MANAJEMEN RISIKO BENCANA BANJIR KALI LAMONG PADA KAWASAN PERI-URBAN SURABAYA-GRESIK MELALUI PENDEKATAN KELEMBAGAAN Eko Budi Santoso Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITS
[email protected]
Abstrak: Permasalahan banjir akibat meluapnya Kali Lamong sudah menjadi bencana rutin yang terjadi di sebagaian wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Wilayah terdampak merupakan kawasan peri-urban yang secara umum belum berkembang pesat. Meskipun demikian dampak banjir pada kawasan peri-urban ini menimbulkan kerugian sosial ekonomi bagi masyarakat yang terkena bencana. Penanganan banjir pada Kali Lamong tidak berjalan mudah, mengingat banyak pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan pengelolaan wilayah aliran sungai yang melintasi beberapa daerah kabupaten/kota. Kajian ini bertujuan untuk memetakan peran kelembagaan pemerintah dalam melakukan manajemen risiko bencana di wilayah Kali Lamong. Metode yang digunakan adalah analisa kausalitas yang didasarkan pada data-data sekunder yang bersumber dari media elektronik selama periode 2011-2013. Hasil analisa tersebut dipetakan dalam bentuk diagram fishbone. Selanjutnya dilakukan analisa kelembagaan untuk mengetahui peran dan tanggung jawab masing-masing institusi dalam mengurangi risiko bencana. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana pada DAS Kali Lamong harus memperhatikan factor-faktor tata ruang, kondisi sungai, dan normalisasi sungai. Pendekatan kelembagaan diperlu difokuskan pada pengendalian pemanfaatan bantaran sungai, poses pembebasan tanah, penganggaran pembangunan, dan kewenangan masing-masing lembaga. Kata Kunci: Manajemen Risiko Bencana, Penanggulangan Banjir, Peri-Urban, Kelembagaan Pemerintah
Pendahuluan Banjir menjadi permasalahan rutin yang sering dihadapi oleh warga masyarakat yang tinggal pada wilayah aliran sungai. Meskipun masyarakat sadar akan risiko bahaya dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana banjir, namun masyarakat tetap bersikeras untuk tinggal di wilayah rentan tersebut dan sulit untuk direlokasi ke lokasi yang lebih aman dari bahaya banjir. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan kerugian
masyarakat akibat banjir, salah satu tindakannya dengan menangani sumber terjadinya banjir atau genangan, yaitu penanganan wilayah sungai. Menurut Widiati (2008) risiko bahaya dan kerugian dapat dikurangi dengan menerapkan manajemen risiko bencana, yang manfaatnya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan.
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Permasalahan banjir akibat meluapnya Kali Lamong sudah menjadi bencana rutin yang terjadi di sebagaian wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Wilayah Kota Surabaya yang terdampak banjir adalah Kecamatan Benowo dan Kecamatan Pakal yang mencakup 3 kelurahan. Wilayah terdampak merupakan kawasan peri-urban yang secara umum sedang berkembang. Menurut informasi Pemerintah Kabupaten Gresik (2014), banjir Kali Lamong yang terjadi sejak pertengahan Desember 2013 sampai awal Januari 2014 telah menenggelamkan sekitar 2.658,2 hektar areal pertanian, dimana tanaman padi yang terkena banjir di areal seluas 1985 hektar telah dinyatakan puso. Sementara itu menurut BNPB (2014) meluapnya Kali Lamong menyebabkan sebagian Kabupaten Gresik terendam banjir yang dampaknya 7.957 rumah, ratusan hektar sawah, dan tambak terendam banjir di 42 desa dari 5 kecamatan, serta 2 orang meningggal dunia akibat hanyut banjir dan 350 jiwa mengungsi. Luapan Kali Lamong setiap tahun menggenangi dan bahkan merendam wilayah Kecamatan Balongpanggang, Benjeng, Cerme, Menganti, Wringinanom, dan Kedamean. Dengan demikian dampak banjir pada kawasan peri-urban ini menimbulkan kerugian sosial ekonomi bagi masyarakat yang terkena bencana. Penanganan banjir pada Kali Lamong tidak berjalan mudah, mengingat banyak pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan pengelolaan wilayah aliran sungai yang melintasi beberapa daerah kabupaten/kota. Secara kewilayahan menurut RTRWP Jawa Timur 2011-2031 pengaturan sungai dan sistem pengendali banjir Kali Lamong tersebar di Kabupaten Gresik, Kabupaten Mojokerto dan Kota Surabaya dengan luas DAS Kali Lamong 720 km2 dan mempunyai panjang total kurang lebih 83,70 km. Dalam RTRW Kabupaten Gresik 2010-2030 ditetapkan kawasan rawan bencana banjir
