1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah resmi dan sah diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491, pada tanggal 15 Januari 2014. Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut terdapat 44 Pasal yang disempurnakan, baik berupa penambahan, penyisipan, perubahan substansi, maupun penghapusan. Salah satu pasal yang disempurnakan tersebut adalah Pasal 66, yaitu menjadi sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang: a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis Kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.
2
(4) Dalam hal Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan. Digantinya Rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut tidak lepas dari akibat dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Mei 2013. Putusan MK tersebut pada intinya menghapuskan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, karena dianggap bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya putusan MK tersebut menyebabkan berkurangnya perlindungan terhadap Notaris dalam menjalankan jabatan sebagai pejabat umum. Rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sejak awal memang menjadi hal yang krusial dan menimbulkan pro dan kontra dalam proses peradilan di Indonesia, terutama dalam kepentingan penyidikan. Dalam proses pemeriksaan Notaris atau pengambilan fotokopi minuta akta terdapat pertentangan kepentingan dan pemahaman peraturan antara penyidik dengan Notaris sebagai pihak yang diperiksa. Adanya lembaga Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagai lembaga yang melindungi Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum sesuai perintah undang-undang, justru dianggap mempersulit proses pemeriksaan Notaris dan membuat berlarut-larutnya proses penegakan keadilan.
3
Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris membuat seorang warga negara yang merasa terhambat dalam mendapatkan izin dari MPD untuk memeriksa Notaris dalam perkaranya mengajukan permohonan uji material (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.1 Permohonan judicial review tersebut diajukan oleh Kant Kamal yang memberikan kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus kepada Tomson Situmeang, S.H dan rekan. Pemohon menyatakan bahwa hambatan yang dialaminya tersebut terjadi karena MPD Kabupaten Cianjur tidak memberikan izin kepada penyidik untuk memeriksa Notaris dan mengambil fotokopi minuta Akta Penyimpanan Surat Nomor 7 tanggal 19 Desember 2010, yang dibuat di hadapan Syane Runtulalo, S.H., Notaris di Kabupaten Cianjur. Alasan diajukannya permohonan judicial review ini adalah karena pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh pasal tersebut yang menyebabkan terhambatnya proses penyidikan atas dugaan kasus pemalsuan akta autentik. Adanya ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dianggap bertentangan dengan persamaan kedudukan dalam hukum dan perlindungan serta kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
1
hlm.2.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta,
4
Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pada awal perumusan Pasal 66 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebelum adanya Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan pasal dalam UUJN yang meminimalisasi resiko pelanggaran rahasia jabatan oleh Notaris akibat adanya kepentingan proses peradilan. Namun demikian, adanya fakta dikeluarkannya Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012 dengan beberapa pertimbangan hukum yang kontroversial terkait kedudukan hukum Notaris menunjukkan bahwa masih banyak pihak yang kurang memahami kedudukan Notaris sebagai pejabat umum. Salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan tersebut adalah: [3.17] Menimbang bahwa terhadap Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris perlakuan yang berbeda dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan Notaris dalam melaksanakan tugas yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang berbeda terhadap jabatan Notaris tersebut diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris, sedangkan Notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang Notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan
5
pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (“justice delayed justice denied”); Berdasarkan pertimbangan nomor 3.17 diatas, terlihat bahwa dalam menjatuhkan putusan tersebut MK memandang Notaris dalam kapasitas pribadi sebagai seorang warga negara, dan bukan sebagai sebuah jabatan seperti yang diamanatkan oleh UUJN. Putusan MK tersebut juga otomatis menyebabkan tidak berlakunya lagi Peraturan Pelaksana UUJN, khususnya Pasal 66, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang pengambilan minuta dan pemanggilan Notaris. Dengan dimasukkannya lembaga baru yaitu Majelis Kehormatan Notaris dalam Rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris seperti yang telah disebutkan diatas, pada dasarnya telah mengembalikan perlindungan terhadap Notaris terkait pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris, walaupun pada saat penulisan hukum ini Peraturan Menteri yang mengatur tentang pelaksanaan Pasal 66 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris belum terbentuk. Adanya fakta bahwa MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012, menunjukkan bahwa banyak pihak yang kurang memahami tentang kedudukan asas equality before the law dalam jabatan Notaris. Jika tidak ada upaya pemahaman tentang asas tersebut kepada berbagai kalangan, maka bukan sesuatu yang mustahil apabila dikemudian hari ada pihak yang
6
mengajukan pembatalan lagi terhadap Pasal 66 UUJN tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian atas permasalahan tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua permasalahan yang relevan dengan judul yang dipilih. Adapun rumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) pada jabatan Notaris dalam rumusan Pasal 66 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris? 2. Apakah urgensi dipertahankannya suatu lembaga yang memberikan izin terkait pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam Perubahan Pasal 66 UUJN?
C. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran penelitian pada Kepustakaan Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada serta berbagai referensi dan hasil penelitian serta dalam media baik cetak maupun elektronik. Penelitian yang berkaitan dengan “Kajian Asas Equality Before The Law Pada Jabatan Notaris dalam Rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris” pada
7
dasarnya belum pernah dilakukan, mengingat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 baru mulai sah berlaku pada tanggal 15 Januari 2014. Namun demikian, mengingat bahwa pokok bahasan dalam penelitian ini berkaitan erat dengan pemanggilan dan pemeriksaan Notaris terkait kepentingan proses peradilan, maka penulis mendata beberapa tesis yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut, antara lain: 1. Implementasi Pemanggilan Notaris Menurut Pasal 66 ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di Kabupaten Bantul, oleh Agung Sulistyawan Novriyanto2. Penelitian ini membahas tentang pelaksanaan pemanggilan Notaris di Kabupaten Bantul, faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pemanggilan Notaris di Kabupaten Bantul, dan cara yang digunakan untuk mengatasi permasalahan pemanggilan Notaris di Kabupaten Bantul. 2. Implementasi Pemanggilan Notaris yang Terkait dengan Perkara Pidana Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris di Kota Makassar, oleh Andi Siti Aisyah3. Penelitian ini membahas tentang implementasi pemanggilan Notaris yang terkait dengan perkara dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pemanggilan Notaris yang terkait dengan perkara pidana.
2
Agung Sulistyawan Novriyanto, 2009, Implementasi Pemanggilan Notaris Menurut Pasal 66 ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di Kabupaten Bantul, Tesis, Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 7. 3 Andi Siti Aisyah, 2009, Implementasi Pemanggilan Notaris yang Terkait dengan Perkara Pidana Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris di Kota Makassar, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 6.
8
3. Tinjauan Yuridis Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam Proses Pengadilan, oleh Mochammad Sigit Gunawan4. Penelitian ini membahas tentang hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan MPD dalam pemberian persetujuan pemeriksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 UUJN, dan akibat hukum terhadap pemberian persetujuan pemanggilan Notaris, jika melebihi batas waktu sebagaimana diatur dalam KUHAP. Berdasarkan temuan dari ketiga peneliti tersebut diatas yakni Agung Sulistyawan Novriyanto, Andi Siti Aisyah dan Mochammad Sigit Gunawan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam tesis ini berbeda dengan permasalahan yang pernah diteliti oleh ketiga peneliti tersebut. Dalam penelitian yang berkaitan dengan “Kajian Asas Equality Before The Law Pada Jabatan Notaris dalam Rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, peneliti menganalisis mengenai kedudukan asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) pada jabatan Notaris dalam rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan urgensi dipertahankannya suatu lembaga yang memberikan izin terkait pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris
4
Mochammad Sigit Gunawan, 2007, Tinjauan Yuridis Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam Proses Pengadilan, Tesis, Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.8.
9
dalam Perubahan Pasal 66 UUJN. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian ini dapat dijamin orisinalitasnya. D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi dua hal yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan objektifnya adalah untuk: 1.
Menjelaskan kedudukan asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) pada jabatan Notaris dalam rumusan Pasal 66 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2.
Menjelaskan
urgensi
dipertahankannya
suatu
lembaga
yang
memberikan izin terkait pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam Perubahan Pasal 66 UUJN. Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam rangka menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang kenotariatan, terutama terkait dengan kedudukan asas persamaan dihadapan hukum
10
(equality before the law) pada jabatan Notaris dalam rumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan urgensi dipertahankannya suatu lembaga yang memberikan izin terkait pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam Perubahan Pasal 66 UUJN. Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat berguna dan memberi suatu masukan kepada pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan hukum yang sejenis. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas kepada masyarakat, terutama mengenai hal-hal yang terkait dengan pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan
Notaris.
Dengan
demikian
penelitian
ini
dapat
memberikan pengetahuan bagi para pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini.