BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang tentang reformasi masa pensiun yang tertuang dalam “LOI no 2010-1330 du 9 novembre 2010 portant réforme des retraites” (UndangUndang Perubahan Masa Pensiun Nomor 2010-1330 pada 9 November 2010)1 mendapat reaksi berupa demonstrasi secara besar-besaran di berbagai daerah di Prancis, seperti Paris, Marseille, Strasbourg, Nantes, Toulouse, Lyon, Avignon, Annecy, dan lain sebagainya. Pemerintah Prancis mencanangkan perpanjangan masa pensiun yang awalnya hanya 60 tahun menjadi 62-67 tahun. Melalui laporan ke delapan Conseil d'orientation des retraites – COR (Dewan Peninjau Pensiun) yang diluncurkan pada bulan April 2010, perpanjangan masa pensiunan dipicu oleh krisis keuangan tahun 2008 tentang pendanaan pensiunan berupa peningkatan pesat dalam jumlah pengangguran. Hal ini menyebabkan menurunnya kontribusi pekerja usia produktif terhadap negara sehingga fenomena ini juga terakumulasi dengan pensiunan muda sebelumnya. Dampak nyata yang terlihat ketika mogoknya para pekerja saat demonstrasi adalah terbengkalainya pelayanan publik seperti sekolah, transportasi, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan oleh sindikat pekerja yang tergabung dalam delapan sindikat pekerja Prancis, seperti La CGT
1
Lihat LOI no 2010-1330 du 9 novembre 2010 portant réforme des retraites tentang Undang Undang yang mengatur pensiunan di Prancis melalui http://socialsante.gouv.fr/IMG/pdf/Synthese_loi_retraite_pour_la_FPH.pdf
1
(Confédération Générale du Travail), La CFDT (Conféderation Français Démocratique du Travail), La FO (Force Ouvrière), La CFTC
(Confédération Française des
Travailleurs Chrétiens), La CGC (Confédération française de l'encadrement Confédération générale des cadres), L‟Unsa ( L'Union nationale des syndicats autonomes), Solidaire et La FSU (La Fédération syndicale unitaire) turun ke jalan
secara serentak di berbagai wilayah di Prancis. Demonstrasi yang terjadi dalam rentang waktu bulan Maret hingga November 2010 merupakan gelombang demonstrasi terbesar dalam sejarah Prancis yang melibatkan demonstran berkisar 900.000 hingga 3 juta demonstran menurut sindikat pekerja la CGT2. Demonstrasi kali ini memiliki tujuan menolak rancangan Undang Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis. Hal tersebut tercermin pada setiap poster yang dibawa oleh para demonstran dari berbagai sindikat pekerja. Secara umum, penuntutan pembatalan undang-undang dapat secara langsung diketahui tanpa harus melakukan observasi lebih lanjut. Akan tetapi, demonstrasi ini memuat banyak makna atau kepentingan yang dilatarbelakangi oleh sejarah dan ideologi masing-masing kelompok sindikat pekerja. Waktu, tempat, sasaran, serta tema atau tujuan yang ingin disampaikan melalui poster demontrasi pun berbeda-berbeda pada setiap demontrasi oleh masing-masing
2
AFP. 2010.”Réforme des retraites: Entre 900.000 et 3 millions de personnes dans les rues”. 20minutes. Dipublikasikan tanggal 2 oktober 2010. http://www.20minutes.fr/societe/60392320101001-societe-reforme-retraites-syndicats-parient-nouvelle-forte-mobilisation-samedii. Tanggal akses 12 Januari 2016
2
kelompok sindikat pekerja. Hal tersebut membuat poster memiliki kekuatan untuk mengontrol keadaan sosial. Poster atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah „banner‟ berasal dari bahasa Latin „banderia‟ atau „bandum‟. Menurut Effendy (1984:7), poster merupakan salah satu bentuk komunikasi yang tergolong dalam komunikasi medio (medio dari bahasa Latin yang berarti „pertengahan‟), sama seperti surat, pamflet, dan spanduk. Media poster cukup tepat digunakan untuk kampanye komunikasi publik maupun politik. Dalam analisis wacana kritis analisis yang dilakukan tidak hanya pada tataran teks poster, tetapi juga bagaimana teks tersebut diproduksi dan disampaikan kepada pembaca. Kekuatan dari poster terdapat pada pemilihan kata yang meyakinkan, dapat mempersuasif banyak orang, memprovokasi, dan membentuk solidaritas yang memuat ideologi kelompok tertentu untuk memperjuangkan sebuah kasus dalam demonstrasi. Oleh karena itu, poster dapat digolongkan menjadi sebuah wacana.
