VALUASI EKONOMI KEBERLANJUTAN USAHATANI DI KAWASAN PERI URBAN SURABAYA ECONOMIC VALUATION OF SUSTAINABLE FARMING IN URBAN AREA OF SURABAYA
Oleh : Ir. R.A. Ediyanto Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Jember ABSTRACT Goals of this study were : (1) Making economic justification of farming in urban area of Surabaya; (2) To analyze sustainability of farming in the urban area of Surabaya. The study was done in 16 villages within 8 districts in the urban area of Surabaya. Samples of farmer in each village were taken using proportional random sampling. Method of survey used was face to face interview and distribution of questionnaire. Primary as well as secondary data were used in this study. Results of the study were as follows : (1) Farming in the urban area of Surabaya attracted the interest of society so that they could afford WTP (willingness to pay), which reflected the economic value of environmental resource. (2) Regarding sustainability of farming it turned out that 56.06% of respondent was sustainable whereas 41.94% was not sustainable. Age of farmer, acreage, and experience influenced the sustainability of farming. Older farmer who had more acreage and more experience had higher chance of sustainability. Farming as a main job had higher chance of sustainability compared to the farming which was only as a hobby. Price of land also determined the sustainability. More expensive price of land resulted in less sustainability of farming. Key words : Urban farming, sustainability
I. PENDAHULUAN Usahatani di kawasan peri urban (aktivitas pertanian di pinggiran kota) Surabaya dihadapkan pada persoalan kenyataan semakin menyempitnya lahan usahatani. Pembangunan fisik kota Surabaya secara besar-besaran berimbas pada peralihan fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Areal lahan pertanian di pinggiran kota maupun kota Surabaya makin menyempit, bahkan nyaris habis. Kawasan peri urban Surabaya untuk penggunaan pertanian yang semula luasnya 7.153 ha (1993) telah mengalami penyusutan pada tahun 2003 menjadi 1.129 ha (Dinas Pertanian Kotamadya Surabaya, 2004). Penataan dan pemanfaatan lahan di Indonesia khususnya tentang larangan alih fungsi lahan subur ke pemanfaatan non-pertanian sebenarnya telah diatur oleh peraturan dan perundangan (UU No.12, tahun 1992). Namun kenyataan menunjukkan sampai 1
saat ini alih fungsi lahan subur ke non-pertanian masih berlangsung, bahkan seolah-olah terjadi pengesahan atau melegitimasi penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi di lapangan (Husodo, 2004). Akibat yang ditimbulkan dengan semakin menyempitnya lahan pertanian di kawasan peri urban adalah (1) berkurangnya peranan pertanian peri urban dalam menopang ketahanan pangan, terutama pada waktu terjadi kelangkaan pangan; (2) berkurangnya suplai sayuran dan buah-buahan yang segar, mudah dan cepat; (3) berkurangnya kesempatan kerja produktif bagi penduduk kota terutama ketika saat krisis; (4) berkurangnya manfaat dari aspek lingkungan, terutama yang berkaitan dengan emisi karbondioksida (CO2) dan kenaikan suhu bumi (Rees, 1997). Tarik menarik kepentingan penggunaan lahan untuk pemukiman dan bisnis dengan keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya penting untuk diteliti lebih lanjut.
Hal ini berkaitan erat dengan manfaat pertanian peri urban tersebut
(sebagai penopang ketahanan pangan, pensuplai sayuran dan buah-buahan yang segar, mudah dan cepat; penyedia kesempatan kerja produktif dan manfaat dari aspek lingkungan).
Dari uraian yang dikemukakan di atas, penelitian ini ingin menjawab beberapa permasalahan : a. Sampai sejauh mana manfaat usahatani di kawasan peri urban Surabaya dengan cara menentukan besarnya WTP (willingness to pay) dari petani-petani di kawasan peri urban Surabaya ? b. Bagaimana fenomena keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya ? Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghitung nilai ekonomi keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya. Tujuan yang lebih spesifik lagi adalah: a. Melakukan valuasi ekonomi lahan usahatani di kawasan peri urban Surabaya dengan cara menentukan besarnya WTP dari petani-petani di kawasan peri urban tersebut. b. Menganalisis fenomena keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya.
