BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Timor-Leste adalah Negara yang baru merdeka secara resmi berdasarkan jajak pendapat tahun 1999, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia bernama Timor-Timur yang ke 27 Propinsi. Pemisahan diri dari Indonesia, Timor-Timur memang diwarnai dengan suatu tindak kekerasan berupa pembakaran yang dilakukan Milisi yang kecewa dengan Hasil Referendum. Sebagaimana kita ketahui bahwa proses kemerdekaan yang diperoleh, Negara Timor-Leste melewati suatu perjuangan yang begitu drastis dan sangat sulit untuk menentukan nasib sendiri (Self determination) tetapi rakyat Maubere sudah didoktirinkan oleh falsafah perjuangan yaitu “mate ka moris ukun rasik a’an”. Dan Falsafah tersebut sudah menjadi darah daging bagi povu maubere untuk memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri (merdeka).Demi pembebasan dari jajahan dekolonialisasi Republik Indonesia. Dalam perjuangan kemerdekaan Negara Timor-Leste tidak boleh dipungkiri bahwa kemerdekaan yang diperoleh oleh masyarakat Timor-Leste, karena atas partisipasi Gereja Katolik secara aktif dalam memberikan kontribusi untuk Kemerdekaan Negara Timor-Leste. Karena Gereja Katolik sebagai sebuah wadah atau payung untuk melakukan gerakan bawah tanah dalam rangka memberikan informasi kepada dunia Internasional maupun Nasional dan juga melakukan transformasi politik yang terjadi sebelumnya.
1
Salah satu kontribusi Gereja Katolik pada tahun 1981 ketika bapak Xanana Gusmao mendirikan partai Marxisme Leninisme sangat bertitik tolak dari pada politik internasional yang terjadi pada massa sebelumnya maka itu kehadiran Gereja Katolik khususnya Pastor Dom Martinho Lopes menyatakan kepada bapak Xanana Gusmao agar melakukan rekonstruksi terhadap gagasan tersebut. karena partai politik tersebut, tidak sejalan dengan dinamika politik yang terjadi pada saat itu, karena faham yang diadopsi adalah aliran kiri (possitivistico). Gereja Katolik merupakan salah satu pemangku kepentingan utama dalam persoalan Timor Timur selama mandat Komisi periode 1974-99. Perjuangan dekolonisasi berdampak berat pada Gereja dan melibatkan semua kalangan, mulai dari basis hingga eselon teratas hirarki Gereja di Roma. Pentingnya isu ini bagi Gereja dan kepentingan politik Vatikan atas pemerintah Indonesia, jelas tampak dari fakta, bahwa Paus Johanes Paulus II adalah satu-satunya pemimpin dunia yang mengunjungi wilayah Timor-Timur pada tahun 1989 selama masa pendudukan Indonesia. Dalam proses perjuangan, Gereja Katolik di Timor-Timur mempunyai tiga pemimpin selama periode 1974-1999 antara lain, Uskup José Joaquim Ribeiro, Dom Martinho da Costa Lopes, dan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB. Selama pendudukan Indonesia, setiap pemimpin ini awalnya berusaha mengakhiri kekerasan melalui dialog dan perwakilan langsung kepada otoritas sekuler. Ketika upaya ini gagal, mereka masing-masing beralih mengambil peran yang semakin vokal untuk melindungi Hak Rakyat. Sejak sekitar tahun 1983, Gereja menghimbau adanya penentuan nasib sendiri, karena yakin bahwa penentuan hak
2
kolektif tersebut merupakan kunci untuk mencapai perdamaian sejati dan dinikmatinya hak-hak individu. Peranan profesi Gereja lokal ini, dan advokasi hak politik mengenai penentuan nasib sendiri, yang merupakan tantangan terbesar bagi Vatikan ialah masalah Timor-Timur,
meskipun
Vatikan
pula pada prinsipnya
mendukung hak penentuan nasib sendiri. Sejarah singkat tentang para Imam Gereja Katolik di Timor-Timur yang berpartisipasi aktif dalam proses perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur. Dom José Joaquim Ribeiro (1966-77) Uskup Ribeiro yang berkebangsaan Portugis, memimpin Gereja selama dua tahun terakhir pemerintahan Portugis, dan selama dua tahun pertama pendudukan Indonesia. Revolusi Bunga di Portugal, Sebagai bagian integral sistem kolonial kuno, Gereja benar-benar ditantang oleh perubahan lingkungan politis, dan disusul periode kebimbangan serta kegelisahan akut yang diperparah oleh kekerasan perang saudara dan bayangan invasi Indonesia. Beberapa pejabat Gereja dan pastor lebih berpihak pada UDT, karena mereka menghawatirkan tersebarnya paham komunisme di wilayahnya. Uskup Ribeiro secara terbuka menuduh Fretilin sebagai “komunis”. Dalam Surat Gembala yang dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 1975, ia melarang umat Katolik memilih Komunis atau Sosialis, tetap membela hak atas properti pribadi dan memperingatkan, bahwa Marxisme mengancam “menghilangkan nilai-nilai positif Rakyat Timor”.
3
Meskipun kemudian
diubah,
pandangan-pandangannya
mempengaruhi
persepsi Gereja tentang Fretilin dan sikap Vatikan, serta beberapa negara yang menerima pengungsi perang saudara di Timor-Timur, khususnya Indonesia, Portugal dan Australia. Invasi dan aneksasi Indonesia atas Timor-Timur terjadi menjelang akhir masa kepausan Paus Paulus VI (1963-78). Paulus VI memainkan peran utama dalam pembentukan dan penerapan perubahan-perubahan yang diperkenalkan Konsili Vatikan, termasuk doktrin-doktrinnya tentang keadilan sosial. Ia sangat menentang kekerasan, dan memberikan pidato tak terlupakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1963, di mana ia mendeklarasikan“tidak ada perang lagi, perang tidak akan ada lagi”. Menteri Luar Negeri Vatikan, Jean-Marie Cardinal Villot (1969-79), mengetahui dengan baik invasi tersebut serta akibat-akibat kemanusiaannya dari beberapa sumber. Uskup Ribeiro, yang mengharap intervensi militer Indonesia akan berjalan setenang aksi India di Goa; tetapi ia benar-benar terganggu dengan apa yang ia saksikan. Pada awal tahun 1976 ia berkata kepada pemerintah Indonesia, bahwa “pasukan Indonesia, dengan pembunuhan, pelanggaran dan penjarahan yang dilakukannya adalah ribuan kali lebih buruk” (daripada Fretilin); dan menambahkan, bahwa “pasukan terjun payung Indonesia turun dari langit seperti malaikat tetapi kemudian berperilaku seperti setan”. Uskup Ribeiro mengundurkan diri dan kembali ke Portugal tahun 1977. Meskipun demikian, Komisi belum bisa mendapatkan bukti, bahwa Paus Paulus VI membuat tanggapan umum mengenai invasi tersebut, atau menggunakan jabatannya untuk memperkuat tuntutan Dewan Keamanan PBB tentang
4
penarikan pasukan Indonesia dari Timor-Timur. Dom Martinho da Costa Lopes (1977-83) Uskup Ribeiro pensiun pada tanggal 23 October 1977. Karena kasus Timor-Timur
yang
tidak jelas, Vatikan kemudian berpikir tentang pengelolaan
langsung Gereja lokal daripada menggabungkannya dengan konferensia wali Gereja Indonesia (KWI). Setelah membicarakannya dengan pemimpin menunjuk Dom Martinho da Costa Lopes sebagai
Gereja setempat, Vatikan Administrator Apostolik dan
menjadikannya putra asli Timor pertama yang menjadi pemimpin Gereja Katolik di Timor-Timur. Ia langsung bertanggung jawab kepada Vatikan melalui Duta Besar Vatikan di Jakarta. Masa jabatan Monsignor Lopes cukup singkat. Selama tiga tahun pertama, ia menerapkan pendekatan kooperatif dalam pembicaraannya dengan otoritas Indonesia, mengenai banyak pelanggaran yang dilaporkan oleh para pastor dan pihak-pihak lain kepadanya. Ia juga selalu memberi informasi baru kepada para uskup Indonesia dan Nunsio Paus Apostolik di Jakarta. Namun komisi tidak berhasil menemukan catatan apa pun, bahwa Vatikan membuat intervensi publik atau peranan yang mendukung selama periode ini. Sejak tahun 1981, hubungan Monsignor Lopes dengan Vatikan dan militer Indonesia semakin memburuk, dan pada bulan April 1983 ia mengundurkan diri di bawah tekanan dari kedua pihak tersebut. Alasan-alasan retaknya hubungan dengan Vatikan berkaitan dengan perbedaan pandangan yang mendasar tentang isu ini.