terdapat di Kecamatan Balongpanggang, Kecamatan Benjeng, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Cerme dan Kecamatan Menganti merupakan DAS Kali Lamong. DAS Kali Lamong merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan sumber daya air dalam wilayah Sungai Bengawan Solo yang menjadi tugas dan kewenangan dari Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Ditjen SDA Kementerian PU. Pada wilayah-wilayah potensial terjadi genangan yang mempunyai tingkat risiko tinggi terjadinya bencana banjir, pihak-pihak terkait harus mampu secara signifikan menurunkan tingkat risikonya. Menurut Smith dan Petley (2009) pengurangan risiko dapat dilakukan melalui perlindungan prabencana dan pemulihan pasca-bencana. Pada kasus DAS Kali Lamong yang mempunyai tingkat risiko banjir tinggi, banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam penurunan risiko menjadi tantangan tersendiri agar pengendalian bencana banjir dapat dilakukan secara efektif. Menurut Paul (2011), kerentanan institusional berkaitan dengan kebijakan pemerintah, dan lembaga-lembaga publik dan swasta, serta seberapa efektif kebijakan dan organisasi tersebut dalam mengurangi kerentanan dan/atau pemulihan dari bencana. Hal ini juga mengacu pada kemampuan organisasi yang terkait untuk secara sungguh-sungguh menanggapi peristiwa bahaya. Ketika mengacu langsung kepada lembaga-lembaga pemerintah, jenis kerentanan mengacu pada kemampuan lembaga pemerintah untuk membuat kebijakan dan melaksanakannya secara efektif. Dengan demikian menurut Paul (2011), kerentanan institusional tidak selalu dan bukan berarti bahwa lembaga-lembaga yang rentan, melainkan lembaga ini menyebabkan orang lain menjadi lebih rentan terhadap bahaya dan bencana. Jika sebuah institusi, seperti pemerintah daerah, gagal untuk menegakkan peraturan
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
pembangunan untuk bahaya tertentu yang sering terjadi di daerah tersebut, hal ini dapat dianggap sebagai contoh kerentanan institusional. Sumber lain untuk kerentanan institusional adalah ketika organisasi terkait tidak sepenuhnya menghargai dan berkomitmen untuk merespon ancaman bencana, ini dapat menyebabkan masyarakat benar-benar tidak siap menghadapi bencana. Metode Penelitian ini melakukan eksplorasi terhadap data-data sekunder dan literatur yang berkaitan dengan manajemen risiko bencana. Data-data sekunder yang digunakan berasal dari publikasi dan berita media massa selama periode 2011-2013. Berita-berita dan informasi yang berasal dari internet (media online) digunakan juga sebagai rujukan peristiwa dan kejadian yang sedang menjadi isu utama pada saat itu. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran informasi selanjutnya dianalisa berdasarkan konten berita yang sedang dibahas oleh pihak-pihat yang berkepentingan. Penelusuran informasi difokuskan pada analisa kausalitas (sebabakibat) untuk lebih memahami kronologis kejadian. Hasil dari analisa kausalitas selanjutnya digambarkan dalam bentuk diagram fishbone untuk memetakan permasalahan yang memunculkan masalah utama yang sedang diteliti. Dalam penilaian kelembagaan sektoral, data dikumpulkan dan diperiksa secara analisis berjenjang, pada tingkatan struktur politik, tingkatan sistem administrasi, dan tingkatan teknis sektoral, serta memberikan perhatian khusus terhadap dinamika kelembagaan dan hubungan antara instansi sektoral. Hasil Hasil analisa fishbone berdasarkan kajian konten informasi yang dihimpun dari beberapa sumber menunjukkan bahwa