2
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kawasan peri urban Surabaya dan daerah sekitarnya dengan pertimbangan : a. Merupakan kawasan peri urban yang sedang mengalami gangguan fisik baik berupa penyempitan lahan, berkurangnya kawasan pertanian, berkurangnya zona hijau (yang di dalamnya banyak terdapat jenis dan jumlah flora-fauna) serta munculnya dampak emisi karbondioksida (CO2) dan kenaikan suhu lingkungan. b. Usaha perlindungan dan konservasi yang telah atau sedang dilakukan senantiasa dibayangi terjadinya kegagalan karena tarik menarik kepentingan di dalamnya. Lokasi penelitian untuk sampel petani ditentukan secara purposive dengan mengambil kasus 16 desa di 8 kecamatan yang tersebar di 4 wilayah kawasan peri urban Surabaya : Surabaya Barat (Kecamatan Pakal dan Benowo), Surabaya Timur (Kecamatan Tambaksari dan Mulyorejo), Surabaya Utara (Kecamatan Pabean Cantikan dan Semampir), Surabaya Selatan (Kecamatan Sawahan dan Dukuh Pakis). Populasi yang menjadi target penelitian ini adalah para petani pemilik penggarap, penyewa atau penyakap yang merupakan users lahan pertanian yang tersebar di 27 kecamatan peri urban Kota Surabaya. Sampel petani diambil secara proportional random sampling untuk masing-masing desa sampel sesuai dengan populasi di masing-masing desa. Untuk sampel warga kota Surabaya, jumlah sampel juga ditentukan secara proportional random sampling berdasarkan jumlah penduduk yang ada di setiap kecamatan.
Adapun teknik survey yang digunakan adalah teknik
wawancara face-to-face untuk sampel petani dan penggunaan daftar pertanyaan untuk sampel warga kota. Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : a. Valuasi ekonomi lahan usahatani di kawasan peri urban Surabaya Valuasi ekonomi lahan usahatani di kawasan
peri urban dimana aktivitas
ekonomi diselenggarakan sekaligus sebagai penyedia jasa lingkungan. Valuasi ekonomi oleh petani di kawasan peri urban akan menghasilkan nilai WTP-1 dan valuasi ekonomi oleh masyarakat kota akan menghasilkan WTP-2. b. Fenomena keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya 3
Fenomena keberlanjutan usahatani di kawasan peri urban Surabaya ditentukan dengan menentukan besarnya WTP yang dilakukan dengan the bidding game method dan analisis biaya-manfaat. Macam data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data primer yang diambil antara lain, data keadaan fisik daerah penelitian, serta aktivitas petani di kawasan peri urban dan masyarakat kota Surabaya. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Kontor Pemerintah Tingkat I dan Pemerintah Tingkat II, Dinas Pertanian, Biro Pusat Statistik, Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dan instansi lain yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder yang diambil antara lain, luasnya areal pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan bisnis dan pemukiman, keadaan sosial ekonomi desa peri urban dan data lainnya yang terkait dengan penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif dan teknik analisis kualitatif. Analisis pengujian tujuan 1 dan 2 dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non-parametrik uji X2 (chi kuadrat). Teknik analisis kualitatif dilakukan untuk memperkuat deskripsi terhadap hasil analisis kuantitatif dengan memperhatikan hubungan diantara data-data yang diperoleh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Valuasi Ekonomi Lahan Usahatani di Kawasan Peri Urban Surabaya Valuasi ekonomi lahan usahatani di kawasan peri urban (pinggiran kota) Surabaya dalam hal ini didekati dengan konsep Willingness to pay (WTP) yaitu keinginan untuk membayar petani (users) terhadap penggunaan dari sumberdaya (lahan pertanian) di kawasan tersebut sebagai barang “quasi private” (seolah-olah sebagai barang pribadi yang tidak akan dijual), misal : membayar pajak lahan. Sumberdaya atau lahan usahatani yang dimiliki oleh petani di kawasan peri urban tersebut meliputi lahan sawah, pekarangan, tegal dan tambak, sedangkan non-pertanian meliputi lahan untuk industri, perdagangan, perumahan, kantor, sekolahan, rumah sakit, jalan, pengairan, dan lainnya serta lahan rawa. 4
