BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tujuan karya sastra diciptakan adalah untuk dipahami, dinikmati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Lebih lanjut Damono (1984: 2) menjelaskan bahwa karya sastra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Karya sastra yang hadir dalam masyarakat diciptakan oleh pengarang melalui proses penghayatan yang panjang. Hal tersebut karena proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dari realitas yang dilihat dan dicermati oleh sang pengarang. Dari proses pengamatan terhadap realitas, pengarang mentransfer realitas yang sudah diolah tersebut dalam bentuk karya sastra. Karya sastra mempunyai peran penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Ratna, 2013: 334). Sastra memberikan gambaran atas situasi sosial,
ideologi,
dan
harapan-harapan
individu
yang
sesungguhnya
mempresentasikan kebudayaan bangsanya. Sastra lahir mengungkapkan berbagai fenomena sosial, kultural, politik dan ideologi serta ketidakpuasan rasa intelektual (Mahayana, 2007: 5). Dalam karya sastranya, pengarang membawa gagasan-
gagasan tertentu. Gagasan-gagasan tersebut mencerminkan ideologi pengarang yang ditransfer dalam karyanya melalui dialog tokoh, latar, peristiwa, maupun karakter tokoh. Melalui hal-hal tersebut, pengarang dapat menyampaikan tujuannya menciptakan sebuah karya. Pengarang yang akan diteliti karyanya adalah Natsume Souseki. Di dalam khasanah kesusastraan Jepang, ia merupakan salah satu pengarang yang diakui eksistensinya dan disejajarkan dengan Mori Ogai. Menurut Donald Keene, dalam pengantar bunga rampai sastra Jepang modern yang disusunnya Natsume Souseki (1876-1916) dan Mori Ogai (1862-1922) adalah dua raksasa sastra Jepang di zaman meiji (Rosidi, 1989: 46), pengaruhnya sebagai peletak dasar pemikiran sastra Jepang modern dan juga sebagai budayawan yang memberikan warna dan arah pada perkembangan kehidupan bangsanya membuat ia dihargai dan potret dirinya dicetak pada lembar uang seribu yen. Karya-karya Natsume Souseki banyak mengangkat ide tentang ketegangan antara komitmen yang membanggakan modernisasi, individualisme rasional dan keinginan emosional untuk menyatu dalam kelompok; konflik antara kebutuhan individual dan tuntutan masyarakat atau negara; pelajaran dari pengalaman yang ingin diturunkan kepada anak muda; penyalahgunaan kekuatan dan uang; bahkan mengangkat tentang posisi wanita (Rubin, 1979: 21). Salah satu karya Natsume Souseki yang banyak mendapat sambutan pembaca adalah novel Bocchan. Novel ini memiliki popularitas yang sangat besar di Jepang dan dianggap sebagai salah satu karya sastra klasik paling populer. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1906 dengan latar historis pencarian jati diri bangsa Jepang yang
disebabkan oleh pengaruh restorasi Meiji. Cerita dalam novel ini masih relevan dengan kehidupan masa kini, karena persoalan-persoalan yang diangkat masih sering terjadi hingga saat ini. Selain itu, gaya kepenulisan Bocchan terkesan berterus terang sehingga novel ini mudah dipahami. Dalam novel ini, para tokoh memiliki beberapa konflik mengenai persoalan dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika sudah lulus dari sekolah fisika Bocchan diminta oleh Kepala Sekolahnya untuk mengajar di sekolah daerah terpencil dan ia pun menyanggupinya. Konflik pun bermunculan ketika Bocchan mulai mengajar, dengan pemikirannya yang cenderung ingin bebas dan cara bicaranya yang blak-blakan, ia sering mendapat masalah dari murid-muridnya dan juga sesama guru di sekolah itu. Bocchan menentang sistem dalam sekolah tersebut, karena hanya menguntungkan pihak yang memiliki jabatan lebih tinggi saja, guruguru lainnya pun hanya bisa menurut dengan sistem yang telah diciptakan oleh pejabat sekolah. Pemikiran tokoh yang satu dan pemikiran tokoh-tokoh lainnya kadang bertentangan, dengan berbagai pemikiran tersebut mengisyaratkan adanya pertentangan ideologi terkait berbagai sisi kehidupan. Pertentangan ideologi yang terjadi karena ada perbedaan gagasan dan pemikiran antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya tersebut memunculkan gejala dan upaya dari ideologi tertindas untuk melakukan perlawanan terhadap ideologi yang mendominasi. Upaya perlawanan terhadap dominasi ideologi menunjukkan adanya usaha negoisasi yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama demi kesatuan sosial.
Ideologi, oleh Gramsci didefinisikan sebagai kesadaran yang aktif. Sama seperti Lukacs, ia tidak menyetujui pendefinisian ideologi oleh Marx sebagai kesadaran palsu, melainkan kesadaran sebagai sesuatu yang aktif (Takwin, 2003: 79-83). Menurut Gramsci ideologi adalah manifestasi dari bekerjanya sistem dan proses kekuasaan (Simon, 2004: 86). Ideologi terbentuk melalui proses sejarah panjang yang melahirkan suatu keadaan di mana kelompok atau individu yang dikuasai seolah-olah menerima hubungan dominasi yang ada. Kekuasaan itu merasuk dan ideologi diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari seakan-akan terjadi ”consensus” antara kelompok atau pihak tersubordinasi dan penguasa. Kondisi penguasaan negara atas rakyatnya ini dalam pemikiran Gramsci dikenal dengan istilah hegemoni (Takwin, 2003: 84). Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individu, melainkan punya pusat informasi, iradiasi, penyebaran, dan persuasi (Faruk, 2010: 132). Ide-ide tentang sebuah ideologi tidak dapat dilepaskan dari praktik-praktik kultural dalam hal penyebaran dan persuasinya. Puncak dari keberhasilan upaya penyebaran dan persuasi tersebut dikenal sebagai hegemoni. Menurut Faruk (2012: 136), hegemoni menyangkut cara-cara serangkaian kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, ideologis yang bekerja untuk ‘menyemen’ masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif. Menyemen dalam hal ini memiliki artian mengikat kelas-kelas yang sebenarnya bersifat antagonistik menjadi suatu kesatuan yang seakan-akan rukun dan harmonis. Berdasarkan kerangka pikiran di atas, teori hegemoni Gramsci dirasa relevan untuk menganalisis hegemoni ideologi yang terdapat dalam novel Bocchan. Teori
ini dipilih karena menjelaskan relasi ideologi secara mendalam. Dalam teori hegemoni Gramsci, ideologi memiliki peran penting untuk mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda dalam satu wadah dan sebagai sarana penyatuan sosial. Dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci, diharapkan ideologi-ideologi yang terdapat dalam novel Bocchan dapat dipahami dengan lebih terfokus dan lebih mendalam. Selain menitikberatkan perihal ideologi, teori hegemoni Gramsci juga digunakan untuk membahas negosiasi yang terjadi di dalam novel Bocchan ini. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan untuk penelitian ini, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana formasi ideologi yang terdapat dalam novel Bocchan?
2.
Bagaimana negosiasi ideologi dalam novel Bocchan dan hubungannya dengan ideologi pengarang?
1.3 Tujuan Penelitian Terdapat dua tujuan dari penelitian ini, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini ada dua, yaitu mengidentifikasi formasi ideologi yang terdapat dalam novel Bocchan dan menganalisis negosiasi dan ideologi pengarang. Tujuan praktisnya adalah untuk menambah wawasan pembaca terhadap pemahaman novel Bocchan, selain itu untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya novel Bocchan.
1.4 Tinjauan Pustaka Pembahasan terhadap novel Bocchan telah dilakukan sebelumnya dalam penelitian yang berbentuk skripsi dengan judul “Gambaran Kehidupan Masyarakat Jepang dalam Novel Bocchan Karya Natsume Sooseki (Sebuah Tinjauan Semiotik)” karya Aden Purwadi tahun 2003. Aden menganalisis keberadaan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan mencari koherensi antar unsur tersebut. Selain itu, menganalisis secara semiotik untuk mengetahui kebiasaan masyarakat Jepang yang hendak diungkap dan dikritik oleh tokoh Bocchan. Bocchan juga dibahas oleh Kimura Kazuaki dengan judul “Kritik Tentang Novel Bocchan” yang diterbitkan dalam buku antologi kesusastraan modern Jepang yang berjudul “Dari Bocchan sampai Kalong Taman Firdaus” (Hutabarat, 2007: 1-19). Dalam pembahasan tersebut Kimura Kazuaki mengutarakan ciri khas dan daya tarik novel Bocchan yang sampai sekarang pun tetap populer dan dibaca oleh masyarakat luas Jepang. Robert Erickson juga membahas tentang novel Bocchan yang dibandingkan dengan novel The Professor karya Charlotte Bronte dengan judul “Charlotte Bronte’s The Professor and Natsume Souseki’s Bocchan: Alienated Loners, Reluctant Teachers, and Unsung Heroines”. Menurut Robert Erickson, kedua pengarang memiliki persamaan yang terlihat dari materi penulisan novel yang berlatar belakang pengalamannya sendiri, merupakan penyendiri yang menuliskan tokoh utamanya sebagai seorang guru. Selain itu kedua pengarang mengangkat tokoh wanita yang sangat berpengaruh bagi kedua tokoh utamanya.