kejadian banjir di Kali Lamong dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: 1. Faktor tata ruang wilayah 2. Faktor kondisi sungai 3. Faktor normalisasi sungai Faktor tata ruang wilayah menjadi salah satu penyebab banjir Kali Lamong akibat terjadinya perubahan tata ruang wilayah di DAS Kali Lamong, baik di bagian hilir maupun hulu sungai. Bila dilihat dari hasil kajian konten informasi yang dianalisa menunjukkan bahwa perubahan tata ruang ini sebagai akibat dari:
Alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah DAS Kali Lamong dimana pada bagian hulu terjadinya pengurangan luas hutan, di sepanjang sungai bagian hilir berubah fungsi menjadi permukiman atau tempat usaha, Sebelum tahun 1980-an, kondisi Kali Lamong masih normal. Fungsi Kali Lamong berubah seiring perkembangan penduduk dan industri, dengan ditandai banyaknya bangunan di tepi sungai. Pemanfaatan bantaran sungai mengalami perubahan bantaran sungai berubah fungsi ditanami warga, disamping itu juga masyarakat menggunakan bantaran sungai untuk mendirikan bangunan perumahan dan juga terdapat beberapa industri. Di bantaran Kali Lamong yang melintasi wilayah Kabupaten Gresik kini terdapat 1.300-an bangunan dan 17 unit industri. Hilangnya waduk, dimana waduk-waduk di sekitar Kali Lamong yang mestinya berfungsi sebagai retensi atau tempat penampungan sementara air kini sebagian disewakan untuk memelihara ikan atau ditanami.
Menurut hasil kajian konten informasi yang ada menunjukkan bahwa faktor kondisi sungai merupakan factor utama yang menjadi penyebab banjir Kali Lamong.
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Beberapa hal yang menjadi penekanan terhadap kondisi sungai adalah:
Badan secara topografis sungai landai, badan Kali Lamong di Gresik sangat landai sehingga tidak cepat mengalirkan air ke laut lepas. Jika turun hujan deras dan laut pasang, permukaan air Kali Lamong naik melebihi bibir sungai dan meluber menggenangi sawah dan permukiman. Daya tampung sungai terbatas terlihat dari jumlah debit air mencapai 750 meter per detik yang masuk, namun Kali Lamong hanya mampu menampung debit 250 meter per detik. Sementara itu informasi lain menyatakan selama ini banjir akibat luapan Kali Lamong karena debit sungai sudah melebihi kapasitas. Sekarang ini kapasitas Kali Lamong rata-rata 270 meter kubik per detik. Sedangkan dari data tahunan, debit sungai mencapai sekitar 400 meter kubik per detik. Berkurangnya kapasitas Kali Lamong ini, karena terjadinya pendangkalan dan pemukiman yang ada di kanan kiri sungai. Kondisi tanggul kritis menyebabkan tanggul mudah jebol/rusak ketika terjadi banjir, sehingga tidak mampu menahan aliran dan luapan air Kali Lamong dan jebolnya tanggul berdampak pada meluasnya banjir. Masih banyak bantaran sungai tidak bertanggul dijumpai sepanjang ± 7 km antara Kecamatan Benjeng sampai Kecamatan Cerme. Banjir paling parah memang di wilayah Gresik karena dari 131 kilometer aliran Kali Lamong, sepanjang 54 km di antaranya di wilayah Gresik dan tidak semuanya bertanggul. Penyempitan alur sungai dijumpai pada beberapa titik lokasi merupakan akibat dari pembangunan permukiman yang menjorok ke alur sungai dan terjadinya sedimentasi pada beberapa titik lokasi. Banyaknya endapan di Kali Lamong
membuat badan sungai ada yang tinggal 15 meter. Pendangkalan muara akibat tingginya tingkat sedimentasi dimana kondisi menunjukkan bahwa pendangkalan terjadi terus-menerus dengan laju sedimentasi (pengendapan) 12 sentimeter per tahun. Kini pendangkalan bahkan mencapai lebih dari 4 meter. Pendangkalan ini terjadi karena erosi yang ada di hulu dan gerusan di tebing kanan kiri sungai.
