BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Revolusi yang terjadi pada tahun 1789 merupakan permulaan periode historis baru di Prancis. Perubahan sosial dan politik ditandai dengan berubahnya sistem pemerintahan monarki menjadi republik yang menjunjung ideologi sekularisme atau pemisahan antara negara dan gereja, perumusan Deklarasi Hak Asasi Manusia yang mengakui bahwa setiap manusia merupakan individu yang bebas dan memiliki hak yang sama di masyarakat sebagai bentuk penghapusan hak-hak feodal yang terdapat pada periode sebelum Revolusi, dan semakin terjaminnya hak warga negara di bidang politik sebagaimana Republik pada tahun 1792 memberikan hak pilih bagi warga negara laki-laki yang memenuhi syarat finansial dan residensial (Kay et al, 2003: 195). Revolusi Prancis tidak hanya memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial dan politik namun juga terhadap kesusastraan Prancis. Periode pasca Revolusi merupakan periode Sastra Prancis Modern. Pada masa ini terdapat semakin banyak karya sastra yang beredar di masyarakat sebagai dampak dari industrialisasi. Sebagaimana yang terjadi di Eropa dan Amerika, Prancis mengalami perkembangan pesat industrialisasi pada proses percetakan serta pertumbuhan penerbitan dan pemasaran karya. Selain karena penemuan mesin cetak masal, perkembangan sastra dari segi kuantitas ini juga didorong oleh 1
reformasi pendidikan yang menekankan kemampuan membaca sebagai hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Apresiasi masyarakat terhadap karya sastra pun semakin meningkat sejak masa ini. Pada abad 18 dan 19 cabinets de lecture di bangun di Paris dan kota-kota besar yang lain yang kemudian berkembang menjadi perpustakaan umum. Karya sastra serta surat-surat kabar menjadi atraksi utama dari fasilitas tersebut. Antusiasme masyarakat akan karya sastra tidak hanya direspon oleh perusahaan penerbitan yang memproduksi karya sastra sebagai komoditas ekonominya melainkan jugaa dipenuhi oleh surat-surat kabar yang memuat cerita bersambung. Pada tahun 1844-1845 harian Le Constitutionel mengalami peningkatan penjualan dari 3,000 ekslemplar menjadi 24,000 dengan merekrut Èugene Sue sebagai penulis episode demi episode Le Juif errant ( Kay et al, 2003: 199) Namun periode sastra modern tidak hanya diwarnai dengan industrialisasi karya sastra, penulis juga kini memiliki kebebasan untuk berkarya. Pergolakan politik pada masa Revolusi Prancis memberikan ruang bagi para penulis mengambil posisi terhadap peristiwa tersebut serta menggunakan kemampuan verbal mereka sebagai aksi politik. Penulis kini memiliki peran sosial yang penting di masyarakat. Tidak hanya sebagai penghasil karya sastra sebagai salah satu bentuk hiburan bagi pembacanya, penulis dianggap sebagai agen yang mengaspirasikan ide-ide penting pada masanya. Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah direkam dalam bentuk roman, misalnya Revolusi Prancis, Perang Dunia Pertama dan Kedua, Perang Kemerdekaan Aljazair dan peristiwa lain yang 2
terjadi sesudahnya. Penulis kini diharapkan memiliki pandangan terhadap peristiwa terhadap berbagai isu sosial yang ada. Mereka menentang Perang Kemerdekaan Aljazair, mereka mendukung feminisme dan hak-hak untuk homoseksual, dan lain sebagainya (Kay et al, 2003: 202). Penulis tidak hanya menyuarakan opini mereka namun juga mempengaruhi opini publik terhadap kontroversi-kontroversi yang ada. Jean Marie Gustave Le Clézio merupakan salah satu penulis yang mengangkat berbagai isu sosial dalam karya-karyanya. Penulis penerima penghargaan Nobel Sastra pada tahun 2008 ini lahir pada 13 April 1940 di Nice, Prancis dalam keluarga yang memiliki ikatan yang kuat dengan bekas jajahan Prancis, Mauritius. Pada saat ia berusia 8 tahun, ia mengikuti ayahnya yang ditugaskan sebagai dokter di Nigeria selama Perang Dunia Kedua di mana ia menulis dua karya pertamanya, yaitu Un long voyage dan Oradi noir. Le Clézio meraih perhatian publik ketika ia berusia 23 tahun melalui roman pertamanya Le procès-verbal (1963) yang memperoleh penghargaan Prix Renaudot pada tahun yang sama dengan terbitnya roman tersebut. Selanjutnya ia menulis beberapa karya lain: La fièvre (1965), Le déluge (1966), Terra amata (1967), Le livre des fuites (1969), La guerre (1970) and Les géants (1973). Eksistensinya sebagai penulis semakin diakui ketika ia menerima penghargaan Grand Prix Paul Morand de l’Académie française atas romannya yang berjudul Désert (1980).