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=J7gF9Xpp4C8
3
(1) “Sarko-Joker Roi de la casse sociale” “Joker Sarko. Raja kasus sosial” Data di atas didapat dari demonstrasi la CGT (Confédération Générale du Travail) yang berlangsung di Paris pada tanggal 19 Oktober 2010. Contoh (1) terdapat
pola kosakata
yaitu kosakata memarjinalkan
yang terindikasi
mengucilkan salah satu pihak (lihat bab II, hlm 20 tentang pola kosakata). Sarko adalah korban dalam kalimat ini yang terkena marjinalisasi. Sarko diibaratkan sebagai joker dan raja yang mempunyai kasus sosial. Kasus sosial yang melibatkan Nicolas Sarkozy umumnya banyak sekali yang menciderai kepercayaan rakyat Prancis seperti tuduhan adanya pembiayaan illegal pada masa kampanye 2007. Kampanye tersebut mendapat kucuran dana dari Liliane Bettencourt (pemegang saham pertama L‟Oréal) melalui bendahara l‟UMP, yaitu Éric Woerth yang menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan saat Sarkozy menjabat sebagai Presiden. Perjanjian yang terjadi adalah Éric Woerth akan mengakuisisi sebuah bangunan klasik abad XVIII dengan arsitektur JacquesDenis Antoine, terletak di 6e arrondissement
yang bernama L'hôtel de la
Monnaie. Bangunan itu yang nantinya akan dibangun auditorium AndréBettencourt di Institut France. Pada contoh (1) terdapat metafora nominatif, yaitu kata „joker‟. Kata „joker‟ adalah istilah untuk kartu tambahan dalam kartu remi. Kartu remi berisikan 52 lembar dengan komposisi 4 jenis kartu (Spade, Heart, Diamond, dan Club) masing-masing terdiri 13 kartu (As, 2, 3, dst hingga King) plus kartu tambahan berupa joker hitam dan merah. Joker sering digambarkan dalam kartu
4
bergambar badut dengan ekspresi tidak jelas, antara tertawa sinis, lucu, ataupun licik. Joker adalah bunglon, ia bisa menyerupai posisi apa saja, baik sebagai prajurit maupun raja yang ditawan. Joker adalah penghianat. Ia bisa saja membantu keempat raja secara bergantian, dia bisa berteman dengan siapa saja yang membutuhkannya, dia tidak setia pada satu kerajaan, pada satu kepentingan. Akan tetapi ia bermain-main diantara kepentingan-kepentingan tersebut. Joker sebenarnya tidak begitu dibutuhkan, apabila susunan kerajaan solid, joker akan ditinggalkan sendiri di luar pagar menyaksikan kemenangan kerajaan. Joker juga tidak bernilai. Dalam satu kerajaan kehilangan 52 posisi sangat berarti bagi pemain, akan tetapi dengan adanya joker tidak menambah nilai keseluruhan, karena joker bernilai nol. Yang bisa dia lakukan hanyalah sukarela, membantu sejenak lalu pergi pada pertempuran selanjutnya. Sehingga joker adalah lambang kesendirian, dia tidak dimiliki oleh siapapun. Akan tetapi ketika ada, dia dimanfaatkan menjadi keuntungan. Tapi joker itu jenius, bagaimanapun juga dia bisa menjadi raja dengan gayanya yang individualis, dengan senyuman yang palsu dan sejuta strategi di kepalanya. Kata „joker‟ mempunyai makna yang implisit, yaitu seseorang yang bodoh dengan ilustrasi badut. Namun, ia licik dan mampu beradaptasi pada segala situasi konflik. Merupakan sosok yang mempunyai strategi dalam memenangkan sebuah pertandingan dengan segala cara walaupun pada akhirnya dia tidak bernilai dan terhormat di mata masyarakat. Begitulah kira-kira stereotipe yang ingin dibangun oleh si pembuat poster pada sosok Sarkozy.
