1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR Republik Indonesia. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformasi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, daerah propinsi, kota dan kabupaten. Otonomi daerah yang sedang dilaksanakan dewasa ini menjadi satu diantara bentuk fenomena yang sangat menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan. Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Awal Januari 2001 merupakan tekad bersama baik aparat pusat maupun aparat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah nasional Indonesia yang desentralisasi. Rakyat menghendaki keterbukaan, kemandirian, serta pemberian wewenang ataupun tugas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam menjalankan rumah tangganya.
1
2
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan kota. Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi. Pemerintah daerah, dalam hal tugas dan wewenang memiliki hubungan dengan pemerintah daerah lainnya, berdasarkan asas desentralisasi. Hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan meningkatkan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah menjelaskan pula bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban melaksanakan rumah tangga sendiri. Perimbangan daerah harus memperlihatkan keuangan yang adil, proporsional, transparan, serta mempertimbangkan keadaan daerah yang terdesentralisasi. Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah, yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum. Anggaran harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyatakan bahwa pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Namun yang menjadi masalah saat ini, kendati sudah
3
otonomi, o pemerintah daaerah belum mampu menngoptimalkaan kemandirriannya, dalaam hal h penerimaaan pendapaatan asli daerrah termasukk kota dan kaabupaten di Jawa Barat. Komp posisi pendapatan daerrah pada A APBD Tahunn Anggarann 2013 secaara nasional n dap pat dibagi dalam d 3 (tig ga) bagian uutama, yaituu Pendapatann Asli Daerrah (PAD), ( dan na perimban ngan dan laiin-lain. Penndapatan daeerah terlihatt bahwa daana perimbangan p n masih meendominasi sumber penndapatan daeerah yaitu ssebesar 66,33% atau a Rp432 2,697 triliun n, sedangkaan PAD hhanya sebessar 21,5% atau sebessar Rp140,302 R triliun dan pendapatan n lain-lain ddaerah yang sah sebesaar 12,2% attau sebesar s Rp79,866 triliun n. y merupaakan modal utama bagi daerah dalaam Peneerimaan murrni daerah yang membiayai m pemerintahaan dan pem mbangunan ddi daerahnyaa. Pemerintaahan kota ddan kabupaten k di d Jawa Baarat dituntutt untuk maampu meninngkatkan peendapatan aasli daerahnya. d Berikut B tabeel mengenai realisasi AP PBD kota ddan kabupateen konsolidaasi secara s nasional:
Sumb ber: Data APBD D Konsolidasi 2009 - 2013 (D (Diolah)
Grafik.1.1 Trend APB BD (dalam M Milyar Rp)
4
Grafik tersebut dii atas dapat kita ketahui bahwa setiaap tahun, sejjak tahun 20009 hingga h tahu un 2013, peendapatan daerah d menningkat rata--rata sebesaar 15,6% ddan peningkatan p n pada tahun n 2013 sebessar 18,4%, ddimana penddapatan daerrah pada tahhun 2012 2 sebesaar Rp551,3 triliun t menin ngkat menjaddi sebesar R Rp652,9 triliiun pada tahhun 2013. 2 (Sumb ber : Kementterian Keuan ngan RI – D Dirjen Perimbbangan Daeerah : 2013).. Berikut B tabeel mengenai komposisi k pendapatan p ddaerah secaraa nasional:
Sumber: Data APBD Konsolidasi K 20 009 - 2013 (Dioolah)
Grafik k 1.2 Trend Ko omposisi Peendapatan D Daerah (tahun 2009 s.d d 2013) Namun N pen ningkatan pendapatan p daerah tabel di atas masih diddominasi daana perimbangan p n daerah. Komposisi K teersebut mem mbuktikan kketergantungan pemerinttah daerah d terhaadap pusat. Komp posisi rasio pendapatan asli daerah terhadap peendapatan ddaerah masinngmasing m kotaa dan kabupaaten di Jawaa Barat masiih sangat keccil. Hal ini m mencerminkkan
5
belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat. Sumber pendapatan asli daerah adalah sebagai berikut : a) hasil pajak daerah. b) hasil retribusi daerah. c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Tabel 1.1 Prosentase Pendapatan Asli Daerah dari Total Pendapatan Daerah (Dalam %) No
Kota kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Tahun
Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kab Bandung Barat Kab Bogor Kab Sukabumi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok
2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013
PAD
4,21% 12,37% 6,01% 4,39% 5,16% 6,68% 10,48% 7,07% 8,71% 6,77% 7,68% 14,02% 17,21% 29,37% 12,20% 27,36% 8,68% 19,66% 16,94% 29,33% 18,01% 28,63% 23,67%
6
No
Kota kabupaten
Tahun
24 Kota Cimahi 25 Kota Tasikmalaya 26 Kota Banjar Rata‐Rata
2013 2013 2013
PAD