3
Le Clézio memiliki minat yang besar tentang kebudayaan suku-suku terasing. Ia menulis beberapa esai dan roman mengenai spiritualisme suku Indian dan peradaban Meksiko saat ia tinggal di Meksiko dan Amerika Tengah antara tahun 1970 hingga 1974: Haï (197), Voyage de l’autre côté (1975), dan Le rêve mexicain ou la pensée interrompue (1998). Ia mendokumentasikan tentang kehidupan masyarakat di sebuah pulau di Samudra Hindia yang semakin menghilang karena dampak globalisasi dalam roman Le cercheur d’or (1985) dan Ourania (2005). Ia juga menulis roman Raga: approche du continent invisible (2006) yang berkisah tentang karakter utama yang menemukan koloni di sebuah lembah terpencil di Meksiko yang berusaha mengembalikan kembali keharmonisan di zaman keemasan masa lalu1. Tema yang diangkat dalam karya Le Clézio kemudian berubah menjadi memori masa kecil dan sejarah keluarganya. Segala ingatan masa lalu tersebut ia terjemahkan dalam bentuk verbal: Onitsha (1991), La quarantaine (1995), Révolutions (2003) dan L’Africain (2004). Révolutions diakui sebagai sebuah karya yang merangkum tema-tema penting dalam karyanya, yaitu memori, eksil, orientasi masa remaja, serta konflik kultural2. Révolutions mengisahkan tentang beberapa episode yang terjadi pada latar waktu dan tempat yang beragam serta dikisahkan dari tiga sudut pandang tokoh
1
Svenska Akademien, The Nobel Prize in Literature 2008,[pdf], (http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2008/bio-bibl.html, diakses pada 23 Juli 2013) 2
ibid
4
yang berbeda. Tokoh pertama Jean Eudes Marro hidup pada masa Perang Revolusi Prancis 1792-1794. Keikutsertaannya dalam perang dan ideologinya mengenai republik dan sekularisme menyebabkan Jean harus menghadapi tekanan dari masyarakat konservatif di kampung halamannya. Republik yang ia bela pun mengkhianatinya dengan munculnya dekrit-dekrit baru dari pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan identitas baru bangsa Prancis setelah Revolusi dengan cara merepresi identitas kultural dari masyarakat-masyarakat tradisional. Berbagai tekanan sosial ini mendorongnya untuk eksil ke Mauritania, seperti petikan kalimat berikut: La vérité, c’est que Les Naour ne m’avaient pas accepté. J’étais orphelin de père, sans argent, il n’était pas question que j’aie des droits sur leurs terres. La rigueur de l’hiver avait endurci leur âme, les avait révélés sous les traits de fermiers âpres et avaricieux. Et puis, il y avait mon passé de révolutionnaire, les idées que je ne cachais pas, sur la république et la nouvelle constitution laïque.(Clézio, 2003 : 178) Kenyataannya adalah keluarga Naour tidak menerimaku. Aku tidak memiliki ayah, miskin, dan tidak ada pertanyaan bahwa aku berhak atas tanah mereka. Musim dingin yang kejam telah mengeraskan hati mereka, yang mengungkapkan kekejaman dan kekikiran di balik karakter petani tersebut. Dan kemudian ada masa lalu revolusionerku, ide-ide yang tidak kusembunyikan, mengenai republik dan kontitusi baru yang sekuler.
Tokoh kedua merupakan keturunan Jean Eudes Marro yang bernama Jean Gildas Marro. Ia hidup di Nice ketika terjadi Perang Kemerdekaan Aljazair pada tahun 1954. Ia menyaksikan gelombang pengungsi dari Aljazair, temantemannya yang harus memenuhi tugas wajib militer dan salah satunya tewas di medan perang, serta berita mengenai korban jiwa yang ia temukan di berbagai 5
media masa. Ia memutuskan untuk tidak terlibat dalam perang yang tidak ia dukung tersebut. Ia menghindari tugas wajib militernya dengan melanjutkan pendidikan di London. Tokoh ketiga bernama Kiambe, seorang gadis kulit hitam dari Mozambik yang diculik dari keluarganya untuk dijual sebagai budak di Mauritania pada akhir abad 19. Ia menjadi objek kekerasan yang dilakukan oleh sesama orang kulit hitam yang menjualnya sebagai budak, oleh tuannya yang merupakan orang kulit putih, serta oleh suaminya yang juga merupakan budak kulit hitam. Lelah akan kekerasan yang terus dialaminya ia memutuskan untuk kabur dari suaminya dan bergabung dengan pemberontakan yang dilakukan oleh para budak kulit hitam. Kekerasan yang terjadi kepada Kiambe bisa dilihat dalam petikan kalimat berikut: Et Lubin mon mari se saoulait au tafia chaque nuit et me battait, il me haïssait parce que je me refusais à lui, et quand j’ai attendu un enfant j’étais allée voir une sorcière qui m’a fait manger de la terre mêlée aux plantes pour avorter. (Clézio, 2003 : 433) Dan Lubin suamiku yang mendapat mabuk setiap malam oleh rum dan memukuliku, Ia membenciku karena saya menolaknya, dan ketika mengandung anaknya aku pergi menemui seorang dukun yang menyuruhku memakan tanah bercampur tanaman untuk menggugurkan kandunganku.
Terdapat benang merah dari ketiga tokoh dalam kisah tersebut, mereka berada dalam keadaan ketika terdapat satu pihak, baik individu maupun institusi, yang memiliki kepentingan tertentu dan melakukan beberapa tindakan supaya orang lain mengikuti keinginannya. Pada tokoh pertama, masyarakat konservatif 6
menginginkan kebebasan beragama dan mereka melakukan tindakan penolakan terhadap individu yang mendukung ideologi sekularisme. Pada tokoh kedua terdapat motivasi negara untuk mempertahankan koloninya dan mewajibkan setiap laki-laki dewasa untuk turut dalam Perang Kemerdekaan Aljazair sebagai usaha untuk menghentikan proses dekolonialisasi. Pada tokoh terakhir terdapat kepentingan ekonomi suatu kelompok untuk mendapatkan profit dengan cara menculik dan menjual orang kulit hitam sebagai budak serta kepentingan suami yang akan pemenuhan kebutuhan seksual sehingga ia menggunakan kekerasan supaya istrinya menuruti keinginannya. Upaya yang dilakukan oleh satu pihak untuk mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain untuk mengikuti kepentingannya merupakan kekuasaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kuasa sebagai kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan, serta pengaruh yang ada pada seseorang karena jabatannya 3. Namun kekuasaan tidaklah terjadi dalam suatu ruang kosong di mana tidak terdapat pihak lain yang mengkontestasinya. Jaringan dari relasi-relasi kekuasaan merupakan kontestasi antara kekuatan dan kepentingan yang berbeda. Akan selalu ada pihak lain dengan kepentingannya yang bertolakan dengan pihak yang menerapkan kekuasaan dan pihak tersebut akan berusaha menegosiasikan kepentingannya dengan kekuasaan yang diterapkan atasnya. Salah satu upaya dari negosiasi terhadap kekuasaan tersebut adalah dengan melawan.