5
Kata „roi‟ bermakna raja atau pemimpin. Akan tetapi, pada konteks ini bukanlah raja yang sebenarnya memimpin sebuah negara atau lembaga pemerintahan. Kata „roi‟ yang disandingkan dengan „casse sociale‟ bermakna „raja dari kasus-kasus atau masalah-masalah sosial‟. Sarko dijuluki sebagai raja dari kasus-kasus sosial, padahal dalam konteks ini dia adalah presiden Prancis yang kedudukannya adalah raja sebenarnya bagi masyarakat Prancis. Pada contoh (1) terdapat metafora nominatif subjektif yang mengibaratkan Sarko sebagai raja kasus sosial. Kasus sosial merupakan masalah-masalah sosial yang dipandang sejumlah orang di dalam masyarakat tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Oleh karena itu, pada contoh poster (1) dapat disimpulkan cara yang digunakan oleh sindikat buruh la CGT menolak rancangan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun pada poster (1) adalah dengan cara memojokkan pelaku yang mengusulkan rancangan Undang-Undang masa pensiun. Pelaku yang terpojokkan adalah Nicolas Sarkozy dan secara tersirat pelaku yang terpojokkan lainnya adalah Éric Woerth. Dua tokoh yang sangat berperan dalam melakukan intervensi Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis. Pada contoh (1) ini, Sarko ditempatkan pada posisi sebagai sumber dari masalah-masalah sosial yang tidak terselesaikan. Begitupun juga kasus masa pensiun ini, yang merupakan hasil rumusan dari Nicolas Sarkozy yang notabenenya adalah raja dari kasuskasus sosial. Pemakaian perumpamaan “joker” juga menempatkan Sarkozy sebagai seseorang yang mengeruk keuntungan dengan segala kondisi namun tidak bernilai di mata masyarakat karena tidak memperjuangkan kepertingan orang banyak (buruh).
6
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa di dalam poster banyak terdapat makna-makna yang memuat ideologi tertentu yang memengaruhi rakyat Prancis untuk melakukan sebuah perubahan. Dalam poster tersebut terdapat makna yang mungkin saja belum dapat dipahami dan diketahui oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang representasi teksteks poster demonstran dalam demonstrasi penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis tahun 2010. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis dari pandangan Norman Fairclough. Kajian ini memusatkan analisis terutama pada keterkaitan antara analisis teks, praksis kewacanaan, dan praksis sosiokultural. Sumber data penelitian ini adalah poster-poster demonstran yang terjadi pada demonstrasi penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis pada tahun 2010. Data yang diambil adalah poster-poster dari sindikat kelompok la CGT karena kelompok ini merupakan sindikat yang mempunyai jumlah anggota paling banyak dan yang paling terancam posisinya dengan adanya Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun tersebut. Demonstrasi mengenai kasus ini terjadi hingga sebelas kali dalam rentang waktu bulan Maret hingga November 2010 di berbagai titik di Prancis yang menimbulkan dampak seperti ditutupnya sekolah-sekolah, lumpuhnya transportasi, serta kacaunya jadwal penerbangan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, terdapat makna tersirat yang terdapat dalam poster demonstrasi penolakan Undang-Undang Perubahan Masa
7
Pensiun di Prancis tahun 2010 yang mendorong rakyat Prancis untuk melakukan sebuah demonstrasi besar-besaran. Maka pada penelitian ini mempunyai rumusan masalah yaitu bagaimana teks poster dari la CGT merepresentasikan penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun dalam demonstrasi tahun 2010 ?. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu mendeskripsikan teks-teks poster demonstran sebagai penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun melalui demonstrasi oleh sindikat pekerja la CGT di Prancis tahun 2010. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai analisis wacana atribut demonstrasi masih sangat terbatas dilakukan oleh para akademisi maupun nonakademisi. Adapun beberapa penelitian yang dapat menunjang penelitian ini adalah skripsi Taufiqur Rokhman (2013) dari Sastra Arab. Dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Dalam Poster Demonstrasi Pelengseran Presiden Suriah, Bassyar Al-Asad: Analisis Pragmatik”, diketahui bahwa poster demonstrasi merupakan bentuk ungkapan kritik terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah masyarakat. Umumnya, subjek berupa kritikan tersebut mengenai politik, budaya, ekonomi, dan kondisi sosial. Penelitian tersebut mengkaji keadaan politik di negara Timur dengan menggunakan kajian pragmatik. Kusnul Laili Marwansyah (2015) dari Sastra Arab dalam skripsinya yang berjudul “Presuposisi Dalam Pamflet Demonstrasi Arab Spring di Negara Mesir: Analisis Pragmatik” juga membahas pamflet demonstrasi Arab Spring