Luas lahan usahatani (lahan sawah, pekarangan, tegal dan tambak) dan nonpertanian (industri, perdagangan, perumahan, kantor, sekolahan, rumah sakit, jalan, pengairan, dan lainnya serta lahan rawa) di kota Surabaya hingga tahun 2005 ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 1. Luas Lahan Usahatani dan Non-Pertanian di Kota Surabaya (2005) Uraian Luas (ha) Prosentase (%) 1. Lahan usahatani : a. Sawah. 1 331,80 4,77 13 408,25 48,03 b. Pekarangan. c. Tegal/kebun. 1 129,85 4,05 d. Tambak 4 588,83 16,44 e. Kolam 31,25 0,11 Sub-total 20 500,98 73,44 2. Non-pertanian : a. Industri, perumahan dan lainnya. b. Rawa Sub total
6 961,81 454,67
24,94 1,66
7 416.48
26,56
Jumlah 27 917,46 Sumber : Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian dan Kehutanan Kota Surabaya (2005)
350
100,00
300
300 Jumlah
250 200
156
150 100
70
74
Tidak sanggup
Tidak tahu
50 0 Sanggup
Jumlah
Kesanggupan membayar WTP
Gambar 1. Kesanggupan petani warga kota Surabaya membayar WTP
Tabel 1 menunjukkan bahwa lahan usahatani yang diusahakan di Surabaya tahun 2005 seluas 20 500,98 ha, dimana penggunaan lahan paling luas untuk pekarangan 5
(48,03 %), selanjutnya untuk tambak (16,44 %), sawah (4,77 %), tegal (4,05 %) dan kolam (0.11 %).
Kesanggupan petani untuk membayar WTP terhadap lahan
usahataninya ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa dari 300 responden (petani), 156 orang atau 50 % lebih menyatakan sanggup membayar WTP (misal : pajak lahan), 74 orang (24,67 %) menyatakan tidak tahu dan 70 orang (23,33 %) menyatakan tidak sanggup. Bagi petani yang menyatakan sanggup membayar WTP, menganggap bahwa usahatani di kawasan pinggiran kota masih memberikan manfaat yang cukup besar sehingga mereka sanggup untuk membayar sejumlah uang tertentu guna mempertahankan keberadaan usahatani di kawasan tersebut yang dapat dianggap sebagai total economic value-nya.
Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan usahatani di kawasan pinggiran kota masih dianggap sebagai potensi sumberdaya ekonomi yang patut diperhatikan oleh semua pihak. Dari 156 responden yang menyatakan kesanggupannya untuk membayar, 109 responden memiliki alasan menyadari besarnya manfaat yang akan diperoleh dengan terjanganya keberadaan usahatani di kawasan tersebut (Tabel 2). Tabel 2. Alasan Kesanggupan/Ketidak sanggupan Responden (Petani) Warga Kota Surabaya Membayar WTP Alasan kesanggupan/ketidak sanggupan Jumlah 1. Alasan sanggup a. Dalam rangka mensukseskan kebijakan pemerintah 45 b. Merasakan manfaat keberadaan usahatani peri urban 109 c. Alasan lain 2 Jumlah 156 2. Alasan tidak sanggup/tidak tahu a. Ketidak mampuan membayar. 77 b. Menganggap usahatani di kawasan pinggiran kota tidak perlu dipertahankan. 5 c. Tidak tertarik terhadap masalah usahatani pinggiran kota 7 d. Pembicaraan masalah usahatani di kawasan pinggiran kota tidak dianggap penting 12 e. Masih memerlukan informasi lain untuk menjawab pertanyaan ini 29 f. Alasan lain 14 Jumlah 144 Total 300 Sumber : Analisis data primer (2006)
% 28,85 67,31 1,28 100,00 53,47 3,47 4,86 8,33 20,14 9,72 100,00
Data pada Tabel 2 mengungkapkan sebah fakta bahwa bagi sebagian warga kota Surabaya, pertanian di kawasan pinggiran kota masih dianggap sebagai sumberdaya 6
lingkungan dan ekonomi yang memiliki peranan penting untuk menjaga kelestarian lingkungan khususnya kontribusinya dalam menghambat akselerasi degradasi lingkungan kota dan sekitarnya sebagai akibat pertumbuhan ekonomi.