14,96% 12,68% 9,63% 13,92%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Salah satu upaya peningkatan pendapatan daerah adalah dengan cara meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat. Upaya ini ditempuh dengan usaha identifikasi. Usaha identifikasi adalah usaha untuk mencari dan menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat yang baru atau belum ada. Usaha identifikasi ini mempunyai ciri utama yaitu usaha untuk memungut pendapatan sepenuhnya dan dalam batasbatas ketentuan yang ada. Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu faktor penentu peningkatan pendapatan asli daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil ( Rizal, 2013) Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 26 kabupaten dan kota memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2013. Propinsi Jawa Barat dengan kapasitas fiskal yang tinggi serta didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang dimiliki, seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk dapat bersaing dengan propinsi yang lain.
7
Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses pembangunan yang meliputi, sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat industri, serta kemampuan lain yang dimiliki daerah dalam upaya meningkatkan jumlah PAD yang akan diterima. Jumlah kabupaten dan kota yang terbilang cukup besar yakni sejumlah 26 kabupaten dan kota, yang secara administratif masuk di dalam pemerintahan daerah propinsi Jawa Barat. Akan tetapi kondisi riil yang dapat dicapai, belum terlalu menampakkan hasil yang memuaskan dalam proses pencapaian tujuan. Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar -3%, seperit terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat Tahun 2012-2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kota/ Kabupaten Prov. Jawa Barat Kab. Bekasi Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kota Bandung Kota Cirebon Kota Depok Kota Tasikmalaya Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Kuningan
PERTUMBUHAN EKONOMI Tahun Kenaikan/Penurunan 2012 2013 6.48 6.21 -4% 6.26 6.22 -1% 5.11 4.99 -2% 4.74 5.08 7% 8.73 8.98 3% 5.93 5.57 -6% 6.58 7.15 9% 5.81 5.89 1% 5.94 4.61 -22% 5.96 5.94 0% 5.03 4.81 -4% 5.48 4.61 -16% 4.89 5.03 3% 8.97 5.44 -39% 5.43 4.73 -13%
8
No
Kota/ Kabupaten
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kab. Majalengka Kab. Purwakarta Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya Kota Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Cimahi Kota Banjar Kab. Bandung Barat
PERTUMBUHAN EKONOMI Tahun Kenaikan/Penurunan 2012 2013 4.67 4.76 2% 6.4 6.31 -1% 4.45 4.52 2% 4.07 4.34 7% 4.82 4.69 -3% 4.32 4.32 0% 7.08 6.85 -1% 6.19 6.15 -1% 6.31 5.29 7% 5.56 5.24 -6% 5.35 5.26 -2% 5.75 6.04 5% Rata-Rata
-3%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat mengalami fluktuasi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 20122013. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada Kota Depok dengan kenaikan pertumbuhan 9%, diikuti dengan Kabupaten dan Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Pertumbuhan ekonomi yang paling rendah terdapat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi daerah bukan satu-satunya indikator dalam peningkatan pendapatan asli daerah. Namun pertumbuhan ekonomi daerah yang kadang naik dan turun ini, menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang kurang baik pada pemerintahan kota dan kabupaten. Hal ini menunjukkan dalam era desentralisasi fiskal, dimana daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya, ternyata banyak
9
kabupaten dan kota yang belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pertumbuhan ekonominya. Kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan pula oleh pengeluaran pemerintah. Komposisi pengeluaran pemerintah daerah menentukan pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran pemerintah daerah yang produktif juga menentukan kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah Teori Rostow menjelaskan bahwa ada tahap-tahap yang dilewati suatu negara
atau daerah dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara untuk mempercepat Pertumbuhan ekonomi adalah dengan memperkuat tabungan nasional. Teori ini diperjelas lagi dengan teori Harord-Domar yang menyebutkan bahwa semakin banyak porsi pendapatan domestik bruto daerah yang ditabung, akan menambah capital stock, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua teori tersebut menjelaskan bahwa tingkat tabungan dan capital stock yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kementerian Keuangan Republik Indonesia – Direktur Jenderal Perimbangan Daerah mempunyai data, bahwa belanja daerah secara nasional pada Tahun Anggaran 2013 mencapai Rp707,083 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 41,9% atau sebesar Rp296,540 triliun. Belanja modal mencapai Rp175,578 triliun atau sebesar 24,8%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp148,012 triliun atau 20,9%.
