1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tugas pokok Bank Indonesia yang termuat dalam Undang-UndangBank Indonesia No 23 tahun 1999 serta kemudian direvisi menjadi UU No. 3 tahun 2004 adalah mengatur kebijakan moneter yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan akhir yaitu stabilitas perekonomian nasional.Sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan tentang tugas pokok Bank Indonesia tersebut, maka kebijakan moneter yang diambil akanselalu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan dan dinamika perekonomian dengan tujuan untuk mencapai sasaran akhir yaitu memelihara stabilitas perekonomian nasional. Sejak tahun 1970-an kebijakan moneter di Indonesia dilaksanakan secara langsung, sedang dari tahun 1983 pengendalian moneter dilaksanakan dengan tidak
langsung.
Pengendalian
moneter
secara
tidak
langsung
dengan
mengandalkan perantara pasar keuangan yaitu dengan upaya memanfaatkan pasar keuangan sebagai indikator dalam rangka menentukan strategi kebijakan moneter. Modernisasi kebijakan moneter di Indonesia dimulai dari tahu 1983 dengan dilepasnya sistim pengendalian moneter secara langsung seperti penetapan suku bunga, pagu kredit, rasio likuiditas, kredit langsung, kuota rediskonto, intrumen lain seperti pengguntingan uang, pembersihan uang, penetapan uang muka impor. Pelaksanaan kebijakan moneter setelah tahun 1983 dengan cara tidak langsung seperti penentuan cadangan wajib minimum baik cadangan primer maupun cadangan sekender, fasilitas rediskonto, oprasi pasar terbuka dengan
2
lelang surat berharga Bank Sentral, lelang surat berharga pemerintah, fasilitas simpanan Bank Central, investasi valuta asing, fasilitas overdraft, simpanan sektor pemerintah, lelang kredit, imbauan dan intrumen lainnya. Sasaran akhir yang ingin dicapai sebagai mana tercermin pada Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 mengenai Bank Sentral tidak terfokus pada sasaran tunggal, tetapi mencakup banyak sasaran antara lain tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah dan keseimbangan neraca pembayaran. Depresiasi nilai tukar yang amat tajam dan suku bunga yang tinggi membuat sektor riil dan sektor perbankan, yang ternyata sangat rapuh semakin terpuruk. Tekanan yang luarbiasa terjadi pada awal krisis 1997 terhadap nilai tukar rupiah dan cadangan devisa memaksa Bank Indonesia dan pemerintah saat itu untuk melepas band intervensidan menganut sistim nilai tukar yang mengambang bebas, akibatnya nilai tukar tidak lagi menjadi jangkar neminal kebijakan moneter. Untuk menghindari terjadinya hiperinflasi pada tahun 1998 Bank Indonesia menerapkan kebijakan meneter ketat yang sempat kehilangan kendalinya ketika terpaksa harus menyalurkan pinjaman likuiditas besar besaran kepada perbankan untuk menghentikan rush.Perubahan tatanan Bank Indonesia dimulai sejak
Undang-Undang N0. 23 Tahun 1999 diundangkan sebagai
pengganti Undang-Undang Tahun 1968.Perubahan ini akibat dari terjadi krisis moneter 1997/1998 menuntut perubahan tatanan kelembagaan Bank Indonesia menjadi Bank Sentral yang independen.Perubahan ini muncul dari pendapat kuat
3
yang mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah ketidakmampuan Bank Indonesia bertindak obyektif karena selama periode kebijakan Bank Indonesia selalu dinggap terkait dengan kepentingan politik. (Aulia Pohan 2008) Dengan disahkannya Undang Undang No.23 tahun 1999 memberi ruang pada Bank Indonesia sebagai lambaga yang independen yang mempunyai peran tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi dan moneter susungguhnya melahirkan suatu pemikiran ulang mengenai peran bank sentral yang seharusnya dalam perekonomian.Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman itu bahwa institusi bank sentral dengan segala keterbatasannya, harus kembali pada fungsi utamanya sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dekeluarkan. Dengan Undang Undang No. 23 tahun 1999 tetang Bank Indonesia dan sebagaimana yang telah disempurnkan lagi dengan Undang Undang No. 3 Tahun 2004, kebijakan moneter di Indonesia sepenuhnya dibawah kendali Bank Indonesia, kebijakan moneter tidak lagi dapat di intervensi oleh pemerintah. Sejalan dengan kewenangan yang diberikan pada Bank Indonesia berdasarkan Undang Undang tersebut kewenangan untuk menetapkan dan menjalankan kebijakan moneter. Bank Indonesia menggunakan industri perbankan di Indonesia sebagai perpanjangan tangan untuk menjalankan fungsi dan peran kebijakan meneter dalam menggerakan roda perekonomian di Indonesia. Dengan peran ini nampak dinamika pasar keuangan akan sangat ditentukan oleh respon industri perbankan disatu pihak, serta stimulus kebijakan yang diberikan oleh Bank
4
Indonesia terhadap industri perbankkan dalam melaksanakan kegiatan usaha mereka sebagai agen pembangunan.Diharapkan dengan kebijakan Bank Indonesia yang dilakukan akan memberikan dampak pada efektifitas industri perbankan dalam menggerakan sektor riil, dilain pihak pada dunia perbankan juga bersaing dalam melaksanakan pelayanan dengan berorientasi untuk memperoleh laba atas usaha perbankan. Berbagai kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia akan diimplementasikan melalui semua sektor perbankan yang ada di Indonesia. Pengaruh kebijakan moneter Bank Indonesia pada gilirannya akan berdampak pada kinerja perolehan laba yang akan sangat ditentukan oleh kebijakan penentuan suku bunga SBI (BI rate) maupun kebijakan moneter lainnya. Dinamika pergerakan suku bunga pada gilirannya akan mempengaruhi (Loan to depositRatio) LDR, yang mempengaruhi suku bungan simpanan, serta pada saatnya akan memberi dampak kepada masyarakat pengusaha dan warga lainnya. Peran perbankan sebagai intermediator dalam menampung dana yang berlebih dari masyarakat (dana pihak ketiga) DPK dan menyalurkannya dalam bentuk kredit atau pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Peran perbankann itu sangat diperlukan dalam membantu agar alokasi dana dapat bergerak efisien. Fumgsi perbankan nasional juga untuk menyelesaikan gap informasi asimetris yang terjadi di pasar kredit, seperti pada jalur informasi antara investor dan pengusaha. Perbankan diharapkann mampu memberikan pelayanan dan informasi yang seimbang antara pihak berkentingan dalam pemanfaatan dana perbankaan. Berdasarkan peran dan fungsi perbankan sebagaimana dinyatakan
5
diatas, maka perbankan nasional berada pada jalaur pelayanan sebagai perantara (intermediary), yang bertindak menghubungkan antara pemilik dana dengan masyarakat peminjam atau pengguna jasa perbanknan. Keberadaan usaha perbankan kondisinya tidak saja ditentukan oleh persaingan diantara perbankan itu sendiri tetapi juga sangat ditentukan pergerakan sektor
riil
dilingkungan
produksi
sebagai
pengguna
jasa
perbankan
dimasyarakat.Jika kondisi perekonomian dalam situasi melemah, usaha perbaknan mengahadapi resiko kredit macet yang relativ tinggi, sehingga kebijakan moneter Bank Indonesia menjadi stimulus yang mungkin mampu dimanfaatkan perbankan nasional untuk mengelola usaha agar menjadi lebih stabil. Stabilitas perbankan tercermin dari performa Return on Asset (ROA) yang diperoleh dari rasio antara selisih bunga simpanan masyarakat dan biaya lainnya dengan bunga pinjaman dan pengeluaran lainnya dengan aset yang dikelola. ROA bukan semata-mata permasalaha teknis, tetapi lebih jauh dari itu adalah merupakan implikasi dari tingkat pengembalian kredit dari pinjaman oleh masyarakat. Resiko kredit merupakan permasalahan perbankan yang kompleks, yang sangat dipengaruhi oleh stabilitas perekonomian nasional. Berdasarka resiko kredit seperti itu, maka kebijakan moneter Bank Indonesia menjadi penentu stabilitas usaha perbankan untuk keberlanjutan usaha dimasa yang akan datang. Dengan demikian permasalah industri perbanakan bukan sekedar sebagai agen bagi pembangunan, tetapi patut juga diperhatikan pada kepentingan pelaku mikro ekonomi untuk tetap dapat bersaing sehat secara wajar dalam tatanan perekonomian nasional yang stabil.