Sebagian
responden yaitu sebanyak 45 orang atau 28,85 % dari responden yang sanggup membayar WTP menyatakan bahwa mereka membayar WTP didasari alasan ingin mensukseskan kebijakan pemerintah. Sementara itu dari seluruh responden warga kota, 144 orang atau 48% responden menolak untuk membayar WTP dengan alasan beragam. Sebagian responden beralasan karena merasa tidak mampu membayar (53,47 %), sebanyak 29 responden (20,13 %) masih belum bisa menjawab karena masih memerlukan informasi lain yang berkaitan dengan permintaan untuk membayar WTP tersebut, 12 responden (8,33 %) menganggap bahwa masalah pertanian kota dan penarikan WTP ini bukanlah masalah yang harus diprioritaskan, 7 responden (4,86 %) menyatakan tidak tertarik terhadap masalah ini dan hanya 5 responden (3,47 %) yang berpendapat bahwa keberadaan usahatani di kawasan pinggiran kota tidak perlu dipertahankan.
B. Analisis Fenomena Keberlanjutan Usahatani di Kawasan Peri Urban Surabaya Salah satu persoalan yang akan mengancam keberadaan usahatani dikawasan kota dan pingiran kota adalah masalah keberlanjutan usahatani. Di masa yang akan datang sektor usahatani di kawasan tersebut akan bersaing dengan sektor-sektor lain seperti sektor perumahan/pemukiman, sektor industri, sektor jasa, sektor perhubungan dan sektor-sektor lain. Dapat diprediksi bahwa jika tidak ada langkah antisipasi terutama dalam hal penataan tata guna lahan, sektor pertanian makin lama akan semakin tergusur (Tabel 3). Bila hal ini terjadi maka kawasan kota dan pinggiran kota akan menghadapi persoalan lingkungan yang dapat memunculkan dampak serius secara ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Dampak ekologis muncul karena fungsi lahan pertanian sebagai kawasan resapan air tempat hidup tumbuhan dan biota lainnya yang mampu memberi efek aminity (kenyamanan) bagi penduduk akan terganggu, dampak
7
ekonomi misalnya berupa penurunan produksi tanaman penghasil pangan dan lainnya (Tabel 4). Tabel 3. Perkembangan Luas Lahan Usahatani di Kawasan Peri Urban Surabaya (2001-2005) Tahun Luas lahan (ha) Sawah Tegal Pekarangan Tambak 2001 2 125,61 1 682,86 12 548,29 1 720,22 2002 2 072,89 1 703,51 12 488,09 3 118,90 2003 1 862,89 1 428,56 12 740,69 4 647,22 2004 1 529,89 1 549,58 12 943,49 4 642,22 2005 1 303,93 1 599,58 13 256,67 4 588,83 Sumber : Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian dan Kehutanan Kota Surabaya
Kolam 0,00 0,00 7,00 7,00 31,25
Luas lahan
2500 2000 1500
Sawah
1000
Tegal
500 0 1
2
3
4
5
Tahun
Gambar 2. Trend perkembangan luas lahan sawah dan tegal di Kota Surabaya 14000 12000 10000
Pekarangan
8000
Tambak
6000
Kolam
4000 2000 0 1
2
3
4
5
Gambar 3. Trend perkembangan luas lahan pekarangan, tambak dan kolam di Kota Surabaya
8
Tabel 4. Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Usahatani di Kawasan Peri Urban Surabaya (2001-2005) Komoditas Perkembangan produksi (ton) Rata-rata pertumbuhan (%) 2001 2002 2003 2004 2005 Padi 12 636,74 9 869,19 7 722,97 6 304,98 6 840,81 - 13,30 Cabe 73,30 43,12 71,30 27,00 34,00 - 3,01 Bayam 360,00 336,00 417,50 556,80 515,00 10,86 Sawi 619,00 517,00 522,00 612,00 484,00 - 4,88 Mangga 421,74 979,00 770,75 1 037,22 2 539,06 72,55 Jambu air 80,94 264,80 189,94 217,96 601,90 97,45 Tan. hias 800,00 1200,00 1200,00 11,65 Sumber : Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian dan Kehutanan Kota Surabaya
Gambar 2 menunjukkan bahwa trend perkembangan luas lahan sawah dan tegal cenderung menurun, sedangkan untuk lahan pekarangan, tambak dan kolam cenderung meningkat (Gambar 3).