8
berdasarkan sudut pandang analisis presuposisinya dengan menitikberatkan pada jenis-jenis presuposisi serta pengklasifikasian pamflet demonstrasi berdasarkan modus kalimatnya. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah pamflet yang digunakan dalam demonstrasi Arab Spring, khususnya saat revolusi yang terjadi dua kali di Mesir, sedangkan objek formalnya adalah bahasa yang terdapat dalam objek material kemudian dianalisis menggunakan presuposisi. Tesis dari Arini Hidayah (2015) tentang “Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Obama Pada Mahasiswa Korea di Universitas Hankuk”, membahas tentang frame pidato dan kaitannya dengan ideologi, penggunaan kosa kata, dan struktur kalimat yang merepresentasikan frame pidato Obama pada mahasiswa Korea di Universitas Hankuk. Penelitian ini juga menggunakan analisis wacana krtitis dari pandangan Fowler dengan objek pidato Obama pada mahasiswa Korea di Universitas Hankuk. Penelitian ini mengkaji unsur-unsur linguistik dalam teks kemudian dikembangkan melalui analisis wacana kritis. Selanjutnya, tesis dari Amirotul Roifah (2013) tentang “Analisis Wacana Kritis Pada Headline Media Massa The Jakarta Post”, membahas isu kenaikan BBM yang terbit bulan Maret-April 2012 melalui media massa The Jakarta Post dengan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif analisis wacana kritis model “analisis perubahan sosial” yang dikembangkan oleh Fairclough. Model analisis yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik dan pemikiran sosial politik serta secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Fokus analisis hanya pada elemen representasi kata, metafora, tata bahasa, dan grafis.
9
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian mengenai poster demonstrasi Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis belum pernah dilakukan. 1.5 Landasan Teori Pada penelitian ini teori yang digunakan adalah teori analisis wacana kritis dari Norman Fairclough. Pada landasan teori ini akan dijelaskan mengenai analisis wacana dan analisis wacana kritis. 1.5.1
Analisis Wacana
Menurut Darma (2001:1) pada zaman Yunani Kuno bahasa telah menjadi bahan kajian. Hal tersebut disebabkan oleh bahasa dianggap sebagai alat untuk mengungkapkan
konsep-konsep
berpikir
dan
hasil
pemikiran
filosofi.
Kridalaksana (2011: 258) menyatakan bahwa wacana ialah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, pidato, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Menurut Darma (2001:4), wujud dan jenis wacana dapat ditinjau dari sudut realitasnya. Dalam kenyataanya wujud dari bentuk wacana dilihat dalam beragam buah karya si pembuat wacana, yaitu teks (wacana dalam bentuk wujud tulisan/grafis), seperti artikel, berita, cerpen, novel, features, dst. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain, percakapan wawancara, obrolan, pidato, dst. Act (wacana dalam wujud tindakan), antara lain, drama, film, tarian, demosntrasi,
10
dst. Sementara itu, artifact (wacana dalam wujud jejak), antara lain, bangunan, landcape, fashion, puing, dst. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan gabungan unsur-unsur bahasa terlengkap yang memiliki satuan gramatikal yang mengandung ide atau gagasan di dalamnya terwujud dalam bentuk tulisan (teks), ucapan (talks), tindakan (act), dan jejak (artifact). Oleh karena itu, wacana teks poster demonstran dalam demonstrasi penolakan UndangUndang Perubahan Masa Pensiun di Prancis tahun 2010 tergolong dalam wacana dengan dua unsur yaitu tulisan dan tindakan yang merupakan praktik sosial untuk tujuan dan kepentingan tertentu. 1.5.2
Analisis Wacana Kritis Fairclough
