BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya menuntut setiap orang untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu pelaksanaan pekerjaan untuk kepentingan diri sendiri, hasil akan dinikmati oleh para anggota rumah tangga itu sendiri dan demikian pula apabila timbul resiko akan dipikul secara bersama-sama oleh mereka. Pekerjaan demikian diistilahkan dengan pekerjaan diluar hubungan kerja. Di samping itu, ada pelaksanaan pekerjaan dalam arti hubungan kerja dengan anggota masyarakat, dimana si buruh menggantungkan nafkahnya kepada pemberian orang lain yang umumnya merupakan upah/imbalan atas jerih payah pengerahan tenaga kerjanya untuk kepentingan orang yang mengerjakannya. Pekerjaan demikian dikenal dengan pekerjaan di dalam hubungan kerja.1 Dengan bekerja seorang buruh dalam ikatan hubungan kerja dengan pengusaha akan menerima upah sebagai imbalan atas hasil pekerjaannya. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam arti tidak membedakan jenis kelamin, suku ras, agama dan aliran politik
1
Gunawi Kartasapoetra, dkk, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung, hlm. 28.
1
2
sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan yang sama terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sedangkan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomis semata tetapi juga nilai kemanusiaan yang tinggi , oleh karena itu pekerjaan merupakan hak bagi setiap orang untuk dapat meningkatkan kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya. Hal ini mempunyai andil dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual, sesuai dengan salah tujuan negara kita, yaitu kesejahteraan umum. Dalam suatu hubungan kerja antara buruh dan pengusaha tidak sepenuhnya
diserahkan
kepada
para
pihak.
Tujuan
pembangunan
ketenagakerjaan salah satunya menciptakan keadilan sosial di bidang ketenagakerjaan dan untuk mencapai keadilan sosial akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu menguasai pihak yang lemah, sehingga pemerintah turut serta dalam menangani masalah ketenagakerjaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
3
memberi hak kepada buruh sebagai manusia yang lemah kedudukannya harus dilindungi baik menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja, upah yang layak dan lain-lain, juga menyangkut kepentingan pengusaha yaitu kelangsungan usaha. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha dan buruh. Ikut campur tangannya pemerintah melalui peraturan perundangundangan membuat sifat hukum ketenagakerjaan menjadi ganda yaitu bersifat hukum publik dan hukum privat sekaligus. Bersifat publik karena untuk menegakkan, pemerintah harus campur tangan dengan cara mengawasi pelaksanaan peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan serta memberikan sanksi pidana, denda dan administrasi bagi pelanggarnya, sedangkan sifat privat karena lahirnya hukum kerja adalah karena adanya hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha yang didasari adanya suatu perjanjian. 2 Dalam melakukan suatu pekerjaan dibutuhkan suatu aturan yang mengikat antara buruh dan pengusaha dengan perjanjian kerja yang berisi mengenai hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang menimbulkan akibat hukum. Pasal 50 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha. Perjanjian kerja dimaksudkan untuk memberikan suatu jaminan kepastian hak dan kewajiban bagi buruh maupun pengusaha. Substansi perjanjian kerja harus benar sesuai dengan 2
Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja Bidang Hubungan Kerja, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.18.
4
ketentuan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menganut Hubungan Industrial berdasarkan Pancasila, maka manusia bekerja bukan sebagai obyek atau faktor produksi, melainkan sebagai subyek atau perilaku dalam proses produksi maupun sebagai manusia pribadi dengan harkat dan martabatnya. Para pihak yang mengadakan perjanjian kerja yaitu buruh dan pengusaha mempunyai tingkat ekonomi yang berbeda, sehingga pihak yang ekonominya lemah akan mendapat perlindungan kerja dalam Hubungan Industrial berdasar Pancasila yang mengenal prinsip musyawarah untuk mufakat. Diadakannya suatu perjanjian kerja ini dilatarbelakangi pengalaman selama ini yang kerap terjadi kesewenangan-wenangan pengusaha terhadap buruh. Dengan perjanjian kerja yang memberikan perlindungan bagi masingmasing pihak, akan membawa akibat positif dalam peningkatan produksi sehingga pembangunan nasional dapat berjalan berkesinambungan. Prinsip kerja yang utama dalam perjanjian kerja yaitu dengan adanya keterikatan seorang buruh kepada pengusaha untuk bekerja dibawah perintah dengan menerima upah. Bila seorang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja berarti secara pribadi otomatis harus berada dibawah perintah orang lain. Dalam hal ini buruh dalam posisi yang lemah dan disisi lain di Indonesia, kondisi tenaga kerja yang melebihi dari jumlah kesempatan kerja yang ada menjadikan peluang bagi pengusaha untuk mengeksploitasi buruh. Seringkali karena pengusaha mempunyai hak tak terbatas atas buruh, tanpa
5
memperhatikan bahwa buruh juga mempunyai hak sebagaimana dalam perjanjian kerja yang dibuat. Buruh sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan, dengan mengingat bahwa untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit, maka kadang hanya bisa menerima perlakuan tanpa melakukan perlawanan apapun. Dengan kondisi yang demikian menjadikan Negara membuat peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan, yang mengatur mengenai perlindungan buruh. Perlindungan buruh dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003 meliputi : 1. Buruh penyandang cacat 2. Buruh anak 3. Buruh perempuan 4. Waktu kerja 5. Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 6. Pengupahan 7. Perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Perlindungan kepada buruh dimaksudkan agar pengusaha tidak akan bertindak sewenang-wenang dan masing-masing pihak akan melakukan hak dan kewajibannya sehingga memberi manfaat kepada para pihak dimana pengusaha tetap dengan kelangsungan usahanya dan dapat meningkatkan taraf penghidupan buruh. Pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Khusus untuk perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat
6
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap yaitu pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan, tetapi dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru , kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam perjanjian waktu tertentu tidak boleh lebih rendah dari pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk adanya perjanjian kerja waktu tertentu dalam upaya memberikan perlindungan terhadap buruh. Dalam kenyataan di lapangan masih dijumpai adanya pelanggaran terhadap syarat perjanjian kerja waktu tertentu seperti PT. Delta Merlin Sandang Tekstil II Sragen, dimana buruh berunjuk rasa yang salah satunya tuntutannya adalah penghapusan perjanjian kerja waktu tertentu untuk diubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena sifat pekerjaannya tetap.3Demikian juga yang terjadi di Perusahaan Sari Warna Asli Kabupaten Karanganyar puluhan buruh melakukan aksi mogok kerja menuntut penghapusan system perjanjian kerja waktu tertentu karena dinilai merugikan kepentingan buruh , dari total 800 an buruh di Perusahaan Sari Warna Asli, sekitar 200 buruh diantaranya berstatus sebagai karyawan kontrak dengan masa kontrak satu hingga tiga tahun, padahal ada tenaga kontrak yang ada bekerja lebih dari 4 tahun, namun 3
Diambil dari surat kabar harian Solopos. Tanggal 1 Juni 2005, hlm. 6.