6
Bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang hanya boleh beroprasi dalam satu wilayah propinsi saja diharapkan dapat tetap tumbuh dan berkembang dengan sehat dan eksis menuju perbanknan masa depan, sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk terus melakukan langkah-langkah pembangunan sistim perbankan yang sehat, kuat dan mampu bersaing di segmennya. Sebelum tahun 1983 bank dibedakan menjadi bank umum, bank tabungan, bank pembangunan, dan bank sentral.Jenis bank tersebut terbentuk karena adanya pengertian tentang bank yang didasarkan pada pangsa pasar bank yang ada dan jenis produk yang ditawarkan oleh bank atau bank dibentuk berdasarkan fungsinya.Setelah tahun 1983 hingga saat ini pengertian bank di Indonesia mengalami perubahan, yaitu tidak dibedakan berdasarkan pada fungsinya, tetapi dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat(Sudirman 2013). Menurut UU Perbankan No.10 tahun 1998, pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kemasyarakat dalam bentuk kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan kata lain bank mempunyai fungsi sebagai intermediasi artinya bank dalam melakukan kegiatanusahanya dengan menghimpun dana dari masyarakat yang berlebih dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan untuk tujuan konsumsi, investasi modal kerja dan tujuan lainnya.Bank Umum menurut UU perbankan No. 10 tahun 1998 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan UU Perbankan No. 14 tahun 1967, bank umum adalah bank yang
7
dalam menghimpun dana pihak ketiga terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek, sedangkan berdasarkan UU Perbankan No. 7 tahun 1992, bank umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut (Sudirman2013) Lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank sangat berperan pada perekonomian masyarakat karena lembaga tersebut sebagai lembaga penyedia jasa keuangan bagi masyarakat seperti jasa penyimpanan dana, jasa penyedia kredit, jasa penyediaan sistem pembayaran dan bentuk jasa lainnya. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank (Kasmir 2002). Peran perbankan dalam pembangunan perekonomian adalah sangat vital khususnya dalam lalu lintas perputaran uang. Diantara begitu banyak perbankan, kehadiran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menyediakan produk keuangan yang serupa dengan Bank konvensional lain ternyata memiliki penetrasi yang lebih baik dibandingkan dengan perbankan lain khususnya untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam memberikan akses permodalan untuk mendorong tumbuhnya usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia, mengingat lokasi kantor dan pelayanan yang dekat dengan masyarakat kecil baik dipedesaan maupun diperkotaan. Pembangunan pada sektor
keuangan khususnya
pada
perbankan
diharapkan mampu meningkatkan perekonomian sebab perbankan mempunyai peranan yang amat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian suatu negara.Sektor perbankan diharapkan berperan aktif dalam menunjang kegiatan
8
pembangunan nasional ataupun regional.Peranan itu, diwujudkan dalam fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi atau institusi perantara antara debitur dengan kreditur. Dengan demikian pelaku ekonomi yang membutuhkan dana untuk menunjang kegiatannya dapat terpenuhi dan kemudian roda perekonomian dapat bergerak. Dana yang dihimpun dari masyarakat dapat berbentuk tabungan, deposito maupun giro. Dana tersebut selanjutnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, baik untuk penggunaan investasi, modal kerja maupun konsumsi, berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Alokasi dana tersebut dapat juga untuk dibelikan berbagai asset yang dianggap menguntungkan (Sugiarto2003). Sementara itu kemampuan permodalan akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan memupuk