10
Belanja pegawai semakin mendominasi beban anggaran pendapatan dan belanja daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Belanja pegawai menjadi momok tersendiri dalam pengeluaran anggaran daerah tiap tahunnya. APBD seharusnya untuk kualitas pelayanan publik dan kepentingan masyarakat. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. (Warta Ekonomi : 2013) Data dari kementerian dalam negeri, rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Sedangkan porsi belanja barang dan jasa sebesar 20%, serta belanja modal 22%. Sehingga, APBD setiap daerah cenderung banyak dikuasai untuk membayar gaji Pegawai Negara Sipil (PNS) dan berbagai kegiatan PNS dibandingkan belanja infrastruktur. Apalagi, pada Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN),
pemerintah
menargetkan porsi belanja modal dalam APBD hanya sebesar 29% pada 2013 dan 30% pada 2014. Maka, perlu adanya pengendalian belanja pemerintah daerah dalam porsi untuk belanja pegawai, belanja modal serta belanja barang dan jasa. Warta Ekonomi mengadakan riset tentang pemeringkatan belanja pegawai terbesar tahun 2013 pada 491 kabupaten dan kota se-Indonesia. Metodologi berdasarkan acuan kementerian keuangan, yakni menghitung rasio realisasi belanja pegawai terhadap total belanja daerah selama tahun anggaran 2008 hingga 2012. Rasio tersebut mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja
11
pegawai. Data belanja pegawai yang digunakan ialah belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung. Setelah dihitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja, lalu dihitung rerata selama lima tahun tersebut. Selanjutnya diperingkat dari tertinggi hingga terendah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk pegawai, begitu pula sebaliknya. Dari hasil perhitungan, realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai pada 50 daerah berkisar 65% hingga 75%. Rata-rata realisasi belanja pegawai daerah masih didominasi wilayah Jawa. disusul wilayah Sumatera. Rata-rata realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai tertinggi terjadi pada Kabupaten Klaten hingga mencapai 74%. Disusul Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Purworejo. Rata-rata besarnya realisasi belanja pegawai daerah selama lima tahun, didominasi Propinsi Jawa Tengah (Kab. Klaten, Kab. Wonogiri, Kab. Purworejo dan Kab. Sragen), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Kuningan dan Sumedang). Kemudian Propinsi Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul dan Kab. Kulon Progo). (Warta Ekonomi :2013). Jurnal ekonomi pembangunan mengutarakan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan belanja daerah, atau lebih umumnya ukuran dari sektor publik menjadi subyek yang penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Fakta menunjukkan bahwa pertama, hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif. Hasil dan bukti berbeda di negara maupun di daerah. Folster dan Henrekson (1999) berargumen bahwa hubungannya
