargetkan banyak sumber keuangan yagn bersifat dangkal tapi lebih tersebar luas. Pada kelanjutannya, teknologi yang dipilih oleh organisasi gerakan sosial merupakan perpaduan dari keduanya. Ketergantungan pada salah satu teknologi saja, secara umum dapat menyebabkan organisasi gerakan sosial lebih rentan terhadap fluktuasi pendapatan jangka pendek.
Menciptakan sumber daya dan mobilisasi potensi melalui aksi kolektif Dalam rangka mengeksplorasi peran sentral dari sumber daya manusia dan material dalam menghasilkan aksi kolektif, perlu dibedakan antara teknologi
13
Oliver dan Marwell (1992 dalam Mc Carthy dan Edwards, 2004) mendefnisikan teknologi mobilisasi adalah sekumpulan pengetahuan tentang bagaimana cara-cara mengakumulasi sumber daya yang penting untuk teknologi produksi. Sementara itu teknologi produksi adalah sekumpulan pengetahuan tentang cara-cara mencapai tujuan bersama.
26
mobilisasi sumber daya dengan aksi kolektif dalam analisis statis. Namun, tidak diragukan lagi, dalam situasi dinamis dari perkembangan gerakan sosial, hal tersebut merupakan proses resiprokal. Ketika sumber daya manusia dan sumber daya keuangan diagregasi untuk memfasilitasi aksi kolektif, pada kelanjutannya aksi tersebut terkadang meningkatkan potensi berikutnya untuk proses agregasi uang dan orang-orang, yang terkadang bahkan dapat terjadi saat event aksi kolektif itu sendiri. 1.6 Metode Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, karena esensi penelitian kualitatif yaitu untuk menyajikan suatu fakta berdasarkan sudut pandang pelaku atau subjek. Bandung Berkebun merupakan komunitas yang menjadi subjek dalam penelitian ini, dengan penggiat-penggiat aktif didalamnya sebagai penyedia informasi yang dibutuhkan. Penelitian kualitatif mengenai fenomena di kota Bandung ini adalah penelitian yang mencoba memahami gerakan urban farming dalam setting dan konteks naturalnya, yaitu Bandung Bekebun sebagai salah satu penggagas awal gerakan di kota Bandung ini (bukan di dalam laboratorium). Peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati, segala fakta dan hasil penelitian ditulis berdasarkan sudut pandang subjek. Metode penelitian kualitatif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model studi kasus. Model ini dipilih karena fokus studi kasus adalah mengembangkan analisis yang mendalam dari suatu kasus atau fenomena 27
(Herdiansyah, 2012). Gerakan urban farming di kota Bandung menjadi fenomena sentral yang menarik untuk diteliti. Gerakan pemenfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming yang digagas Bandung Berkebun dianggap sebagai kasus khusus yang menarikbagi peneliti untuk dikaji lebih dalam lagi. Peneliti menggunakan studi kasus karena ingin mengetahui secara intrinsik bagaiamana mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dan berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang mendorong masyarakat Bandung untuk melakukan aksi memanfaatkan lahan terbengkalai melalui urban farming. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melihat kasus gerakan sosial yang dilakukan oleh Bandung Berkebun. Komunitas ini dipilih karena proses ditelurkannya ide dan gagasan tentang gerakan dan komunitas ini terjadi di Bandung. Bandung Berkebun juga merupakan salah satu pioneer komunitas berkebun yang telah dibentuk sebelum diluncurkannya Indonesia Berkebun. Kemudian komunitas ini berada dalam situasi kota yang begitu kental akan unsur kreatifitas serta kaya akan komunitas lokal. Hal tersebut menjadikan Bandung Berkebun merangkul banyak elemen untuk berkolaborasi dalam memperjuangkan gerakannya, dari mulai komunitas kreatif, masyarakat, pemerintah, universitas, dan pihak swasta. Peneliti melihat latar belakang situasi tersebut sebagai hal menarik sebagai setting untuk melihat mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun serta kolaborasi yang terjadi dengan komunitas kreatif di sekitarnya.