Dalam analisis wacana kritis analisis bahasa akan dilakukan secara kritis, yaitu mencari hubungan antara bahasa dan kekuasaan atau lebih tepatnya perubahan sosial oleh bahasa tersebut. Salah satu tujuan studi bahasa kritis secara praktis adalah untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa bahasa mempunyai kontribusi dalam mendominasi beberapa orang terhadap orang lain seperti yang dikemukakan oleh Fairclough (1989: 1) sebagai berikut. “The first is more theoretical : to help correct a widespread underestimation of the significance of language in the production, maintenance, and change of social relation of power. The second is more practical : to help increase consciousness of how language contributes to the domination of some people by others, because consciousness is the first step towards emancipation”
Fairclough mengungkapkan “hal pertama yang lebih mengacu secara teoritis: untuk mengoreksi persepsi yang mengabaikan kekuatan yang dimiliki
11
oleh makna dari bahasa terhadap produksi, pemeliharaan dan perubahan hubungan sosial. Hal kedua yang lebih mengacu secara praktis: untuk meningkatkan kesadaran atas kontribusi bahasa terhadap dominasi yang ditimbulkan beberapa orang dalam kehidupan bermasyarakat, karena kesadaran adalah langkah pertama menuju emansipasi”. Dominasi tersebut tidak disadari oleh masyarakat. Pada studi wacana kritis yang merupakan bagian dari analisis wacana kritis dijelaskan kesepakatan-kesepakatan yang merupakan hasil dari perebutan kekuasaan. Fairclough menekankan pada asumsi “akal sehat” yang secara implisit ada dalam kesepakatan layaknya orang-orang berbicara dan berinteraksi secara linguistik, tetapi mereka tidak menyadarinya. Asumsi tersebut adalah ideologi yang kaitannya sangat erat dengan kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh sifat ideologi tertanam pada kesepakatan tertentu, melegitimasi keberadaan hubungan sosial, dan perbedaan kekuasaan. Ideologi juga terkait erat dengan bahasa, bentuk paling umum dari perilaku sosial mengandalkan asumsi yang dimaksudkan di atas, seperti yang dikemukakan Fairclough (1989:2): “[…] trying to explain existing conventions as the outcome of power relations and power struggle. My approach emphasis upon “common-sense” assumption which are implicit in the conventions according to which people interact linguistically, and of which people generally not consciously aware […] such assumption are ideologies. Ideologie are closely linked to power […]because they are a means of legitimizing existing social relation and differences of power, simply through the recurrence of ordinary, familiar ways of behaving which take these relations and power differences for granted. Ideologies are closely linked to language is the commonest form of social behavior, and the form of social behavior where we rely most on “common-sense” assumption […]”
Fairclough
menyatakan
bahwa
“[…]mencoba
untuk
menjelaskan
keberadaan berbagai kesepakatan yang ada sebagai hasil hubungan kekuatan dan kekuatan perjuangan. Pendekatan yang ditekankan pada asumsi “akal sehat” secara implisit dalam berbagai kesepakatan menurut pandangan orang-orang yang 12
berinteraksi secara linguistik, dan orang-orang yang pada umumnya secara tidak sadar menyadari […] berbagai asumsi tersebut adalah ideologi. Ideologi sangat berkaitan dengan kekuatan […] karena memiliki pengaruh terhadap legitimasi hubungan sosial dan perbedaan kekuatan, sederhananya melalui berbagai cara biasa yang berulang, menimbulkan berbagai hubungan dan perbedaan kekuatan. Berbagai ideologi berkaitan erat dengan bahasa sebagai bentuk paling umum dari tingkah laku sosial dan bentuk dari tingkah laku sosial yang bergantung pada asumsi „akal sehat‟ ”.
Fairclough juga mengkategorikan wacana sebagai bahasa yang terbentuk dari praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial adalah hasil dari transformasi bahasa yang menempati kedudukan sebagai praktik sosial. Justifikasi pertama bahwa wacana adalah bagian dari masyarakat dan tidak tertutup kemungkinan juga bagian di luar masyarakat itu. Kedua, wacana merupakan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Ketiga, wacana adalah proses yang dikondisikan secara sosial dan kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kebahasaan dari masyarakat itu, seperti yang dipaparkan oleh Fairclough (1989: 18-19) “I have glossed the discourse view language as „language as a form of social practice‟. What precisely does this imply ? firstly, the language is a part of society, and not somehow external to it. Secondly, that language is a social process. And thirdly, that language is a socially contiditioned process, conditioned that is by other (non-linguistic) part of society.”
