1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk memelihara kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih mempertahankan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur pemerataan pembangunan.Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah melakukan tugasnya dengan baik dan transparan. Otonomi daerah merupakan pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih baik, leluasa untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas dan potensi daerah itu sendiri. Adanya otonomi daerah tersebut pemerintah diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya dan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sistem desentralisasi secara transparan, efektif dan efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan suatu daerah dalam membiayai rumah tangga sendiri, dalam arti sampai sejauhmana daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan untuk membiayai keperluan-keperluan sendiri tanpa semata-mata menggantungkan diri
pada
bantuan dan subsidi
pemerintah pusat.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga
1
2
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan Negara. Dengan perubahan yang mendasar tersebut, maka dampak yang akan dirasakan oleh pemerintah daerah bukan hanya menyangkut perubahan sistem dan struktur pemerintahan daerah, melainkan dan terutama menyangkut kemampuan dan ketersediaan sumber daya manusia aparatur baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah yang kuat, efektif, efisien dan memiliki akuntabilitas. Sumber daya manusia yang diperlukan bukan hanya memiliki keterampilan dan kemampuan professional dibidangnya, tetapi juga memiliki etika dan moral yang tinggi serta memiliki dedikasi serta pengabdian kepada masyarakat. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mempunyai dua pengaruh nyata yaitu: peningkatan
partisipasi,
prakarsa
dan
kreativitas
pertama,
mendorong
masyarakat
dalam
pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat ini dapat berwujud dukungan masyarakat terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan oleh perencana. Atau berwujud keikutsertaan masyarakat
3
dalam
merencanakan,
melaksanakan,
dan
melestarikan
hasil-hasil
pembangunan. Kedua, memperbaiki alokasi faktor-faktor produksi dengan mendesentralisasikan pengambilan keputusan ke daerah. Perbaikan pada alokasi faktor-faktor produksi itu muncul karena adanya efisiensi teknis dalam pengambilan keputusan karena tidak perlu meminta persetujuan dari pemerintah pusat, dan efisiensi ekonomis yang berupa terciptanya alokasi faktor-faktor produksi yang sesuai preperensi masyarakat dengan daerah pengambilan keputusan. Beberapa permasalahan keuangan daerah yang dihadapi Kabupaten Klaten yaitu: (1) ketergantungan pemerintah daerah kepada subsidi dari pemerintah pusat yang tercermin dalam besarnya bantuan pemerintah pusat baik dari sudut anggaran rutin, yaitu subsidi daerah otonom maupun dari sudut anggaran pemerintah daerah, (2) rendahnya kemampuan daerah untuk menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah yang tercermin dari penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif kecil dibanding total penerimaan daerah, (3) kurangnya usaha dan kemampuan pemerimaan daerah dalam pengelolaan dan menggali sumber-sumber pendapatan yang ada.
Realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah
ditandai dengan tingginya kontrol pusat ke daerah melalui proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya proporsi PAD dengan total penerimaan daerah dibanding besarnya subsidi yang didrop dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri dari pajak-pajak daerah, restribusi daerah, laba bersih dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
4
Beberapa penyebab ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat antara lain adalah kurangnya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; tingginya derajat desentralisasi dalam bidang perpajakan, artinya semua pajak utama dan yang paling produktif baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung ditarik oleh pusat; hanya sedikit pajak daerah yang bisa diandalkan walaupun jumlahnya beragam; bersifat politis, ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi
dan
separatis;
dan
faktor
terakhir
penyebab
adanya
ketergantungan fiskal daerah adalah kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat ke daerah. Selama ini pemerintah memberikan subsidi dalam bentuk blok (bloc grants) dan spesifik (spesific grants). Perbedaan utama dari subsidi blok dan subsidi spesifik adalah terlihat dari jumlah dan cara pengelolaan, subsidi blok dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Klaten sedangkan subsidi spesifik sudah ditentukan oleh pemerintahan pusat dan daerah tidak punya keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut. Apabila dilihat dari sisi jumlah bantuan yang diterima oleh pemerintah daerah bantuan spesifik jauh lebih besar daripada subsidi blok. Jadi pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya. Upaya mobilisasi dana dari sumber-sumber daerah sendiri terutama yang berasal dari PAD sangat penting mengingat masih besarnya ketergantungan keuangan daerah pada pemerintah pusat.Kemampuan daerah dalam mobilisasi PAD dapat diukur melalui : a. peranan PAD dalam membiayai pengeluaran rutin atau sering disebut dengan
5
Indeks Kemampuan Rutin (IKR), b. Perbandingan antara PAD dengan Pendapatan Daerah non migas pada masing-masing daerah. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategis planning suatu organisasi, Mahsun, (2009). Sedangkan pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi, analisis kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten adalah suatu proses penilaian mengenai tingkat kemajuan pencapaian pelaksanaan pekerjaan/kegiatan DPPKA Kabupaten Klaten dalam bidang keuangan untuk kurun waktu tertentu. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten, maka diambil judul “Analisis Kinerja Keuangan Pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Klaten”. B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang ada, akan timbul beberapa permasalahan. Anggaran adalah rencana keuangan.Rencana keuangan Pemda adalah APBD, yang isinya rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Yang namanya rencana, tentu tidak pasti, tentu ada asumsi-asumsi. Pengalokasian sumberdaya dalam bentuk belanja berupa kegiatan/program dilakukan melalui proses pembuatan keputusan yang cukup rumit, yang sarat
6
dengan kepentingan-kepentingan. Ada masalah politis ketika berbicara prioritas alokasi dan masalah ekonomi ketika bicara sumber pendanaannya. Menelaah
keuangan
di
Indonesia
mengungkapkan
beberapa
permasalahan di bidang keuangan daerah yang dihadapi pemerintah daerah selama ini, khususnya pada DPPKA Kabupaten Klaten yaitu: a.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada subsidi pemerintah pusat yang tercermin dari besarnya bantuan pusat baik dari sudut anggaran rutin yaitu melalui subsidi daerah otonom maupun dari sudut anggaran pembangunan yaitu bantuan pembangunan daerah.
b.
Rendahnya kemampuan daerah untuk menggali sumber asli daerah yang tercermin dari peneriman Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif kecil dibandingkan dengan total penerimaan daerah.
c.
Kurangnya usaha dan kemampuan pemerintah daerah mengelola dan menggali sumber pendapatan yang ada. Hasil analisis rasio keuangan dalam penelitian ini selanjutnya
digunakan untuk tolok ukur dalam : menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah, melihat kinerja keuangan jika dilihat dari Rasio Efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah, melihat kinerja keuangan jika dilihat dari Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, dan Analisis Trend untuk mengetahui perkiraan kemungkinan tingkat kemandirian, efektivitas dan efisiensi kabupaten Klaten. Dengan
digunakannya
analisis
keuangan tersebut
maka
akan
memberikan suatu hasil perbandingan kinerja keuangan dari tahun-tahun
7
sebelumnya, dimana nantinya akan mengambarkan kondisi Kinerja Keuangan pada DPPKA Kabupaten Klaten. C. Pembatasan Masalah Mengingat begitu banyak permasalahan yang timbul, maka diperlukan pembatasan masalah untuk menghindari berbagai kesalahan persepsi yang terkaitan dengan penelitian.Oleh karena itu penelitian ini dibatasi pada “Analisis kinerja keuangan yang dilihat dari aspek rasio efektivitas, rasio pajak daerah terhadap PAD, rasio kemandirian, serta analisis trend untuk rasio efektivitas, rasio pajak daerah terhadap PAD, rasio kemandirian di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai dengan 2010”. D.
Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasaan masalah di atas, maka penulis berusaha untuk merumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas?
2.
Bagaimana Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Pajak Daerah terhadap PAD?
3.
Bagaimana Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian?
4.
Bagaimana Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian pada DPPKA Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai dengan 2010 ?
8
E.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui : 1. Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas. 2. Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Pajak Daerah terhadap PAD. 3. Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian. 4. Perkiraan kinerja keuangan melalui Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian pada DPPKA Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai dengan 2010.
F.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dalam menganalisis kinerja keuangan pada DPPKA Kabupaten Klaten dengan menerapkan rasio Efektivitas, rasio Pajak Daerah terhadap PAD, rasio kemandirian adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten ditinjau dari teori Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian, Analisis Trend Untuk Menganalisis Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten.
