BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja kepada orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengutusnya, karena ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut.1 Perbudakan merupakan hubungan kerja yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Dalam perbudakan ada unsur pemberi kerja dan penerima/pelaksana kerja. Perbudakan ialah suatu keadaan dimana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah perintah pihak lain yaitu pemilik budak. Secara sosiologis budak adalah manusia, sama seperti pemiliknya namun secara yuridis budak tidak lebih dari barang milik pihak lain yang dapat diperjualbelikan dan dimiliki secara mutlak kehidupan sosial ekonominya bahkan hidup dan matinya.2 Pada saat ini kita sering kali dijumpai permasalahan di bidang ketenagakerjaan banyak pekerja/buruh yang mengalami ketidakadilan dalam
1 2
H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo Persada, Mataram, 1993, Hlm 1 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, Hlm 1
1
mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja/buruh yang dipekerjakan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya pekerja/buruh yang tidak memahami atau tidak mengerti prosedur atau cara untuk menuntut hak-haknya yang terdapat di dalam perjanjian kerja. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian kerja pada dasarnya adalah buruh dan pengusaha. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun pengusaha berdasarkan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai berikut: a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemberi kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha,
badan
hukum,
atau
badan-badan
lainnya
yang
memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
2
lain. Adapun perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai berikut:3 a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Objek hukum dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan kewajiban masing-masing pihak secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja atau hal lain akibat adanya hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas bagi pengusaha dan upaya peningkatan kesejahteraan oleh buruh. Objek hukum dalam hubungan kerja tertuang di dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian kerja bersama. Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan, sehingga apabila ada ketentuan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perusahaan maka yang berlaku adalah peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan yang membuat adalah pengusaha secara keseluruhan. Perjanjian kerja secara teoritis yang membuat adalah buruh dan
3
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Surabaya, 2009, Hlm 38-39
3
pengusaha, tetapi kenyataannya perjanjian kerja itu sudah dipersiapkan pengusaha untuk ditandatangani buruh saat buruh diterima kerja oleh pengusaha.4 Berbicara mengenai perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dinyatakan bahwa: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Lebih lanjut UU Ketenagakerjaan ini juga memuat definisi mengenai hubungan kerja yang terjalin setelah adanya perjanjian kerja, lebih tepatnya termuat dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dinyatakan bahwa: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Kemudian dengan adanya perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja, karena adanya ikatan perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja. Ketentuan-ketentuan di atas, telah mengatur bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh yang mempunyai
4
Ibid, Hlm 40
4
unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian, agar dapat disebut perjanjian kerja harus dipenuhi 3 (tiga) unsur. Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan5. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan harus dibuat surat pengangkatan. Syarat sahnya perjanjian kerja, mengacu pada syarat sahnya perjanjian perdata pada umumnya, adalah sebagai berikut: a. Adanya kesepakatan antara para pihak (tidak ada dwang-paksaan, dwaling-penyesatan/kekhilafan atau bedrog-penipuan); b. Pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk (bertindak) melakukan perbuatan hukum (cakap usia dan tidak di bawah perwalian/pengampuan); c. Ada (objek) pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. (Causa) pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak-pihak tidak memenuhi dua syarat awal sahnya (perjanjian kerja) sebagaimana tersebut, yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak cakap untuk bertindak maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Sebaliknya apabila perjanjian kerja dibuat tidak memenuhi dua
5
Pasal 51 UU Ketenagakerjaan
5
syarat terakhir sahnya (perjanjian kerja), yakni objek (pekerjaannya) tidak jelas dan causa-nya tidak memenuhi ketentuan maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void).6 Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
Perjanjian
kerja
selain
diatur
di
dalam
Undang-Undang
Ketenagakerjaan perjanjian kerja tersebut termuat di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Definisi mengenai perjanjian kerja waktu tertentu sendiri termuat di dalam Pasal 1 Angka 1 KEP.100/MEN/VI/2004 yang menyatakan bahwa: ”Perjanjian kerja waktu tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu”. Lebih lanjut lagi KEP.100/MEN/VI/2004 ini juga memuat definisi mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang termuat di dalam Pasal 1 Angka 2 yang menyatakan bahwa: “Perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang selanjutunya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”.
6
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm 45-46
6
Berkaitan dengan perjanjian kerja, perjanjian kerja selalu berhubungan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan, hal ini termuat di dalam Pasal 27 KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus”. Dari definisi dan pengertian perihal perjanjian kerja yang ada di atas, permasalahan
tentang
kualifikasi
jenis
perjanjian
kerja
di
kalangan
pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh sering kali terjadi perbedaan pendapat. Pada kenyataannya ketentuan mengenai perjanjian kerja yang termuat di dalam perundang-undangan ketenagakerjaan yang telah dibuat pemerintah untuk mensejahterakan pengusaha dan pekerja tidak semuanya berjalan dengan baik atau tidak sesuai dengan perundang-undangan yang telah ada. Sebagai contoh permasalahan yang terjadi terkait tentang kualifikasi jenis perjanjian kerja yang terdapat di dalam Putusan Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN/Yyk antara Warsito sebagai Penggugat dan PT. Jogja Tugu Trans sebagai Tergugat. Dalam pokok perkara ini, Warsito merupakan karyawan yang bekerja sebagai PRAMUDI pada PT. Jogja Tugu Trans (PT JTT) yang beralamat di Jalan Raya JogjaWonosari Km 4,5 No 24B Yogyakarta sejak 20 Februari 2008 dengan status PKWT yang selalu diperpanjang setiap tahunnya tanpa jeda waktu tertentu serta tanpa adanya
7
KEP.233/MEN/2003, Pasal 2, “Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan”.