3
http://kbbi.web.id/kuasa diakses pada 23 Juli 2013
7
Perlawanan merupakan tindakan oposisi terhadap kekuasaan yang ada dan perlawanan ini pula yang mengkonstitusi suatu hubungan bisa disebut sebagai relasi kekuasaan. Perlawanan selalu ada di dalam hubungan kekuasaan dan keberadaan kekuasaan tergantung kepada perlawanan (Foucaut, 1978: 95). Tanpa adanya suatu bentuk oposisi maka praktik menguasai tidak akan diperlukan saat tidak adanya konflik kepentingan karena pada intinya menguasai adalah mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang ia tak mungkin lakukan dalam keadaan lain saat tidak ada apapun yang mempengaruhinya. Unsur perlawanan di dalam kekuasaan menyebabkan kekuasaan sebagai sesuatu hal dinamis yang mampu menghasilkan perubahan-perubahan. Judul roman ini merefleksikan unsur terbesar dalam kisahnya yaitu revolusi, suatu perubahan radikal atas tatanan yang telah lama ada. Tokoh-tokoh dalam roman ini menjadi saksi perubahan konstitusi selama Revolusi Prancis, pemberontakan yang dilakukan budak-budak kulit hitam di Mauritania pada tahun 1892 untuk menuntut persamaan hak dalam masyarakat kolonial, peperangan yang mengubah Aljazair dari suatu negara jajahan menjadi negara yang merdeka, serta Revolusi dilakukan oleh para pelajar di Meksiko. Namun usaha perlawanan tak hanya dijelaskan sebagai latar cerita saja melainkan dipaparkan sebagai tindakan para tokoh di dalamnya untuk mencapai apa yang dicitakan oleh mereka. Mereka memilih untuk melakukan konfrontasi terhadap yang mempraktikkan kekuasaan atas mereka, ada pula yang melawan dengan melakukan hal yang bertolakan dari maksud kekuasaan tersebut, dan sebagian ada yang memilih untuk mengatur kembali hierarki prioritas mereka sehingga lebih baik diam, bertahan serta 8
menunggu saat yang tepak untuk melawan daripada mempertahankan kepentingan namun harus mengorbankan hak-hak dasar yang lain. Roman Révolutions menarik untuk dikaji lebih lanjut karena di dalamnya terdapat berbagai bentuk kontestasi kepentingan dalam konteks sosial, ekonomi maupun politik yang terjadi dalam beberapa kurun waktu. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis aksi yang dilakukan oleh para tokoh untuk menegosiasikan kepentingan mereka dengan kekuasaan yang dipraktikan atas mereka. 1.2 Rumusan Masalah Secara umum manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan untuk membentuk keinginannya dan mampu melakukan usaha untuk meraih keinginan tersebut. Akan tetapi dalam kehidupan yang terjadi atas berbagai interaksi sosial, tidak terhindarkan adanya individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan lain dan berusaha mempengaruhi tindakan manusia tersebut sebagai bentuk kekuasaan. Sebagai bentuk respon terhadap kekuasaan tersebut, manusia melakukan negosiasi-negosiasi terhadap kekuasaan yang ada untuk memperjuangkan kepentingannya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada roman Révolutions, maka penulis merumuskan permasalahan terkait dengan pembahasan di atas, yaitu: 1. Bagaimana negosiasi dilakukan untuk merespon kekuasaan dalam roman Révolutions?