9
2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi atau sumbangan pemikiran Pemerintah Daerah didalam menganalisis Kinerja Keuangan guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
meningkatkan
Pendapatan
Asli
Daerah
pada
perkembangan zaman yang semakin kompetitif. b. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan media untuk belajar memecahkan masalah secara ilmiah dan pengaruh Penerapan teori Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian, Analisis Trend Untuk Menganalisis Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERTANYAAN PENELITIAN A.
Kajian Teori 1. Kinerja Keuangan a.
Pengertian Kinerja Keuangan Menurut Mohammad Mahsun, (2009), kinerja (performance)
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategis planning suatu organisasi. Sedangkan, pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi, pengukuran kinerja keuangan adalah suatu proses penilaian mengenai
tingkat
kemajuan
pencapaian
pelaksanaan
pekerjaan/kegiatan dalam bidang keuangan untuk kurun waktu tertentu. Indra Bastian (2006:274) mendefinisikan “kinerja adalah gambaran
pencapaian
pelaksanaan
kegiatan/
program/
kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi”. Sedangkan Sthepen P. Robbins dalam I Gusti Agung Rai (2010:40) mendefinisikan “kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama”.
10
11
Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat diperoleh pengertian bahwa kinerja adalah ukuran kemampuan atau keberhasilan dalam melaksanakan suatu tugas, kegiatan/ aktivitas untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. b.
Kinerja keuangan pemerintah daerah Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas
menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu perusahaan seperti, Return Of Investment. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah. Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber yang
12
diperoleh
sudah
digunakan
sesuai
dengan
anggaran
atau
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan
sumber
pendapatan
pemerintah,
bagaimana
penggunaannya dan posisi pemerintah saat itu. Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban pemerintah, menegaskan bahwa salah satu alat untuk menganalisis
kinerja
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolok ukur dalam: 1)
Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelengggaraan otonomi daerah.
2)
Mengukur efektivitas
dalam merealisasikan pendapatan
daerah. 3)
Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
4)
Melihat
pertumbuhan
atau
perkembangan
perolehan
pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
13
Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002.a). Analisis
rasio
keuangan
pada
APBD
dilakukan
dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD Halim, (2002.a) ini adalah: (1) DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) DPRD adalah badan yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah untuk mengelola laporan keuangan daerah.
14
(2) Badan Pengawas Keuangan Badan pengawas keuangan adalah badan yang melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh pemda. (3) Investor, kreditor dan donatur Pihak eksternal yang termasuk dalam kategori investor, kreditur dan donatur meliputi badan organisasi, seperti pemerintah, lembaga keuangan, maupun lainnya. (4) Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah Yaitu pihak-pihak yang menaruh perhatian atas aktivitas yang dilakukan Pemerintah Daerah. (5) Rakyat Rakyat disini adalah kelompok masyarakat yang menaruh perhatian kepada aktivitas pemerintah khususnya yang menerima pelayanan pemerintah daerah. (6) Pemerintah Pusat Pemerintah pusat memiliki kepentingan yang sangat kuat dengan
pemda
karena
tentunya
memerlukan
laporan
keuangan. (7) Pemda (provinsi, kabupaten, atau kota) lain Pemda suatu daerah dengan daerah lain saling berhubungan dan memiliki kepentingan dalam hal ekonomi, misalnya dalam hal melakukan pinjaman.
15
c. Manfaat Pengukuran Kinerja Berikut ini beberapa manfaat dari pengukuran kinerja baik untuk internal maupun eksternal, menurut Mahsun, (2009) : 1) Memastikan pemahaman para pelaksana akan ukuran yang digunakan untuk pencapaian kinerja. 2) Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati. 3) Memantau
dan
mengevaluasi pelaksanaan
kinerja
dan
membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja. 4) Memberikan penghargaan dan hukuman yang obyektif atas prestasi pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati. 5) Menjadi alat komunikasi antar bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi. 6) Mengidentifikasikan
apakah
kepuasan
pelanggan
sudah
terpenuhi. 7) Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah. 8) Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif. 9) Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. 10) Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
16
Pengukuran kinerja harus mencakup beberapa item berikut ini, Mahsun, (2009) diantaranya : 1) Kebijakan:
untuk
membantu
perbuatan
maupun
pengimplementasian kebijakan. 2) Perencanaan dan penganggaran : untuk membantu perencanaan dan penganggaran atas jasa yang diberikan dan untuk memonitor perubahan terhadap rencana. 3) Kualitas: untuk memajukan standarisasi atas jasa yang diberikan maupun keefektifan organisasi. 4) Kehematan: untuk pendistribusian dan keefektifan penggunaan sumber daya. 5) Keadilan: untuk meyakini adanya distribusi yang adil dan dilayani semua masyarakat. 6) Pertanggungjawaban: untuk meningkatkan pengendalian dan mempengaruhi pembuatan keputusan. d. Jenis Indikator Kinerja Pemerintah Daerah Jenis indikator kinerja pemerintah Mahsun, (2009), meliputi : 1) Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini mengukur sumber data seperti anggaran (dana), sumber daya manusia, peralatan, material, dan masukan lain, yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya, suatu
17
lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan. Tolok ukur ini dapat pula digunakan untuk perbandingan dengan lembaga-lembaga relevan. 2) Indikator
proses.
Dalam
indikator
proses,
organisasi
merumuskan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketetapan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat
efesiensi
organisasi.
dan
ekonomis
pelaksanaan
kegiatan
Efisiensi berarti besarnya hasil yang diperoleh
dengan pemanfaatan sejumlah input. Sedangkan, ekonomis adalah bahwa suatu kegiatan dilaksanakan lebih murah dibandingkan dengan standar biaya atau waktu yang telah ditentukan untuk itu. 3) Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau nonfisik. Indikator atau tolok ukur keluaran digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Dengan membandingkan keluaran, instansi dapat menganalisis apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Indikator keluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur.
18
4) Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Dengan indikator hasil, organisasi akan dapat mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat digunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak. 5) Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir
dari
pelaksanaan
kegiatan.
Indikator
manfaat
menggambarkan manfaat yang diperoleh dari indikator hasil. Manfaat tersebut baru tampak setelah beberapa waktu kemudian, khususnya dalam jangka menengah dan panjang. Indikator manfaat menunjukkan hal yang diharapkan dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal (tepat lokasi dan waktu). 6) Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. e. Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut Mardiasmo, (2006): 1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan), bahwa pemungutan pajak harus adil, baik adil dalam perundangundangan maupun adil dalam pelaksanaanya.
19
2) Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis), bahwa hukum pajak harus memberikan jaminan atau kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk negara maupun warganya. 3) Pemungutan pajak harus tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian rakyat. 4) Pemungutan pajak harus efesien (syarat finansial), sesuai budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan lebih rendah dari pemungutannya. 5) Sistem
pemungutan
pajak
harus
sederhana,
ini
akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. 2.
Rasio Kinerja a.
Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target
yang
ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah. Formula rasio efektivitas adalah sebagai berikut : RasioEfektivitas =
x 100
%
20
Kriteria Rasio Efektivitas menurut Mahsun (2009), adalah : 1) Jika diperoleh nilai kurang dari 100% (x < 100%) berarti tidak efektif 2) Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang. 3) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif. b.
Rasio Pajak Daerah terhadap PAD Rasio ini mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan dari pajak daerah. Formula rasio pajak daerah terhadap PAD adalah sebagai berikut :
Rasio Pajak daerah terhadap PAD =
x 100%
Kriteria Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Halim (2002.a) adalah : 1) Jika diperoleh nilai 00,00% - 10,00% dikatakan sangat kurang 2) Jika diperoleh nilai 10,01% - 20,00% dikatakan kurang 3) Jika diperoleh nilai 20,01% - 30,00% dikatakan sedang 4) Jika diperoleh nilai 30,01% - 40,00% dikatakan cukup 5) Jika diperoleh nilai 40,01% - 50,00% dikatakan baik 6) Jika diperoleh nilai > 50% dikatakan sangat baik
21
c.
Rasio Kemandirian Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan
oleh
besar
kecilnya
pendapatan
asli
daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat dan dari pinjaman. Formula Rasio Kemandirian Mahsun (2009),
adalah sebagai
berikut : Rasio Kemandirian =
Pola
Pendapatan Asli Daerah x Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
hubungan tingkat
100%
kemandirian dan kemampuan
keuangan daerah Halim, (2002.b) dapat disajikan dalam tabel1 seperti tampak pada berikut ini: Tabel 1.Pola hubungan tingkat kemandirian dan kemampuan keuangan daerah. Kemandirian Rasio Daerah Kemandirian (%) Rendah Sekali 0 – 25 Rendah > 25 – 50 Sedang > 50 – 75 Tinggi > 75 – 100 Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap
22
bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi), semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. d.