5
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB (1983-2003), Penunjukan Carlos Filipe Ximenes Belo oleh Vatikan dilakukan tanpa diadakan pembicaraan yang semestinya para Pastor setempat, dan awalnya ia tidak disukai Pastor-Pastor di Timor-Timur khususnya dalam konteks pengunduran diri Monsinhor Lopes, Dom Carlos dengan hati-hati menolak berperang politik yang merusak hubunganya dengan pihak perlawanan, tetapi seperti halnya dua pendahulunya ia perlahan-lahan terpaksa menjadi lebih vokal. Ia menjelaskan gejolak-gejolak tersebut dalam surat kepada wakil Paus di Jakarta: sejak tahun 1983, tahun saya ditunjuk sebagai Administrator Apostolik, setiap tahun kami menyaksikan penganiayaan-penganiayaan serupa. Kami telah berbicara dengan pihak otoritas tetapi tidak ada hasil. Rakyatlah yang selalu menderita. Sejak awal masa jabatan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, sebagai Uskup, membaktikan dirinya kepada penentuan nasib sendiri baik sebagai hak maupun rumusan Perdamaian abadi. Uskup Belo mengatakan bahwa, Meskipun semua kekuatan melawan kami, kami tetap bersekukuh, bahwa satu-satunya solusi ialah politik dan diplomatik, dan konsep ini tetap kami sebar luaskan, solusi harus mencakup diatas segalanya, penghormatan hak rakyat atas penentuan nasib sendiri, menghargai identitas Kultural,
Etnik danReligius
masyarakat
Timor-Timur
diwujudkan, selama hal ini tidak diterapkan, tidak akan ada solusi damai bagi TimorTimur.
6
Sebagai tanda kepercayaan, Vatikan mengangkat Dom Belo sebgai Uskup pada tahun 1988. Dan Pada bulan Februari 1989, Uskup baru ini mengulangi dukunganya bagi penentuan nasib sendiri dalam sepucuk surat pribadi kepada sekretaris Jenderal PBB Javier Peres de Cuellar. Surat-surat serupa dikirimkan ke Presiden Portugal dan Sri Paus, surat Uskup Belo tersebut
menantang sekretaris Jenderal untuk melangkah melampaui
hubunganya dengan Portugal dan Indonesia dan meminta pendapat rakyat TimorTimur secara langsung melalui Referendum. Surat tersebut secara eksplisit, menolak pernyataan yang dipertahankan Indonesia, bahwa Timor-Timur telah sepenuhnya menjalangkan hak penentuan nasibnya sendiri, dan menyiratkan bahwa pernyataan-pernyataan partai politik TimorTimur tentang status juga cacat. Uskup Belo menulis, Rakyat Timor-Leste harus diijingkan memilih masa depan mereka melalui Referendum. Hingga saat ini masyarakat Timor-Leste tidak diajak bicara. Indonesia menyatakan bahwa, rakyat Timor-Leste telah memilih integrasi, Tetapi rakyat Timor-Leste sendiri tidak pernah mengatakan sedemikian. Dengan itu Portugal mengingingkan waktu untuk meyelesaikan persoalan. Tetapi kami terus mati sebagai manusia dan sebagai bangsa. 1.2. Identifikasi Masalah
7
Berdasarkan dari Latar Belakang Masalah yang ada, maka penulis dapat menidentifikasi Masalah yaitu: 1. Adanya partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan. Timor-Leste. 2. Adanya Aspek Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste pada zaman Penjajahan Republik Indonesia. 3. Adanya Intervensi Vatikan untuk menentukan Hak Kemerdekaan TimorLeste. 1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan Identifikasi masalah yang ada, maka penulis dapat merumuskan masalahnya yaitu, Sejauhmana Partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste? 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Berdasarkan perumusan masalah yang di atas, maka penulis memberikan tujuan penelitian umum yaitu, untuk mengetahui partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur.
8
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka penulis memiliki beberapa manfaat penelitian Teoritis yaitu sebagai berikut: 1. Bagi Universidade da Paz (Unpaz) hasil penelitian ini di jadikan sebagai informasi ilmiah bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora sekaligus sebagai bahan referensi Universitas untuk masyarakat kampus. 2. Hasil penelitian ini sebagai aplikasi teori yang di terima selama di kampus sekaligus menjadi persyaratan bagi mahasiswa/i dalam menyelesaikan jenjang Strata. 1 (S1) 1.5.2 Manfaat Praktis Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka penulis memiliki beberapa manfaat penelitian Praktis yaitu sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini di harapkan sebagai data atau bahan bagi semua masyarakat di Timor-Leste, untuk mengetahui partisipasi Gereja Katolik dalam proses perjuangan Kemerdekaanya Negara Timor-Leste. 2. Dapat di jadikan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang Partisipasi gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan di Timor-Timur.
9
3. Untuk Hirarki Gereja Katolik, salah satu bagian untuk menjadi bahan referensi bagi komunitas Gereja Katolik terhadap partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur. 1.6. Batasan dan Ruang Lingkup Penulis menbatasi masalah pada “Partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur pada Tahun 1974-1999. Studi Kasus di Kantor Keuskupan Dili, Timor-Leste” 1.7.Sistematika Penulisan Sebagai landasan untuk mempermuda dalam penulisan skripsi ini maka, gambaran sistematika penulisan skripsi ini seperti yang penulis paparkan dibawah ini. BAB I PEDAHULUAN: Berisi mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Ruang Lingkup Penelitian dan Sistematik Penulisan BAB II KAJIAN PUSTAKA: Berisi mengenai Pengertian Partisipasi, Defenisi Gereja, Misi Gereja Menurut Konsili Vaticano II dan Pengertian Hak Asasi Manusi (HAM). BAB III METODE PENELITIAN: Berisi mengenai, Jenis Penelitian, Fokus Penelitian, Lokasi dan Situs Penelitian, Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data, Instrumen Penelitian, Teknik Analisis Data.
10
BAB IV GAMARAN UMUM DAN HASIL PENELITIAN : Dalam Bab ini berisi tentan, Gambaran Umum yang menjelaskan mengenai Sejarah Singkat Keuskupan Dili, Letak Wilaya,Klasifikasi Demografi Menurut Jenis Kelamin, Klasifikasi Demografi Menurut Jenis Pendidikan,
Klasifikasi Demografi
Menurut Jabatan, Fokus Penelitian dan Penyajian data yang meramkup beberapa permasalahan yaitu Indikasi dan legalitas yang mendasari partisipasi Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste. Hambatan yang di hadapi oleh Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste. Reaksi dan sikap ABRI dan Pemerintah Republik
Indonesia terhadap perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste dan Analiisis dan Interpretasi data. BAB V : Dalam Bab ini berisi tentan Kesimpulan dan Saran.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Partisipasi Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan. Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil hasil pembangunan. 1 Pengertian tentang partisipasi dimana partisipasi dapat juga berarti pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, barang dan jasa.2 Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya. partisipasi adalah sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya
1
2
Jhon M.echols & Hasan Shadily,2000:419.
( Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).
12
perencanaan dari bawah (bottom up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya. 3 Mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterliba tannya, yaitu:4 a. Partisipasi Langsung Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya. b. Partisipasi tidak langsung Partisipasi
yang
terjadi
apabila
individu
mendelegasikan
hak
partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D 2011: 61-63 membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan. Dan Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama.
3
H.A.R.Tilaar, (2009: 287)
4
Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38)
13
Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan. Ketiga,
partisipasi
dalam
pengambilan
manfaat.