permodalan baik oleh pemegang saham atau pemupukan modal dari dalam bank sendiri melalui laba bank yang tercermin dalam ROA. Berdasarkan data dari Bank Indonesia secara nasionalsampai dengan bulan Maret 2014 jumlah BPR yang tersebar sebanyak 1.363 unit, dimana pada awal tahun 2008 jumlah BPR yang beroperasi sebanyak 1.772 unit,mengalami penyusutan sebesar 409 unit,akibat dari adanya penggabungan atau merger dan juga akibat dicabut ijin usahanya. Berdasarkan jumlah kantor BPR mengalami peningkatan dari 3.367 unit pada tahun 2008 bertambah menjadi 4.717 unit kantor per bulan Maret 2014. Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun mengalami peningkatan yaitu Rp 47.684 miliar pada 2008 menjadi Rp 117.279 miliar pada bulan Maret 2014 yang bersumber dari produk Tabungan,
9
Deposito,Antarbank Pasiva,
pinjaman diterima dan termasuk kewajiban
segera(www.bi.go.id, 2014). Kalau diperhatikan lebih mendalam kemampuan BPR dalam menghimpun DPK sudah mengalami peningkatan, namun kalau dibandingkan antara jumlah DPK yang bersumber dari tabungan dan deposito dengan penanaman dana pada penyaluran kredit terjadi ketimpangan yang cukup besar. Ketimpangan ini ditutupi melalui antar Bank Pasiva dengan kerjasama linkageprogram dengan Bank Umum.Penyalurandana juga mengalami peningkatan yaitu dari Rp. 31.313 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp.76.007 miliar pada bulan Maret 2014, dari jumlah dana yang berhasil dihimpun lebih banyak ditanam dalam bentuk kredit yaitu Rp. 25.472 miliar pada tahun 2008 berkembang menjadi Rp. 62.005 miliar pada bulan Maret 2014(www.bi.go.id 2014). Berdasarkan data statistik Bank Indonesia jumlah BPR yang beroperasi di Provinsi Bali per bulan Januari tahun 2008 sebanyak 142 BPR mengalami penyusutan sebanyak 4 BPR akibat dicabut ijin usahanya sehingga jumlah BPR sampai dengan tahun 2014 menjadi 138 BPR yang terdiri dari 137 BPR konvensional dan 1 BPR syariah. Total asset yang dikelola sampai dengan tahun 2014 sebesar Rp 7.732 miliar, kredit yang disalurkan Rp 5.940 miliar dengan total nasabah yang dilayani 713.952 orang(www.bi.go.id 2014). Dari data tersebut terjadi peningkatan usaha baik secara nasional maupun di Provinsi Bali, tetapi terjadi penyusutan jumlah BPR yang sebelumnya telah pernah beroperasi akibat dari dicabut ijin usahanya karena gagal beroperasi secara sehat akibat persaingan yang semakin ketat.
10
Menurut (Hanafi dan Halim 2003), ROA merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat aset dan modal saham tertentu. Dengan mengetahui ROA,dapat menilai apakah perusahaan telah efisien
dalam
menggunakan
aktivanya
dalam
kegiatan
operasi
untuk
menghasilkan keuntungan. Menurut (Wahyudi, DwidanSyaichu, Muhamad2013) ROAberpengaruh negatifdantidak signifikanterhadapLDR.Menurut (Brigham & Houston2009), profitabilitas merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan. Bagi perbankan tingkat profitabilitas lebih penting dibandingkan dengan laba, karena laba yang lebih besar bukan merupakan ukuran perusahaan telah memiliki kinerja yang efektif dan efisien (Putra 2012). Efektivitas dan efisiensi perbankan dapat diketahui dari kemampuan bank menghasilkan keuntungan dengan memaksimalkan pemanfaatan aktiva yang dimilikinya dan dapat diukur dengan membandingkan laba sebelum pajak terhadap total aset yang biasa dikenal dengan ROA. Penelitian yang dilakukan oleh (Kemal 2011) menyatakan bahwa rasiorasio keuangan seperti profitabilitas, aktiva produktif, likuiditas, dan beberapa rasio keuangan lainnya berpengaruh terhadap kesehatan bank yang ditunjukkan dengan kemampuan dalam menjaga permodalannya. Penelitian Kemal ini didukung oleh (Fitrianto dan Marwadi 2006) yang menyatakan apabila bank terus menerus mengalami kerugian dikarenakan rendahnya tingkat pengembalian aktiva produktif memungkinkan modal bank tersebut akan terkikis sedikit demi sedikit.
11
Penelitian yang dilakukan oleh (Setyaningsih 2011) menyatakan bahwa aktiva produktif bermasalah berpengaruh negatif signifikan terhadap (Capital Adequasy Ratio) CAR.Laba dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk dapat meminjamkan dan pendanaan ekuitas, posisi likuiditas perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk berubah.Jumlah keuntungan yang diperoleh secara teratur dan cendrung dengan trend meningkat menjadi suatu faktor yang sangat penting dalam menganalisis suatu perusahaan.Semakin tinggi rasio ROA maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ROA BPR di Provinsi Bali pernah mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 2,30 persen pada akhir Desember 2008 menjadi 0,91 persen pada Desember 2009, dan mengalami perbaikan pada tahun-tahun berikutnya yaitu Desember 2010 sampai dengan Desember2014, masing-masing menjadi 2,23 persen, 2,54 persen, 3,09 persen, 3,58 persen dan 3,55 persen. NPL merupakan resiko bagi perbankan karena semakin tinggi NPL maka semakin tinggi resiko yang dihadapi oleh perbankan. Salah satu faktor yang saat ini lebih berperan dalam masalah NPL adalah dampak krisis multidimensional yang dimulai pada 1997-1998 hingga sekarang masih menyebabkan banyak debitur bank, baik di segmen corporate, commercial, maupun consumer belum mampu menyelesaikan kredit macetnya. Selain itu, faktor lain yang jauh lebih penting adalah kurangnya kemauan dan etikad baik dari debitur. Data NPL BPR di Provinsi Bali juga mengalami fluktuasi yang sangat tinggi antara periode bulan
12
Desember 2008 sampai dengan periode Desember 2014 yaitu 3,97 persen pada Desember 2008 naik menjadi 6,00 persenpada Desember 2009 mengalami
Tabel 1.1 Perkembangan LDR, ROA dan NPL BPR dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2014 di Provinsi Bali (persen)
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
LDR
ROA
NPL
79.69 81.87 81.03 76.49 79.05 87.38 78.96
2.30 0.91 2.23 2.54 3.09 3.58 3.55
3.97 6.00 3.67 2.70 2.17 2.14 2.37
Sumber : data di olah dari Statistik BI, www.bi.go.id
penurunan menjadi 3,67 persen, 2,70 persen dan 2,17 persen untuk tahun 2010, tahun 2011 dan tahun 2012 dan pada bulan Desember 2014 meningkat lagi menjadi 2,37 persen.Apakah dengan naik turunnya NPL juga mempengaruhi kemampuan BPR dalam menyalurkan kredit
dan tingkat keuntungan yang
mampu dihasilkan. NPL atau kredit bermasalah merupakan salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi BPR. NPL yang tinggi akan dapat mengganggu kesehatan BPR dan kemampuan BPR dalam melakukan ekspansi kredit juga terganggu. Untuk mengatur kinerja bank maka Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah/NPL adalah sebesar maksimal 5
persen
untuk
masuk
kategori sehat.
NPL
yang
tinggi
13
akanmengganggu operasional BPR karena akan menurunkan ratio modal akibat tergerus oleh kerugian yang disebabkan oleh kredit macet. Menurut(Andri 2008) NPL tidak berpengaruh secara signifikan terhadap LDR.Menurut(Setyo 2012)NPLberpengaruh negatif dan signifikan terhadap LDR perusahaan.Menurut (Amriani 2012) variabel NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap LDR.Peran intermediary bank dalam perekonomian tercermin dari jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan dengan jumlahdana yang mampu diserap yang tercermin dari LDR. Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama BPR, oleh karena itu sumber pendapatan utama BPR berasal dari kegiatan kredit. Semakin besar penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkandengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Menurut (Darmawi 2012),Kalau rasio LDR meningkat ke tingkat yang lebih tinggi secara relatif bankir kurang berminatuntuk memberikan pinjaman atau investasi.Selain itu, mereka menjadi selektif dan kalau standar dinaikan dan kredit menjadi lebih sulit, maka suku bunga cendrung naik.Berdasarkan data pada Tabel 1.1 LDR BPR di Provinsi Bali mengalami fluktuasi dari tahun ketahun. Bulan Desember 2008 LDR BPR di Provinsi Bali 79,69 persen sedangkan pada bulan Desember 2009 dan Desember 2010 LDR BPR di Provinsi Bali 81,87 persen dan 81,03 persen. LDR BPR di Provinsi Bali dalam waktu Desember 2008 sampai dengan Desember 2014 mengalami naik turun dan tertinggi pada Desmber 2013 yaitu sebesar 87,38 persen.
14
Rasio
Gambar 1.1 Perkembangan ROA, NPL, BPR Tahun 2008- 2014 di Provinsi Bali
7 6 5 4 ROA NPL
3 2 1 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : data di olah dari Statistik BI, www.bi.go.id
Menurut (Kasmir 2003), batas aman untuk LDR dari peraturan Bank Indonesia adalah maksimal 110 persen.Praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari loan to deposit ratio suatu bank adalah sekitar 85 persen dan 100 persen. Peran BPR dalam menyalurkan kredit jugadipengaruhi oleh kemampuan BPR dalam menghimpun dana masyarakat, makin besar dana yang dihimpun maka makin besar kredit yang akan disalurkan. Penghimpunan dana maupun penyaluran kredit oleh bank juga akan dipengaruhi oleh tingkat bunga yang sedang berlaku. Tingkat bunga di pasaran sangat tergantung dari kebijakan suku bunga Bank Indonesa atau BI Rate. BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang
15
mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.
Rasio
Gambar 1.2 Perkembangan LDRBPR Tahun 2008- 2014 di Provisi Bali
LDR 90 88 86 84 82 80 LDR
78 76 74 72 70 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : data di olah dari Statistik BI, www.bi.go.id
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap bulan dan implementasinya pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya akan berpengaruh pada suku bunga kredit perbankan.
16
Gambar 1.3 Perkembangan SBI Tahun 2008- 2014 SBI 10.00% 9.00%
7.00%
SBI
6.00% 5.00% 4.00% 3.00% 2.00% 1.00% 0.00%
Sumber : data di olah dari Statistik BI, www.bi.go.id
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.Bulan Desember 2012, Bank Indonesia menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh Bank Umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Disebutkan secara bertahap hingga tahun 2018, Bank Umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan paling rendah 20 persen dari total kredit atau pembiayaan.Pembiayaan tersebut dapat dilakukan secara langsung kepada UMK
17
atau tidak langsung melalui kerjasama pola executing, channeling atau secara sindikasi. Pembiayaan tidak langsung dapat dilakukan antara lain melalui BPR. Keuntungan yang diperoleh oleh Bank Umum melalui cara tersebut antara lain adalah dapat mengandalkan BPR dalam infrastruktur serta pengalamannya menilai resiko kredit debitur, yang selama ini mungkin belum didalami oleh Bank Umum. Dalam jangka panjang dengan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia tersebut, diharapkan dapat menekan suku bunga kredit BPR konvensional karena semakin meningkatnyasupply dan kemudahan akses dana dari Bank Umum melalui penyaluran kredit langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Didalam pelayanan BPR pada konsumen memiliki beberapa keunggulan antara lain, (1) Kemampuan memahami kebutuhan pelanggan lebih baik, (2) pendekatan emosional dan pribadi yang sering dilakukan oleh petugas lapangan (account officer) terhadap nasabah dan debiturnya, (3) persyaratan yang fleksibel dan dinamis, dan (4) kehandalan petugas lapangan untuk terjun hingga ke pelosok pasar dan kawasan padat penduduk dengan gaji/upah yang relatif rendah, telah mampu memikat hati masyarakat untuk tidak mudah berpaling dari BPR meski mendapatkan tawaran bunga yang relatif jauh lebih murah dari bank umum/layanan mikro lain. Bagi pelaku usaha, kecepatan proses, ketepatan nominal dan momentum, dan tentunya pelayanan yang mudah dengan kesederhanaan persyaratan lebih menjadi faktor utama. Hubungan emosional yang terbina antara nasabah dan petugas/personal lembaga keuangan/perbankan mikro (termasuk BPR) juga semakin mengeratkan hubungan kemitraan antara keduanya. Hal inilah yang
18
sepertinya
sulit
untuk
bisa
diimbangi
oleh
kalangan
bank