Analisis Trend Analisis Trend dilakukan untuk mengetahui perkembangan dan proyeksi Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian pada DPPKA Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai dengan 2010. Dalam perhitungan ini menggunakan analisis time series dengan persamaan trend sebagai berikut : Y’ = a + bX Besarnya a dan b dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut : =
∑
=
∑ ∑
keterangan : Y’
= Perkembangan Kemandirian, Efektivitas atau juga Pajak terhadap PAD.
23
Y = Variabel tingkat Kemandirian, Efektivitas dan Pajak terhadap PAD. a = Besarnya Y saat X=0 b = Besarnya Y jika X mengalami perubahan 1 satuan X = Waktu Dengan mengadakan peramalan, seseorang atau suatu badan lebih mempunyai pandangan untuk merencanakan kegiatankegiatan maupun untuk menetapkan anggaran keuangan di tahun berikutnya. Dengan menggunakan dasar data masa sebelumnya, dikumpulkan, kemudian dianalisa untuk meramalkan waktu yang akan datang. Data yang dikumpulkan dengan rangkaian waktu disebut dengan rangkaian waktu (time series)
Trend jangka
panjang atau trend sekuler, yang sering disebut dengan trend, adalah suatu garis (trend) yang menunjukkan arah perkembangan secara umum.Trend ini bisa berbentuk garis lurus atau garis lengkung yang mempunyai kecenderungan menaik atau justru menurun. Namun kelemahan dari perhitungan menggunakan trend ini adalah hasilnya cenderung selalu naik dari tahun ke tahun sedangkan belum tentu perkembangan penerimaan yang diperoleh dari tahun ke tahun selalu meningkat. Meski demikian, analisis ini tetap ada kelemahannya yaitu, pada
perubahan
tiap
tahunnya
yang
selalu
menunjukkan
peningkatan.Hal itu sering pula tidak sesuai dengan realisasi
24
penerimaan pada tahun-tahun berikutnya karena penerimaan di dalam suatu daerah belum tentu selalu mengalami kenaikan. Sehingga kadang perhitungan untuk perkiraan target penerimaan pada tahun-tahun berikutnya mengalami ketidaksesuaian terhadap kenyataan yang ada. B.
Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslina Nadaek (2003) disusun dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan APBD untuk Menilai Kinerja Pemerintah Daerah” studi kasus Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Ruslina mengemukakan bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93% untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46%. Kondisi ini menunjukan bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari yang diharapkan. Pendapatan daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian besar masihdiprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56% dari total pendapatan yang diterima. Kondisi
ini menunjukan
bahwa jika menggunakan indikator PAD, maka Kabupaten Maluku Tenggara dalam rangka melaksanakan Otonomi daerah masih belum mampu ditinjau dari aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun anggaran
25
1998/1999 sampai dengan tahun anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 7,22%. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai kurang dari 100%. Akan tetapi dari hasil analisis trend dengan metode Least Square terlihat adanya peningkatan rasio efektivitas dari tahun ke tahun yang menunjukkan kinerja pemerintah daereh yang semakin baik. Rasio efisiensi pemungutan PAD Kab. Maluku Tenggara selama lima tahun anggaran yaitu dari tahun anggaran
1998/1999
sampai dengan 2002 rata-rata sebesar 3,27% dan setiap tahun anggaran mengalami penurunan sebesar 0,1%. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan PAD Kabupaten .Maluku Tenggara dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin proposional dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini menunujukkan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik. 2. Rita Engleni (2001) yang meneliti tentang PAD di Kota Padang menyimpulkan perlunya rencana penerimaan PAD jangka menengah yang memenuhi unsur rasionalitas dan berorientasi ke depan. Skenario ini merupakan langkah penting sebagai respon semangat kemandirian pendanaan daerah. Disamping sebagai pedoman penentuan langkah dan tindakan oleh dinas/unit kerja pengelola penerimaan PAD, juga sebagai tolok ukur keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kausalitas yang
26
dikaitkan dengan beberapa indikator pokok yaitu rata-rata pertumbuhan komponen PAD sebagai dasar untuk memprediksi rumusannya 3. Susiyati (1987) menelaah keuangan di Indonesia mengungkapkan beberapa permasalahan di bidang keuangan daerah yang dihadapi pemerintah daerahselama ini yaitu: a. Ketergantungan pemerintah daerah kepada subsidi pemerintah pusat yang tercermin dari besarnya bantuan pusat baik dari sudut anggaran rutin yaitu melalui subsidi daerah otonom maupun dari sudut anggaran pembangunan yaitu bantuan pembangunan daerah. b. Rendahnya kemampuan daerah untuk menggali sumber asli daerah yang tercermin dari peneriman PAD yang relatif kecil dibandingkan dengan total penerimaan daerah. c. Kurangnya usaha dan kemampuan pemerintah daerah mengelola dan menggali sumber pendapatan yang ada. d. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam mernbayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya karena kurangnya pengertian mereka tentang fungsi perpajakan tersebut. C.
Kerangka Berfikir Menganalisis Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten adalah suatu proses penilaian mengenai tingkat kemajuan pencapaian pelaksanaan pekerjaan/kegiatan DPPKA Kabupaten Klaten dalam bidang keuangan untuk kurun waktu tertentu. Dibawah ini empat macam rasio kinerja yang
27
digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pada DPPKA Kabupaten Klaten, yaitu meliputi : Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Atau Rasio Efektivitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan pajak daerah terhadap target penerimaan pajak daerah yang menunjukan
besarnya
realisasi
penerimaan
pajak
daerah
karena
pemungutan pajak daerah dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah. Tingkat efektivitas pemungutan pajak daerah dipengaruhi beberapa faktor yang salah satunya adalah kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak daerah maka realisasi penerimaan pendapatan asli daerah dapat sesuai dengan target sehingga pemungutan pajak daerah dapat dikatakan efektif. Rasio Pajak Daerah terhadap PAD adalah Rasio ini mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan dari pajak daerah Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan realisasi pendapatan yang diterima.Semakin kecil biaya pemungutan dibandingkan dengan pendapatan yang diterima maka dapat dikatakan bahwa pemungutan pajak daerah telah efisien. Oleh karena itu, kinerja pemerintah daerah harus semakin ditingkatkan terutama dalam perhitungan tentang biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan uang
28
diterimannya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Rasio Kemandirian adalah kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain. Analisis trend dilakukan untuk
mengetahui perkiraan kemungkinan Tingkat
Kemandirian, Efektivitas dan Efisiensi Kabupaten Klaten pada tahuntahun yang akan datang. Pemerintah kota Klaten merupakan salah satu pemerintah daerah yang tidak terlepas dari persoalan tersebut, yaitu ingin meningkatkan pendapatan asli daerah terutama dari sektor pajak daerah ataupun Pendapatan Asli Daerah yang lainnya. Pemungutan pajak daerah masih kurang efektif dan efisien sehingga diketahui beberapa faktor yang dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pajak daerah tersebut. D.
Paradigma Penelitian Setelah melakukan kajian teoritik yang berhubungan dengan konsep kunci yang merupakan variabel dalam penelitian ini dan hubungan antar variabel yang akan dikembangkan, maka dapat digambarkan paradigma penelitian sebagai berikut:
29
Survei Pendahuluan pada DPPKA Kabupaten Klaten
Perolehan Data Yang Diperlukan Dalam Penelitian
Melakukan analisis terhadap: 1. Kinerja Keuangan Melalui: a. Rasio Efektivitas b. Rasio Pajak Daerah terhadap PAD c. Rasio Kemandirian d. Analisis Trend
Hasil Penelitian
Gambar 1. Paradigma Penelitian
30
E.
Pertanyaan Penelitian Adapun Pertanyaan Penelitian yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas ? 2. Bagaimana kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat Rasio pajak daerah terhadap PAD ? 3. Bagaimana kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian ? 4. Bagaimana Analisis Trend untukRasio Efektivitas, Rasio pajak daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian pada DPPKA Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai 2010?