Selanjutnya, Fairclough mengungkapkan “ saya telah mendefinisikan wacana beberapa bahasa sebagai „bahasa sebagai bentuk praktik sosial‟. Apa yang diimplikasikan secara tepat ?. Pertama, bahasa adalah bagian dari masyarakat dan terkadang diluar dari itu. Kedua, bahasa adalah sebuah proses
13
sosial. Dan ketiga, bahasa adalah proses yang dikondisikan secara sosial, dikondisikan oleh berbagai bagian dari masyarakat (non-linguistik)”. Pendekatan mengenai bahasa sebagai wacana dan wacana sebagai praktis sosial, tidak hanya dilakukan pada analisis teks, tetapi juga dari analisis proses pada wacana tersebut atau intrepretasi. Akan tetapi, analisis pada hubungan antara teks, proses, dan kondisi sosial masyarakat itu dikemukakan oleh Fairclough (1989:21) sebagai berikut. “[…] in seeing language as discourse and as social practice, one is committing oneself not just to analyzing texts, nor just to analyzing process of production and interpretation, but to analyzing the relationsip between texts, process, ad their social condition […]”
Menurut Fairclough “[…]Melihat bahasa sebagai wacana dan sebagai praktik sosial, tidak hanya sebatas menganalisa teks, atau menganalisa proses produksi dan interpretasi, namun juga untuk menganalisis hubungan antara teks, proses, dan kondisi sosial”. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta yang ditemukan di dalam data kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis pandangan Norman Fairclough, terutama mendasarkan pada teks-teks bahasa, praksis kewacanaan, dan praksis sosiokultural. Penelitian ini mengambil data teks-teks poster-poster demonstran pada demonstrasi penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis tahun 2010. Data yang dipilih berjumlah 90 poster demonstran dari sindikat buruh
14
la CGT berlangsung dalam rentang bulan Maret hingga November 2010 di berbagai titik daerah Prancis. Dalam penelitian ini akan dilakukan tiga tahapan, yaitu penyediaan data, analisis data, penyampaian hasil, dan diakhiri dengan kesimpulan atau penutup. Tahap pertama dilakukan penyediaan yang diperoleh dengan metode simak. Penulis menyimak pemakaian poster-poster demonstrasi yang ditayangkan kembali di Youtube oleh kelompok la CGT di Prancis secara acak, kemudian semua
data
dicatat
sebagai
teknik
lanjutannya.
Selanjutnya,
data-data
diklasifikasikan sesuai dengan tempat dan tanggal demonstrasi. Tahap kedua ialah menganalisis dan menelaah data sesuai dengan metode analisis wacana kritis dari Norman Fairclough. Satu-persatu data akan dianalisis pada tataran teks yang meliputi kosakata, struktur kalimat, dan struktur teks. Selanjutnya, data akan dianalisis pada praksis kewacanaan yang merupakan interpretasi dari penulis terhadap poster tersebut. Interpretasi tersebut merupakan akumulasi analisis dengan analisis teks. Selanjutnya, analisis pada praksis sosiokultural, yaitu analisis yang memaparkan perubahan sosial masyarakat atas dampak yang dilakukan oleh poster tersebut. Pada titik inilah ketiga analisis diakumulasi dari penganilisian teks secara kritis, kemudian diintrepretasikan dan dipaparkan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat di Prancis. Tahap ketiga adalah penyampaian hasil penelitian secara kualitatif, yaitu mendeskripsi tentang bentuk-bentuk penolakan sindikat la CGT terhadap Undang
15
Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis tahun 2010 dalam bentuk kesimpulan yang akan diuraikan dalam bab tersendiri. 1.7 Sistematika Penyajian Bab I penelitian berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Selanjutnya Bab II merupakan kajian teori. Bab III berisi analisis poster demosntrasi la CGT berdasarkan wilayah di Prancis. Selanjutnya Bab IV berisi karakteristik poster penolakan Undang-Undang Perubahan Masa Pensiun di Prancis tahun 2010 oleh la CGT. Bab V berisi hasil akhir dan kesimpulan penelitian.
16