BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan Tidak dapat disanggah lagi jika di era sekarang ini segala aktivitas yang dilakukan masyarakat modern sangat tergantung kepada ketersediaan 1nergy. Hampir di semua 1nergy kegiatan, 1nergy menjadi kebutuhan pokok yang tidak 1ner ditawartawar lagi. Oleh karena itu, kemajuan suatu 1nergy akan sangat terkait dengan kecukupan ketersediaan 1nergy di 1nergy tersebut. Proses eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia sering menimbulkan masalah kerusakan lingkungan sehingga menimbulkan dampak yang merugikan manusia. Khusus dalam proses eksploitasi tambang yang terkadang atau sebagian besar mengabaikan kelestarian lingkungan menyebabkan kerusakan yang membutuhkan waktu lama untuk dapat dipulihkan. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk dapat menjaga kelestarian lingkungan, agar generasi mendatang dapat menikmatinya. Dalam proses konservasi tentu membutuhkan kearifan semua pihak baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pengusaha yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam, akademisi, LSM, maupun masyarakat. Semua elemen terkait harus mempunyai kesamaan persepsi dan program yang sinergi antara satu sama lain sehingga nantinya dalam proses konservasi lingkungan dapat berjalan dengan baik.
1
Di balik isu lingkungan yang menjadi perhatian seluruh 2nergy di dunia termasuk Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, isu yang turut mempengaruhi fluktuasi ekonomi dunia adalah pemenuhan kebutuhan 2nergy. Energi listrik merupakan kebutuhan yang vital dalam suatu pemerintahan, listrik juga merupakan salah satu 2nergy222 kesejahteraan. Terlebih lagi dengan adanya krisis 2nergy dan pangan dunia, 2nergy usaha membutuhkan pasokan listrik yang stabil. Sebagai catatan, permintaan listrik di Indonesia selalu naik, bahkan untuk wilayah Jawa dan Bali penggunaan listrik naik setiap tahun pada angka rata-rata 9% (Sumber: www. Pln.co.id). Seperti kita ketahui bersama bahwa Undang-undang tentang Ketenagalistrikan yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena Tahun 2009 Pemerintah Indonesia kembali mengundangkan Undang-undang tentang Ketenagalistrikan, yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009.
Pada prinsipnya kedua undang-undang tersebut membuka peluang bagi
investor swasta yang berminat untuk menanamkan modalnya dibidang 2nergy listrik. Sebelum Tahun 2002 penyediaan listrik menjadi monopoli pemerintah, letak geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau sungguh menimbulkan masalah tersendiri bagi penyediaan listrik secara merata. PT PLN (Persero) pada tahun 1990 – 1997 menandatangani 26 perjanjian dibidang pembangkitan dengan investor swasta yang nilainya mencapai $13 milyar dengan kapasitas yang akan dibangkitkan sebesar 11.000 MW (Bulletin of Indonesian Economic Studies, on line publication, 1 Desember 2007) 2
Investor asing berperan pada sebagian besar proyek tersebut. Ketika terjadi krisis moneter tahun 1997, sekitar 9.000 MW proyek-proyek tersebut telah sampai pada tahap konstruksi atau minimal dalam tahap perencanaan yang matang. Karena kondisi perekonomian yang tidak menentu di Indonesia, akhirnya seluruh perjanjian tersebut dilakukan negosiasi ulang atau bahkan diakhiri sehingga menimbulkan banyak perselisihan dengan investor. Indonesia menarik perhatian komunitas investasi dunia akibat perselisihan ini dan dituduh tidak menghormati kontrak, tidak mau membayar denda yang dijatuhkan badan arbitrase. Perselisihan yang berlangsung sampai tahun 2007 adalah ketika dua investor Amerika- Caithness Energi dan Florida Power & Light yang mengerjakan Proyek Karaha Bodas, berusaha mendapatkan $300 juta dengan membekukan asset PT Pertamina di luar negeri. Saat itu PT PLN menerbitkan Power Purchase Agreement (PPA) dimana didalamnya diatur tentang pembelian listrik dari Independent Power Plant (IPP) dalam jangka panjang berdasarkan “take or pay”, harga dipatok dalam valuta asing (USD). Artinya risiko turunnya permintaan (demand) listrik, dan risiko devaluasi (currency crash) ditanggung pihak Indonesia. Apa yang terjadi di tahun 1997? Badai krisis moneter menghancurkan nilai rupiah, dari kurs 1 USD di kisaran sekitar Rp. 2000,00 menjadi di atas Rp. 10.000,00. Ekonomi berkontraksi, pertumbuhan ekonomi 3nergy33, dan demand listrik turun 3nergy3, tapi listrik IPP harus tetap dibeli PLN. Sebelum krisis moneter tahun 1997, harga jual listrik PLN ada di kisaran 7 sen dolar/kWh, setelah krisis harga jual
