1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tradisi lokal pada masyarakat kita dewasa ini, khususnya masyarakat perdesaan di seluruh pelosok tanah air masih sering dilakukan. Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya transformasi perilaku kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi pada hakikatnya bukanlah pola prilaku, melainkan suatu dialog yang hidup dan berakar pada referensi bersama (Pabottinggi, 1986: 16) Tradisi lokal pada masyarakat desa yang masih dilakukan, seperti ”slamatan”, ”guyuban”, ”soyo”, ”jagongan”, ”sambatan”, ”biodo”, ”rewang” pada masyarakat di Jawa, perlu dipertahankan dalam masyarakat kita pada masa sekarang ini, karena tradisi lokal tersebut sebagai modal sosial untuk menumbuhkan kepedulian antar sesama warga masyarakat. Menurut Koentjoningrat (Bintarto, 1980:24) menjelaskan nilai budaya orang Indonesia mengandung 4 (empat) konsep, yakni: (1) manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungan oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya, (2) manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya, (3) manusia harus selalu berusaha untuk
2
sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, (4) manusia selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesama dalam komuniti. Berdasarkan pendapat tersebut menjelaskan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki tradisi lokal yang sama akan saling berinteraksi dalam bentuk berkomunikasi. Komunikasi ini, merupakan bentuk dari interaksi sosial, maka komunikasi dan interaksi sosial dapat dinamakan proses sosial. Komunikasi sosial merupakan dasar dari semua kehidupan sosial, tanpa komunikasi sosial tak mungkin ada kehidupan sosial. Komunikasi sosial merupakan hubungan dinamis, yang menyangkut antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Komunikasi sosial sebagaimana dijelaskan Astrid (dalam Bungin, 2009: 32) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang lebih intensif, di mana komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial, melalui kegiatan ini terjadilah aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas. Sebagaimana pendapat tersebut menjelaskan bahwa komunikasi sosial sebagai suatu proses sosialisasi dan untuk pencapaian stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai lama yang dilestarikan oleh suatu masyarakat melalui komunikasi sosial kesadaran masyarakat dipupuk, dibina, dan diperluas. Melalui komunikasi sosial
masalah-masalah sosial dipecahkan melalui konsensus.
Sehingga dalam proses komunikasi sosial dapat terjadi adanya kontak sosial (sosial contact). Dengan adanya hubungan kontak sosial (sosial contact),
3
merupakan tahap pertama terjadinya suatu interaksi sosial, hubungan antar manusia atau relasi-relasi sosial ini melalui komunikasi. Pada dasarnya semua perilaku tradisi lokal merupakan sebuah ajang berkumpul dan berkomunikasi antar sesama anggota komunitas, pada dasarnya adalah pada saat mereka berkumpul dan berkomunikasi mereka merasa menjadi satu bagian dalam komunitas tersebut sehingga akan terbentuk suatu komunikasi sosial antar sesamanya. Efek yang ditimbulkan dari bentuk perilaku tradisi lokal sebagai media komunikasi sosial tersebut, yaitu adanya solidaritas dan akan menyebabkan komunitas tersebut memiliki kolektivitas (collectivity). Artinya “sharing” terhadap nilai yang terjadi pada setiap individu yang menjadi anggota komunitas. Setiap tindakan akan berkesesuaian satu sama lain. sehingga kehidupan bersama berada dalam situasi berkeseimbangan. Salah satu tradisi lokal yang masih dilakukan dan dipertahankan pada masyarakat perdesaan adalah “slamatan jumat legi”. Tradisi slamatan jumat legi merupakan tradisi yang dilakukan oleh warga secara rutin sebulan sekali sesuai dengan penanggalan jawa, yakni setiap malam jumat legi. Malam jumat legi bagi masyarakat Jawa Timur dianggap sebagai malam keramat. Kegiatan slamatan jumat legi dilaksanakan di salah satu rumah warga secara bergantian, dan setiap warga membawa nasi berkat untuk dimakan bersama seusai membaca doa bersama. Setelah itu dilanjutkan dengan sosialisasi dan interaksi komunikasi antar sesama warga dan pengurus kelompok. Setiap manusia senantiasa saling berinteraksi antar individu dengan individu lainnya dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Media yang
4
digunakan dalam berinteraksi sosial dalam masyarakat dikenal sebagai media komunikasi sosial. Konsep media sebagai komunikasi sosial dalam penelitian ini lebih mengacu pada fungsi sosial daripada bentuk fisik media itu sendiri. Media komunikasi sosial yaitu di dalam masyarakat diperlukan hubungan atau relasi. Untuk itu masyarakat memerlukan landasan material untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan
alat transportasi,
serta landasan spiritual,
untuk