Sumber: http://kabargress.com/2013/01/28/
Gambar 1. Kondisi Alur Kali Lamong Seperti kejadian banjir di daerah lain, banjir selalu diakibatkan oleh ulah manusia, baik itu di hulu, hilir, maupun daerah bantarannya. Oleh sebab itu, upaya penertiban daerah bantaran, pengerukan, normalisasi, dan tentu rehabilitasi hutan harus menjadi prioritas penanggulangannya. Dari penelusuran informasi media online menyebutkan bahwa pengerukan dan normalisasi aliran Kali Lamong menjadi usulan berbagai pihak untuk mengurangi risiko banjir Kali Lamong. Faktor normalisasi sungai menjadi penting untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya banjir, namun kondisi yang ada menjukkan progress dan proses normalisasi sungai masih menghadapi berbagai kendala. Bila
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
dilihat dari hasil kajian konten informasi yang dianalisa menunjukkan bahwa belum efektifnya pengendalian banjir melalui upaya normalisasi sungai sebagai akibat dari:
Pembagian tugas dan kewenangan institusi baik secara horizontal maupun vertikal menjadi perhatian dalam penanganan banjir Kali Lamong. Pengelolaan Kali Lamong masuk Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. Balai akan menormalisasi sungai pada daerah kritis penyebab meluapnya Kali Lamong. Selain BBWS Bengawan Solo, penanganan Kali Lamong juga melibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, Gresik, Mojokerto dan Kota Surabaya. Untuk daerah, memiliki tugas untuk membaskan lahan, sedangkan dari pemerintah pusat melalui BBWS Bengawan Solo tugasnya pekerjaan fisik. Pembebasan tanah sulit menyebabkan normalisasi Kali Lamong diprediksi akan terhambat. Ini dikarenakan warga di sepanjang bantaran sungai mematok nilai tinggi jika tanahnya dibebaskan. Mereka meminta uang kompensasi yang nilainya cukup tinggi. Sehingga proses pembebasan tanah akan ada hambatan. Warga yang tanahnya berada di sepanjang bantaran kali Lamong diupayakan untuk dibebaskan dengan sejumlah ganti rugi. Koordinasi antar instansi masih perlu diintensifkan lagi untuk pengendalian banjir karena meski berkali-kali terjadi banjir, upaya penanganan serius tampaknya belum terlihat, kecuali upaya darurat. Agar tepat sasaran, penanganan Kali Lamong perlu dilakukan secara terpadu dengan koordinasi lintas wilayah
dan sektoral, termasuk melibatkan jasa tirta dan industri di sekitar Kali Lamong. Keterbatasan anggaran minimnya anggaran penanganan banjir tersebut dikarenakan dalam penyusunan anggaran, BBWS ragu karena pembebasan lahan untuk pembangunan tanggul untuk sungai Kali Lamong yang meliputi empat daerah yakni Gresik, Mojokerto, Lamongan dan Surabaya belum jelas. Pemda Kabupaten Gresik belum bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan warga wilayah Gresik selatan yang terkena banjir akibat luapan Kali Lamong. Penyebabnya adalah keterbatasan dana yang dianggarkan.
Sumber: http://bola.kompas.com/read/2011/02/18/04131667/
Gambar 2. Penanganan Tanggul Jebol oleh Warga Pengendalian daya rusak air merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik dilakukan pada tahap pra-bencana maupun pasca-bencana, dengan melibatkan lembaga pemerintah sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Untuk mengatasi permasalahan banjir Kali Lamong yang terjadi di wilayah Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya perlu dilakukan analisis posisi dan peran lembaga pemerintah yang terkait dengan manajemen penanganan banjir.
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
PENYEBAB BANJIR KALI LAMONG TATA RUANG
NORMALISASI SUNGAI
Alih Fungsi Lahan
Pembagian Kewenangan
Pemanfaatan Bantaran Sungai
Koordinasi antar Instansi
Pembebasan Lahan Sulit
Anggaran Terbatas
Hilangnya Waduk
BANJIR KALI LAMONG
Badan Sungai sangat landai
Daya Tampung Sungai Terbatas
Kondisi Tanggul Kritis Penyempitan Alur Sungai
Masih Banyak Sungai Tidak Bertanggul
Pendangkalan Muara KONDISI SUNGAI Sumber: Hasil Analisa dari media online
Gambar 3. Analisa Fishbone Permasalahan Banjir Kali Lamong Tabel 1. Posisi dan Peran Lembaga Pemerintah dalam Penanganan Banjir Kali Lamong No. 1. a.