Penurunan luas lahan sawah dan tegal
berdampak pada
penurunan trend produksi padi, cabe dan sawi, kecuali bayam (Tabel 4). Sementara itu peningkatan produksi mangga, jambu air dan tanaman hias berkaitan dengan peningkatan luas lahan pekarangan. Peningkatan trend luas lahan untuk tambak dan kolam di Kota Surabaya berkaitan dengan harga udang dan ikan yang cenderung meningkat (30 % per tahun), sehingga pendapatan dari budidaya di tambak dan kolam
Prosentase
akan meningkatkan pendapatan petani tersebut. 70 60 50 40 30 20 10 0
58.06 41.94
Berlanjut
Tidak berlanjut
Keberlanjutan usahatani
Gambar 4. Keberlanjutan usahatani di kawasan pinggiran kota Surabaya berdasarkan keputusan petani Tabel 3 dan 4 secara umum menggambarkan bahwa usahatani di kawasan peri urban Surabaya masih diminati petani, terutama untuk usahatani di tambak dan kolam. Lebih lanjut, keinginan petani yang tinggal di kawasan peri urban untuk berusahatani dapat dilihat pada Gambar 4. 9
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total usahatani yang dikelola responden sebanyak 58,06% diantaranya masuk dalam kategori berlanjut dan 41,94% masuk kategori tidak berlanjut. Kedua prosentase tersebut memang menunjukkan angka yang relatif hampir berimbang. Namun setidaknya hasil survei ini menggambarkan masih cukup banyak usahatani di kawasan pinggiran kota yang dapat dianggap berlanjut setidaknya untuk 5 tahun yang akan datang. Kondisi usahatani sesudah 5 tahun ke depan akan sulit diprediksikan karena banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain kondisi subyektif pemilik lahan dan atau pengelola usahatani, pertumbuhan fisik kota, kebijakan politis, prospek bisnis usahatani, bencana alam dan sebagainya. Akan tetapi satu hal yang bisa dikaitkan di sini adalah bahwa di antara responden terdapat sekitar 26 % petani yang masih menginginkan bekerja di usahatani, bahkan angka ini meningkat menjadi 43 % dalam kondisi perbaikan. Selain itu dapat dikemukakan juga bahwa terdapat alasan-alasan tertentu yang mendasari keinginan petani tetap berusahatani yang dapat dianggap sebagai alasan “pendukung keberlanjutan” karena menyangkut pertimbangan azas manfaat usahatani secara sosial dan secara ekologis, misalnya alasan berusahatani sebagai media ikatan sosial (3,66 %) dan untuk menjaga kelestarian lingkungan (2,44 %). Meski prosentasenya kecil namun alasan-alasan seperti itu dianggap lebih “langgeng” dibandingkan alasan-alasan lain misalnya usia lanjut atau usahatani sebagai penopang kebutuhan keluarga. Dua alasan terakhir ini tatkala petani sudah tidak mampu bekerja lagi sebagai pengelola usahatani karena umurnya sudah uzur. Hal lain karena usahatani merupakan jenis usaha yang fluktuatif, maka kondisi keberlanjutan usahatani bisa saja berakhir disebabkan keputusan pengelola yang berubah untuk beralih usaha atau bahkan menjual lahannya jika usahatani dianggap tidak mampu lagi menopang kebutuhan keluarga. Dengan demikian meski saat penelitian dilakukan prosentase usahatani yang berkelanjutan lebih besar dibanding yang tidak berkelanjutan, diramalkan ke depan usahatani di kawasan pinggiran kota tetap akan dipertanyakan keberlanjutannya akibat tekanan dinamika perkembangan sosial ekonomi dan politik di kawasan tersebut. Dalam era ini variabel keberlanjutan usahatani juga dinilai berdasarkan tolok ukur yang digolongkan menjadi 3 atribut yaitu eksistensi lahan, eksistensi usahatani dan 10
operasional usahatani. Masing-masing atribut tersebut selanjutnya dirinci menjadi beberapa indikator yang kemudian diberi skor berdasarkan pendekatan teoritis dan logis. Jumlah skor dijumlahkan dan hasil penjumlahan total skor tersebut selanjutnya disebut sebagai tingkat keberlanjutan usahatani (LFS = Level of Farming