mengadakan komunikasi dengan menggunakan bahasa dan isyarat. Transformasi dan informasi, merupakan mekanisme yang memungkinkan komunikasi dan relasi berlangsung lancar. Sangat sedikit literatur yang secara spesifik menjelaskan konsep media komunikasi sosial. Kebanyakan para sarjana hanya mengklasifikasikan media secara dikotomis, itu pun diukur dari teknologi, luas lingkup atau dari saluran komunikasinya. Sebelum media berkembang menjadi interaktif, Rogers membedakan komunikasi atas saluran komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Sedang pembedaan yang umum digunakan antara lain media tradisional – media modern, media mikro – media makro, media rakyat – media massa (Yuliarso, 1997: 55). Dikotomi tradisional – modern dalam kacamata Oepen (1987:11) didasarkan pada saluran komunikasi yang digunakan. Media tradisional merujuk pada sarana komunikasi yang secara alami telah ada dan dimiliki masyarakat, Sedangkan konsep media modern merujuk pada mass ‘mediated’ communication system yang kita kenal dengan istilah media massa. Dari rujukan di atas, ada dua hal yang bisa dipahami. Pertama, bahwa pengertian baik media komunikasi sosial tradisional merupakan saluran
5
komunikasi yang secara asli (indegenuous media) telah ada dan digunakan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kedua, bahwa titik berat media komunikasi pada kemampuan dan fungsinya sebagai hiburan, informasi bukan pada bentuk fisik dari media tersebut. Dengan kata lain, sebelum media massa hadir di tengah masyarakat sebagai pranata sosial yang berfungsi informatif, bukan berarti masyarakat tidak memiliki saluran komunikasi dalam kehidupan sosial. Pada masa itu fungsi-fungsi informatif masih numpang pada pranata-pranata sosial lain yang memungkinkan adanya interaksi satu sama lain semisal, pasar, tempat ritual bahkan komunitas. Tradisi lokal yang masih berlangsung dan dilaksanakan oleh masyarakat desa dapat mempertahankan solidaritas sosial pada masyarakat, karena dengan dilakukannya tradisi lokal individu dengan individu sering berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan antar masyarakat tersebut. Secara umum, kondisi solidaritas sosial dalam masyarakat masih berjalan dengan baik. Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial masyarakat secara sukarela di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga munculnya kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menumbuhkan kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman emosional bersama.
6
Berdasarkan hasil jejak pendapat ”Kompas”, sebagian besar responden (N=747) sekitar tiga perempat bagian, melihat kondisi saling membantu (tolong menolong, gotong royong, toleransi, dan penghargaan antar kelompok masih berlangsung secara baik, bahkan sebagian kecil membaik di masyarakat. Sikap saling menghargai identitas primordial termasuk indikator yang paling diapresiasi, sementara kesenjangan sosial yang paing kuat respon negatifnya (Kompas, 20 Desember 2010). Kondisi solidaritas sosial berdasarkan jejak pendapat Kompas tersebut menunjukkan bahwa pada masyarakat desa solidaritas sosial masih berjalan dengan baik dan terpelihara dan dipertahankan sebagai tradisi lokal yang memiliki nilia-nilai kearifan lokal ditengah era globalisasi sekarang ini. Berdasarkan hasil penelitian Nasution, (2009: 201) menjelaskan, solidaritas sosial pada masyarakat desa transisi tumbuh dari pertautan antara nilai tradisi lokal yang masih dilakukan oleh warga dusun dengan nilai modern yang berlaku pada warga perumahan, akibatnya terjadinya antar kedua warga tersebut. Ada dua aspek yang melatarbelakangi arti pentingnya penelitian ini, yaitu realitas empirik (das sain) dan realitas teoritik (das sallen). Realitas empirik antara lain: (a) semakin banyaknya pembangunan pemukiman baru di wilayah pedesaan, sehingga terbentuknya dua tipologi karakteristik masyarakat desa transisi, salah satunya adalah masyarakat desa Saptorenggo Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, dengan kondisi karakteristik nilai-nilai yang saling mempengaruhi, khususnya prilaku solidaritas sosial, (b) Masih dipertahankan dan dilakukan nilainilai tradisi lokal dalam kehidupan bermasyarakat, seperti: kegiatan soyo atau
7
sambatan, rewang, nonggo, klontang, buwuh atau sambatan, selamatan, tahlilan dan lain-lainnya, (c) kondisi berkurangnya lahan pertanian warga akibat banyaknya pembangunan perumahan, sehingga menyebabkan banyaknya warga dusun yang beralih mata pencaharian dari pertanian ke non pertanaian. Sedangkan realitas teoritik (das sallen), yaitu sepanjang pengetahuan peneliti belum dijumpai penelitian terdahulu yang secara khusus mengkaji tradisi lokal sebagai media komunkasi sosial dalam mempertahankan solidaritas sosial pada karakteristik masyarakat desa transisi. Upaya memelihara solidaritas sosial tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah perilaku tradisi lokal
selamatan jumat legi yang masih
berjalan pada masyarakat desa, khususnya masyarakat desa transisi sebagai media komunikasi sosial dalam mempertahankan solidaritas sosial? Apakah tradisi lokal selamatan jumat legi dapat beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai modern yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai kearifan lokal membentuk solidaritas sosial baru pada masyarakat desa transisi? Namun mau tidak mau keadaan ini pasti akan terjadi, karena adanya arus globalisasi yang akan sangat berpengaruh terhadap perubahan pada nilai-nilai solidaritas sosial masyarakat. Dengan alasan tersebut, menjadi penting untuk melakukan penelitian tentang tradisi lokal dan pergeseran solidaritas sosial. Jalinan prilaku tradisi lokal selamatan jumat legi sebagai media komunikasi sosial dalam mempertahankan solidaritas yang hidup dalam masyarakat desa transisi tersebut memiliki potensi untuk berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini.