12
negatif, sementara agell at. (1999) menemukan hubungan yang tidak signifikan. Kedua, sifat dari pengeluaran publik akan tergantung dari kondisinya. Mengikuti Barro (1990) konstribusi pengeluaran yang produktif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Akhirnya tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi (folster dan henrekson dalam Jamjani Zodik:2007;27-28). Penelitian oleh Maulana Malik Iskandar (2012) bahwa belanja modal, dana perimbangan, kualitas pengelolaan daerah dan pertumbuhan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian lain oleh Jamzani Sodik (2007) bahwa pengeluaran pemerintah
(baik pengeluaran pembangunan
maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal tersebut menandakan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tidak selalu konsisten. Beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki hasil yang beragam, namun penulis memiliki data yang telah diolah sendiri oleh peneliti mengenai belanja daerah dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menjadi fenomena menarik untuk dapat diteliti. Penulis melihat bahwa kajian ini menarik untuk dianalisis, sehingga dapat memberikan informasi mengapa kenaikan belanja daerah tidak seiring dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus kita dapat mengetahui lebih jauh apakah belanja daerah memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
13
Tabel 1.3 Belanja Daerah dan Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa BaratTahun 2012-2013 PERTUMBUHAN EKONOMI
BELANJA DAERAH No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kota/ Kabupaten Prov. Jawa Kab. Bekasi Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kota Bandung Kota Cirebon Kota Depok Kota Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Kab. Kab. Kuningan Kab. Kab. Kab. Subang Kab. Kab. Kab. Kota Bekasi Kota Bogor Kota Kota Cimahi Kota Banjar Kab. Bandung
Tahun 2011
2012
10,296,9 2,323,24 1,626,15 1,777,60 3,080,34
13,761,3 2,600,80 1,764,18 1,972,49 3,490,04
818,299 1,350,08
962,771 1,351,79 1,837,10 1,241,80 1,501,36 1,981,34 1,074,57
813,672 1,371,44 1,035,03 2,788,97 3,622,07 2,033,14 2,131,94 1,843,45 2,382,74 1,434,01 1,525,08 1,114,44 1,481,61 1,984,31 1,424,52 1,820,80 2,499,56 1,255,35
624,504 738,304 484,464 1,251,59
714,436 833,412 513,257 1,501,19
917,531 2,428,38 3,209,78 1,683,61 2,011,15 1,569,01 1,832,29 1,247,37 1,287,19
Kenaikan/Penur unan 34% 12% 8% 11% 13% -1% 2% 13% 15% 13% 21% 6% 17% 30% 15% 18% 16% 10% 8% 15% 21% 26% 17% 14% 13% 6% 20% 15%
Rata-rata
Tahun 201 1 6.4 6.2 5.1 4.7 8.7 5.9 6.5 5.8 5.9 5.9 5.0 5.4 4.8 8.9 5.4 4.6 6.4 4.4 4.0 4.8 4.3 7.0 6.1 6.3 5.5 5.3 5.7
201 2 6.2 6.2 4.9 5.0 8.9 5.5 7.1 5.8 4.6 5.9 4.8 4.6 5.0 5.4 4.7 4.7 6.3 4.5 4.3 4.6 4.3 6.8 6.1 5.2 5.2 5.2 6.0
Rata-Rata
Kenaikan/Penur unan -4% -1% -2% 7% 3% -6% 9% 1% -22% 0% -4% -16% 3% -39% -13% 2% -1% 2% 7% -3% 0% -1% -1% 7% -6% -2% 5% -3%
Sumber Data : www.djpk.depkeu.go.id & http://jabar.bps.go.id (data yang telah diolah).