9
2. Apa strategi yang digunakan dalam negosiasi terhadap kekuasaan tersebut? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa tujuan, yaitu tujuan teoritis yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan teori yang penulis gunakan serta tujuan praktis yang terkait dengan maksud dan tujuan analisis serta penerapannya dalam kehidupan nyata. Tujuan teoritis penulis yaitu menelaah serta mengelaborasi roman Révolutions untuk mengetahui kekuasaan yang terjadi pada abad 19 serta abad 20 serta perlawanan yang dilakukan sebagai upaya negosiasi terhadap kekuasaan tersebut. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui relasi antara teori sosiologi dengan konsep kekuasaan dan perlawanan yang terdapat dalam konten roman. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru di masyarakat mengenai bagaimana perlawanan selalu mungkin terjadi terhadap kekuasaan yang ada. Penulis juga ingin memberi suatu kontribusi pemikiran bagi masyarakat yang mengapresiasi sastra bahwa karya sastra memiliki banyak pesan yang dapat dieksplorasi dari berbagai perspektif untuk semakin mengembangkan sastra di masa depan.
10
1.4 Tinjauan Pustaka Penulisan skripsi dengan menggunakan objek material roman Révolutions karya Jean Marie Gustave Le Clézio merupakan yang pertama kali dilakukan walaupun karya Le Clézio yang lain telah banyak diteliti sebelumnya. Penelitian mengenai karya Jean-Marie Gustave Le Clézio telah dilakukan oleh D. A. A Candra Hari dalam skripsinya yang berjudul Perjuangan Untuk Kebebasan dan Strategi Bertahan dalam Roman Dessert karya Jean-Marie Gustave Le Clézio. Dalam skripsi tersebut peneliti menganalisis mengenai bentuk perjuangan untuk mencapai kebebasan serta strategi bertahan dalam menghadapi kolonialisasi maupun keadaan di negara yang baru sebagai imigran. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa keinginan untuk mencapai kebebasan muncul dalam wujud kesadaran bahwa suatu konstruksi sosial tidak berjalan sesuai kaidahnya sehingga memunculkan suatu bentuk perlawanan. Penelitian selanjutnya mengenai negosiasi terhadap kekuasaan ditulis oleh Aya Sofia dalam skripsinya yang berjudul Kesadaran, perlawanan dan kebebasan perempuan dalam film Je Reste karya Diane Kurys. Skripsi ini meneliti tentang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri
menggunakan
teori
eksistensialisme
Jean
Paul
Sartre
dan
teori
eksistensialisme feminis oleh Simone de Beauvoir. Penelitian ini menjelasakan bentuk tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri serta dampak yang ditimbulkan kepada istri. Sedangkan
permasalahan kedua ialah bentuk
perlawanan apa yang dilakukan istri terhadap suami sehingga ia akhirnya menemukan kebebasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa suami melakukan 11
kekerasan verbal dan kekerasan simbolik yang berdampak secara psikis terhadap istri.
Akibat
kekerasan
tersebut,
istri
melakukan
perlawanan
berupa
pemberontakan kepada suami sehingga ia mampu meraih eksistensinya sebagai seorang istri. Berikutnya terdapat skripsi yang ditulis oleh Bayu Nurwijaya. Skripsi mengenai Kesadaran, Perlawanan dan Kebebasan dalam La Peste dan Siti Jenar: Pendekatan Struktural Gilles Deleuze tersebut membandingkan kesadaran, perlawanan dan kebebasan dalam dua roman menggunakan persepsi struktural Gilles Deleuze yang menggunakan tujuh criteria le symbolique, local ou de position, le difference et le singulier, le differencient et la differenciation, seriel, la case vide, dan du sujet à la pratique. Selain itu juga digunakan teori eksistensial untuk menganalisis konsepsi-konsepsi kesadaran, pemberontakan dan kebebasan manusia. Bersadarkan keterangan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa hingga saat ini penelitian yang bertemakan kekuasaan dan perlawanan dengan menggunakan objek material roman berjudul Révolutions karya Jean-Marie Gustave Le Clézio belum pernah dilakukan. Karya ini akan menjadi skripsi pertama yang mengkaji objek material tersebut di program studi Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya UGM. 1.5 Landasan Teori Teori adalah konsep abstrak yang digunakan untuk mendeskripsikan maupun menjelaskan fenomena yang menjadi fokus penelitian. Teori memiliki 12
fungsi sebagai pemberi justifikasi terhadap pemilihan dan penggunaan variabel dalam model penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian. 1.5.1 Kekuasaan Dalam teorinya mengenai kekuasaan Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan bukanlah yang dimiliki suatu subjek serta kekuasan merupakan dilaksanakan dari berbagai titik dan terdapat dalam setiap hubungan yan tidak setara dan dinamis (Foucault, 1978: 94). Foucault menegasikan konsep tradisional mengenai yang memperlakukan kekuasaan sebagai suatu komoditas ataupun atribut yang bisa dimiliki sehingga kekuasaan berfokus kepada individu yang kuat atau berkuasa. Apabila sebelumnya kekuasaan dianggap berada pada kelompok dominan tertentu, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang terkonsentrasi pada individu, kelompok ataupun kelas tertentu melainkan setiap orang ataupun entitas merupakan subjek dari kekuasaan karena kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat dimonopoli oleh siapapun. Karena kekuasaan bukanlah suatu substansi yang bisa dimiliki, maka kekuasaan merupakan sesuatu yang relasional. Jaringan antar individu dan kelompok
menciptakan
munculnya
adanya
relasi
kekuasaan.