3
tinggal 1,7 sen dolar/kWh. Tentu harga ini tidak mampu menutup harga beli listrik PLN ke IPP yang saat itu ada di kisaran 5-7 – 8,5 sen dolar/kWh. Mengapa pada waktu itu PLN dan Pertamina mau menandatangani perjanjian yang menempatkan pihak Indonesia dalam posisi menanggung risiko major?. Dalam hal ini ternyata keputusan tersebut bukan diambil oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut, tetapi keputusan diambil oleh pemerintah melalui Departemen Pertambangan dan Energi. Kroni Orde Baru mendominasi kepemilikan IPP pada waktu itu, tidak heran jika PPA dibuat untuk melindungi kepentingan salah satu pihak, dan justru pemerintah disudutkan sebagai pihak yang menanggung risiko major (Imadudins weblog, 10 Februari 2010) . Skema IPP saat itu masih dianggap lebih mahal dibandingkan dengan jika PLN mencari pinjaman dana dan membangun pembangkit sendiri. Dengan berjalannya waktu, dengan terjadinya reformasi di semua lini termasuk di pemerintahan, kemudian pemerintah Indonesia bersama PLN melakukan terobosan dibidang penyediaan 4nergy listrik. PLN memang harus melakukan terobosan dibidang pembangkitan , karena PLN tidak akan mungkin membangun pembangkitnya sendiri untuk menyediakan listrik bagi 270 juta penduduk Indonesia. Dirjen Kelistrikan dan Pemanfaatan Energi (Purwono J, 2010) mengatakan kondisi 4nergy kelistrikan untuk periode akhir Februari 2010, dari 26 sistem kelistrikan utama, sebanyak 15 sistem yakni Sumatera Bagian Utara, Nias, Tanjung Pinang, Bangka, Pontianak, barito, Sampit, Bontang, Poso, Sulawesi selatan, kendari, Ambon, Ternate, Jayapura dan Lombok mengalami 4nergy4. Defisit listrik ini 4
sebenarnya telah berusaha diantisipasi oleh pemerintah dengan mencanangkan program pembangunan listrik 10.000 MW, prigram tersebut dimaksudkan untuk mempercepat perluasan infrastruktur ketegalistrikan terkait dengan krisis kelistrikan nasional. Jika tidak hati-hati maka peristiwa tahun 1997 dapat terulang kembali. Untuk mencapai target Program Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW, pemerintah mengundang investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi dibidang ketenagalistrikan (Sumber: PT PLN, 2010). Program ini disambut positif oleh Investor China, India maupun investor dalam negeri 35 lokasi pembangkit telah direncanakan untuk dibangun dengan target operasi sampai tahun 2012 Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) kemudian membuat Peraturan Menteri ESDM tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dan Koperasi atau Badan Usaha lain (PermenESDM Nomor 5 Tahun 2009), dan Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Energi Terbarukan
Skala
Kecil
dan
Menengah
atau
Kelebihan
Tenaga
Listrik
(PermenESDM Nomor 31 Tahun 2009), khusus untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Menteri ESDM juga mengeluarkan pedoman harga pembelian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yaitu PermenESDM Nomor 22 Tahun 2012. PT PLN (Persero) adalah satu-satunya institusi yang diberi kewenangan untuk membeli listrik dari pembangkit listrik swasta (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan), PT PLN (Persero) juga mengelola transmisi dan 5
distribusi listrik di Indonesia. Perjanjian kontrak jual beli listrik dengan pihak swasta biasanya dilakukan selama 15 tahun, setelah kontrak berakhir akan ditinjau kembali dan tidak secara otomatis kontrak dapat diperpanjang. Pada tahap awal investor membuat izin prinsip yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, kemudian membuat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL Terpadu), selanjutnya pengembang diwajibkan untuk membuat Kajian Kelayakan Operasi (KKO), Kajian Kelayakan Finansial (KKF) dan Kajian Analisis Resiko, semua kajian tersebut dipresentasikan di hadapan PT PLN (Persero) Wilayah. Setelah mendapat persetujuan dari PLN setempat, pengembang mengajukan Surat Ijin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum (IUKU) Sementara,