Prosentase
Sustainability). Hasil survei tentang LFS ini dapat disimak pada Gambar 5.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
44
44
12
rendah
sedang
tinggi
Skor LFS
Gambar 5. Tingkat keberlanjutan usahatani (LFS = Level of Farming Sustainability) di kawasan pinggiran Surabaya berdasarkan skor
Usahatani yang memiliki skor LFS rendah (skor 18-30) dan sedang (skor 31-42) memiliki prosentase yang sama yaitu 44 % sedangkan usahatani yang memiliki skor tinggi (skor 43-54) hanya berjumlah 12 %. Hasil ini nampaknya sedikit berbeda dengan pengukuran keberlanjutan berdasarkan metode pohon keputusan. Hal ini disebabkan karena tolok ukur yang digunakan dalam pengukuran keberlanjutan dengan menggunakan metode pohon keputusan dan metode skoring ini agak berbeda. Pengukuran keberlanjutan dengan
metode pohon keputusan didasarkan pada hasil
judgement (penilaian) akhir suatu usahatani setelah melihat fakta-fakta obyektif dari usahatani tersebut, sedangkan pengukuran keberlanjutan berdasarkan nilai skor lebih dititikberatkan pada derajat atau tingkat keberlanjutan usahatani dengan menggunakan indikator-indikator tertentu. Tingkat keberlanjutan usahatani dalam penelitian ini merupakan sebuah pendekatan pengukuran keberlanjutan usahatani yang relatif lebih komprehensif 11
dibandingkan dengan penetapan keberlanjutan dengan menggunakan pohon keputusan. Hal ini mengingat penetapan tingkat keberlanjutan usahatani menggunakan indikator yang lebih detail dan dalam batas tertentu juga mencerminkan pengertian keberlanjutan usahatani berdasarkan prespektif economic viability. Dalam hal ini atribut dan indikator yang digunakan dalam alat ukur lebih difokuskan pada sejauh mana kinerja sebuah usahatani yang dikelola oleh petani yang penilaiannya didasarkan pada eksistensi lahan (jenis dan aksesibilitas irigasi, rencana alih fungsi dan perkembangan kesuburan tanah), eksistensi usahatani (sikap terhadap usahatani. Keberadaan dan dampak keberadaan usahatani, serta kelembagaan sosial usahatani), dan aspek operasional usahatani (kontribusi pendapatan usahatani, penggunaan sarana produksi, aksesibilitas modal, ketersediaan tenaga kerja, dan fluktuasi produksi). Seperti dikemukakan di atas bahwa usahatani di kawasan pinggiran kota lebih didominasi oleh usahatani yang memiliki LFS rendah hingga sedang. Hal ini menggambarkan sebuah trend yang wajar dari keberadaan sektor usahatani di kawasan tersebut. Banyak persoalan yang dihadapi petani yang mengakibatkan rentannya keberadaann aktivitas usahataninya. Persoalan yang seringkali menjadi kendala operasional usahatani dapat dikatakan merupakan persoalan klasik pengelolaan usahatani di wilayah pinggiran kota seperti asesibilitas air irigasi, fluktuasi dan rendahnya harga produk yang akhirnya juga berimbas terhadap fluktuasi dan tingkat pendapatan usahatani, persaingan pemanfaatan lahan, masih tingginya penggunaan input eksternal, sulitnya memperoleh tenaga kerja dan kalaupun tersedia upahnya mahal. Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan tingkat keberlanjutan usahatani di kawasan pinggiran kota menjadi rendah.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Hasil valuasi (penilaian) ekonomi lahan usahatani di kawasan peri urban (pinggiran) Kota Surabaya menunjukkan bahwa :
12
a. Usahatani di pinggiran kota mampu memberi daya tarik bagi masyarakat Surabaya, sehingga mereka sanggup membayar WTP (willingnes to pay) yang merupakan cerminan nilai ekonomi dari suatu sumberdaya lingkungan. b. Dari responden yang menyatakan kesanggupannya untuk membayar WTP, sebanyak 69,87 % memiliki alasan karena menyadari akan manfaat yang akan diperoleh dengan terjaganya keberadaan usahatani di kawasan pinggiran Kota Surabaya.