7
masa percobaan. Warsito telah bekerja pada PT JTT sejak tanggal 20 Februari 2008 sampai dengan 02 Maret 2013 dengan status PKWT selama masa kerja terhitung Warsito (Penggugat) merasa dirugikan oleh PT JTT (Tergugat) karena Putusan Hakim Tingkat I menyatakan bahwa: MENGADILI -
Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian;
-
Tergugat telah melanggar ketentuan Pasal 58, Pasal 59 Angka 2 dan 7 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 15 Angka 4 KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, serta Pasal 3 KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang dijalankan secara Terus Menerus;
-
Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara Penggugat dan Tergugat demi Hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sejak tanggal 20 Maret 2011 pada saat dimulainya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ke 4.
Sedangkan Putusan Hakim Tingkat Kasasi menyatakan bahwa: MENGADILI -
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. JOGJA TUGU TRANS (PT JTT) tersebut;
8
-
Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk., tanggal 22 Desember 2014.
Perbedaan pertimbangan hakim yang berdampak pada perbedaan Putusan Majelis Hakim Tingkat I dan Tingkat Kasasi menjadi bahan kajian penelitian yang sangat menarik. Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi dengan judul “ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TINGKAT I DAN TINGKAT KASASI TENTANG KUALIFIKASI JENIS PERJANJIAN KERJA PADA PUTUSAN NOMOR 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk JUNCTO NOMOR 83 K/Pdt.Sus-PHI/2015 ANTARA WARSITO DAN PT JOGJA TUGU TRANS” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama sesuai dengan ketentuan-ketentuan
jenis
Perjanjian
Kerja
dalam
Undang-Undang
Ketenagakerjaan? 2. Apakah pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi menolak putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, yaitu:
9
1. Untuk mengetahui kesesuaian pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama dengan prinsip-prinsip jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. 2. Untuk mengetahui kesesuaian pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dengan prinsip-prinsip jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan untuk membantu menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kualifikasi jenis perjanjian kerja. 2. Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan untuk memberikan pemikiran yuridis terhadap hakim dalam memutuskan kualifikasi jenis perjanjian kerja. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti ini adalah Yuridis Normatif, yaitu: 1. Pendekatan yang digunakan yuridis normatif karena yang diteliti ialah pertimbangan hakim. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah putusan hakim dikaitkan dengan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang sedang penulis amati.8 2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
8
Peter Mahmud M, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hlm 136
10
Jenis data yang dipakai dalam penjatuhan putusan yaitu, data sekunder, berupa: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, seperti normanorma, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedia, kamus, dan lain-lainnya. 3. Unit Amatan dan Unit Analisis. Unit Amatan dari penelitian ini, yaitu: a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. b. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Transmigrasi. c. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP.233/MEN/2003 tentang Sifat dan Jenis Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus. d. Pertimbangan Hakim Tingkat I dan Tingkat Kasasi pada perkara Nomor: 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN/Yyk dan Nomor 83 K/Pdt.Sus-PHI/2015
11
Sedangkan yang menjadi Unit Analisis peneliti, yaitu kualifikasi jenis perjanjian kerja pada Perkara Nomor: 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN/Yyk dan Nomor: 83 K/Pdt.Sus-PHI/2015. F. Sistematika Penulisan Untuk memahami tulisan ini, sistematika penulisan terdiri dari, yaitu: BAB I tentang Pendahuluan, terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian. BAB II tentang Prinsip-prinsip Jenis Perjanjian Kerja, Hasil Penelitian, dan Analisis, yang terdiri dari tiga subbab yaitu subbab tentang Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja , subbab hasil Penelitian, dan subbab Analisis. Subbab Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja berisi tentang Pengertian Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Melahirkan Hubungan Kerja, Ciri-ciri Hubungan Kerja, Jenis-jenis Perjanjian Kerja. Subbab Hasil Penelitian berisi tentang: Perselisihan Hubungan Industrial antara Warsito dan PT Jogja Tugu Trans, Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat I dalam Putusan Nomor: 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN/Yyk, Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan Nomor: 83K/Pdt.Sus-PHI/2015. Subbab Analisis berisi tentang: Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat I dengan Prinsip-prinsip Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi dengan Prinsip-prinsip Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketengakerjaan. BAB III tentang Simpulan dan Saran.
12