IUKU dimintakan persetujuan ke Direktorat Jenderal Listrik dan
Pemanfaatan Energi atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Setelah mendapatkan IUKU pengembang mengajukan Persetujuan Penetapan Harga Beli Tenaga Listrik kepada PT PLN, (Wahjosoedibjo, Anton S, 2012,). Setelah melalui serangkaian tahapan pembangunan pembangkit listrik, investor masih dihadapkan kepada masalah harga pembelian listrik. Kontrak jual beli listrik yang dimonopoli oleh PT PLN (Persero) ini, apakah dapat memberikan perlindungan hukum bagi para investor? Penelitian ini akan menganalisis mengenai sampai sejauh mana para investor mendapatkan perlindungan hukum atas investasi yang mereka tanamkan dibidang 6nergy listrik di Indonesia, dan perlindungan hukum bagi PT PLN (Persero) selaku pembeli listrik.
6
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana regulasi dibidang jual beli listrik di Indonesia? 2) Bagaimana regulasi ini diimplementasikan? Apakah regulasi tersebut dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak? 3) Bagaimana pendapat investor tentang aspek perlindungan hukum
bagi
investor di Indonesia? Bagaimana kedudukan para pihak dalam kontrak jualbeli listrik di Indonesia?
1.3 Keaslian Penelitian Penelitian tentang Analisis Aspek Perlindungan Hukum bagi Para Pihak dalam Kontrak Jual Beli Listrik di Indonesia, sampai saat ini merupakan penelitian yang relatif baru, tetapi penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan meskipun bahanbahan referensinya masih minim. Beberapa tulisan tentang Kontrak jual beli listrik dapat dijumpai di media masa atau di dunia maya, tetapi sebagian besar tidak mengupas aspek yuridis secara mendalam karena hanya mengkritisi sisi politis dari kontrak tersebut. Penulis menghadapi kendala dengan tidak tersedianya buku-buku referensi, oleh karena itu penulis lebih banyak menggunakan peraturan perundangan dan data primer untuk melakukan analisis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis memberanikan diri mengupas tentang aspek perlindungan Para Pihak dalam Kontrak Jual Beli Listrik, 7
karena penulis mempunyai relasi yang cukup baik untuk mengakses data, baik data sekunder maupun data primer, sehingga nantinya dapat diketahui sejauh mana asepk perlindungan Para Pihak di dalam kontrak jual beli listrik di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatan bahwa penulisan tesis ini adalah penulisan hukum yang original.
1.4 Tujuan Penelitian ini akan menganalisis tentang regulasi dibidang investasi, khususnya tentang aspek perlindungan hukum bagi para pihak, dan praktek bisnis kelistrikan di Indonesia apakah telah sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Penelitian ini juga akan menganalisis tentang kedudukan Para Pihak dalam kontrak jual-beli listrik di Indonesia. Pendapat investor juga akan dipaparkan dalam penelitian ini, untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh investor. Hal ini sejalan dengan tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) Untuk mengetahui bagaimana regulasi di bidang jual beli listrik di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagimana regulasi ini diimplementasikan, dan sejauh mana regulasi tersebut dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. 3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat investor tentang aspek perlindungan hukum bagi investor di Indonesia, dan bagaimana kedudukan para pihak dalam kontrak jual-beli listrik di Indonesia.
8
1.5 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1) Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan bidang hukum bisnis pada khususnya. 2) Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan literature khususnya mengenai kontrak jual beli listrik. 3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam ruang lingkup kontrak jual beli listrik.
9