28
2. Pemilihan Informan Informan dalam penelitian ini adalah beberapa konseptor dan penggiat aktif dari gerakan Bandung Berkebun yang saat ini masih terlibat aktif maupun pasif dalam berbagai aktivitas kegiatan komunitas Bandung Berkebun. Adapun informan dari penelitian ini berjumlah 10 orang, dengan komposisi 3 orang merupakan penggiat yang pernah memegang posisi koordinator, 2 orang pernah menjadi wakil koordinator, 5 orang lainnya merupakan penggiat aktif Bandung Berkebun saat ini. Lima orang pertama merupakan sosok yang pernah menjadi koordinator dan wakil koordinator di Bandung Berkebun, dari kelima sosok ini peneliti memperoleh mayoritas data dan informasi mengenai sumber daya kultural dan moral terutama terkait dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas Bandung Berkebun, bagaimana awal mula pembentukan komunitas ini, serta urgensi dari urban farming di kota Bandung. Sementara itu,dari lima orang selanjutnya peneliti memperoleh data dan informasi terkait sumber daya manusia, material, sosial organisasional, dan pelaksanaan teknis program serta kegiatan Bandung Berkebun. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam rangka mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan utama serta mencapai tujuan dari penelitian mengenai gerakan urban farming ini. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi ilmiah) proses gerakan
29
pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming yang dilakukan oleh Bandung Berkebun di kota Bandung. Berbagai macam sumber data diperoleh peneliti guna mendapatkan informasi yang akurat mengenai kasus yang diteliti. Dengan banyaknya macam sumber data, diharapkan peneliti memperoleh banyak informasi yang terkait dengan topik penelitian yaitu mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari: dokumen, observasi langsung, dan wawancara. a. Dokumen
Penggunaan dokumen dalam penelitian studi kasus digunakan sebagai pendukung dan penambah bukti sumber-sumber data yang lainnya. Dokumen-dokumen ini tentunya menyajikan informasi tentang suatu keadaan, implementasi lapangan, program-program kegiatan, aksi kolektif dan juga memberikan dukungan petunjuk tentang kondisi yang ada saat ini terkait dengan keberadaan Bandung Berkebun serta gerakan urban farming yang diperjuangkannya. Adapun beberapa dokumen yang peneliti gunakan terkait dengan penelitian ini adalah dokumen pribadi milik Bandung Berkebun, berikut:
Booklet Kampung Berkebun 2014
FAQ Bandung Berkebun
Informasi Umum Bandung Berkebun
Jurnal My School Goes Farming: “Petualangan di Negeri Sayur”
30
SMA Creatifarming The Journal
Naskah Bandung Berkebun untuk buku Urban Farming ala Indonesia Berkebun
Urban Farming Bandung: “Demi Budaya Se-Bandung Ngebon
Kumpulan Chirpstory yang dibuat oleh Bandung Bandung Berkebun mengenai laporan kegiatan dan program-program yang telah mereka lakukan.
b. Observasi Langsung
Hasil amatan dari suatu observasi langsung dapat dijadikan sebagai sumber data tambahan tentang topik yang sedang diteliti. Observasi yang dilakukan dalam penelitian merupakan observasi pasrtisipan dengan mengikuti segala kegiatan rutin dari mulai ngebon tiap hari minggu, rapat mingguan, dan beberapa yang dilaksanakan Bandung Berkebun. Observasi pada rapat mingguan Bandung Berkebun biasa dilakukan secara rutin pada hari Kamis atau
Rabu
setiap minggunya. Sementara observasi yang
dilakukan peneliti pada kegiatan atau program yang pernah dilaksanakan Bandung Berkebun hanya pada kegiatan Launching Udunan Ngebon , Program Bandung Kampung Urban Farming, dimana peneliti menjadi relawan juga dalam program ini, serta pada salah satu event rangkaian perayaan ulang tahun ke-4 Bandung Berkebun di Taman Bacaan Ujung Berung. c. Wawancara
31
Proses wawancara dalam penelitian ini dilakukan di sela-sela kegiatan pertemuan rutin Bandung Berkebun. Selain itu, peneliti juga beberapa kali melakukan pertemuan secara khusus dengan
beberapa penggiat yang
menjadi informan dalam penelitian ini diluar waktu pertemuan rutin mereka, tujuannya adalah guna mendapatkan informasi yang lebih jelas terkait pertanyaan pokok penelitian ini. Berdasarkan penelitian di lapangan didapat kecenderungan bahwa informasi mengenai konsep serta gagasan awal terkait komunitas Bandung Berkebun didapatkan dari hasil wawancara dengan penggiat awal yang merupakan orang yang terjun langsung ketika proses perumusan awal komunitas ini. Sementara dinamika organisasi serta teknis pelaksanaan segala kegiatan didapat dari wawancara dengan penggiat aktif yang masih terjun di lapangan hingga saat ini. Tahapan wawancara ini dilakukan dengan merujuk pada pedoman wawancara yang telah disusun sedemikian rupa oleh peneliti sehingga mampu menjawab masalah penelitian. 4. Teknik Analisis Data Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman dalam Pawito (2007) bahwa terdapat tiga komponen dalam teknik analisis data: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclucions). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan melakukan penganalisisan data dengan cara sebagai berikut: 32
a. Data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan akan ditulis ke dalam bentuk transcript wawancara. b. Data yang telah ditulis di dalam bentuk transcript, selanjutnya akan diseleksi kemudian direduksi menjadi data mana yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian sehingga permasalahan dalam penelitian ini dapat terjawab, karena tujuan akhir pada penelitian ini yakni menjawab pertanyaan penelitian yang menjadi fokus penelitian. Data yang telah dipilah-pilah dengan berpedoman pada rumusan masalah yang digunakan memberikan gambaran yang jelas mengenai fenomena pada penelitian ini. Data ditulis dalam bentuk teks narasi dan kemudian ditarik kesimpulan dari data yang telah didapatkan dan dianalisis tersebut, dimana penarikan kesimpulan yang dilakukan masih bersifat sementara. Kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah ditetapkan sebagai fokus penelitian.
33