Partisipasi
dalam
pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase keberhasilan program. Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
14
2.1.1 Bentuk Partisipasi Bentuk partisipasi5, terbagi atas: a) Partisipasi Vertikal Partisipasi vertikal terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan dimana masyarakat berada sebagai status bawahan, pengikut, atau klien. b) Partisipasi horizontal Partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa dimana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan yang lainnya. partisipasi masyarakat dilihat dari bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 6: 1. Partisipasi fisik Partisipasi fisik adalah partisipasi masyarakat, orang tua dalam bentuk menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan, seperti mendirikan dan menyelenggarakan usaha sekolah. 2. Partisipasi non Fisik Partisipasi non fisik adalah partisipasi keikutsertaan masyarakat dalam menentukan arah dan pendidikan nasional dan meratanya animo masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan, sehingga pemerintah tidak ada kesulitan mengarahkan rakyat untuk bersekolah.
5
menurut Effendi yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 58)
6
Menurut Basrowi yang dikutip Siti Irene Astuti D (2011: 58)
15
2.2. Definisi Gereja Gereja Sebagai Sebuah Persekutuan7. Dalam bahasa Yunani, gereja disebut ekklesia ek keluar, kaleo memanggil. Secara harafiah berarti memanggil keluar. Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah. Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (I Petrus 2:910) Atau secara singkat gereja adalah persekutuan orang orang percaya. Gereja sebagai tempat bersekutu Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan orangnya, toh seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu didalam Kristus disitulah gereja berada.
7
Pdt. Stefanus Parinus.
16
2.2.1 Gambaran tentang gereja Alkitab khususnya Perjanjian Baru menggunakan istilah gereja dengan bermacam-macam gambaran antara lain: a) Bangunan Allah, I Kor. 3:9; 17:2, Ef 2:20-22; I Tim. 3:15, yang dipakai untuk menggambarkan keberadaan gereja, sebab Kristus sendiri merupakan batu penjuru dari bangunan ini, Mat. 16:18; I Kor. 3:11; I Ptr 2:6-7). b) Tubuh Kristus Ef. 1:22-23, Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang ditekankan adalah kesatuan. Satu hal yang nampak jelas dari tubuh yaitu kesatuan. Meskipun dalam tubuh banyak terdapat keanekaragaman (kaki, mulut, tangan, dll) namun segala pertentangan ditiadakan. Rasul Paulus dalam Kolose 1:18 mengatakan bahwa Kristus-lah yang menjadi Kepala atas tubuh yakni Gereja. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga tubuh itu menjadi tanda keterikatan dalam persekutuan yang mendalam. Dalam Roma 12:4, dikatakan tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama. Jadi gereja sebagai tubuh Kristus, di dalam cara hidupnya harus menampakan hidup Kristus, melalui kata-kata dan perbuatan yang harus diterangi oleh terang Kristus.
17
2.2.2. Sifat Gereja. 1. Kudus, Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani Qadosy yang berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1 Kor. 1:2 ; Ef. 1:1). Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia ini ialah untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah. 2. Am Gereja adalah am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perpektif yang umum. Gereja sebagai yang am harus bersifat universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elite”. Gereja tidak terbatas pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor. 5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi meliputi zaman yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. 3. Persekutuan
Orang
Percaya/Kudus
Kata
Persekutuan
orang
Kudus
diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata sanctorum berasal dari kata
18
sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-orangkudus. Sedangkan kata communion berarti persekutuan. Sehingga ungkapan gereja sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna melainkan terdiri dari orang-orang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka ungkapan “persekutuan orang Kudus” harus dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus diperjuangkan dan itu senantiasa mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di dunia ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi karena Allah telah mengasihi kita, I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26 4. Satu Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus Kristus, kepala gereja. Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam mengemban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam iman dan pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus, Yoh. 17, 21.
19
2.2.3. Misi Gereja Menurut Konsili Vaticano II Sekitar satu milyar umat dan jaringan institusi-institusinya, yang banyak di antaranya ditempatkan secara strategis. Berpusat di Roma dan dipimpin oleh Sri Paus, Vatikan merupakan otoritas pusat Gereja Katolik Romawi.Aktivitas politik dan diplomatik Vatikan diatur oleh Menteri LuarNegeri, jabatan terpenting di bawah Paus. Vatikan memiliki hubungan diplomatik formal dengan sebagian besar negara, dan mempertahankan kira-kira 100 misi diplomatik permanen di luar negeri.Misi diplomatik ini meliputi Washington, Lisboa, Canberra, dan Jakarta, di mana perwakilan Vatikan dibuka pada tahun 1965. Vatikan (atau “Holy See”) mempunyai misi pengamat tetap di Perserikatan
Bangsa-Bangsa
sejak
tahun
1964;
karena
itu
Vatikan
memiliki suara dalam keputusan-keputusan PBB, tetapi tidak memiliki hak suara. Vatikan juga memiliki hubungan diplomatik dengan Uni Europa, dan sebagian besar badan-badan khusus PBB. Konsili Vatikan Kedua, yang berakhir sepuluh tahun sebelum invasi Ind nesia memerintahkan agar jaringan dan sumber daya milik Vatikan harus digun akan untuk melayani Kebenaran, perdamaian, dan keadilan, khususnya bagi me reka yang miskin dan papa.
20
Gereja dan negara mempunyai peran yang berbeda, dan Gereja Katolik, meskipun sangat sentralistis, tidaklah monolitik.Sebagai pusat institusi global, Vatikan berhadapan dengan banyak dilema dan tekanan kebijakan dari kepentingan yang bertentangan, baik di dalam maupun di luar komunitas Katolik. Di sisi lain, bahwa Vatikan memiliki sumber daya dan pengaruh yang penting dan, khususnya dalam kasus Timor-Leste, untuk memiliki informasi yang lengkap tentang situasi dan aspirasi Gereja lokal, yang dianggap menjadi tanggung jawab langsung Vatikan. 2.3 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari ; droits de L’homme Prancis, Human Rights Inggris, dan menselijke rechten Belanda. Di Indonesia, Hak Asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah „hak-hak asasi‟ sebagai terjemahan dari basic rights, Inggris, grond rechten, Belanda, atau bisa juga disebut sebagai Hak–Hak fundamental, fundamental Rights, Civil Rights, Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata, yaitu :
21
1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan 2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada 3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso, Manunggaling Raso, baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi8.
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
8
. Usman Surur, M.Pd.
22
Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri 9.
Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” 2.3.1. Karakteristik, Kandungan Nilai dan Cakupan Hak Asasi Manusia Ciri khas dari Hak Asasi Manusia antara lain: 1. Qodrat, artinya Hak Asasi Manusia itu adalah pemberian dari Tuhan kepada setiap manusia agar hidupnya terhormat. 2) Hakiki, Hak Asasi Manusia itu melekat pada diri setiap manusia, tanpa melihat latar belakang kehidupan dan status sosialnya. 3) Universal, artinya Hak Asasi Manusia itu berlaku umum, tidak membedabedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. 4) Tidak Dapat
Dicabut, artinya
Hak Asasi Manusia dalam keadaan
bagaimanapun, tetap ada pada setiap orang.
9
. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976).
23
5) Tidak Dapat Dibagi, artinya Hak Asasi Manusia itu tidak dapat diwakili atau pun dialihkan kepada orang lain. kandungan Nilai Hak Asasi Manusia Kebebasan atau Kemerdekaan, manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka. Seperti merdeka memilih negara, tempat tinggal, berkeluarga, bergerak, memilih pekerjaan, berserikat, berkumpul, berekspresi, mengemukakan pendapat, memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain sebagainya. Kemanusiaan dan Perdamaian manusia dalam menjalani kehidupannya sangat mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana damai Keadilan, Kesederajatan, dan Persamaan, diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain berdasarkan alasan apa pun, merupakan keinginan setiap manusia, berdasarkan Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia, mencakup atau meliputi tiga aspek utama (Karel Vassak dari Prancis menyebutnya tiga generasi), yaitu, Hak Sipil dan Politik (Generasi Pertama), mengedepankan hak-hak individu yang bebas (merdeka). Paham ini dikembangkan di Amerika, Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Generasi Kedua); yang menjadi obsesi untuk dikembangkan lebih awal, penekanannya lebih banyak pada aspek kesejahteraan dan hak kolektif. Paham ini dikembangkan di negara-negara non blokHak atas Pembangunan, merupakan gabungan atau kombinasi dari dua generasi sebelumnya, terutama dianut oleh negara berkembang.