7
sampai sekarang statusnya belum berubah dan keberadaan buruh kontrak tersebut disinyalir tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja setempat.4 Perusahaan juga melanggar aturan perjanjian kerja waktu tertentu karena memberlakukan pada buruh yang membidangi pekerjaan yang tak selesai untuk waktu tertentu seperti produksi, gudang, mekanik, utility serta staf kantor,5disamping itu masih banyak penyimpangan yang sering terjadi didalam perusahaan antara lain upah pekerja kontrak dibawah ketentuan UMK, tidak diikutkan dalam program Jamsostek, bekerja pada bidang yang bersifat terus menerus, buruh kontrak tidak mendapatkan THR.6 Melihat kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa masih adanya kesenjangan antara aturan yang ada dengan kenyataan di lapangan yang mengakibatkan buruh tidak mendapatkan perlindungan hukum secara wajar, disamping kendala lain yang dapat mempengaruhi perlindungan hukum terhadap buruh dalam perjanjian kerja waktu tertentu. Bertitik tolak dari hal-hal diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu sudah berjalan dengan semestinya dan kendala-kendala apa yang menghambat dalam rangka perlindungan hukum terhadap buruh khususnya pada Perusahaan tekstil di kota Surakarta dengan melakukan penelitian berjudul : “PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
BURUH
4
Diambil dari surat kabar harian Solopos. Tanggal 22 Mei 2007, hlm. 4.
5
Diambil dari surat kabar harian Solopos. Tanggal 24 Mei 2007, hlm. 2.
6
Libertus Jehani, 2008, Hak – Hak Karyawan Kontrak, Forum Sahabat, Jakarta, hlm. 4.
DALAM
8
PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DENGAN PENGUSAHA
PADA
PERUSAHAAN
TEKSTIL
DI
KOTA
SURAKARTA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi buruh dalam pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu pada perusahaan tekstil di Kota Surakarta? 2. Apakah yang menjadi kendala perlindungan hukum terhadap buruh yang terikat perjanjian kerja waktu tertentu pada perusahaan tekstil di Kota Surakarta ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi buruh dalam pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu dengan pengusaha pada perusahaan tekstil di Kota Surakarta. b. Untuk mengetahui kendala perlindungan hukum terhadap buruh yang terikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu pada perusahaan tekstil di kota Surakarta.
9
2. Tujuan Subyektif Untuk memperoleh data konkrit yang berhubungan dengan obyek penelitian guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelas S2 Magister Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hukum ketenagakerjaan yang menyangkut masalah perjanjian kerja waktu tertentu, 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam penyempurnaan kebijakan di bidang ketenagakerjaan khususnya perjanjian kerja waktu tertentu. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi pelaksana peraturan perundang-undangan dalam menegakkan hukum, serta dalam usaha mensosialisasikan peraturan pada masyarakat.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan diperoleh data bahwa penelitian tentang perlindungan hukum bagi buruh bukan yang pertama kali dilakukan. Sebelumnya terdapat beberapa penelitian, misalnya oleh Heppy
10
Indah Alamsari yang melakukan penelitian tahun 2010 tentang status pekerja kontrak dengan sistem outsourcing berkaitan dengan perjanjian kerja pada BRI Cabang Karanganyar. Penelitian tersebut mengkaji mengenai dapat tidaknya perubahan status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap dengan sistem outsourcing pada PT. Prima Karya Sarana Sejahtera dan pelaksanaan perjanjian kerja antara pekerja kontrak dengan perusahaan penyedia jasa sudah sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003. Ada pula penelitian dari Anjar Setyo Purnomo pa da tahun 2012 yang menulis tentang Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukoharjo dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing.Penelitian tersebut ingin mengkaji mengenai peran Dinas Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi
Kabupaten
Sukoharjo
dalam
memberikan
perlindungan hukum terhadap buruh outsourcing dan kendala yuridis yang dihadapi
dalam
memberikan
perlindungan
hukum
terhadap
buruh
outsourcing. Kedua penelitian tersebut menyangkut pekerja outsourcing, sedangkan penelitian ini tidak menyangkut mengenai pekerja outsourcing, tetapi pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu dengan pengusaha tekstil di Kota Surakarta. Dengan demikian maka dapat dikatakan penelititan ini telah memenuhi kaedah keaslian penelitian.