31
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Klaten, Jalan Pemuda, Klaten. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan
pada bulan
Desember 2011 sampai
dengan April 2012. B. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari objek penelitian. Kegiatan ini dilakukan dengan mengawasi dan mempelajari secara langsung Kinerja Keuangan pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangandan Aset Kabupaten Klaten. Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh data pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangandan Aset Kabupaten Klaten khususnya hal-hal yang berkaitan dengan pengukuran kinerja di Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas, Rasio pajak daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian, dan Analisis Trend . C. Subjek Dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah DPPKA Kabupaten Klaten, dan objek penelitian ini adalah laporan keuangan berupa laporan realisasi tahun 2006-
31
32
2010, Neraca Tahun 2006-2010 dan struktur organisasi DPPKA Kabupaten Klaten. D. Definisi Operasional Variabel. Analisis Kinerja Keuangan dalam penelitian ini adalah suatu proses penilaian
mengenai
tingkat
kemajuan
pencapaian
pelaksanaan
pekerjaan/kegiatan DPPKA Kabupaten Klaten dalam bidang keuangan untuk periode 2006-2010.Untuk menghindari kesalahpahaman dan meluasnya permasalahan yang diangkat, maka perlu adanya batasan-batasan pengertian operasional variabel sebagai berikut: 1. Rasio Efektivitas Rasio Efektivitas merupakan perbandingan antara penerimaan pendapatan asli daerah dengan target yang telah ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Dengan formula rasio efektivitas adalah sebagai berikut
RasioEfektivitas =
x 100
%
2. Rasio Pajak Daerah terhadap PAD Rasio ini mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan dari pajak daerah. Formula rasio pajak daerah terhadap PAD adalah sebagai berikut : Rasio Pajak daerah terhadap PAD =
x 100%
33
3. Rasio Kemandirian Rasio Kemandirian Keuangan Daerah merupakan perbandingan antara pendapatan asli daerah dengan pendapatan daerah yang berasal dari bantuan pemerintah pusat dan dari pinjaman. Formula rasio kemandirian adalah sebagai berikut: Rasio Kemandirian =
Pendapatan Asli Daerah x Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
100%
E. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Penelitian Lapangan (field research) Penelitian Lapangan yaitu pencarian data primer dengan menggunakan dua macam cara yaitu: a.
Metode Wawancara Peneliti bertemu dengan pihak DPPKA Kabupaten Klaten untuk meminta data mengenai: 1) Gambaran umum Pemerintah Kabupaten Klaten 2) Gambaran umum DPPKA Kabupaten Klaten
b.
Metode Dokumentasi Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang ada pada DPPKA Kabupaten Klaten yang berupa data : 1) Laporan Realisasi Tahun 2006-2010 2) Neraca Tahun 2006-2010
34
3) Struktur organisasi DPPKA Kabupaten Klaten 2.
Penelitian Kepustakaan Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
studi kepustakaan. Studi pustaka adalah metode pengumpulan data yang dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan data dari literatur – literatur dan buku – buku yang mendukung. F.
Teknik Analisis Sesuai dengan penelitian yang dilakukan maka teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif, yaitu data atau informasi berbentuk angka-angka yang kemudian ditarik kesimpulan dengan jelas membandingkan satu dengan yang lain dengan perhitungan yang bersifat kuantitatif. 1.
Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Formula rasio efektivitas Mahsun ,(2009), adalah sebagai berikut:
RasioEfektivitas =
x 100
%
Kriteria Rasio Efektivitas menurut (Halim, 2002.a) adalah : a.
Jika diperoleh nilai kurang dari 100% (x < 100%) berarti tidak efektif
b.
Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang.
35
c.
Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif.
2. Rasio Pajak Daerah terhadap PAD Rasio
ini mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam
menghasilkan pendapatan dari pajak daerah. Formula Rasio Pajak Daerah terhadap PAD Mahsun, (2009), adalah sebagai berikut : Rasio Pajak daerah terhadap PAD =
x 100%
Kriteria Rasio Pajak Daerah terhadap PAD adalah : a.
Jika diperoleh nilai 00,00% - 10,00% dikatakan sangat kurang
b.
Jika diperoleh nilai 10,01% - 20,00% dikatakan kurang
c.
Jika diperoleh nilai 20,01% - 30,00% dikatakan sedang
d.
Jika diperoleh nilai 30,01% - 40,00% dikatakan cukup
e.
Jika diperoleh nilai 40,01% - 50,00% dikatakan baik
f.
Jika diperoleh nilai > 50% dikatakan sangat baik
3. Rasio Kemandirian Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari bantuan pemerintah pusat dan dari pinjaman. Formula rasio kemandirian Mahsun, (2009), adalah :
36
Rasio Kemandirian =
Pendapatan Asli Daerah x Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
100%
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat kemandirian Halim, (2001.b) dapat disajikan dalam tabel 2 seperti tampak pada berikut ini: Tabel 2.Pola hubungan tingkat kemandirian dan kemampuan keuangan daerah. Kemandirian Rasio Daerah Kemandirian (%) Rendah Sekali 0 – 25 Rendah > 25 – 50 Sedang > 50 – 75 Tinggi > 75 – 100 Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi), semakin rendah dan demikian pula sebaliknya, rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. 4. Analisis Trend Untuk mengetahui perkembangan dan proyeksi Rasio Efektivitas, Rasio Pajak Daerah terhadap PAD, Rasio Kemandirian pada DPPKA
37
Kabupaten Klaten pada tahun 2006 sampai dengan 2010, dipergunakan analisis trend dengan metode kuadrat terkecil (Least Square). Dalam perhitungan ini menggunakan analisis time series dengan persamaan trend sebagai berikut : Y’ = a + bX Besarnya a dan b dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut: =
∑
=
∑ ∑
Keterangan : Y’ =Perkembangan Kemandirian, Efektivitas dan Pajak terhadap PAD. Y = Variabel tingkat Kemandirian, Efektivitas danPajak terhadap PAD. a = Besarnya Y saat X=0 b = Besarnya Y jika X mengalami perubahan 1 satuan X = Waktu
38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Objek Penelitian 1.
Gambaran Umum Pemerintah Daerah Klaten a.
Kondisi Geografis Kabupaten Klaten letaknya sangat strategis yaitu berada diantara 3 kota
besar, yakni Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang. Letak kabupaten ini secara astronomis yaitu “07°32’23"-07°48’30" LS dan 110° 26’46"110°48’00" BT dengan ketinggian wilayah antara 100-400 mdpal dengan iklim sedang yaitu sifat iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti tiap tahun, sedangkan secara administratif berbatasan dengan Kab. Boyolali (Utara), Kab. Sukoharjo (Timur), Kab. Gunung Kidul (Selatan), dan Kab. Sleman (Barat). Luas wilayah keseluruhan yaitu 65.556 Ha dengan beragam klasifikasi topografi, yaitu datar seluas 48.325 Ha (73,72% dari luas keseluruhan), bergelombang seluas 14.508 Ha (22,13%), curam seluas 1.488 Ha (2,27%), dan sangat curam seluas 1.235 Ha (1,88%). Letak Klaten baik secara astronomis, geografis maupun ekonomis menjadikan kemudahan penduduk klaten untuk berinteraksi dengan masyarakat dunia, termasuk memberi kemudahan aliran impor dan ekspor barang yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Keberadaan Klaten pada lereng gunung Merapi, akan memberikan rahmat bagi daerah Klaten karena kaya akan sumber mata air, mineral dan barang tambang lainnya termasuk banyaknya 38
39
sungai yang melintas akan memberi pengaruh padairigasi seta kesuburan tanah. Penggunaan lahan di Klaten cukup beragam. Mayoritas lahannya masih digunakan untuk areal persawahan yakni sebesar 33.541 Ha (51,16%) pada tahun 2004. Areal tersebut tercatat semakin berkurang tiap tahun dengan rata-rata pengurangan sebesar 26 Ha/th sedang penggunaan lainnya relative tetap. Penggunaan lainnya yang cukup besar yaitu untuk permukiman dengan luas 19.933 Ha (30,4%). Sisanya yaitu 6.316, usaha seluas 4.115 Ha, hutan seluas 1.450 Ha, serta rawa dan kolam seluas 201 Ha. Besarnya luas dan persentase lahan sawah teririgasi menunjukkan bahwa tanah pertanian di kabupaten Klaten subur dan Klaten mendapat sebutan sebagai daerah penyangga pangan di Jawa Tengah dan terkenal dengan padi Delanggu yang spesifik rasanya dan bentuk serta warna berasnya. Penyusutan lahan persawahan irigasi teknis setiap tahun rata-rata sebesar 24 Ha dan persawahan tadah hujan rata-rata sebesar 14,5 Ha, maka perlu ada pengendalian dan pemanfaatan
lahan
sesuai
dengan
tata
ruang
daerah
agar
dapat
mempertahankan Klaten sebagai daerah penyangga pangan khususnya beras. b.