Manfaat-manfaat yang dimaksud yaitu peningkatan kualitas
lingkungan di perkotaan, penciptaan hubungan solidaritas, peningkatan ketahanan pangan keluarga petani, pemasok sebagian kebutuhan pangan masyarakat kota dan salah satu jalan keluar untuk membantu mengatasi pengangguran. c. Semakin tua umur warga kota, semakin besar pula penilaiannya terhadap keberadaan pertanian kawasan pinggiran Kota Surabaya. 2. Hasil penelitian tentang fenomena keberlanjutan usahatani menunjukkan bahwa : a.
Dari total usahatani yang dikelola responden, sebanyak 58,06 % di antaranya masuk dalam kategori berlanjut dan 41,94 % masuk kategori tidak berlanjut. Angka-angka ini menggambarkan masih cukup banyak usahatani di kawasan pinggiran kota yang dapat dianggap berlanjut setidaknya untuk 5 tahun yang akan datang.
b.
Semakin tua umur responden, semakin luas lahan usahatani dan semakin lama pengalaman
bertani
masing-masing
akan
meningkatkan
probabilitas
keberlanjutan usahatani. c.
Usahatani yang dijadikan sebagai kegiatan utama memiliki kemung-kinan keberlanjutan lebih besar dibanding dengan yang dijadikan sebagai hobi.
d.
Semakin tinggi harga lahan usahatani, semakin turun probabilitas keberlanjutan usahatani.
B. Saran 1.
Hasil penelitian tentang WTP menjadi informasi penting untuk pengkajian kemungkinan-kemungkinan mengenakan pajak lingkungan bagi masyarakat kota guna menjaga eksistensi usahatani di pinggiran kota sekaligus perlunya pemberian kompensasi bagi petani-petani yang masih tetap bertahan bekerja di lahan 13
usahataninya melalui subsidi, kredit lunak, penyediaan sarana dan prasarana, jaminan pasar dan sebagainya. 2. Potensi sektor usahatani di kawasan pinggiran Kota Surabaya relatif masih cukup besar. Namun perlu adanya kebijakan tata ruang yang harus ditaati oleh semua pihak untuk mempertahankan keberlanjutan dan peningkatan daya saing sektor tersebut.
Keberlanjutan terkait dengan peranan kebera-daan lahan usahatani di
kawasan pinggiran kota terhadap kelestarian sumberdaya alam
DAFTAR PUSTAKA Dinas Pertanian Kotamadya Surabaya. 2004. Husodo, S. 2004. Pertanian Urban. Paper PS. Ekonomi Pertanian UGM, Program Doktor, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rees, W.E. 1997. Why Urbam agriculture ? Notes for the IDRC Development Forum on Cities Feeding People : A Growth Industry. Vancouver, BC. 20 May 1997. City Farmer, canada’s Office of Urban Agriculture. http: // www.cityfarmer.org. U.U. No.12. 1992. Undang-undang tentang Sistem Budidaya Tanaman di Indonesia. Jakarta.
14