Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial Oleh: Romzi Nihan Abstract The implementation and development of government has given social change that caused the gap, the gap between regions, the gap between the groups of region. Then, it was evidenced by the high of poverty level with the standard is Rp 5.566/day in 1998. Then, the number of poverty reached more than 37 million people, if the international standard used is the $ 2 / day = ± 18 000 per day, the poverty is estimated 140 million people. So it must be admitted that the implementation of governance has not been able to solve the problem of poverty and unemployment. It means that community empowerment has not success to encourage social change to be better. Because of the economic growth was pursued by the tendency of natural resource exploitation which encourage the destruction of natural resources and environment that could potentially exacerbate the poverty level. Keywords: Regional autonomy, social change, poverty, policy
Pendahuluan Pengalaman pelaksanaan pembangunan di Indonesia, menimbulkan kesadaran perlunya reformasi kebijakan dalam pendekatan pemerintahan dan pembangunan yang kemudian melahirkan UU Otonomi Daerah, yaitu dengan ditetapkannya UU 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU 32/2004. Tulisan singkat akan mencoba mengkaji filosofi otonomi daerah yang meliputi demokratisasi, rentang kendali, potensi dan keragaman daerah, peran serta dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian pemerataan dan keadilan sebagai target perubahan sosial yang diinginkan. Pada hakekatnya diadakannya pemerintahan dan pembangunan adalah dalam rangka memberikan pelayanan guna mendorong perubahan sosial yang lebih baik, secara terprogram dan berkesinambungan. Artinya, hal-hal yang sudah baik ditumbuhkembangkan sedangkan yang belum baik dirubah menjadi baik, supaya terjadi pembangkitan semua potensi secara optimal untuk mewujudkan perubahan sosial kearah yang lebih baik dari waktu kewaktu. Pada dasarnya otonomi daerah bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luasnya wilayah dengan beragam budaya dan adat istiadat, sehingga dipandang perlu menyusun pemerintahan dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata dan berkeadilan, tapi dalam perjalanan otonomi selama 8 (delapan) tahun secara nyata belum memenuhi harapan masyarakat. Syamsudi Haris (2002:73), mengemukakan bahwa masyarakat sebagai subyek terpenting dari kebijakan otonomi daerah masih termajinalisasi proses politik tingkat lokal, artinya harus diakui otonomi daerah baru dinikmati segelintir elit di daerah. Hal ini sudah barang tentu bukan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri. Akan tetapi terjadi karena akibat hal-hal sebagai
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja
45
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
berikut : 1) Rentannya kondisi ekonomi masyarakat dan penganguran; 2) Kekurangberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemgambilan keputusan publik yang mengatur kehidupan masyarakat; 3) Kecenderungan terjadi disharmoni sosial yang mengarah pada disentegrasi sosial; 4) Kecenderungan memudarnya sistem nilai sosial budaya sebagai pranata utama pembentukan sikap dan prilaku manusia; 5) Kecenderungan masyarakat tidak peduli tentang aturan yang berlaku; 6) Belum optimalnya peran masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan; 7) Rendahnya pengetahuan masyarakat untuk memperoleh nilai tambah hasil produksi mereka, dan; 8) Rendahnya akses pasar bagi hasil produksi pedesaan akibat dari keterisoliran. Untuk memberikan jawaban atas persoalan tersebut, pemberdayaan masyarakat harus menjadi strategi proses pemerintahan dan pembangunan sebagai implementasi dari otonomi daerah yang diharapkan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan sosial yang diharapkan. Pemahaman Prinsip Dasar Otonomi Daerah Prinsip dasar otonomi daerah seperti termuat dalam UU No 32/2004 meliputi beberapa aspek seperti berikut: 1) Demokratis; dengan otonomi daerah maka penerapan pemerintahan yang demokratis menjadi suatu keharusan karena dengan cara ini warga masyarakat dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, segala individu diberi hak untuk menentukan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kehidupan baik kehidupan personal maupun kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat. Menurut Denny J.A (2006:56), demokrasi adalah cara yang efektif untuk mengontrol suatu operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalah gunaan wewenang, jadi dengan pemerintah yang demokratis pemerintah akan melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan dan juga masyarakat juga bisa mengontrol terhadap jalannya pemerintahan dengan cara ini akan diharapkan dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih dan baik, dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis itu dapat dilihat ciriciri sebagai berikut: a) sumber legitimasi melalui pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil; b) multi partai; c) adanya musyawarah antara pemerintah dan rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilan; d) Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat dan tidak sewenang-wenang; e) menerima dan menghargai perbedaan; f) pemberdayaan masyarakat; g) pemerataan keadilan dan kesejahteraan, dan; h) penegakan hukum. Dengan mewujudkan otonomi yang demokratis itu akan dapat dibangun pemerintahan yang baik (good governance) yang akan mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat di daerah, UNDP sebagaimana yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara RI (2000:7) mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut; a) participation; b) rule of law; c) transparancy; d) responsiveness; e) counsensus orientation; f) equity; g) effectiveness and efficiency; h) accountability; dan i) stategic vision. 2) Prinsip peran serta masyarakat; rakyat sebagai pemilik kedaulatan mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemintahan dan bermasyarakat baik secara langsung maupun intermiasi institusi legislasi, lembaga sosial 46
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
masyarakat partisipasi bisa dalam bentuk pemikiran, tenaga, dana, dukungan moral, maupun koreksi mulai dari tahap penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasil pembangunan, prasyarat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan bermasyarakat dan bernegara adalah: a) dengan suka rela/tidak dengan paksaan/mobilisasi; b) terlibat secara emosional, dan; c) memperoleh manfaat secara langsung maupun taidak langsung dari keterlibatan tersebut baik dalam proses maupun sesudahnya. Pelaksanaan pemerintahan, pembangunan, bermasyarakat berbangsa dan bernegara tanpa keterlibatan masyarakat tidak akan berhasil karena pada hakekatnya masyarakat yang paling tahu tentang kebutuhan mereka dalam pelayanan yang menjadi fungsi utama dari pemerintah. 3) Prinsip pemerataan keadilan; pemerataan dan keadilan berhubungan langsung dengan fungsi pemerintah yaitu pemberian pelayanan kepada sector kehidupan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan didalam penerapan otonomi daerah pemerintah daerah harus mengembangkan prakarsanya secara maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkeadilan menyangkut berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, ketertiban, bantuan sosial, kesempatan kerja dan sebagianya, dan harus diciptakan oleh pemerintah agar semua komponen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan secara merata dan berkeadilan itu dan ini merupakan tujuan penting dari otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia, sebagai indikator dari kesejahteraan itu adalah: a) tingkat pendapatan; b) tingkat pendidikan; c) tingkat kesehatan; d) tingkat keamanan dan kenyamanan, dan; e) tingkat kemudahan memperoleh barang dan jasa. Kalau kelima indikator tersebut telah nyata ada ditengah-tengah masyarakat maka berarti kesejahteraan secara merata dan berkeadilan telah mampu diwujudkan. 4) Potensi dan keragaman daerah; berkaitan dengan potensi dan keragaman daerah merupakan prinsip dasar yang harus dipahami dalam pelaksanaan otonomi daerah. Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dengan beraneka sumberdaya yang berbeda baik sumberdaya alamnya maupun sumberdaya manusia dengan beraneka etnis, suku dan budaya khasnya masing-masing kesemuanya. Ini harus dikelola dengan baik, terprogram dan terencana agar semuanya akan bisa bermanfaat dalam menata pemerintahan dan pembangunan. Dalam konteks ini mestinya penjabaran terhadap otonomi daerah tidak mesti sama antara satu daerah dengan daerah lain. Tetapi masingmasing keberagaman itu akan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, sehingga semua daerah akan berkembang seiring dengan beragam etnis, suku dan budayanya tadi. Untuk mensinergikan semua itu perlu disusun program secara nasional maupun lokal (daerah). Program nasional akan mencakup standarisasi, pengawasan dan pembinaan dalam pemanfaatan dari sumberdaya yang dimiliki tadi, sumberdaya alam yang mempunyai potensi ekonomi tinggi tidak hanya dinikmati oleh daerah penghasil saja, tapi juga ikut dinikmati daerah lain yang potensi sumberdaya alamnya sedang atau rendah. Jadi program pusat dalam hubungannya dengan potensi sumberdaya alam adalah: a) standarisasi pengolahan dan pemanfaatan termasuk didalamnya standarisasi keselamtan ekosistem; b) pengawasan, pengolahan dan pemanfaatan; c) pembinaan dan pendistribusian guna pemerataan secara nasional. Pemerintah daerah dalam programnya sehubungan dengan potensi sumberdaya alam ini harus membuat program yang baik dengan menata berbagai instrument antara lain: a) regulasi peraturan perundang-undangan yang hubungannya dengan sumberdaya alam dan 47