8
Masyarakat desa transisi Menurut Riggs (dalam Soelaiman, 1998: 35) adalah terjadinya percampuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses modernisasi atau dengan pengertian lain merupakan masyarakat peralihan (transisi) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri, di mana tumpang tindih (overlapping) diantara kedua nilai tersebut. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Jawa, khususnya di desa pinggiran kota (transisi) nilai-nilai yang bersumber dari mitos, ritus, dan etika. Di mana mitos Jawa bersumber dari wayang, yang sangat erat dengan simbol-simbol. Implikasi dari mitos tersebut menimbulkan perilaku yang lebih menekankan pada perasaan, sebab yang dituju adalah selaras dengan alam. Dalam hal ini ritus yang manarik adalah ”slametan”. Ritus sebagai dimensi agama mempunyai hubungan dengan Yang Kuasa dan dengan seagama. Kehadiran Islam Jawa, umumnya dipeloporoi oleh paham mistik Kejawen. Paham ini juga dimotori oleh hadirnya aliran kebatinan yang cukup banyak di Jawa. waktu itu, memang ada asumsi dengan masuknya Islam di Jawa agama asli Jawa (kebatinan dan mistik) dianggap syirik. Apalagi orang Jawa sering melakukan tradisi ritual slametan, membakar kemenyan, dan sejumlah ritual pemujaan roh leluhur, tampaknya dianggap tindakan yang kurang sejalan dengan Islam. Namun demikian, kalau serta merta apa yang dilakukan orang Jawa tersebut dituduh syirik jelas akan menolak mentah-mentah, karena tradisi leluhur pun mengajarkan demikian. Untuk itu para wali mencoba memanfaatkan seni tradisi yang telah populer di Jawa sebagai upaya penyebaran agama Islam, seperti melalui wayang, dan lagu rakyat, seperti tembang ilir-ilir. Melalui tembang ini,
9
Wali Sanga mencoba menanamkan Islam secara halus dan estetis. (Endraswara, 2012: 78). Tegasnya, Islam Jawa memang sebuah fenomena yang mencoba menggabungkan antara agama dan prilaku budaya. Karena itu, meskipun sedikit ragu, Damami (2002:94) menamakan perilaku religi Jawa demikian disebut Islam kultural. Islam kultural merupakan ritual agama yang tak murni lagi, melainkan sebuah percampuran lembut di antara dua atau lebi aspek agama. Dalam istilah lain, Woordward (1999: 56) menyebut Islam semacam itu sebagai “agama rakyat” (popular religion). Ritus slamatan begitu kuat dalam faham masyarakat Jawa. Sedangkan nilai-nilai modern yang terjadi pada masyarakat desa pinggiran dampak dari pembangunan adalah masyarakat menjadi heterogen sebagaimana pada tingkat pendidikan, pada profesi pekerjaan, dan kepercayaannnya, peralihan mata pencaharian di bidang agraris (pertanian) menjai mata pencaharian bidang non pertanian, seperti berdagang, buruh pabrik, buruh bangunan, dan lain-lain. Kondisi tersebut terutama terjadi di desa-desa di Pulau Jawa, khususnya masyarakat desa yang letaknya di pinggiran kota, karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis. Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi dalam pergeseran solidaritas sosial. Sebagai salah satu masyarakat desa transisi adalah Dusun Bulurejo, Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang sebagai masyarakat transisi memiliki karakteristik sebagaimana tersebut di atas.
10
Berdasarkan latar belakang tersebut, pentingnya penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ”Prilaku Tradisi Lokal Sebagai Media Komunikasi Sosial Masyarakat Desa Transisi dalam Mempertahankan Solidaritas Sosial (Studi Kasus Prilaku Tradisi Lokal Slamatan Jumat Legi pada Masyarakat Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis Kabupaten Malang sebagai Masyarakat Transisi).
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan konteks penelitian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
maka yang menjadi fokus penelitian atau rumusan masalah penelitian ini secara umum adalah ”Bagaimana prilaku tradisi lokal Slamatan Jumat Legi sebagai media komunikasi sosial pada masyarakat desa transisi dalam mempertahankan solidaritas sosial”. Secara lebih rinci yang ingin dijawab dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut. a.
Mengapa tradisi lokal Slametan Jumat legi masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis sebagai masyarakat desa transisi?
b.
Bagaimana proses kegiatan Slamatan Jumat Legi warga Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis sebagai masyarakat desa transisi?
c.
Bagaimana proses interaksi yang terjadi dalam acara Slametan Jumat Legi sebagai media komunikasi sosial pada warga Dusun Bulurejo sebagai masyarakat desa transisi.
d.
Apakah perilaku tradisi lokal Slamatan Jumat Legi sebagai media komunikasi sosial dapat berfungsi mempertahankan solidaritas sosial pada masyarakat
11
Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis sebagai masyarakat desa transisi?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan ”Mendeskripsikan prilaku tradisi sosial
Slamatan Jumat Legi sebagai media komunikasi sosial pada masyarakat Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis sebagai masyarakat desa transisi dalam mempertahankan solidaritas sosial. a.
Menganalisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tradisi lokal Slamatan Jumat legi masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Bulurejo Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis sebagai masyarakat desa transisi.
b.
Menganalisis proses kegiatan Slametan Jumat pada warga Dusun Bulurejo sebagai masyarakat desa transisi.
c.
Menganalisis interaksi yang terjadi dalam cara Slamatan Jumat Legi sebagai media interaksi sosial pada warga dusun sebagai masyarakat desa transisi.
d.
Menganalisis perilaku tradisi lokal Slametan Jumat Legi sebagai media Komunikasi sosial yang dapat mempertahankan solidaritas sosial pada masyarakat Dusun Bulurejo.
1.4.
Kegunaan Penelitian
Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan implikasi sebagai berikut.
12
1. Kegunaan Teoritis a. Kontribusi ilmiah dalam kajian sosiologi komunikasi, khususnya tentang tradisi lokal sebagai media komunikasi sosial dalam mempertahankan solidaritas sosial pada masyarakat desa transisi. b. Kontribusi ilmiah dalam kajian sosiologi komunikasi, khususnya yang berkenaan dengan manfaat tradisi lokal sebagai media komunikasi sosial dalam mempertahankan solidaritas sosial masyarakat desa transisi di era sekaran ini. c. Sebagai informasi bagi para peneliti, terutama ilmuwan sosial tentang tradisi sosial sebagai media komunikasi sosial,
solidaritas sosial, dan
masyarakat desa transisi serta permasalahannya yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. 2. Kegunaan Praktis a. Sebagi input bagi pihak-pihak yang berkompeten (terutama pemerintah propinsi, kabupaten, dan desa) sebagai arah evaluasi kebijakan dalam menjaga tradisi lokal dan solidaritas sosial masyarakat desa transisi pada masa sekarang ini. b. Memberikan
gambaran
tentang wujud perilaku tradisi lokal sebagai
media komunikasi sosial dalam mempertahankan solidaritas sosial pada masyarakat desa transisi kepada pemerintah daerah. . 1.5.
Penegasan Istilah Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
13
a.
Tradisi lokal Slamatan Jumat Legi adalah tradisi yang dilakukan oleh warga secara rutin sebulan sekali sesuai dengan penanggalan jawa, yakni setiap malam jumat legi. Malam jumat legi bagi masyarakat Jawa Timur dianggap sebagai malam keramat. b. Media Komunikasi Sosial dalam penelitian ini merupakan cara untuk berinteraksi sosial dan menyampaikan informasi. Fungsi informatif melalui pranata sosial yang memungkinkan adanya interaksi satu sama lain, misalnya tempat ritual atau tradisi lokal. Melalui media sebagai sarana komunikasi sosial ini masalah-masalah sosial dapat dipecahkan. Selain itu dengan adanya dialog antara individu-individu atau antara komunikator dengan komunikan dan antar khalayak sendiri, integrasi sosial akan dapat diukur dari keterlibatan secara emosional dalam bentuk ikatan. (Bungin, 2011: 32).
c.
Solidaritas sosial adalah kepedulian dan rasa kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu/kelompok yang didasarkan persamaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama.
d.
Masyarakat Desa Transisi adalah masyarakat yang memiliki karakteristik: (a) terjadinya tumpang tindih antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern (Riggs dalam Soelaiman, 1998). (b) masyarakat desa yang mengalami peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian) menuju mata pencaharian non pertanian, (c) kawasan desa pinggiran kota, kawasan dimana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan pengembangan kawasan perumahan.
14