Lembaga Pemerintah Pemerintah Pusat: Kementerian PU Ditjen SDA Balai Besar Wil. Sungai Bengawan Solo (BBWSBS)
b.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
2. a.
Tugas Pokok Melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai Bengawan Solo. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur Dinas Pekerjaan Umum Melaksanakan urusan pemerintahan daerah Pengairan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang pekerjaan umum pengairan. Salah satu kewenangannya melakukan kerjasama konstruksi dan atau
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Peran Penanganan Kali Lamong terkait dengan pengerukan dan normalisasi sungai, termasuk penganggaran kegiatannya. menyalurkan bantuan bahan kebutuhan pokok kepada korban banjir Kali Lamong, dan menindaklanjuti dengan bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi setelah dilakukan verifikasi. Membantu proses pembebasan tanah dalam rangka normalisasi sungai dan peninggian tanggul.
b.
3. a.
b.
4. a.
operasi dan pemeliharaan prasarana SDA dengan kelompok masyarakat atau badan usaha dalam bidang konservasi SDA,pengembangan dan pengusahaan sumber daya air serta pengendalian daya rusak air. Badan Penanggulangan Menetapkan pedoman dan pengarahan Bencana Daerah (BPBD) terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana; Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang. Pemerintah Kabupaten Gresik: Dinas Pekerjaan Umum Menyelenggarakan urusan bidang Pekerjaan (DPU) Umum, Kebinamargaan, pengairan, tata ruang, keciptakaryaan, perumahan dan permukiman yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi; Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana; Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
Pemerintah Kota Surabaya Dinas Pekerjaan Umum Melaksanakan urusan pemerintahan daerah Bina Marga dan Pematusan berdasarkan azas otonomi dan tugas (DPUBMP) pembantuan di bidang Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan. Penanganan pematusan meliputi pelaksanaan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kota; penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya; pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kota.
Sumber: hasil analisa dari media online
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Memantau pergerakan air genangan dan melakukan penanganan darurat, serta melakukan pendataan korban banjir.
menginventarisir kerusakan infrastruktur dan berupaya peninggian tanggul yang ada di sejumlah titik yang rusak akibat tanggul jebol pada saat bencana banjir. Selain itu, pengerukan aliran Kali Lamong juga akan dilakukan. Membantu proses pembebasan tanah untuk normalisasi sungai dan pembangunan tanggul. meringankan korban banjir dengan memberikan bantuan sembako dan bantuan makanan. Memberikan informasi kejadian bencana banjir dan kerugian yang diderita warga.
melakukan upaya pembebasan tanah milik warga yang menjorok ke sempadan Kali Lamong; melaksanakan normalisasi sungai di wilayah yang menjadi kewenangannya
Manajemen risiko bencana dapat dilakukan melalui skenario mengatasi banjir Kali Lamong dengan normalisasi sungai, pengerukan, penanggulan bantaran sungai, dan pembuatan embung, serta memfungsikan kembali waduk di sekitar Kali Lamong. Dalam kaitan ini pihak-pihak yang terlibat tidak hanya pada tingkat pemerintah kabupaten/kota, namun juga melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Penanganan kegiatan dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan masingmasing lembaga/instansi. DAS Kali Lamong merupakan kewenangan BBWSBS, sehingga tanggung jawab pengendalian risiko banjir berada pada pihak BBWSBS. Namun demikian pihak-pihak lainnya mendukung rencana kegiatan yang dilakukan oleh BBWSB. Pemerintah Kota Surabaya belum membentuk lembaga BPBD sebagaimana yang telah diinstruksikan oleh BNPB.
untuk mengurangi risiko bencana atau mengubah kondisi sosial, maka hal ini dapat memperburuk kerentanan sistem (Adger, 2006). Oleh sebab itu, aspek kelembagaan menjadi salah satu atribut yang harus dipertimbangkan dalam ketahanan bencana mulai dari pra-bencana hingga pascabencana karena terkait dengan berbagai kepentingan mulai pada tingkat lokal hingga tingkat nasional (Zhou et al., 2010). Meningkatnya kerentanan terhadap banjir dan tidak ada jaminan perbaikan yang signifikan dalam respon kelembagaan, maka hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap peristiwa banjir yang terjadi (Manock, et al. 2013).