Pemerintahan Kabupaten ini terbagi menjadi 3 wilayah perkotaan dan 23 wilayah
pedesaan, 26 kecamatan, 381 desa, serta 10 kelurahan. Wilayah perkotaan yaitu Klaten Selatan, Tengah, dan Utara sedangkan sisanya sebanyak 23 merupakan wilayah pedesaan, yaitu Prambanan, Gantiwarno, Wedi, Bayat, Cawas,
Trucuk,
Kalikotes,
Kebonarum,
Jogonalan,
Manisrenggo,
Karangnongko, Ngawen, Ceper, Pedan, Karangdowo, Juwiring, Wonosari,
40
Delanggu, Polanharjo, Karanganom,Tulung, Jatinom, serta Kemalang. Meskipun jumlah desa di kabupaten Klaten cukup banyak dan tersebar pada topografi yang bervariasi, akan tetapi semuanya berstatus sebagai desa swasembada, sebuah status yang mencerminkan kelengkapan sarana dan prasarana desa, sehingga sangat menunjang upaya pembangunan desa yang lebih maju. Keberadaan sarana dan prasarana transportasi misalnya akan meningkatkan mobilitas penduduk ke daerah lain yang memiliki nilai kefaedahan yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan sumberdaya manusia dan modernisasi desa. 2.
DPPKA Klaten Adanya otonomi daerah yang diberlakukan pada tahun 2001 yang didasarkan
pada
Undang-undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan daerah. Kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah serta Peraturan Bupati Klaten nomor
36Tahun 2011 tentang rincian tugas, fungsi, dan tata
kerja Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kabupaten Klaten yang membawa perubahan fundamental dalam hubungan tata pemerintahan dan hubungan keuangan yang sekaligus membawa penting dalam pengelolaan anggaran daerah.
41
Dalam rangka menunjang penyelenggaraan otonomi daerah di Kabupaten Klaten dan untuk melaksanakan fungsinya, Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Klaten mengupayakan optimalisasi sumber pendapatan daerah dengan intensifikasi dan ekstensifikasi melalui pemanfaatan
segenap potensi dan sumber
daya
yang ada secara
berkesinambungan yang berwawasan lingkungan dalam rangka peningkatan kontrisbusi pendapatan asli daerah yang digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan pemerintahan. Seiring dengan tingkat perkembangan potensi dan sumber daya sehingga arah pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan secara terarah dan terpadu. a. Visi dan misi DPPKA Kabupaten Klaten 1.
Visi DPPKA Kabupaten Klaten Penetapan visi DPPKA Kabupaten Klaten sangat penting sebagai
sumber acuan pelaksanaan tugas yang diemban oleh seluruh jajaran pimpinan dan staf.Visi tersebut digali dari keyakinan dasar atas tugas pokok dan fungsi, memperhatikan nilai-nilai yang dianut oleh seluruh pegawai DPPKA dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal yang ada. 2.
Visi DPPKAD :
“Menjadikan Pengelolaan Keuangan yang Profesional”. a. Pengelolaan keuangan daerah adalah semua aparatur di lingkungan DPPKA Kabupaten Klaten.
42
b. Profesional, yang dimaksudkan adalah terbentuknya SDM yang memiliki
integritas,
kemampuan
dan
penguasaan
akan
ketugasannya sehingga mampu menemukan permasalahan dan mencari alternatif pemecahannya serta kreatifitas pengembangan dengan didasari rasa tanggung jawab dan disiplin yang tinggi. 3. Misi DPPKA Kabupaten Klaten Dengan adanya misi diharapkan seluruh pegawai dan pihakpihak lain yang berkepentingan dapat lebih mengetahui peran ketugasan dan program-program serta hasil yang akan diperoleh di masa akan datang. Adapun misiya adalah : a. Meningkatkan kemampuan SDM dalam penguasaan ketugasan, kreatifitas pengembangan berdasarkan kedisiplinan kerja. b. Meningkatkan sarana dan prasarana penunjang ketugasan termasuk penyedia teknologi informasi untuk memberikan pelayanan prima, untuk mencapai visi dan misi Dinas Pendapatan Pengelolaan b. Struktur Organisasi 1) Susunan Organisasi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, terdiri dari : a) Kepala Dinas; b) Sekretariat: (1) Subbagian Perencanaan dan Pelaporan; (2) Subbagian Keuangan; (3) Subbagian Umum dan Kepegawaian.
43
c) Bidang Pendapatan Asli Daerah: (1) Seksi Pendataan dan Penilaian; (2) Seksi Penetapan dan Pelayanan; (3) Seksi Penagihan dan Pemungutan. d) Bidang Anggaran: (1) Seksi Penyusunan Teknis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (2) Seksi Penyusunan Kebijakan Pengendalian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. e) Bidang Perbendaharaan: (1) Seksi Kas Daerah; (2) Seksi Belanja Gaji; (3) Seksi Belanja Non Gaji. f) Bidang Akuntansi dan Pembiayaan: (1) Seksi Akuntansi; (2) Seksi Pembiayaan. g) Bidang Aset Daerah: (1) Seksi Pengadaan dan Pemberdayaan Aset; (2) Seksi Inventarisasi dan Penghapusan Aset. h) UPTD i) Kelompok Jabatan Fungsional.
44
B. Hasil Penelitian 1.
Analisis Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten Analisis Kinerja Keuangan DPPKA Kabupaten Klaten dalam penelitian
ini adalah suatu proses penilaian mengenai tingkat kemajuan pencapaian pelaksanaan pekerjaan/kegiatan DPPKA Kabupaten Klaten dalam bidang keuangan untuk kurun waktu 2006-2010. Di bawah ini empat macam rasio kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pada DPPKA Kabupaten Klaten untuk tahun 2006-2010, yaitu meliputi : a.
Rasio Efektivitas
RasioEfektivitas =
x 100
%
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio efektivitas yang akan dianalisis adalah tahun 2006-2010, yaitu sebagai berikut : Tabel 3.Rasio Efektivitas DPPKA Kabupaten KlatenTahun Anggaran 2006-2010 Realisasi PAD Tahun Anggaran PAD Realisasi PAD 100% Anggaran (Rp) (Rp) Anggaran PAD 2006 35.864.742.000,00 33.919.999.845,00 94,58% 2007 41.855.189.000,00 42.547.074.202,00 101,65% 2008 43.910.145.000,00 38.347.614.632,00 87,33% 2009 66.073.046.000,00 46.603.876.930,00 70,53% 2010 61.743.899.426,00 54.886.005.749,00 88,89% Sumber Data : DPPKA Klaten (Diolah)
45
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa Efektivitas kinerja keuangan DPPKA Klatenuntuk tahun 2006, 2008 hingga 2010 tidak efektif, karena nilai yang diperoleh kurang dari 100%, yaitu sebesar 94,58%, 87,33%, 70,53%, dan 88, 89%. Untuk tahun 2007 sudah berjalan secara efektif, karena nilai yang diperoleh lebih dari 100%, yaitu sebesar 101,32%. b.
Rasio Pajak Daerah terhadap PAD Rasio Pajak daerah terhadap PAD =
x 100%
Rasio ini digunakan untuk menilai kinerja DPPKA Kabupaten Klaten dalam menghasilkan pendapatan dari pajak daerah. Tabel 4. Rasio Pajak Daerah terhadap PAD DPPKA Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2006-2010 Tahun Pajak Daerah (Rp) PAD Pajak Daerah X 100% Anggaran (Rp) PAD 2006 10.310.593.034,00 33.919.999.845,00 30,40% 2007 12.689.833.307,00 42.547.074.202,00 29,82% 2008 18.026.871.390,00 38.347.614.632,00 47,01% 2009 18.921.063.434,00 46.603.876.930,00 40,60% 2010 19.549.880.442,00 54.886.005.749,00 35,62% Sumber Data : DPPKA Kabupaten Klaten (Diolah) Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten bila diukur berdasarkan rasio pajak daerah terhadap PAD untuk tahun 2006-2010 dapat digolongkan sedang hingga cenderung baik, hal ini terlihat dari tabel tersebut yang memuat bahwa nilai yang paling rendah yaitu sebesar 29,82 % terjadi pada tahun 2007 yang digolongkan sedang, dan nilai yang
paling tinggi yaitu
sebesar 47,01% terjadi pada tahun 2008 yang digolongkan baik
46
c.