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
pengusahaan dan pemanfaatan; b) peta potensi yang ada dan kondisi lingkungan yang harus dilestariakan; c) bagaimana perencanaan produksi dan nilai tambah yang bakal diperoleh, dan; d) bagaimana perencanaan tenaga kerja yang harus disiapkan oleh daerah. -- Sampai satu decade kedepan perekonomian Indonesia akan masih didomonasi oleh potensi dari sumberdaya alam untuk itu kalau tidak hati-hati akan terjebak pada pendekatan nilai ekonomi yang berorientasi peningkatan produksi akan bisa berakibat fatal pada perusakan lingkungan, oleh karena itu program pembangunan berkelanjutan harus menjadi komitmen dalam merumuskan kebijakan dalam sector sumberdaya alam ini. Potensi budaya sebagai karakteristik daerah. Bangsa Indonesia kaya akan suku dengan keanekaragaman budaya termasuk dalam pemerintahan sebagai esensi otonomi yang mandiri dan diakui oleh para pendiri Negara ini yang secara gamblang dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 18, sebelumnya berlaku UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan dengan cirri khsanya masing-masing seperti: a) marga di Sumatera Selatan; b) nagari di Sumatera Barat; c) binua di Kalimantan Barat; d) desa di Pulau Jawa, dan; e) tiyuh di Lampung. Ternyata membangun pemerintahan dengan akar budaya setempat dalam waktu ratusan tahun mampu membangun kemandirian, kesejahteraan, ketentraman, keamanan, kerukunan masyarakat dan memelihara kelestarian lingkungan, untuk itu era otonomi daerah sekarang ini falsafah karakteristik daerah ini mestinya dijadikan dasar dalam menata pemerintahan dalam konteks bernegara dan bermasyarakat. Pemerintah dan pembangunan berwawasan budaya ini mengandung paradigma sebagai berikut: a) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya akan bekerja di atas logika ekologi manusia, akan tercipta kerukunan lintas etnis, suku dan agama; b) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya bertujuan untuk mencapai realisasi potensi kemanusiaan secara utuh tidak hanya diukur dari aspek ekonomi; c) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya dengan sistem pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan peran kepada masyarakat sebagai subyek, yang menentukan tujuan-tujuan mereka sendiri, menguasai sumberdaya yang diperlukan dalam mencapai tujuan dan sekaligus mengarahkan proses yang mempengaruhi hidup mereka, pemerintah bersama masyarakat berada pada barisasan yang sama dalam mensukseskan pemerintahan dan pembangunan; d) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya selain berpedoman dengan peraturan dan struktur formal tapi juga sangat ditentukan halhal yang bersifat informal dan adaftif, sehingga sistem kebersamaan akan terbangun, dan tidak menampakan sistem komandan dan mobilisasi; e) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya memberikan tempat yang tinggi pada inisiatif lokal dalam pengembangan sistem yang memiliki kemampuan mengorganisasi diri sendiri melalui satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas yang mandiri tidak menjadi beban pemerintah diatasnya; f) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya menempatkan sistem produksi di bawah subbarnisasi dari kepentingan masyarakat, jadi rakyat tidak dikorbankan untuk kepentingan produksi tapi produksi untuk masyarakat; g) pemerintahan/pembangunan berwawasan budaya, sumberdaya modal (finansial) dan intelektual dilengkapi dengan sumberdaya sosial dan kultural, sehingga akan terwujud permusyawaratan dan keadilan; h) pemerintahan/pembangunan berwawasan tidak hanya menganggap penting produksi tetapi juga menempatkan nilai kualitas hidup yang lebih luas seperti realilasi potensi kemanusiaan, kebebasan, keadilan sosial, dan kesetiakawanan 48
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