Pembahasan Kelembagaan memainkan peran kunci dalam operasionalisasi fase yang berbeda dari kerangka manajemen risiko bencana dan mediasi hubungan antara pembangunan, manajemen risiko bencana dan tindakan kemanusiaan (Baas, et al. 2008). Penyebab munculnya bencana yang berlangsung berulang-ulang dapat disebabkan oleh kegagalan kelembagaan dalam merespon hadirnya bencana. Kerentanan kelembagaan disebabkan suatu lembaga tidak memiliki kemampuan administrasi, kapasitas organisasi, keuangan, dan politik untuk secara efektif mampu menanggulangi bencana dan pihak-pihak yang rentan (Ahrens and Rudolph, 2006). Pengembangan kelembagaan diperlukan untuk memacu kegiatan pembangunan dan mengurangi kerentanan terhadap bencana, tidak cukup hanya mengandalkan dukungan dari pihak lain. Ketika suatu lembaga gagal
Sumber: Zhou et al. 2010.
Gambar 4. Tiga Dimensi Model DRLRL (Disaster Resilience of "Loss - Response" of Location) Meskipun beberapa lembaga yang terkait dengan penanggulangan bencana telah menerapkan pendekatan preventif dalam mengelola risiko bencana, namun penggunaan sumber daya keuangan mereka dibatasi secara legal dan terikat untuk digunakan hanya membiayai kegiatan tertentu, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam APBD dan/atau APBN. Sebagaimana rencana normalisasi Kali Lamong untuk mengatasi bencana banjir di Kabupaten Gresik tahap awal disiapkan dana Rp 26
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
miliar. Dana dari Pemerintah Kabupaten Gresik dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur masing-masing Rp 3 miliar, serta dana dari APBN sebesar Rp 20 miliar untuk fisik normalisasi Kali Lamong. Pengerjaan proyek normaliasi sungai dilaksanakan muilai pertengahan 2011 dan ditargetkan selesai tahun 2013. Namun pelaksanaan pembangunan pada tahun sebelumnya kurang maksimal karena terkendala pembebasan lahan khususnya di wilayah Gresik. Sehingga anggaran tidak terserap hingga 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara sistem administrasi proyek, hubungan antar lembaga pemerintah, dan pengelolaan keuangaan belum berjalan secara efektif, meskipun dukungan politik dari Kepala Daerah maupun DPRD cukup besar. Adapun anggaran sisa yang berhubungan dengan penanggulangan bencana tidak bisa dialihkan untuk membiayai inisiatif pencegahan bencana lainnya di luar yang sudah dialokasikan sebelumnya. Aliran Kali Lamong dari hulu ke hilir panjangnya 131 kilometer aliran Kali Lamong, sepanjang 54 km berada di wilayah Gresik, dan 13,5 km panjang sungai ini berada di wilayah Surabaya. Untuk mengurangi risiko banjir pada wilayah ini diupayakan melalui normalisasi sungai, pengerukan sungai, serta pembangunan dan penguatan tanggul sungai. Sebagaimana disepakati antar instansi, dimana tanggung jawab BBWSBS melakukan normalisasi dan pengerukan sungai dengan alokasi anggaran Rp 20 milyar melalui APBN, sedangkan Pemerintah Daerah (Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya) melakukan pembebasan lahan pada wilayahnya masing-masing. Kota Surabaya melalui DPUBMP dengan alokasi APBD sebesar sekitar Rp 2 milyar telah menyelesaikan proses pembebasan tanah, sehingga BBWSBS sudah dapat melakukan kegiatan normalisasi dan pengerukan sungai di wilayah Surabaya. Kabupaten Gresik
melalui DPU mengalokasikan sekitar Rp 3 milyar untuk pembebasan tanah, namun masih terkendala tingginya tuntutan ganti rugi dari masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai. Kondisi ini menyebabkan alokasi APBN melalui BBWSBS tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk kegiatan normalisasi dan pengerukan sungai. Adanya perbedaan kinerja organisasi pada tingkat daerah ini secara langsung berdampak pada lambannya upaya pengurangan risiko bencana banjir, mengingat Kali Lamong sebagai satu wilayah sungai yang harus dikelola secara terpadu. Tata ruang sebagai platform bersama untuk mengurangi risiko bencana harus mampu diadopsi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. BPBD Kabupaten Gresik mempunyai tugas menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana harus menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana dan rencana tindak pengendalian banjir Kali Lamong. Peta kawasan rawan bencana harus menjadi media komunikasi antar pelaku pembangunan yang terlibat dalam pengelolaan risiko bencana. Berkembangnya perumahan dan industri di bantaran Kali Lamong yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pada akhirnya akan menyulitkan pengurangan risiko, bahkan secara tidak langsung pada akhirnya upaya normalisasi dan pembangunan tanggul sungai tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana alam tersebut, maka komponen manajemen risiko bencana alam perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana (Widiati, 2008).