Latifah menganalisis novel Bocchan dari sudut pandang latar ruang dengan skripsi berjudul “Citra Negatif Desa dalam Novel Bocchan Karya Natsume Souseki” (2013). Dalam penelitiannya, Latifah mengungkapkan dalam novel Bocchan mengandung perbandingan dua tempat, yaitu kota Tokyo dan daerah di sekitar Shikoku. Berdasarkan perbandingan tersebut, daerah di sekitar Shikoku dipandang rendah dan tidak bagus. Hal tersebut menjadikan novel Bocchan sebagai novel yang membaguskan daerah kota dan memburukkan daerah desa, sehingga novel Bocchan dianggap sebagai kebalikan atau antitesis dari gejala sastra kampung halaman. Masalah mengenai ijime, bullying atau perisakan diungkap dalam makalah non seminar berjudul “Representasi ijime Dari Kelompok murid dan Guru Kepada Tokoh Bocchan; Sebuah Studi Terhadap Novel Bocchan Karya Natsume Souseki” oleh Pahala Alexandra Lumbanoruan (2014). Dalam penelitian tersebut memaparkan penyebab Bocchan diIjime, yaitu berawal dari konsep Shudan Shugi dan Honne Tatemae. Ketidaksamaan tingkah laku Bocchan seperti yang diharapkan oleh kelompok masyarakat di desa tersebut. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini menekankan pada pembahasan mengenai formasi ideologi, negoisasi, dan ideologi pengarang yang terdapat pada novel Bocchan. Dialog, tokoh, peristiwa, dan alur dalam novel Bocchan menunjukkan pertentangan pikiran dan ideologi masing-masing tokoh, oleh karena itu penelitian ini dikaji menggunakan teori hegemoni Gramsci.
1.5. Landasan Teori Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘eugemonia’, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004: 19-20). Secara umum konsep hegemoni yang lahir dari Gramsci, sesungguhnya diambil secara dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto, dan beberapa bagian lainnya diambil dari Lenin. Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan (coercion) dan yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual dan moral (Patria, 2015: 119). Cara yang kedua inilah yang kemudian disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Karena itu, hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari lainnya (Bellamy, 1987: 185). Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik (Sugiono,
1999: 31). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik itu artinya, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kempemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak lain penggunaan kekuatan hanyalah salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat kompromi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa. Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok-kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam kehidupan manusia. Hal ini menjelaskan bahwa kelas-kelas dominan hanya dapat menegaskan otoritasnya dengan cara meyakinkan jika kelas tersebut bisa memproyeksikan pandangan hidupnya ke dalam tatanan sosial dan membuat pandangan hidup tersebut muncul sebagai acuan bersama sebagai common sense (Cavallaro, 2004: 141). Ada empat hal yang patut dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antarkelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat.
Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan institusi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002: 23-24). Dalam membahas teori hegemoni Gramsci, tidak bisa lepas dari konsep ideologinya. Menurut Gramsci Ideologi mengandung empat elemen, yaitu elemen kesadaran, elemen material, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan.
Elemen kesadaran menandakan bahwa ideologi memberi tempat manusia untuk bergerak dan mendapatkan kesadaran tentang posisi mereka, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun perjuangan untuk menjadi kelas hegemoni. Gramsci menjelaskan bahwa titik awal jalan yang harus ditempuh untuk mencapai hegemoni adalah adanya common sense. Common sense (pemikiran awam) adalah cara pemahaman seseorang yang tidak kritis dan sering kali tidak sadar terhadap dunia (Simon, 2001: 92). Pemikiran awam berasal dari berbagai sumber dan kejadian masa lalu yang membuat masyarakat menerima kebiasaan, kekuasaan, ketidakadilan, dan penindasan sebagai hal yang alamiah, produk hukum alam, kehendak tuhan, dan tidak dapat diubah (Harjito, 2002: 33). Elemen material adalah wujud eksistensi material dalam berbagai aktivitas praktis dan menjelma dengan cara hidup kolektif masyarakat. Ideologi bukanlah fantasi atau angan-angan seseorang, tetapi menjelma dalam kehidupan keseharian masyarakat, lembaga, ataupun organisasi di tempat praktik sosial berlangsung, misalnya partai politik, serikat dagang, masyarakat sipil, aparat negara, perusahaan komersial, atau lembaga keuangan (Simon, 2004: 83-86). Elemen solidaritas-identitas adalah ideologi yang mampu mengikat, sebagai pondasi penyatuan sosial, berbagai kelas sosial yang berbeda ke dalam suatu wadah (Harjito, 2002: 35). Dalam kondisi ini, ideologi berperan sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial (Simon, 2000: 87). Pernyataan tersebut secara tidak langsung
mengakui adanya pluralitas ideologi di masyarakat karena
terdapat berbagai kelompok sosial. Dalam merangkul berbagai kelompok sosial, tidak perlu menyingkirkan sistem ideologi yang berbeda, tetapi justru dengan
melakukan transformasi ideologi dan menyusun kembali beberapa unsur yang paling tangguh. Istilah untuk menggambarkan keadaan ini disebut negosiasi (Harjito, 2002: 35). Elemen kebebasan menjelaskan bahwa ideologi menghasilkan kebebasan maksimal kepada individu untuk merealisasikan dirinya. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyadari dan diarahkan dalam usaha untuk menghilangkan dominasi suatu kelas. Karya sastra sebagai suatu situs persebaran ideologi memiliki kontribusi dalam pembentukan masyarakat. Dalam hal ini, karya sastra berposisi sebagai situs pertentang dan negosiasi ideologi untuk mencapai hegemoni yang bersifat persuasif. Menurut Gramsci (2013: 539), analisis terhadap karya sastra yang memuat ideologi dapat diaplikasikan dengan dua cara, yaitu: 1. Rekonstruksi ulang biografi pengarang sebagai penghargaan atas aktivitas intelktualnya. 2. Katalog semua karya berdasarkan urutan waktu untuk melihat wujud intelektual, kematangan, kepemilikian, dan aplikasi dari cara berpikir baru serta caranya menghadapi kehidupan dan masalah. Dengan demikian, analisis terhadap formasi ideologi, negosiasi, dan ideologi pengarang penting dalam teori hegemoni Gramsci. Formasi ideologi penting untuk mengetahui ideologi kelompok dominan dan subaltern, lalu negosiasi dibutuhkan untuk mencapai konsensus agar tercipta hegemoni, dan yang tak kalah
penting adalah rekonstruksi biografi pengarang untuk melihat kematangan berpikir dan gagasan pengarang yang disampaikan melalui karya sastra. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa karya sastra yang merupakan salah satu bentuk karya seni, bagian integral kebudayaan, merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organik yang merupakan salah satu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu gagasan tunggal. Sasaran tersebut adalah penciptaan satu iklim yang tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini menuntut pemersatu sosial kultural yang melalui multiplisitas kehendak-kehendak dan tujuan-tujan yang tersebar dan heterogen disatukan. Kegiatan serupa ini merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif” (Faruk, 2003: 67). 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu dan harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek sebagaimana yang dinyatakan oleh teori (Faruk, 2015: 55). Metode penelitian digunakan untuk menciptakan kesatuan konseptual yang terpadu dan sistemik selama melakukan sebuah penelitian. Penelitian terhadap novel Bocchan karya Natsume Souseki ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis data. Tahap pengumpulan data adalah seperangkat cara yang bertujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta empirik terkait masalah penelitian (Faruk, 2012: 25).
Pada tahap pengumpulan data, peneliti mencari dan mengumpulkan semua data yang dapat digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Adapun data dalam penelitian ini adalah semua kata, frase, dan kalimat yang terdapat dalam novel Bocchan. Untuk menjawab masalah yang berkaitan dengan kepengarangan, peneliti menggunakan sumber pustaka lain yang secara khusus membahas Natsume Souseki untuk menemukan data yang diperlukan. Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, penelitian dilanjutkan ke tahap analisis data. Fungsi dari tahap analisis data adalah mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2012: 25). Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013: 53). Tujuan dari metode ini adalah untuk menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra dan memberi pemahaman mendalam. Adapun langkah-langakah yang ditempuh oleh peneliti selama melakukan penelitian adalah sebagai berikut, (a) menetapkan objek penelitian yaitu novel Bocchan sebagai objek material dan teori hegemoni Gramsci sebagai objek formal, (b) menentukan masalah pokok yang akan diteliti, yaitu identifikasi
formasi
ideologi serta negosiasi dan ideologi pengarang dalam novel Bocchan, (c) melakukan
pembacaan
berulang-ulang
terhadap
novel
Bocchan
untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan dan pemahaman yang mendalam, (d) melakukan studi pustaka untuk mengumpulkan data-data pendukung yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan penelitian, (e) mengidentifikasi formasi ideologi dalam novel Bocchan, (f) menganalisis negosiasi ideologi dan
mengidentifikasi
hubungannya
dengan
latar
belakang
pengarang,
(g)
menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan hasil analisis. 1.7 Sistematika Penyajian Penelitian Laporan penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua formasi ideologi yang berisi ideologi dan formasinya dalam novel Bocchan. Bab ketiga negosiasi dan ideologi pengarang yang berisi negosiasi ideologi dalam novel Bocchan dan Natsume Souseki. Bab keempat kesimpulan.