sosial, sehingga gap ditengah-tengah masyarakat dapat dihindari, dan; i) pemerintahan/ pembangunan berwawasan budaya selain berpatokan dengan hukum-hukum tertulis juga menempatkan ketentuan tidak tertulis sebagai upaya pemecahan masalah yang timbul, seni dan kebijakan sangat menonjol. Jadi kemampuan masyarakat adat dalam mengambil suatu keputusan secara demokratis dengan mekanisme kelembagaan adat ternyata sangat baik dalam menata pemerintahan/ pembangunan dan tidak hanya itu masyarakat adat dapat membuktikan bahwa mereka mempunyai model pengelolaan lingkungan yang sangat baik sehingga pemerintahan dan pelaksana pembangunan dengan berwawasan budaya mampu menjaga kelestarian lingkungan. Ternyata wawasan budaya juga mampu mencegah timbulnya sifat keserahkahan. Jadi pemahaman atas dasar falsafah dalam rangka kelestarian budaya dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sangat penting dan mendasar. 5) Rentang kendali; pada ketentuan umum disebutkan pada Pasal 1 ayat 5 dan 6 UU No. 32 Tahun 2004 adalah: a) otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b) daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi kalau kita cermati dari ketentuan tersebut akan dapat kita ambil prinsip dari otonomi daerah itu adalah: a) berkewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; b) berkewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan aspirasinya; c) kewajiban 1 dan 2 dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; d) berkewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, dapat diartikan sebagai upaya kreatif pemerintah daerah dalam menentukan organisasi pemerintah daerah dalam menentukan organisasi pemerintahan daerah yang dianggap mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien tidak ada keharusan penyeragaman struktur organisasi daerah dipersilahkan membentuk lembaga teknis daerah sesuai dengan kebutuhan, begitu pula menghadapi dinamika pemerintahan/pembangunan dan kemasyarakatan pemerintah daerah tidak perlu menunggu petunjuk dari pusat tapi dia harus mampu mengambil prakarsa sendiri agar masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat, dengan rentang kendali yang pendek; e) berkewajiban untuk mengatur dan mengrus masyarakat sesuai dengan aspirasi, pada hakekatnya pemerintah diadakan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama yaitu terwujudnya kesejahteraan, pemerintah sebagai pelayan harus tahu kebutuhan yang dilayani, harus tahu standar kinerja dan seharusnya pelayanan itu adalah sebagai berikut: a) prosedur sederhana ( mudah); b) pelayanan wajar; c) tanpa pilih kasih, dan; d) jujur dan terang (transparansi). Menurut Zethami seperti dikutip oleh Joko Widodo (2001:275), tolak ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi antara lain: a) tangible, terdiri atas fisik, 49
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
peralatan, personil dan komunikasi; b) resiliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat; c) responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen, bertanggung jawab terdahap mutu pelayanan yang diberikan; d) competence, tuntutan yang dimilikinya pengetahuan dan ketrampilan yang baik oleh aparatur yang memberikan pelayanan; e) courtesey, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; f) eredibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat; g) security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko; h) access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan; i) communucation, kemampuan pemberi layanan untuk selalu mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat, dan; j) understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Dalam hal hubungannya dengan rentang kendali ini kaitannya dengan penyempurnaan pelayanan kiranya perlu juga diperhatikian hal berikut; a) menghindari model pemerintahan yang gemuk; b) melakukan perubahan pada birokrasi yang meliputi: memperpendek jalur birokrasi, menyederhanakan peraturan dan memberikan kepercayaan penuh pada pegawai; c) menyederhanakan sistem, prosedur, mengurangi pengisian formulir; d) melakukan perubahan dalam melayani swasta, dan; e) melakukan reformasi, bentuk kemitraan, membuat proyek percontohan. Pradigma pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu pembangunan bertumpu pada manusia. Dijadikan tumpuan dari pengelola sumberdaya lokal yang disebut dengan Community Based Resources Management (CBRM) dalam Tjokrowinoto (1996:224225) antara lain mencakup: a) Pembangunan oleh dan untuk masyarakat. Manajemen pembangunan ini memandang pembangunan sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat, peranan pemerintah adalah menciptakan kondisi atau lingkungan (settings) yang memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang mereka tentukan; b) Manajemen komunitas (community management) adalah manajemen sumber-sumber pembangunan berdasarkan atas pengelolaan sumberdaya lokal oleh satuan pengambilan keputusan yang menyangkut sistem alokasi sumber nasional; c) Proses belajar sosial (sosial learning process) yang dimaksud proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang sering kali dilakukan melalui trial and error. Peningkatan kemampuan ini tidak diperoleh melalui pendidikan formal, akan tetapi melaui partisipasi dan interaksi didalam proses pengambilam keputusan dan pelaksanaan rencana, dengan kata lain mereka mengembangkan kemapuan mereka melalui pengalaman, mereka berinteraksi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut. Untuk mempercepat proses belajar sosial ini perlu diupayakan agar proses ini merupakan suatu upaya yang sepenuhnya disadari dan terarah; d) Manajemen strategik (strategic management) manajemen strategi berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, menanggapi tuntutan lingkungannya. Manjemen strategik tidak berupaya untuk menguasai dan memprogram prilaku manusia, akan tetapi berupaya untuk mengembangkan prakarsa kreatip mereka untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, dengan kata lain 50
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
manajemen strategi berupaya untuk “empowering” anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu mengaktualisasikan potensinya. Empowering (memberikan power atau menempatkan power) anggota masyarakat dalam arti menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk aktualisasi potensinya. Pemberdayaan sebagai Strategi Mendorong Perubahan Sosial Dalam kaitan ini konsep sumberdaya manusia meliputi unsur-unsur sebagai berikut: a) produktivitas (produktivity); pemerataan (equity); c) kesinambungan (sustainability), dan; d) pemberdayaan (empowement). Untuk mewujudkan itu semua diperlukan strategi untuk menciptakan bentuk-bentuk intervensi yang efektif untuk mengembangkan potensi masyarakat yang meliputi: a) dimensi moral harus lebih penting dari dimensi rasional; b) aspirasi bawah dan kondisi nyata harus menjadi sumber kebijakan; c) pengembangan ketrampilan dan manajerial lebih penting ketimbang kebutuhan materi; d) teknologi dari masyarakat lebih penting dari teknologi yang diperkenalkan dari atas; e) lembaga-lembaga masyarakat harus dikembangkan; f) kreativitas masyarakat harus dikembangkan dan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan; g) indikator ekonomi harus dilihat kemampuan riil ditengah-tengah masyarakat (kemampuan daya beli), dan; h) investasi di sektor pertanian di pedesaan harus dianggap sebagai masalah yang penting dan mendasar. Dengan strategi di atas diyakini implementasi otonomi daerah akan berhasil mendorong perubahan sosial yang diharapkan dengan indikator sebagai berikut: a) meningkatnya kemampuan ekonomi; b) optimalnya masyarakat dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; c) berkurangnya jumlah penduduk miskin; d) berkembangnya pelayanan publik dengan baik, dan; e) terciptannya ketahanan sosial yang tangguh Penutup Otonomi daerah sebagai amanat konstitusi sebagai bentuk pemerintahan harus diimplementasikan dengan benar demi terwujudnya perubahan sosial yang lebih baik. Pemerintah harus memahami aspirasi masyarakat, meningkatkan pengetahuan masyarakat, membangun keterbukaan menyediakan peraturan yang efektif. Senantiasa mendorong berkembangnya lembaga masyarakat dari dalam masyarakat itu sendiri dan pemberdayaan masyarakat harus tercermin dari peran masyarakat dalam merumuskan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan. Dengan memperhatikan pengalaman di era pemerintahan yang sentralistik, kebijakan dari atas, orientasi mengabaikan dimensi moral, maka kebijakan-kebijakan yang tidak bisa direspon masyarakat, pada akhirnya berujung pada kegagalan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan perubahan sosial yang akan mengantarkan masyarakat hidup sejahtera dalam arti yang luas seperti yang dicita-citakan yang termuat pada pembukaan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. Fauzi. 2004. Ekonomi Berkeadilan Sosial. Jakarta: PT. Golden Terayon Press 51
Kamarrudin; 64 - 80
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Arif, Sritua. 1998. Teori dan Kebijakan Pembangunan. Jakarta: CIDES Denny J.A, 2006. Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998. Yogyakarta: LKIS Kansil, C.S.T. 2001. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Garfika Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi. 2004. Perubahan Kemakmuran Rakyat. Jakarta: GRUD Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan UGM. Pembangunan Berwawasan Budaya. Yogyakarta: Kemebudpar RI dan UGM Rudini. CS, 1992. Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi Dunia. Padang: Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta Widodo, Joko. 2001. Good Governance. Surabaya: Insan Cendekia
52
Kamarrudin; 64 - 80