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Sumber: Bappeda Kabupaten Gresik
Gambar 5. Kawasan Rawan Banjir di Kecamatan Menganti
Pengalaman yang dilakukan Pemerintah Selandia Baru (2008) dalam manajemen risiko banjir, ada beberapa hal yang menjadi pendorong untuk terwujudnya manajemen risiko bencana banjir adalah:
Kemauan politik dan tujuan pengurangan risiko yang disepakati Sumber daya yang dialokasikan Panduan manajemen risiko bencana Kebijakan pemerintah dan kerangka legislatif untuk mendukung manajemen risiko Ketersediaan informasi yang baik dan akurat Monitoring dan evaluasi
Kapasitas pemerintah dalam bidangbidang yang diintegrasikan
Dari informasi yang diperoleh menunjukkan besarnya kemauan politik dan komitmen Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Gresik) untuk mengatasi bencana banjir Kali Lamong. Optimisme juga ditunjukkan dengan target pada tahun 2013 proyek normalisasi Kali Lamong ini akan selesai. Namun kondisi ini belum didukung dengan kecukupan alokasi sumber daya (anggaran), sebagaimana disampaikan pejabat DPU Kabupaten Gresik bahwa permasalahan banjir di Kabupaten Gresik tidak mampu ditanggulangi sendiri oleh
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Pemerintah Kabupaten Gresik, utamanya banjir yang disebabkan luapan Kali Lamong dan Bengawan Solo, sebab biayanya sangat besar yang tidak bisa dibiayai APBD Kabupaten Gresik. Sharing dalam mengalokasikan sumber daya (anggaran) antara Pemerintah Kabupaten Gresik, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat, di satu sisi dapat menutup kekurangan sumber daya (anggaran) yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Gresik. Di sisi lain akan meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memadu-serasikan bidang-bidang yang mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda. Sebagai contoh pembagian tugas dari kegiatan normalisasi Kali Lamong, dimana pemerintah pusat bertanggung jawab mengalokasikan dana untuk pelaksanaan normalisasi, pengerukan, dan pembangunan tanggul sungai, sedangkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten bertanggung jawab dalam pembebasan tanah. Pemaduserasian alokasi sumber daya (anggaran) dapat dilakukan secara efektif, jika didukung kerangka kebijakan pemerintah dan legislasi yang jelas. Adanya panduan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya, baik dalam pentuk petunjuk teknis maupun prosedur operasi standar (SOP), memudahkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam bertindak sesuai dengan panduan yang ada. Dalam proses pembebasan tanah untuk normalisasi dan pembangunan tanggul sungai, pihak pemerintah daerah akan bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, dan mengesampingkan tuntutan masyarakat yang dianggap tidak wajar. Meskipun konsekuensinya proses pembebasan tanah untuk kepentingan tersebut tidak berjalan dengan lancar.