24
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Sesuai dengan kodratnya, manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki derajat paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Tuhan.Manusia dibekali dengan berbagai kelebihan dan kemampuan dasar dalam hidupnya yang berupa akal/cipta, rasa, dan karsa. Dengan kemampuan dasar ini, manusia seharusnya dapat hidup berdampingan satu sama lain, bukannya saling merampas hak orang lain. Bentrokan itu pun dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan membawa korban dari kedua belah pihak. Mengapa hal ini mesti terjadi Peristiwa lain yang menyedihkan, misalnya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945), serta penjajahan di berbagai belahan dunia yang telah menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mengharuskan kita untuk berpikir siapakah yang memberi kehidupan dan siapa pula yang berhak mengambilnya kembali, Sesama manusiakah Bukan, melainkan Tuhan. Kita semua menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Maha Pencipta.Ia menciptakan segala sesuatu, termasuk hidup kita.Setiap manusia satu per satu diberi hidup dan penghidupan.Tidak seorang pun dapat mengambilnya.Oleh karena itu, hidup merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir.
25
Selanjutnya semua orang itu diciptakan sama dan merniliki hak-hak alamiah yang tak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik, dan hak kebahagiaan10. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep hak asasi manusia (HAM) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan hak asasi manusia di berbagai belahan dunia. Dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang. Hak-hak yang sarna dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia. Hak-hak itu menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia (HAM), hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang tersebut juga mendefinisikan bahwa kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya Hak asasi manusia (HAM).Secara singkat, hak asasi
10
John Locke Hak Asasi Manusia.
26
manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawah manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini menjadi dasar hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa di samping hak asasi, ada juga kewajiban asasi yang dalam hidup kemasyarakaran, kira harus mendapat perhatian terlebih dahulu dalam pelaksanaannya.Jadi, melaksanakan kewajiban dahulu, baru menuntut haknya. Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan secara mutlak berarti melanggar hak-hak yang sama dari orang lain.Selanjutnya Undang-Undang dasar Republikan Indonesia pada tahun 1945 menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa maka itu penjajahan dimuka bumi harus dihapuskan karna tidak sesuai dengan pri kemanusian dan prikeadilan”.11 Berdasarkan definisi diatas penulis mengasumsikan bahwa semua bangsa dan Negara mempunyai hak untuk bebasdari semua penjajahan yang ada di muka bumi untuk menentukan nasib sendiri self determenition dan life for freedom.
11
UU Dasar Republik Indonesia pada tahun 1945
27
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif guna memahami gejala-gejala atau fenomena-fenomena atau permasalahan-permasalahan yang terkait dengan data data yang terhimpun dari obyek penlitian sementara itu, metode yang di pergunakan adalah metode deskriptif, yakni suatu metode yang dipergunakan adalah metode yang menyoroti permasalahan pada suatu gejala atau permasalahan tertentu secara teliti dengan mempelajari dan menganalisa setiap fakta secara kronologis. Intinya, dengan jenis dan metode tersebut. Nawawi memberikan penjelasan mengenai metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselediki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian seseorang, lembaga dan masyarakat pada saat sekarang bedasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Pada umumnya, penelitian deskriptif bersifat mengambarkan, menuturkan, dan menafsirkan data yang ada, yaitu mengenai keadaan yang dialami dan berhubungan dengan kegiatan. Selanjutnya, Nawawi 2003:64 menjelaskan mengenai ciri-ciri pokok metode deskriptif sebagai berikut:
28
1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan, saat sekarang atau masalah-masalah yang bersifat aktual. 2. Mengambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselediki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang akurat. Sementara itu pandangan mengenai pengertian dari penelitian deskriptif juga di kemukakan sebagai berikut: penelitian deskriptif di maksudkan untuk melakukan usaha pengukuran yang cermat terhadap fenomena social tertentu, misalnya perceraian, pengangguran,preferensi terhadap politik tertentu dan lain-lain12. Sehinggga peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian Hipotesis”. 3.2. Fokus penelitian Focus penelitian dalam pendekatan kualitatif sangat berhubungan dengan rumusan masalah, sehingga penetapan masalah merupakan pusat perhatian penelitian. Hal tersebut sesuai dengan sifat pendekatan kualitatif yang lentur dan terbuka mengikuti pola pemikiran yang menekankan analisis induktif (empirico inductive) sotopo dalam Bakri, 2002:23 dimana segala sesuatu dalam penelitian ditentukan oleh hasil akhir pengumpulan data tersebut mencerminkan keadaan yang sebenarnya yang ada di lapangan yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah sejauhmana Parisipasi Gereja Katolik dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste.
12
oleh singarimbung dan Effendi (1998:86) metode Penelitian
29
3.3. Lokasi dan Situs Penelitian 3.3.1. Lokasi Penelitian Untuk menentukan lokasi penelitian perlu di pertimbangkan apakah lokasi tersebut sesuai dengan masalah yang diteliti. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya dan tenaga perlu pula di jadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian
Moleong 2006:128,
sehingga yang menjadi lokasi penelitian,
dalam penelitian ini adalah di kantor Keuskupan Dili, Timor-Leste. 3.3.2. Situs Penelitian Dalam melakukan penelitian di sini, maka peneliti telah mengidentifikasi responden situs terhadap penelitian, dimana mereka berasal dari kantor Keuskupan Dili antara lain: 1. Pe. Francisco Barreto 2. Pe. Adrian Ola Duli 3. Ir. Maria de Lourdes 4. Pe. Herminio de Fatima Goncalves 3.4. Jenis Data Jenis data adalah jenis data kualitatif yang di peroleh dari tempat penelitian dengan mengumpulkan berbagai data yang ada di lapangan.
30
3.5. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu, jenis fatanya dibagi lagi kedalam kata kata dan tindakan, sumber data tertulis Lofland & Lofland dalam Moleong, (1991:12) Bondang dan Biklenndi kutip oleh Moleong (2001:15) membagi foto dalam kategori yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang di hasilkan orang dan foto yang di hasilkan oleh penelitan sendiri.untukdata statistic yang merupakan sumber data tambahan bagi penelitian, akan statistik yang merupakan sumber data tambahan bagi penelitian, akan memberikan gambaran tentang kecenderungan subyek pada latar penelitian. berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk sebagai sumber data dapat berupa seorang, peristiwa, dokumen (hal atau benda) yang dapat di jadikan sumber informasi yang di perlukan sesuai dengan focus penelitian yang telah di tetapkan. Data yang di perlukan dapat di bedakan menjadi dua Jenis yaitu data primer dan data sekunderdalam penjelasanya sebagai berikut:
31
3.5.1. Sumber data primer Merupakan data yang di peroleh peneliti secara langsung dari sumbernya atau nara sumber sebagai informan yang langsung berhubungan dengan focus penelitian yang berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang di amati dan di wawancarai. Informasi awal di pilih secara acak, hal ini di didasarkan pada subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan beersedia memberikan data respon yang di peroleh pada saat melakukan wawancara. 3.5.2. Sumber data sekunder Merupakan data yang bersumber di luar kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawanccarai Moleong (1989:13) jadi data sekunder adalah data yang sudah diolah dalam bentuk naskah tertulis atau dokumen yang di peroleh dari kedua instansi tersebut. 3.6. Teknik pengumpulan data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) teknik pengumpulan data, yakni wawancara, dan dokumentasi. a. Wawancara (interview) yakni suatu teknik pengumpulan data melalui proses Tanya jawab secara lisan, di mana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung, secara fisik, yang satu dapat melihat dan yang lain mendengarkan
32
dengan telinga sendiri. Ini merupakan teknik pengumpulan informasi secara langsung atas data. b. Dokumentasi yaitu teknik yang menekankan pada pengkajian atas dokumendokumen yang ada, baik yang sudah di publikasikan maupun yang belum di publikasikan. 3.7. Instrumen penelitian Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu seperti Bolpoints, Buku atau Kertas dan lain-lain. 3.8. Teknik analisis data Teknik yang di gunakan dalam menganlisis data yang di kumpulkan dari lapangan, dengan model Miles dan Huberman, (1992:27) yaitu mengali dan menganlisa data kualitatif secara mendalam yang di lakukan dengan cara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Sementara itu, tahapan-tahapan analisa data-data yang di peroleh dari lapangan akan dikaji secara mendalam, maka penulis akan menggambarkan tahapantahapan sebagai berikut:
33
Gambar 3.1 Komponen Dalam Analisa Data Data collection
Data display
Data reduction Conclusions: drawing/ verifying
Menurut : “Miles dan Huberman, (2013: 208)” Keterangan: a. Pengumpulan Data (Data Collection), yaitu teknik pengumpulan data dapat berupa wawancara, documentasi dan observasi. b. Reduksi Data (Data Reduction), yaitu data yang diperoleh dari lapangan dengan proses pengumulan data yang jumlahnya cukup banyak dan kompleks, sehingga perlu direduksi dengan merangkum, memilih hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting saja untuk menemjukan polanya, sehingga dapat mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
34
c. Penyajian Data (Data Display), yaitu berupa uraian atau bagan yang disajikan untuk meperjelas hubungan antara kategori menurut urutanya sehingga dapat dipahami. d. Penarikan
kesimpulan
(Verifikasi/Conduction/Veriicatio),
yaitu
kesimpulan yang di peroleh berdasarkan hasil analisa data, untuk menjawab rumusan masalah dan kesimpulan tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dari kredibilitas penelitian ini.
35
3.9. Jadwal Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kantor Keuskupan Dili, Timor-Leste, yang direncanakan akan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian 2014 No
Kegiatan Feb
1
Konsultasi Judul
2
Konsultasi Proposal
3
Penyusunan Proposal
4
Seminar Proposal
5
Revisi Proposal
6
Penelitian
7
Konsultasi Skripsi
8
Penyusunan Skripsi
9
Sidang Skripsi
10
Revisi Skripsi
11
Wisuda
Maret
36
April
Juni
Juli
Des
PEDOMAN WAWANCARA
I.
IDENTITAS RESPONDEN Nama
:
Jenis Kelamin
:
Umur
:
Alamat
:
Agama
:
Pekerjaan
:
Jabatan
:
II. PETUNJUK UMUM Bapak Uskup diminta untuk memberikan keterangan atau informasi mengenai penelitian saya tentang “Partisipasi Gereja Katolik Dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste ”, sesuai dengan apa yang Bapak Uskup ketahui selama ini.
37
III. DAFTAR PERTANYAAN A. KEUSKUPAN DILI, TIMOR-LESTE 1. Apa Reaksi ABRI dan Pemerintah Republik Indonesia terhadap upaya perjuangan Gereja Lokal dalam pembebasan rakyat? 2. Apa indicator Partisipasi Gereja dalam perjuangan pembebasan rakyat TimorLeste? 3. Apa Asas Legalitas yang mendasari perjuangan Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste? 4. Hambatan apa saja yang di hadapi Gereja dalam perjuangan pembebasan Rakyat Timor-Leste? 5. Apa sikap Vatikan terhadap perjuangan Gereja Lokal untuk pembebasan Rakyat? 6. Apa sikap KWI terhadap perjuangan Gereja Lokal pembebasan rakyat TimorLeste? 7. Sejauh mana partisipasi Gereja Katolik Dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-leste?
38
DAFTAR PUSTAKA Kiki Syhanakri, Edisi Januari 2013, Buku Timor-Timur Untold Story Cetakan PT Gramedia, Jakarta. Scheiner Charles, 1999. Judul Buku Kebenaran Bukan Pembenaran, kumpulan Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Leste. KWI, Conveniente Ex Universo, dalam “Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891 sampai 1991: dari Rereum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta: 1999. Moleong, Lexy, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung. Nawawi,H, Hadari,1989, Meteodologi Penelitian Bidang Sosial, UGM Press, Yogyakarta. Sugyono 2008, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan R&D, cetakan VI, Alfabeta, Bandung. INTERNET: “Insiden Dili,” http://id.wikipedia.org/wiki/insiden_dili.Diakses pada 2 Agustus 2007. Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta, Ghalia Indonesia. Wellek, Rene dan Austin Warren.1990 cet. II. Teori Kesusastraan, Terjemahan
39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum dari hasil penelitian
Berhubung cukup luas ruang lingkup karya Gereja Timor-Timur berdasarkan peranan gereja dalam pengembangan pendidikan, sector yang sangat menonjol dikalangan masyarakat Timor-Timur. Di ketahui bahwa pada tahun 1556 telah datang ke pulau Timor dua orang Misionaris dari Ordo Dominikan yaitu, Frei Antonio Taveiro dan Frei Antonio da Cruz OP, untuk mewartakan kerajaan Allah. Mereka memperkenalkan dan mengajarkan Agama Katolik di daratan pulau Timor. Usaha ini berkembang cukup baik dengan banyaknya orang Timor yang memeluk Agama Katolik. Semenjak itu para misionaris mulai berdatangan dan menyebar ke seluruh wilayah pulau Timor, karya Misi semaking meluas dan para misionaris hanya memusatkan perhatian pada karya penyebaran kerajaan Allah, waktu berjalan terus guna mendidik penduduk setempat untuk menjadi tenaga-tenaga karya misi di antara orang-orang pribumi sendiri, pada bulan Okrober 1734 dibangun sebuah Seminari di Oecussi dan kemudian pada tahun 1774 berdiri lagi sebuah seminar di manatuto. Menjelang akhir abad ke-19 dengan kehadiran Uskup Antonio Joaquim Medeiros, selain tugas kerohanian, sektor pendidikan mendapat perhatian serius dari para Misionaris untuk membangun sekolah-sekolah pada lokasi-lokasi di mana mereka menjalangkan tugas penyebaran Injil kepada masyarakat setempat, berdirilah sebuah sekolah di Lahane, selain di manatuto, Lacluta, Oecussi dan Batugade.
40
Pendidikan kaum Wanita pun telah mendapat perhatian dengan mendatangkan Suster Kanosian dari Macau untuk mengasuh sebuah sekolah putri di Dili. Pada saat yang sama Pastor Sebastian Aparisio da Silva mendirikan sebuah pusat pewartaan Injil di Soebada dengan Gereja dan sekolah dimana para siswa selain belajar membaca, menghitung dan menulis juga dilatih sebagai tukang batu dan tukang kayu. Disamping itu dibangun juga sekolah putri dibawah asuhan suster Kanosian. Perlu di ketahui bahwa pada waktu meninggalnya Uskup Antonio Joaquim Medeiros, di Lahane, Tanggal 7 Januari 1897. Para Misionaris, selain tugas kerasulan terhadap umat, memimpin sekolah-sekolah di Dare, Lahane, Dili, Oecussi, Batugade, Maubara, Liquisa, Bazartete, Manatuto, Laleia, Baucau, Lacluta, Soibada, Alas, Barique dan Bubususu. Pembinaan dan pendidikan masyarakat secara
keseluruhan menrupakan
tanggung jawab para misionaris, sehingga pastor Abilio Jose Fernandes waktu itu menyatakan bahwa “ sejak keberadaan para misionarisdi pulau Timor, tidak ada pastor yang tidak merangkap tugas sebagai guru”. Setelah kunjungan pastoral Uskup Macau, Mgr. Jose da Costa Nunes, misi katollik di Timor mengalami suatu era baru, dengan didirikanya sekolah pendidikan Guru dan Katekis “ Santo Fransisco Xavier” untuk pria dan wanita yang kemudian memberikan pelajaran sekolah dasar di sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Timor-Timur. Pada tanggal 13 Oktober 1936 brdiri Pre Seminari “ Nossa Senhora de Fatima” di Soibada untuk mmenyiapkan Pastor Putra daerah. Namun akibat perang Jepang, terpaksa seminari ini di tutup pada bulan Oktober 1942.
41
Setelah perang Dunia II berakhir, Diosis Dili yang terbentuk pada tanggal 4 September 1940 dengan Uskup, Mgr. Jaime Garcia Goulart pada tahun 1946 memulai suatu lembaran baru dalam sejarah misi di Timor. Kedua sekolah di fungsikan kembali untuk pria dan wanita di Soebada bersama- sama dengan sekolah pendidikan guru katekis dan Pre Seminari “ Nossa Senhora de Fatima”, yang kemudian pada tahun 1954 resmi menjadi seminari menengah terletak di Dare. Empat sekolah baru telah didirikan yaitu di Ossu untuk pria dan wanita, satu untuk pria di Maliana dan satu lagi untuk pria di Fuiloro, yang di percayakn kepada serikat Salesian yang telah berada di Timor- Timur sejak tahun 1946. Dapat di catat bahwa sampai sekitar tahun1960 urusan pendidikan di TimoTimur seluruhnya merupakan tanggung jawab misi Katolik, kecuali Dili yang memiliki sebuah sekolah dasar dan sekoloah menengah (Liceu) Milik Pemerintah. Pada waktu pecahnya perang saudara di Timor-Timur pada tahun 1975 kegiatan pendidikan berhenti secara total dan setelah situasi normal kembali kegiatan pendidikan baik yang ditangani pemerintah maupun gereja secara bertahap di mulai kembali dan tersebar di seluruh wilayah Timor-Timur. Urusan pendidikan di keusukupan Dili dipercayakan kepada Yayasan Santo Paulus mulai dari taman kanakanak sampai pada sekolah menengah atas yang ada di Paroki-Paroki dan Stasi-Stasi. Apabila kita memantau dan mengamati perkembangan pendidikan yang di selenggarkan Gereja di Timor-Timur. Dari sampai dengan sekarang dapat disimpulkan hasilnya sangat positif dan membawa dampak yang berpengaruh dalam kehidupan dan penghidupan rakyat Timor-Timur. Masyarakat Timor-Timur tidak
42
dapat melupakan peranan gereja katolik terhadap dirinya sendiri, baik sebagai umat Kristiani pengilut Kristus maupun sebagai anggota masyarakat yang kelangsungan hidupnya sehari-hari cukup dipengaruhi oleh pendidikan di sekolah-sekolah katolik seperti Soibada, Ossu, Maliana, Fuiloro dan Seminari Dare. 4.2.Fokus Penelitian dan Penyajian Data. Sesuai dengan pengamatan penelitian yang di lakukan oleh peneliti dalam rangka mendeskripsikan, menganalisiskan skripsi ini
dengan judul : Partisipasi
Gereja Katolik Dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste. Yang berkaitan dengan adanya partisipasi Gereja katolik dalam perjuangan kemerdekaan di Timor-Lesre pada tahun 1974-1999 dan yang lebih difokuskan oleh peneliti yaitu sejauh mana partisipasi gereja katolik dalam perjuangan hak kemerdekaan TimorLeste. Tujuan analisis penelitian ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data yang diperoleh dari hasil penelitian menjadi bentuk yang mudah dibaca dan dipahami, data ini diolah dengan mengunakan metode Kualitatif Deskriptif guna memahami gejalagejala atau fenomena-fenomena atau permasalahan-permasalan yang terkait dengan data-data yang terhimpun dari obyek penelitian. Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan hasil penemuan yang ditemukan oleh peneliti di lapangan penelitian. Namun sebelumnya peneliti akan memberikan gambaran penemuan data pada saat peneliti awal dilakukan, meliputi partisipasi gereja katolik dalam memperjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste dan yang menjadi alasan bagi Gereja katolik adalah invasi Pemerintah Republic Indonsia terhadap Timor-Leste pada tahun 1975 dan pada saat itu rakyat Timor-Leste banyak
43
yang menjadi korban dari invasi tersebut oleh sebab itu maka gereja katolik mulai berperan aktif dalam memperjuankan Hak kemrdekaaan Timor-Leste dalam sebuah scenario yang dimainkan oleh Paus Paulus ke VI dalam pembentukan dan penerapan perubahan-perubahan Konsili Vatikan, termasuk doktrin-doktrin tentang keadilan Sosial dan ia sangat menantan kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia Terhadap umat kristiani Timor-Leste. Dan terdapat berbagai responden yang menjelaskan bahwa partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak kemerdekaan Timor-Leste dimulai dari pengankatan Vatikan terhadap Dom Martinho da Costa Lopes dan pada saat itu Dom Martinho sebagai Administrasi apostolika dan menjadi putra pertama Timor-Leste yang menjadi kepala Vatikan melalui duta besar Vatikan Indonesia dan pada masa itu Dom Martinho tidak menemukan catatan-catatan apa pun yang berkaitan dengan intervensi Publik atau peranan yang mendukung selama perjuangan gereja katolik terhadap perjuangan hak kemerdekan Timor-Leste dan pada saat itulah Dom Martinho Memundurkan diri dari jabatanya karena hubungan Vatikan dan militer Indonesia mulai memburuk. Dan pada tahun 1983 penunjukan Carlos Filipi Ximenes Belo oleh Vatikan untuk menjadikan dirinya kepada penentuan nasib sendiri baik sebagai hak maupun rumusan perdamaian abadi. Terbukti bahwa hak asasi manusia dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya Sangat membantu perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan sepenuh-penuhnya dan mewujudkan cita-cita libertasaun nasional. Persoalan hak asasi manusia masih menjadi isu penting bagi gereja Katolik
44
khususnya Keuskupan Dili guna membebaskan masyarakat Timor-Leste dari naungan kolonial indonesia. Dari partisipasi gereja katolik khususnya dalam perjuangan hak kemerdekan Timor-Leste maka bangkitlah Fase ini dimulai dengan perubahan orientasi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Keterpurukan dan kelemahan kita saat ini, bukan selayaknya menjadikan kita lemah dan tak berdaya.untuk menjadi bangsa besar, kita harus berfikir besar, menujuh jangka panjang Melihat situasi dan kondisi yang sedang berjalan menyelilingi kita di Timor-Leste pada masa itu. 4.3.Pembahasan 4.3.1. Dasar perjuangan Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai indikasi dan legalitas yang mendasari Partisipasi Gereja Katolik Dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste. dilihat dari partisipasi aktif gereja katolik dalam perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste pada saat itu mulai dari Dom Martinho da Costa Lopes dan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, para Imam-imam dan para Suster yang memberikan kontribusi baik moral maunpun material guna menfasilitasikan para
pejuang
dan
para
rakyat
Timor-Leste
kemerdekaannya.
45
untuk
memperjuangkan
hak
Pandanggan yang dilontarkan oleh PE. Fransisco Bareto yang menjelaskan bahwa: “Dasar perjuangan Gereja Katolik dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Timor-Leste berbasis pada keinginan rakyat Timor-Leste untuk bebas dari intimidasi dan mendapatkan hak kemerdekaan dari jajahan colonial bangsa Republik Indonesia, dan di lain pihak pula indikasi yang mendasari gereja katolik dalam partisipasi perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste melalui karena adanya kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap rakyat Timor-Leste karena gereja katolik memproklamasikan kebaikan dan memperjuangkan Hak Sosial rakyat TimorLeste dari Barat sampai Timur agar memperoleh kebebasan, dan disamping itu kebebasan bukan hanya terdapat pada Negara colonial tetapi terdapat pula pada masyarakat Timor-Leste dan dari aspek di ataslah gereja katolik berkolaborasi di masing-masing pihak dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Timor-leste. Partisipasi gereja katolik bukan dengan senjata tetapi dengan kata-kata moral dan memperjuankan hak social masyarakat Timor-Leste, karena pandangan gereja terhadap colonial Negara republic Indonesia sangat membawa dampak negative terhadap masyarakat Timor-Leste karena terjadinya pembunuhan dan pembantaian di mana-mana dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia 13 Seiring dengan itu menurut Directur Caritas Dili Timor-Leste, PE. Adrian Ola Doli bahwa. “Hal yang mendasari partisipasi gereja dalam perjuangan hak kemerdekaan rakyat Timor-Leste dilihat dari 3 aspek yaitu indicator Biblis yang artinya semua orang yang menderita akan mendapatkan pertolongan dari gereja tampa melihat latar politiknya, indicator yang lain lagi maka gereja melihat dari aspek pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya ABRI terhadap rakyat Timor-Leste yang menyebabkan banyak korban dan indikator yang mendoron gereja untuk berpartisipasi dalam perjuanggan hak kemerdekaan Timor-Leste yaitu indicator moral dan cinta kasih. Dan yang lebih difokuskan oleh gereja yaitu semua orang yang menderita itu tugas gereja untuk menolong disampin itu gereja tidak mempunyai musuh dan gereja melihat bahwa banyak yang menjadi korban politik khususnya politik ideologi.14 Dengan ini Directur Komisaun Jusisa no Paz Diocese de Dili Timor-Leste, PE. Hermino de Fatima Gonsalves juga mengemukakan bahwa. “Indicator pertama adalah pelangaran hak asasi manusia, Gereja di mana pun selalu berjuan untuk membelah masyarakat terutama masyarakat yang tertindas, gereja tidak pernah menyentuh atau melakukan reformasi guna mendapatkan kekuasaan tetapi 13
14
PE Fransisco Bareto Caplao Deoseje dili Timor-Leste Direktor Caritas Dili Timor-Leste PE Adrian Ola Doli
46
gereja mempunyai misi yang berhunbungan dengan manusia maka gereja ikut berpartisipasi pada masa itu karena melihat para penguasa yang memiliki kekuasaan untuk melakukan pembantayang, penyiksaan, penculikan dan pembunuhan pada masyarakat Timor-Leste oleh ABRI pada waktu itu, indicator yang digunaka oleh gereja pada waktu itu adalah sebagai memata-matai untuk melindungi dan membelah masyarakat Timor-Leste dari rejim dan jajahan bansa Republik Indonesia. Dan asas legalitas adalah konvensi hak asasi manusia yang mengatakan bahwa hak seseorang tidak bisa di gangu gugal oleh orang lain dan juga tidak boleh di halangi oleh siapa pun dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasip sendiri, itu adalah legalitas internasional. 15 Selain itu Fundador Esmaek Dili Timor-Leste yang bernama Ir. Maria de Lourdes yang menjelaskan bahwa. “Indikasi yang pertama adalah diskriminasi karena mayoritas masyarakt Timor-Leste inggin melepaskan diri dari colonial Indonesia khususnya ingin merdeka atau referendum tetapi pemerintah Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang melangar hak asasi manusia misalnya pembantaian, pembunuhan, penculikan terhadap masyarakat Timor-Leste pada tahun 1974-1999. Dan asas legalitas yang mendorong partisipasi gereja dalam perjuanggan hak kemerdekan Timor-Leste adalah asas biblis dan asas hokum internasional16. Berdasarkan dari pernyataan-peryataan yang dikemukakan di atas mengenai Indikasi dan legalitas yang mendasari partisipasi Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste maka menurut pemahaman peneliti bahwa semua orang dan setiap institusi termasuk Gereja berkewajiban mengusahakan kesejateraan dan kebahagiaan manusiawi melalui berbagai kegiatan moral dan cinta kasih. Dan menurut parah ahli Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil hasil pembangunan. 17 Maka gejala-gejala yang mendoron partisispasi gereja dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Timor-Leste dilalui oleh dua bidang yaitu bidang Diplomat dan bidang Klandestin, dari bidang diplomatik, gereja melakukan diplomasi untuk mendapatkan bantuan dari luar negeri 15
. Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste PE Hermino de Fatima Gonsalves
16
Fundador Esmaek Dili Timor-Leste Sr.Maria de Lourdes
17
Jhon M.echols & Hasan Shadily,2000:419.
47
seperti berdirinya Delegasi Sosial (DELSOS) guna melihat, menolong, dan memberi bantuan beserta memberi pinjaman Kredit untuk masyarakat guna meninkatkan sumber pendapatan agar bisa menfasilitaskan kebutuhan masyarakt dalam situasi krisis pada masa penjajahan bangsa republic Indonesia, beserta bantuan social lainya dan segi lain gereja juga melakukan bidang klandestin seperti Dom Martino melakukan pertemuan rahasia bersama dengan bapak Xanana untuk membicarakan tentan ideologi Marxime dan Lenimisme agar dihilankan sistem tersebut guna menarik partisipasi 4 partai lainya untuk memeperjuangkan hak kemerdekaan Timor-leste. 4.3.2. Hambatan yang di hadapi oleh Gereja Katolik. Berdasarkan hasil penelitian yang di dapatkan oleh peneliti mengenai hambatan yang di hadapi oleh gereja katolik dalam memperjuankan hak kemerdekaan Timor-Leste pada saat itu ialah perbedaan pemikiran mayoritas masyarakat terhadap hak penentuan nasib sendiri, oleh karena itu Negara Republik Indonesia melakukan invasi terhadap masyarakat Timor-Leste pada tahun 1975 dan dari invasi tersebut maka gereja katolik melakukan intervensi terhadap kehadiranya Republik Indonesia atas sifat-sifat yang melangar hak asasi manusia dan menghilangkan Nilai-Nilai Demokrasi khususnya masyarakat Timor-Leste pada waktu itu. Dari pengertian di atas maka pandangan yang dilontarkan oleh bapak Gregorio Saldanha yang menjelaskan bahwa. Di mulai dari perjuangan Dom Martinho selalu ada hambatan dan hambatan yang pertama ialah Uskup di pindahkan ke luar Negeri, dengan kehadiran Dom Carlos Filipe Ximenes Belo membawah perdamain dan sebagai rumusan hak penentuan nasip sendiri. Melaluui surat yang dikirimkan oleh uskup belo kepada PBB, dan Uskup Belo dengan perjuangganya ia selalu memberikan suaranya melalui perayaan Misa yang mengatakan bahwa rakyat yang di tindas tidak berdasarkan manusiawi, keadilan, hak Asasi manusia maka para penindas tidak mempunyai perikemanusiaan atas kesengsaraan yang di haddapi oleh masyarakat dalam penentuan nasib sendiri, dalam perjuangan Uskup Belo yang mengatasnamakan Gereja Katolik sebagai defensor ke pada masyarakat yang di tindas karena itulah Uskup Belo menulis surat kepada sekretaris Jendral PBB untuk meminta Referendum pada tahun 1987 yang mengambil bagian dari peranan dan partisipasi Gereja Katolik dalam penentuan nasib sendiri dan hambatan yang lain ialah negara Republik Indonesia mempunyai Militer yang cukup banyak dalam melakukan intervensi kepada gereja katolik dalam perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste dan
48
hambatan berikut ialah minimnya persatuan rakyat karena gereja berdiri di antara dua kubuh yaitu pro kemerdekaan dan pro otonomi. 18 Selain itu Directur Caritas Dili Timor-Leste PE. Hermino de Fatima Gonsalves yang menjelaskan bahwa: “Hambatan yang di hadapi oleh gereja katolik pada waktu itu ialah minimnya persatua masyarakat Timor-leste pada awal perjuanggan partai Fretilin guna memproklamasikan kemerdekaan Timor-Leste pada tanggal 28 november 1975 yang diproklamasikan oleh bapak Fransisco Xavier dan hambatan berikutnya yang di hadapi oleh gereja katolik ialah mendapatkan terror intimidasi dari pemerintah Republik Indonesia khususnya Ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 19. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka peniliti menyimpulakan bahwa dari intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya Ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap rakyak Timor-Leste yang mempunyai hak penentuan nasib sendiri yang di ganggu gugat oleh pemerintah Indonesia Secara politik yang berbasis Imperialisme. Hal ini menunjukkan dukungan Vatikan terhadap proses PBB tentang penentuan nasib sendiri, bukannya atas klaim Indonesia bahwa status politik wilayah ini telah diputuskan dan para pejabat Vatikan menyatakan, bahwa mereka menganggap Timor-Leste sebagai “negeri terjajah” di mana tidak ada tindak nyata untuk mendorong penentuan nasib sendiri. Mereka menambahkan, bahwa Vatikan tidak akan mengakui Timor-Leste sebagai bagian dari Indonesia, hingga jelas bahwa hal ini merupakan keputusan rakyat Timor-Leste, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa. Sejalan dengan kebijakan ini, Vatikan menjaga tanggung jawab langsung atas Gereja lokal melalui konflik, yang kemudian sejauh mungkin memberi perlindungan dan akses internasional bagi para pejabatnya, dan menolak tekanan dari Indonesia untuk melakukan integrasi eklesiastis Namun Vatikan tidak mengumumkan atau pun memajukan posisinya secara internasional. Sangat sedikit umat katolik atau publik internasional umum yang mengetahui, bahwa Vatikan mendukung hak warga atas penentuan nasib sendiri.
18
Presidenti Komisaun 12 de Novembro Sr Grigorio Saldanha tgl,29/08/2014, 10:30-11:30 OTL). PE. Hermino de Fatima Gonsalves Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste. tgl. 27 / 08 / 2014, 10:30-12:00 OTL)” 19
49
4.3.3. Reaksi dan sikap ABRI dan Pemerintah Republik Indonesia Reaksi dan sikap ABRI terhadap partisipasi Gereja yaitu pemahaman kebenaran tersebut tidak selamanya sesuai dengan hakekatnya dalam kehidupan masyarakat di mana terdapat relasi manusiawi yang timpang antara penguasa dan yang dikuasa maka pengungkapan dan interpretasi terhadap relasi Gereja dengan para pejuan Timor-leste sering didominasi oleh kepentinggan Negara yaitu kebebasan rakyat Timor-Leste dari naunggan penjajahan bangsa republic Indonesia seirin dengan pengakuan itu namun untuk mendapatkan keberhasilan dan kemerdekaan orang harus menhabiskan uang dan bahkan nyawa. Dari pendapat di atas terdapat sebuah pandanggan yang dilontarkan oleh PE.Fransisco Bareto mejelaskan bahwa : “Reaksi yang dilakukan oleh ABRI terhadap gereja katolik pada trageditragedi pembantanyang yang terjadi pada tanggal 25 bulan September di Lauten yang menyebabkan suster dan Calon pastor banyak yang meningal dunia karena kekerasan yang dilakukan oleh ABRI terhadap rakyat Timorleste dan kejadiaan yang terjadi di Liquisa pada tangal 4 April dan Gereja Suai Kova Lima pada tanggal 4 September 1999 dan lain sebagainya. 20 Seirin dengan itu, menurut Directur CARITAS Dili Timor-Leste yang bernama PE. Adrian Ola Duli mengatakan bahwa : “Reaksi dari pemerintah Indonesia berbeda yaitu pro dan kontra yang satu ingin Negara Timor-Leste menjadi Negara yang berkedaulatan Negara republic Indonesia dan pihak yang lain ingin Negara Timor-Leste melepaskan diri dari Negara Republic Indonesia karena dilihat dari aspek hukum. 21 Dengan ini Directur Caritas Dili Timor-Leste yang bernama PE. Hermino de Fatima Gonsalves yang menjelaskan bahwa: “Pada waktu itu sikap pemerintah Indonesia maupun ABRI sikapnya bertentanggan dan melawan, sikap gereja waktu itu sangat tinggi memperjuankan hak asasi, mereka melihat bahwa dalam selama dua puluan tahun mereka berkorban di Timor-Leste, maka waktu itu pemerintah Indonesia dan ABRI sanggat menolak bahkan sampai uskup Belo di anugrahi Novel perdamaian pun di tolak oleh masyarakat, pimpinan ABRI Indonesia
20
21
PE.Fransisco Bareto . Caplaun Dioseje Dili Timor-Leste. Tgl.24/07/2014, Jam 10:00-12:00 OTL
PE. Adrian Ola Duli Direktor Caritas Dili Timor-Leste. Tgl 20/08/2014. 11;00-12;00otl
50
maupun pimpinan Lokal Timor-Leste, tentu saja semua ini menyentu harga diri setiap satu bangsa maka otomatis sikap mereka adalah Penolakan. 22 Berdasarkan ke 3 pendapat di atas maka penulis memberi kesimpulan bahwa dengan reaksi ABRI dan Pemerintah Indonesia terhadap partisipasi gereja dalam perjuanggan hak kemerdekan Timor-Leste yang menyebabkan 3 pastor mati di bunuh oleh ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yaitu Imam Deryato dari jawa, Imam Fransisco Soares dari Letefoho Ermera, Imam Hilario dari Punilala Ermera beserta rakyat Timor-Leste yang tidak berdosa sekitar 1.200 penduduk sipil telah di bunuh oleh Ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Milisis dan lebih dari 200.000 orang kehilangan harta bendanya karena menjalankan hak politiknya menurut hokum internasional. 4.4. Analisis dan Interpretasi Data Berdasarkan pendapat di atas maka peneliti menganalisis bahwa dari kasus pelangaran hak asasi manusia yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia dan Ankatan Bersenjata republic Indonesia (ABRI) guna berupaya untuk menguntunkan kebenaran atas peeristiwa pelangaran Ham yang dilakukan oleh pihak penguasa Indonesia terhadap masyarakat Timor-Leste dan. Sebagaimana kita ketahui bahwa hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri23. Dan di tinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia maka, Gereja mengikutsertakan dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste beserta tinjauan dari Biblis yang
mengatakan bahwa semua Umat
Manusia saling menghormati dan menghargai sesama Umat Manusia dan menjunjung
22
PE. Hermino de Fatima Gonsalves Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste, tgl. 27 / 08 / 2014, 10:30-12:00 OTL)” 23 . Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976).
51
tinggi harkat dan martabat manusiawi beserta ajaran Yesus Kristus atas rumusan Perdamaian dan cinta Kasih sesama manusia.
Berdasarkan penjelasan kedua teori diatas maka peneliti menganalisis bahwa gereja mengjunjung tinggi hak perjuangan rakyat Timor-Leste guna membebaskan diri dari colonial atau penjajahan Republik Indonesia, dan Gereja sebagai symbol perdamaian bagi masyarakat penindas dan masyarakat yang di tindas dalam proses penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah indonesia terhadap masyarakat TimorLeste. Melalui partisipasi gereja membuka ruang informasi bagi masyarakat TimorLeste guna memperjuangkan haknya berdasarkan hokum internasional. Mengenai penjelasan tentang partisipasi dimana maka partisipasi dapat juga berarti pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat24 Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya. Berdasarkan teori diatas maka peneliti menganalisis bahwa partisipasi gereja adalah salah satu bagian determinasi dalam proses perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste melalui pengakuan internasional secara defakto di mana Negara berdiri berdasarkan asas legalitas, mempunyai rakyat yang berdaulat, wilayah, UndangUndang dan mempunyai Pemerintah tersendiri agar bisa mengatur masyarakat beserta pemerintahanya didalam suatu Negara 24
( Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).
52
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari gambaran umum dan hasil pembahasan yang ada dapat disimpulkan bahwa, Indonesia melakukan invasi ke Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975 dan berkuasa selama 24 tahun. Selama kekuasaan Indonesia pembangunan dengan giat dilaksanakan diseluruh Timor Leste dan unsur-unsur politis yang terkandung didalamnya ahíla: (1) Untuk menarik simpati masyarakat Timor Leste, dan (2) Untuk mempengaruhi dunia internasional dalam mengakui kekuasaan RI di TL. Pada masa kekuasaan RI, terjadi pula berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dipraktekkan oleh militer Indonesia dengan maksud untuk menekan perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan Timor Leste. Pemerintah Republik Indonesia membangun pembangunanan yang dilaksanakan dan segala upaya untuk tetap mempertahankan Timor Leste sebagai bagian dari NKRI tetapi menjadi gagal. Karena cita-cita perjuangan rakyat Timor Leste beserta partisipasi gereja katolik dalam penentuan hak kemerdekaan Timor-Leste melalui kunjungan Paus Paulos ke IV pada tahun 1989 yang membuka peluang bagi masyarakat internacional untuk berperang aktif dalam perjuangan rakyat Timor-Leste dan disamping itu pula penerimaan Novel Perdamaian dari Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo bersama Bapak Jose Ramos Horta pada tahun 1996, yang bertujuan untuk menarik simpaty
53
Dunia Internasional terhadap perjuangan rakyat Timor-Leste untuk melepaskan diri dari colonial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat Timor-Leste mengorbangkan segala apapun, guna mendapatkan dua Opsi yaitu pro Otonomi dan Pro referéndum pada tahun 1999, secara aklamasi sekitar 78,8% rakyat Timor-Leste memilih Referendum untuk berpisah dengan RI. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1.
Bagai pemerintah hendak lebih memahami dan membangun relasi yang semestinya di lakukan dengan gereja katolik guna meninkatkan kerjasama yang baik dalam menyelengarakan pembangunan Timor-Leste. Dan pemerintah Timor-Leste juga harus memberikan penhargaan kepada gereja katolik khususnya para imam dan para suster yang telah mengorbankan dirinya dalam perjuanggan kemerdekaan Timor-leste sebagai simbol penhargaan Negara. Pemerintah harus lebih mempertegas perlindungan hak asasi manusia bagi rakyat di negara ini agar tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia antara masyarakat di negara Timor-Leste.
54
2. Bagi gereja Katolik hendaknya berpartisipasi dalam pembangunan nacional
Timor-Leste sehingga diharapkan gereja katolik mempunyai prespektif dan wawasan yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan yang berisifat posetif dalam pembangunan Timor-Leste.
55