umum.Menurut(Wiryosukarto2014) BPRbisa tumbuh dan berkembang karena beberapa faktor yaitu; 1) Nasabah BPR adalah nasabah mikro dan kecil. 2) Nasabah di kelas ini tidak terlalu sensititif dengan bunga tinggi sehingga BPR mampu meraup pendapatan tebal dengan tingginyaNet Interest Margin(NIM). 3)Bagi nasabah di segmen ini, kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh kredit menjadi pertimbangan utama ketika memutuskan mengambil pinjaman. 4) Nasabah di segmen ini memiliki kedekatan emosional dengan petugas-petugas BPR. 5) Nasabah di segmen ini masih banyak yang belum disentuh bank-bank umum sehingga peluang BPR terbuka lebar. Dana yang diperoleh dari hasil lingkage bunganya akan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan dana pihak ketiga yang berasal dari masyarakat. Bunga pada perbangkan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi dan produktifitas yang mampu dilakukan oleh BPR, tetapi apakah suku bungan simpanan maupun suku bunga kredit BPR juga dipengaruhi olehtingkat suku bunga SBI. Dengan bunga dana yang lebih rendah akan mampu mendorong daya saing BPR dalam menyalurkan kredit pada masyarakat dengan bunga kredit lebih rendah.Penelitian ini berusaha melakukan penelusuran dampak dari arah pergerakan kebijakan Suku Bunga SBI terhadap kinerja BPR secara langsung maupun tidak langsung berproses melalui trasmisi NPL, maupun LDR, yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ROA BPR.Penelitian ini melakukan pokus kajian untuk mendapat kontruksi yang menentukan kinerja BPR dari resiko kredit yaitu NPL, LDR serta pada akhirnya diharapkan memberi dampak positif terhadap kemampuan BPR meningkatkan
19
produktivitas yaitu ROA.Dengan demikian hasil/penelitian ini menjadi syarat penting untuk dilakukan bagi kemajuan BPR di Provinsi Bali.Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ROA pada BPR di Provinsi Bali sampai saat ini belum memadai, informasi ini sangat penting untuk diketahui agar dapat meningkatkan/memperbaiki kondisi ROA BPR.
1.2Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1). Bagaimana pengaruh secara langsung kebijakan Sukubunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL)danLoan to Deposit Ratio (LDR), terhadapReturn On Asset (ROA) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Bali? 2). Bagaimana pengaruh Suku bunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL) terhadapLoan Deposit Ratio (LDR) Bank Perkreditan Rakyat di Provinsi Bali? 3). Apakah Suku bunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL) berpengaruh secara tidak langsung terhadapReturn On Asset (ROA)melalui Loan Deposit Ratio (LDR) Bank Perkreditan Rakyat di Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
20
1). Menganalisis pengaruh secara langsung kebijakan Sukubunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL)dan Loan to Deposit Ratio (LDR), terhadap Return On Asset (ROA) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Bali. 2). Menganalisis pengaruh Suku bunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL) terhadap Loan Deposit Ratio (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Bali. 3). Menganalisispengaruh tidak langsung kebijakan Suku bunga Bank Indonesia (SBI), Non Performing Loan (NPL)
terhadap Return On Asset (ROA)
melaluiLoan Deposit Ratio (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Bali.
1.4 Manfaat Penelitian 1) Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk sumber informasi mengenai prilaku pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat dalam mengelola dana masyarakat, menyalurkan kredit, dengan memanfaatkan kebijakan Suku Bunga Bank Indonesia terkait dengan kebijakan moneter, serta dapat menambah khasanah serta masukan bagi otoritas dalam membuat kebijakan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dengan wilayah oprasi pada satu Provinsi dan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.
2) Praktis
21
Mmemberikan masukan kepada para pengelola dan pelaku usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tetang faktor-faktor yang mempengaruhi ROA agar dalam pengelolaan BPR menjadi lebih baik.Bagi Bank Sentral danOtoritas Jasa Keuangan(OJK), dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dan pengawasan agar lembaga BPR dapat diberdayakan
lebih
maksimal dalam
masyarakat kedepannya.
pembangunan
perekonomian
22