Simpulan Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana pada DAS Kali Lamong harus memperhatikan faktor-faktor tata ruang, kondisi sungai, dan normalisasi sungai. Pendekatan kelembagaan diperlu difokuskan pada pengendalian pemanfaatan bantaran sungai, poses pembebasan tanah, penganggaran pembangunan, dan kewenangan masing-masing lembaga. Untuk melakukan manajemen risiko bencana banjir Kali Lamong tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan salah satu lembaga. Keterbatasan kewenangan dan sumber daya membuat setiap lembaga pemerintah bertindak sesuai dengan panduan dan aturan yang ditetapkan, namun harus didukung komitmen yang kuat, kerjasama antar lembaga yang terintegrasi, dan kejelasan tujuan yang hendak diwujudkan bersama. Daftar Rujukan Adger, W.N. 2006. Vulnerability. Global Environmental Change 16: 268–281. Ahrens, J. and Patrick M. Rudolph. 2006. The Importance of Governance in Risk Reduction and Disaster Management. Journal of Contingencies and Crisis Management. Volume 14, No. 4, December 2006: 207-220. Baas, Stephan et al. 2008. Disaster risk management systems analysis. FAO Environment and Natural Resources Service Series, No. 13 – FAO. Rome. Manock, Ian et al. 2013. Perceptions of institutional and social response to frequent flooding in an Australian rural town. Australian Journal of
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Emergency Management. Volume 28, No. 1, January 2013: 42-48.
untuk-Normalisasi-Kali-Lamong#sthash.sLUnEJI9.dpuf
New Zealand Government. 2008. Meeting the Challenges of Future Flooding in New Zealand. Ministry for the Environment. Wellington, New Zealand.
http://portalgresik.com/2011/04/05/normalis asi-kali-lamong-diperkirakanterhambat/
Paul, Bimal Kanti. 2011. Environmental hazards and disasters: contexts, perspectives and management. Wiley-Blackwell. Oxford, UK.
http://gresikselatansuwandi.blogspot.com/2011/05/pem kot-surabaya-normalisasi-kalilamong.html
Plate, E.J. 2002. Flood risk and flood management. Journal of Hydrology 267 : 2–11. Raschky, P.A. 2008. Institutions and the losses from natural disasters. Natural Hazards and Earth System Sciences 8: 627–634. Smith, Keith and Petley, David N. 2009. Environmental Hazards: Assessing risk and reducing disaster. Fifth Edition. Routledge. New York, NY. Widiati, Ati. 2008. Aplikasi Manajemen Risiko Bencana Alam dalam Penataan Ruang Kabupaten Nabire. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 10 No. 1 April 2008: 7-15. Zhou, H. et al. 2010. Resilience to natural hazards: a geographic perspective. Natural Hazards 53 (1): 21–41. Internet dan Media Online: http://regional.kompas.com/read/2011/04/03 /22392124/Normalisasi.Kali.Lamong .Terkendala.Lahan http://bola.kompas.com/read/2011/02/18/04 131667/Normalisasi.Kali.Lamong.Di tunggu
http://mediakontraktor.com/Berita/Baca/240 0
http://www.surabayapagi.com/index.php?3b 1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829624 81d260298e71d7bc7bb8d774e9a132 6 http://www.surabayakita.com/index.php?opt ion=com_content&view=article&id= 2427:kali-lamong-dikeruk-telananggaran-rp-20m&catid=25:peristiwa&Itemid=28 http://www.koran-sindo.com/node/303368 http://www.antarajatim.com/lihat/berita/103 541/anggaran-banjir-bengawan-solokali-lamong-rp12-miliar http://antarajatim.com/lihat/berita/103605/pe mbangunan-tanggul-kali-lamongterkendala-pembebasan-tanah http://onlinegresik.blogspot.com/2013/11/apbdgresik-tak-mampu-tanganibanjir.html http://gresikterkini.blogspot.com/2011/04/bn pb-bantu-korban-banjir-digresik.html http://kabargress.com/2013/01/28/komisi-cdorong-dinas-pu-bina-marga-danpematusan-atasi-banjir-kali-lamong/
http://108jakarta.com/news/2013/12/24/371 01/Pemerintah-Anggarkan-Rp3-M-
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59
Jurnal Penataan Ruang, Volume 8, Nomor 2, 2013, Halaman 48-59