Rasio Kemandirian Rasio Kemandirian =
Pendapatan Asli Daerah x Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
100%
Rasio kemandirian ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Tabel 5. Rasio Kemandirian DPPKA Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2006-2010 Tahun Anggaran
2006 2007 2008 2009 2010
Pendapatan Asli Daerah (Rp)
33.919.999.845,00 42.547.074.202,00 38.347.614.632,00 46.603.876.930,00 54.886.005.749,00
Bantuan Pemerintah Pusat dan Propinsi serta Pinjaman (Rp) 693.153.369.053,00 825.137.326.407,00 910.101.402.189,00 922.915.374.294,00 972.029.599.717,00
PAD x100% Bantuan Pemerintah Pusat dan Propinsi serta Pinjaman
4,90% 5.16% 4,21% 5,05% 5,65%
Sumber Data : DPPKA Kabupaten Klaten (diolah) Berdasarkan perhitungan dalam tabel tersebut, maka dapat diketahui bahwa kemampuan keuangan DPPKA Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian tergolong sangat rendah sekali, nilai yang terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,21%, sedangkan nilai yang paling tinggi terjadi pada tahun 2010yaitu sebesar 5,65%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) masih sangat tinggi.
47
d.
Analisis Trend Dalam perhitungan ini menggunakan analisis time series dengan persamaan trend sebagai berikut : Y’ = a + bX Besarnya a dan b dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut: =
∑
=
∑ ∑
Keterangan : Y’ = Perkembangan Kemandirian, Efektivitas danPajak terhadap PAD. Y = Variabel tingkat kemandirian,Efektivitas dan Pajak terhadap PAD. a = Besarnya Y saat X=0 b = Besarnya Y jika X mengalami perubahan 1 satuan X = Waktu
48
1) Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas Tabel 6. Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas DPPKA Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2006-2010 Tingkat 2 Tahun X Efektivitas X.Y Y’ (Y) 2006
-2
94,58%
-189,16%
4
97,096%
2007
-1
101,65%
-101,65%
1
92,846%
2008
0
87,33%
0
0
88,596%
2009
1
70,53%
70,53%
1
84,346%
2010
2
88,89%
177,78%
4
80,096%
Total
0
442,98%
-42,5%
10
442,98%
= =
∑
=
∑ . ∑
442,98% 5
=
, %
= 88,596%
=
- 4,25%
Y’= a + bX
Y’ = 88,596% + (-4,25). (X)
Hasil Perhitungan Trend: Y’ (2006) = 88,596 %+ (-4,25%). (-2) = 97, 096% Y’ (2007) = 88,596 %+ (-4,25%). (-1) = 92,846% Y’ (2008) = 88,596 %+ (-4,25%). (0) = 88,596% Y’ (2009) = 88,596 %+ (-4,25%). (1) = 84,346% Y’ (2010) = 88,596 %+ (-4,25%). (2) = 80,096% Y’ (2011) = 88,596 %+ (-4,25%). (3) = 75,846% Y’ (2012) = 88,596 %+ (-4,25%). (4) = 71,596%
49
Trend untuk rasio efektivitas keuangan DPPKA Kabupaten Klaten menggambarkan kecenderungan arah perkembangan efektivitas keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung menurun yaitu dari 97, 096% turun menjadi 80,096%, sehingga ini merupakan implementasi yang buruk dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio efektivitas, dan untuk peramalan tahun yang akan datang yaitu pada tahun 2011 maka efektivitasnya akan menurun menjadi 75,846%, dan untuk tahun 2012 menjadi 71,596%. 2) Analisis Trend untuk Rasio Pajak Daerah terhadap PAD. Tabel 7. Analisis Trend untuk Rasio Pajak Daerah terhadap PAD DPPKA Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2006-2010 Tingkat Efektivitas 2 Tahun X (Y) X.Y Y’ 2006
-2
30,40%
-60,80%
4
32,466%
2007
-1
29,82%
-29,82%
1
34,578%
2008
0
47,01%
0
0
36,69%
2009
1
40,60%
40,60%
1
38,802%
2010
2
35,62%
71,24%
4
40,914%
Total
0
183,45%
21,22%
10
183,45%
= =
∑
=
∑ . ∑
183,45% 5
=
,
%
=
= 36,69% 2,112%
Y’= a + bX
Y’ = 36,69% + (2,112%). (X)
50
Hasil Perhitungan Trend: Y’ (2006) = 36,69% + (2,112%). (-2) = 32,466% Y’ (2007) = 36,69% + (2,112%). (-1) = 34,578% Y’ (2008) = 36,69% + (2,112%). (0) = 36,69% Y’ (2009) = 36,69% + (2,112%). (1) = 38,802% Y’ (2010) = 36,69% + (2,112%). (2) = 40,914% Y’ (2011) = 36,69% + (2,112%). (3) = 43,026% Y’ (2012) = 36,69% + (2,112%). (4) = 45,138% Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD DPPKA Kabupaten Klaten menggambarkan kecenderungan arah perkembangan penerimaan pajak daerah dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung naik yaitu dari 32,466% naik menjadi 40,914%, sehingga ini merupakan implementasi yang baik dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD, dan untuk peramalan tahun yang akan datang yaitu pada tahun 2011 maka rasio pajak terhadap PAD akan naik menjadi 43,026%, dan untuk tahun 2012 menjadi 45,138%
51
3) Analisis Trend untuk Rasio Kemandirian. Tabel 8.Analisis Trend untuk Rasio Kemandirian DPPKA Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2006-2010 Tingkat Efektivitas 2 Tahun X (Y) X.Y Y’ 2006
-2
4,90%
-9,8%
4
4,356%
2007
-1
5,16%
-5,16%
1
4,855%
2008
0
4,21%
0
0
4,994%
2009
1
5,05%
5,05%
1
5,133%
2010
2
5,65%
11,3%
4
5,272%
Total
0
24,97%
1,39%
10
24,61%
= =
∑
=
∑ . ∑
24,97% 5
=
,
%
= 4,994%
= 0,139%
Y’= a + bX
Y’ = 4,994% + (0,139%). (X)
Hasil Perhitungan Trend: Y’ (2006) = 4,994% + (0,139%). (-2) = 4,356% Y’ (2007) = 4,994% + (0,139%). (-1) = 4,855% Y’ (2008) = 4,994% + (0,139%). (0) = 4,994% Y’ (2009) = 4,994% + (0,139%). (1) = 5,133% Y’ (2010) = 4,994% + (0,139%). (2) = 5,272% Y’ (2011) = 4,994% + (0,139%). (3) = 5,411% Y’ (2012) = 4,994% + (0,139%). (4) = 5,55%
52
Trend
untuk
menggambarkan
rasio
kemandirian
kecenderungan
arah
DPPKA
Kabupaten
perkembangan
Klaten
kemandirian
keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung naik yaitu dari 4,356% naik menjadi 5,272%, sehingga ini merupakan implementasi yang baik dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio kemandirian, dan untuk peramalan tahun yang akan datang yaitu pada tahun 2011 maka rasio pajak terhadap PAD akan naik menjadi 5,411%, dan untuk tahun 2012 menjadi 5,55%. C. Pembahasan 1.
Rasio Efektivitas Hasil perhitungan pada tabel 3, menunjukkan bahwa anggaran PAD
DPPKA Kabupaten Klaten
mengalami peningkatan dan penurunan.