Rata-rata belanja daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat terdapat kenaikan 15 % dari tahun 2011 sampai dengan 2012, namun sebaliknya rata rata pertumbuhan
14
ekonomi daerah terdapat penurunan sebesar 3 % dari tahun 2011 sampai dengan 2012. Pada komponen belanja daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Rata-rata belanja operasi kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar 78,71% dan belanja modal sebesar 20,04% dari total belanja daerah seperti yang diterangkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.4 Persentase Belanja Operasi dan Belanja modal dari Total Belanja Daerah (Dalam Milyar Rp.) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kota kabupaten
Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kab Bandung Barat Kab Bogor
Tahun
2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013
B_Operasi
82,76% 75,54% 75,43% 84,81% 83,54% 84,24% 85,38% 80,48% 85,30% 87,17% 82,26% 77,94% 74,24% 62,21% 85,47% 88,50%
B_Modal
13,60% 14,89% 23,45% 14,00% 15,19% 14,78% 14,45% 19,19% 13,19% 10,90% 17,03% 19,45% 23,72% 31,55% 17,61% 33,35%
15
No 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kota kabupaten
Kab Sukabumi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Rata‐rata
Tahun
2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013
B_Operasi
86,96% 76,65% 83,29% 67,77% 81,16% 69,07% 57,31% 83,78% 79,11% 66,20% 78,71%
B_Modal
10,40% 18,79% 16,11% 31,51% 15,73% 29,78% 34,32% 15,15% 19,62% 33,27% 20,04%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan, yang sifatnya mempertahankan atau menambah manfaat dan meningkatkan kapasitas serta kualitas asset. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kita mengetahui apakah belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dan bagaimana implikasinya terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini yang menjadi tema sentral menarik untuk kami teliti. Berdasarkan paparan data dan fakta di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang mendasari penulis untuk membuat judul tesis ini, adalah : 1.
Komposisi pendapatan daerah pada APBD TA 2013 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
16
perimbangan dan pendapatan lain-lain. Pendapatan daerah terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar 66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan pendapatan lain-lain daerah yang sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun. 2.
Komposisi rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah masingmasing kota dan kabupaten di Jawa Barat masih sangat kecil. Hal ini mencerminkan belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat.
3.
Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar -3%.
4.
Rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. Apakah alasan pemerintah mengenai kebijakan komposisi belanja ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.
5.
Komposisi rata-rata belanja operasi sebesar 78,71% dan Belanja modal di kota dan kabupaten di Jawa Barat hanya 20,04% dari Total Belanja.
17
6.
Bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif, dan tidak berpengaruh secara signifikan, dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. (Folster dan Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28).
7.
Tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan Pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dengan mengambil
judul “Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pendapatan Asli Daerah” (Studi Empiris Pada kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat)
1.2. Rumusan Masalah Dari pertanyaan masalah pokok tersebut, maka sub-sub pertanyaan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
2.
Seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
3.
Seberapa besar belanja operasi dan belanja modal berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
18
4.
Seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
2.
Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
3.
Untuk mengetahui seberapa besar
belanja operasi dan belanja modal
berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 4.
Untuk mengetahui seberapa besar terdapat
implikasi pertumbuhan ekonomi
daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, mengenai akuntabilitas pengelolaan dana publik untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Memberikan pemahaman kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat keterkaitan antara pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi daerah,
19
belanja operasi dan belanja modal di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 3. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, pertumbuhan ekonomi berdampak signifikan atau tidak dalam meningkatkan pendapatan asli daerah di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 4. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat, bahwa belanja daerah berpengaruh signifikan atau tidak dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat. 5. Bagi penulis, penelitian ini sangat berguna untuk menambah pemahaman mengenai akuntansi sektor publik, kaitannya dengan belanja daerah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi terhadap pendapatan asli daerah Propinsi di Jawa Barat.
1.5.
Batasan Masalah Batasan waktu yang dipilih adalah tahun realisasi anggaran 2009 s.d 2013,
penetapan waktu dipilih karena data tersebut lebih “up-date”, sedangkan batasan daerah yang dipilih adalah di 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, karena Jawa Barat adalah salah satu propinsi yang memiliki rata-rata realisasi belanja operasi lebih besar dari daerah lainnya. Kemudian untuk belanja daerah dibatasi klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi, belanja modal, berdasar pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PSAP No2.
20
Bidang kajian penelitian ini berkaitan dengan Akuntansi Sektor Publik, khususnya mengenai realisasi anggaran di daerah dan kaitannya dengan ekonomi pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di daerah.