Anggaran PAD yang semula di tahun 2006 sebesar Rp35.864.742.000.atau sebesar 4,74 % dari total pendapatan, selanjutnya pada tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi Rp41.855.189.000,- atau sebesar 4,83 % dan tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi Rp43.910.145.000.- atau sebesar 4,56 % dari total pendapatan. Pada tahun 2009mengalami kenaikan kembali sebesar Rp66.073.046.000,- atau sebesar 6,79 % dan tahun 2010 mengalami Penurunan Rp61.743.899.426,- atau sebesar 5,73 % dari total pendapatan. Realisasi
PAD
DPPKA
Kabupaten
Klaten
juga
mengalami
peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2006 sebesar Rp33.919.999.845,atau 4,46 % dari total pendapatan, kemudian pada tahun 2007 mengalami
53
peningkatan menjadi Rp42.547.074.202.-atau sebesar 4,89 % dan tahun 2008 mengalami penurunan menjadi Rp38.347.614.632,-atau sebesar 3,93 % dari total pendapatan, lalu pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi
Rp46.603.876.930,-atau
2010mengalami
peningkatan
sebesar4,73 menjadi
%
dan
Rp54.886.005.749,-
tahun atau
sebesar5,18 % dari total pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3, untuk rasio efektivitas dapat diketahui bahwa efektivitas kinerja keuangan DPPKA Klaten untuk tahun 2006 sebesar 94,58%, tahun 2007sebesar 101,32%, tahun 2008 sebesar 87,33%, tahun 2009 sebesar 70,53%, dan tahun 2010 sebesar 88, 89%, Untuk tahun 2006, 2008, 2009, dan 2010 efektivitas kinerja keuangan DPPKA Klaten tidak berjalan secara efektif karena nilai yang diperoleh kurang dari 100%. Sedangkan untuk tahun 2007 sudah berjalan secara efektif, karena nilai yang diperoleh lebih dari 100%, yaitu sebesar 101,32%. Menurut uraian dan perhitungan pada tabel 3, dapat disimpulkan bahwa rasio efektivitas selama lima tahun pada Kabupaten Klaten memiliki rata-rata tingkat efektivitas masih sangat kurang efektiv. Rasio efektivitas yang masih sangat kurang mengakibatkan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Klaten dalam membiayai pelaksanaan Otonomi daerahyang masih sangat kurang menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak /
54
retribusi yang ada di daerah dan kurangnya pendapatan asli daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola oleh pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan/ pengenaannya berdasarkan undang-undang/ peraturan pemerintah, dan daerah hanya menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari : Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak /, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,Dana Perimbangan dari Provinsi, dan pendapatan sah lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif
yang
memungkinkan
untuk
dapat
mengatasi
kekurangan pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD misalnya pendirian BUMD sektor potensial. 2.
Rasio rasio pajak daerah terhadap PAD Hasil perhitungan pada tabel 4, menunjukkan bahwa Pajak
DaerahDPPKA penurunan.
Kabupaten
Klaten
mengalami
peningkatan
dan
Pajak Daerah yang semula di tahun 2006 sebesar
Rp10.310.593.034.- atau sebesar 30,39 % dari PAD, selanjutnya pada tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi Rp12.689.833.307,- atau sebesar
55
29,83
%
dan
tahun
2008
mengalami
kenaikan
menjadi
Rp18.026.871.390.- atau sebesar 47% dari total pendapatan. Pada tahun 2009mengalami kenaikan kembali sebesar Rp18.921.063.434,- atau sebesar 41 % dan tahun 2010 mengalami Penurunan Rp19.549.880.442,atau sebesar 35,62% dari total PAD. Realisasi
PAD
DPPKA
Kabupaten
Klaten
juga
mengalami
peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2006 sebesar Rp33.919.999.845,atau 4,46 % dari total pendapatan, kemudian pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi Rp42.547.074.202.-atau sebesar 4,89 % dan tahun 2008 mengalami penurunan menjadi Rp38.347.614.632,-atau sebesar 3,93 % dari total pendapatan, lalu pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi
Rp46.603.876.930,-atau
2010mengalami
peningkatan
sebesar4,73 menjadi
%
dan
Rp54.886.005.749,-
tahun atau
sebesar5,18 % dari total pendapatan. Untuk rasio pajak daerah terhadap PAD dapat diketahui bahwa kinerja keuangan DPPKA Klaten untuk tahun 2006 sebesar 30,40%, tahun 2007 sebesar 29,82%, tahun 2008 sebesar 47,1%, tahun 2009 sebesar 40,60%, dan tahun 2010 sebesar 35,62%. Berdasarkan kriteria rasio pajak terhadap PAD, maka kinerja keuangan DPPKA Klaten untuk tahun 2006 dapat dikatakan cukup, untuk tahun 2007 dapat dikatakan sedang, untuk 2008 dapat dikatakan baik, untuk tahun 2009 dapat dikatakan baik, dan untuk tahun 2010 dapat dikatakan cukup.
56
Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan kinerja keuangan pada rasio pajak Daerah terhadap PAD dikarenakan perbedaan faktor-faktor penurunan pajak seperti insentif pajak yang berlebihan dan salah sasaran, Anjloknya pembayaran pajak oleh WP besar. Padahal usaha mereka sebenarnya meningkat. Terjadi demoralisasi di Ditjen Pajak sebagai akibat rotasi personil yang terlalu sering, ketidakpastian jabatan yang sangat tinggi dan dipangkasnya berbagai kewenangan secara tidak proporsional melalui UU KUP yang baru. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada. Seperti; aparat pajak dapat meningkatkan dan mempercepat roda perputaran pajak. Para aparat pajak maupun Ditjen pajak seharusnya tidak boleh lalai terhadap orang yang lalai pajak juga, karena dengan pajak mampu menolong peningkatan keuangan negara. Aparat pajak tidak boleh melakukan dispensasi terhadap orang atau kelompok tertentu sehingga dapat merugikan negara. 3.
Rasio kemandirian Hasil perhitungan pada tabel 5, menunjukkan bahwa Realisasi PAD
DPPKA Kabupaten Klaten mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2006 sebesar Rp33.919.999.845,- atau 4,46 % dari total pendapatan, kemudian
pada
tahun
2007
mengalami
peningkatan
menjadi
Rp42.547.074.202.-atau sebesar 4,89 % dan tahun 2008 mengalami penurunan menjadi Rp38.347.614.632,-atau sebesar 3,93 % dari total
57
pendapatan, lalu pada tahun 2009 mengalami peningkatan Rp46.603.876.930,-atau sebesar4,73 %
menjadi
dan tahun 2010mengalami
peningkatan menjadi Rp54.886.005.749,- atau sebesar5,18 % dari total pendapatan. Hasil perhitungan pada tabel 5, menunjukkan bahwa bantuan pemerintah pusat DPPKA Kabupaten Klaten mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2006 sebesar Rp693.153.369.053,- atau 91,2 % dari total pendapatan, kemudian pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi Rp825.137.326.407.-atau sebesar 94,43 % dan tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi Rp910.101.402.189,-atau sebesar 93,16 % dari total pendapatan, lalu pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp922.915.374,-atau sebesar93,74 % dan tahun 2010mengalami peningkatan menjadi Rp972.029.599.717,- atau sebesar91,7 % dari total pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5, Untuk rasio kemandirian dapat diketahui bahwa kemampuan keuangan DPPKA Klaten untuk tahun 2006 sebesar 4,90%, tahun 2007 sebesar 5,16%, tahun 2008 sebesar 4,21%, tahun 2009 sebesar 5,05%,
dan tahun
2010 sebesar 5,65%.
Berdasarkan kriteria kemandirian terhadap kemampuan keuangan DPPKA Klaten, maka untuk tahun 2006 dapat dikatakan rendah sekali, untuk tahun 2007 dapat dikatakan rendah sekali, untuk 2008 dapat dikatakan rendah sekali, untuk tahun 2009 dapat dikatakan rendah sekali, dan untuk tahun 2010 dapat dikatakan rendah sekali.Jadi kemandirian keuangan DPPKA
58
Klaten secara keseluruhan dapat dikatakan sangat rendah sekali, hal ini menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern masih sangat tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan kinerja keuangan pada rasio kemandirian dikarenakan perbedaan faktorfaktor kontribusi PAD seperti pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah, baik pada target PAD maupun realisasi PAD di DPPKA Kabupaten Klaten. Selain itu, juga dikarenakan adanya perbedaan besarnya pinjaman serta bantuan dari pusat dan total pendapatan pada masing-masing daerah dan realisasi belanja pada masing-masing daerah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan PAD, misalnya pendirianBUMD sektor potensial 4.
Analisi Trend Untuk Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas menggambarkan
kecenderungan arah perkembangan efektivitas keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung menurun yaitu dengan penurunan sebesar 4,25% untuk setiap tahunnya dari tahun awal perhitungan, sehingga ini merupakan implementasi yang buruk untuk tahun-tahun berikutnya yaitu pada tahun 2011 dan 2012 dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio efektivitas , hal ini karenaHalini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk menambah
59
Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola oleh pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan/ pengenaannya berdasarkan undang-undang/ peraturan pemerintah, dan daerah hanya menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Sedangkan Analisis Trend untukrasio pajak daerah terhadap PADdan rasio kemandirianDPPKA Kabupaten Klaten dari tahun 2006 hingga tahun 2010menggambarkan kecenderungan arah perkembangan penerimaan pajak daerah serta kecenderungan arah perkembangan kemandirian keuangan yang cenderung naik, untuk rasio pajak daerah terhadap PAD mengalami kenaikan sebesar 2,112%untuk setiap tahunnya dari tahun awal perhitungan. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan kinerja keuangan pada rasio pajak Daerah terhadap PAD dikarenakan perbedaan faktorfaktor penurunan pajak seperti insentif pajak yang berlebihan dan salah sasaran, Anjloknya pembayaran pajak oleh WP besar.Padahal usaha mereka sebenarnya meningkat. Terjadi demoralisasi di Ditjen Pajak sebagai akibat rotasi personil yang terlalu sering, ketidakpastian jabatan yang sangat tinggi dan dipangkasnya berbagai kewenangan secara tidak proporsional melalui UU KUP yang baru. Sedangkan untuk rasio kemandirian
mengalami kenaikan sebesar
0,139% untuk setiap tahunnya dari tahun awal perhitungan. Sehingga ini merupakan implementasi yang baik dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD dan
60
rasio kemandirian terutama untuk tahun 2011 dan 2012.Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan kinerja keuangan pada rasio kemandirian dikarenakan perbedaan faktor-faktor kontribusi PAD seperti pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah, baik pada target PAD maupun realisasi PAD di DPPKA Kabupaten Klaten. Selain itu, juga dikarenakan adanya perbedaan besarnya pinjaman serta bantuan dari pusat dan total pendapatan pada masing-masing daerah dan realisasi belanja pada masing-masing daerah. D. Jawaban Pertanyaan Penelitian 1.
Kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas untuk tahun 2006, 2008 hingga 2010 tidak efektif, karena nilai yang diperoleh kurang dari 100%, yaitu sebesar 94,58%, 87,33%, 70,53%, dan 88, 89%. Sedangkan untuk tahun 2007 sudah berjalan secara efektif, karena nilai yang diperoleh lebih dari 100%, yaitu sebesar 101,32%.
2.
Kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat Rasio pajak daerah terhadap PAD untuk tahun 2006-2010 dapat digolongkan sedang hingga cenderung baik, hal ini terlihat dari tabel tersebut yang memuat bahwa nilai yang paling rendah yaitu sebesar 29,82 % terjadi pada tahun 2007 yang digolongkan sedang, dan nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 47,01% terjadi pada tahun 2008 yang digolongkan baik.
61
3.
Kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian tergolong sangat rendah sekali, nilai yang terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,21%, sedangkan nilai yang paling tinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 5,65%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) masih sangat tinggi.
4.
Perkiraan kinerja keuangan melalui Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas menggambarkan kecenderungan arah perkembangan efektivitas keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung menurun, sehingga ini merupakan implementasi yang buruk untuk tahun-tahun berikutnya yaitu pada tahun 2011 dan 2012 dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio efektivitas , sedangkan Analisis Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD dan rasio kemandirian DPPKA Kabupaten Klaten dari tahun 2006 hingga tahun 2010 menggambarkan kecenderungan arah perkembangan penerimaan pajak daerah serta kecenderungan arah perkembangan kemandirian keuangan yang cenderung naik, sehingga ini merupakan implementasi yang baik dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD dan rasio kemandirian terutama untuk tahun 2011 dan 2012.
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas untuk tahun 2006, 2008 hingga 2010 tidak efektif, karena nilai yang diperoleh kurang dari 100%, yaitu sebesar 94,58%, 87,33%, 70,53%, dan 88, 89%. Sedangkan untuk tahun 2007 sudah berjalan secara efektif, karena nilai yang diperoleh lebih dari 100%, yaitu sebesar 101,32%. 2. Kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat rasio pajak daerah terhadap PAD untuk tahun 2006-2010 dapat digolongkan sedang hingga cenderung baik, hal ini terlihat dari tabel tersebut yang memuat bahwa nilai yang paling rendah yaitu sebesar 29,82 % terjadi pada tahun 2007 yang digolongkan sedang, dan nilai yang
paling tinggi yaitu
sebesar 47,01% terjadi pada tahun 2008 yang digolongkan baik. 3. Kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Kemandirian tergolong sangat rendah sekali, nilai yang terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 4,21%, sedangkan nilai yang paling tinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 5,65%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan
62
63
pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) masih sangat tinggi. 4. Perkiraan kinerja keuangan melalui Analisis Trend untuk Rasio Efektivitas
menggambarkan
kecenderungan
arah
perkembangan
efektivitas keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung menurun, sehingga ini merupakan implementasi yang buruk untuk tahuntahun berikutnya yaitu pada tahun 2011 dan 2012 dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio efektivitas , sedangkan Analisis Trend untukrasio pajak daerah terhadap PADdan rasio kemandirianDPPKA Kabupaten Klaten dari tahun 2006 hingga tahun 2010menggambarkan kecenderungan arah perkembangan penerimaan pajak daerah serta kecenderungan arah perkembangan kemandirian keuangan yang cenderung naik, sehingga ini merupakan implementasi yang baik dari kinerja DPPKA Klaten yang dilihat dari analisis Trend untuk rasio pajak daerah terhadap PAD dan rasio kemandirian terutama untuk tahun 2011 dan 2012. B. Saran 1.
Dilihat dari hasil kemampuan kinerja keuangan DPPKAKabupaten Klaten jika dilihat dari Rasio Efektivitas untuk kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten untuk tahun 2006, 2008 hingga 2010 tidak efektif, karena nilai yang diperoleh kurang dari 100%, yaitu sebesar 94,58%, 87,33%, 70,53%, dan 88, 89%, hendaknya pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dapat mengatasi
64
kekurangan pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD misalnya pendirian BUMD sektor potensial. 2.
Dilihat dari kondisi kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten rasio pajak daerah terhadap PAD untuk tahun 2006-2010 dapat digolongkan sedang hingga cenderung baik, nilai yang paling rendah yaitu sebesar 29,82 %
terjadi pada tahun 2007 yang digolongkan
sedang, dan nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 47,01% terjadi pada tahun 2008 yang digolongkan baik. Hendaknya pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensipendapatannya yang telah ada. Seperti; aparat pajak dapat meningkatkan dan mempercepat roda perputaran pajak. Para aparat pajak maupun Ditjen pajak seharusnya tidak boleh lalai terhadap orang yang lalai pajak juga, karena dengan pajak mampu menolong peningkatan keuangan negara. Aparat pajak tidak boleh melakukan dispensasi terhadap orang atau kelompok tertentu sehingga dapat merugikan negara. 3.
Dilihat dari kondisi kemampuan kinerja keuangan DPPKA Kabupaten Klaten dari hasil perhitungan rasio kemandirian tingkat ketergantungan daerah dengan pihak ekstern (pemerintah pusat dan propinsi) semakin tinggi,
hendaknya pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan
penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada. Inisiatif dan
65
kemauan
pemerintah
daerah
sangat
diperlukan
dalam
upaya
meningkatkan PAD, misalnya pendirianBUMD sektor potensial. 4.
Dilihat dari hasil Perkiraan kinerja keuangan melalui Analisis Trend untuk
Rasio
Efektivitas
menggambarkan
kecenderungan
arah
perkembangan efektivitas keuangan dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang cenderung menurun, hendaknya untuk tahun yang akan datang lebih ditingkatkan lagi dengan memanfaatkan dan menggali lebih dalam potensi-potensi yang sudah ada , sedangkan Analisis Trend untukrasio pajak daerah terhadap PAD dan rasio kemandirian DPPKA Kabupaten Klaten
dari
tahun
2006
hingga
tahun
2010
menggambarkan
kecenderungan arah perkembangan penerimaan pajak daerah serta kecenderungan arah perkembangan kemandirian keuangan yang cenderung naik, hendaknya prestasi ini dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi untuk tahun yang akan datang.
66
DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim. (2002)a. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta : Salemba Empat .(2001)b. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta http://www.feuhamka.com. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2011. Indra Bastian.(2006). Akuntansi Sektor Publik. Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga Mardiasmo, (2006). Perpajakan Edisi Revisi 2006, CV Andi Offset, Yogyakarta, Mohamad Mahsun. (2009). Pengukuran Kinerja Sektor Publik.Yogyakarta : BPFE Rai, I Gusti Agung.(2010). Audit Kinerja Pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat Rita Engleni. (2001). “Pentingnya Penyusunan Rencana Penerimaan PAD Jangka Menengah Dalam Menunjang Akuntansi Menajemen Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Padang”.Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN Ruslina Nadeak. (2003).Analisis Rasio Keuangan Pada APBD untuk Menilai Kinerja Pemerintah Daerah.Skripsi.Jurusan Akuntansi,FE,Universitas Sanata Dharma
Susiyati B. Hirawan. (1987). “Perspektif Daerah Dalam Pembangunan Nasional : KeuanganDaerah di Indonesia”. Badan Otonom Economica bekerja sama dengan LPFE-UI Jakarta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
66