Foucault
beranggapan bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang multidireksional, artinya kekuasaan terjadi dalam berbagai arah. Kekuasaan tidak hanya berasal dari yang lebih berkuasa kepada yang kurang berkuasa atau yang dominan kepada yang marjinal, melainkan kekuasaan juga berasal dari bawah atau orang yang dianggap lebih lemah ataupun kurang berkuasa. Namun klaim ini tidak berarti bahwa setiap 13
orang memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan karena sebagaimana yang ia cetuskan, terdapat ketidaksetaraan dalam hubungan kekuasaan. Singkatnya untuk memahami teori Foucault, kekuasaan berada di manamana dan memainkan peran di semua bentuk hubungan dan interaksi karena tidak ada kekuasaan yang dapat dijalankan oleh satu kelompok saja. Kekuasaan tidak berada di luar hubungan sosial akan tetapi kekuasaan masuk ke dalam setiap hubungan sosial yang ada. 1.5.2 Perlawanan Kekuasaan menurut Foucault bukanlah sesuatu yang absolut dan berdiri sendiri. Pada teori yang ia jelaskan dalam bukunya The History of Sexuality, Will to Knowledge, di mana terdapat kekuasaan maka terdapat pula perlawanan, dan sebagai konseskuensinya perlawanan ini tidak berada dalam posisi di luar relasi kekuasaaan (Foucault, 1978: 95). Menurut pendapat tersebut, tidak ada kekuasaan tanpa adanya kemungkinan adanya penolakan atau perlawanan. Kekuasaan hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat kemungkinan adanya oposisi terhadap kekuasaan tersebut karena tanpa adanya perlawanan, kekuasaan hanya akan menjadi alat yang digunakan oleh siapapun yang melaksanakan kekuasaan tersebut terhadap kita, alih-alih kita berlaku sebagai agensi yang memiliki hak di mana aksi yang dilakukan bisa jadi dipengaruhi oleh pihak lain namun kita tidaklah sepenuhnya dikontrol. Tanpa perlawanan, relasi kekuasaan tidak akan terjadi karena yang ada hanyalah kepatuhan sedangkan relasi kekuasaan lebih merujuk kepada situasi di 14
mana kekuasaan tersebut membuat satu pihak melakukan suatu hal yang tidak akan mereka lakukan pada situasi lain di mana kekuasaan tersebut tidak dipraktikan. Kekuasaan
dan
perlawanan
dipandang
sebagai
dua
hal
yang
berdampingan. Sebagaimana kekuasaan tidak akan terjadi tanpa adanya kemungkinan perlawanan, perlawanan juga tidak akan terjadi tanpa adanya relasi kekuasaan atasnya. Karena perlawanan merupakan suatu aksi yang merespon aksi yang lain, tanpa adanya relasi kekuasaan perlawanan hanyalah suatu bentuk aksi bukanlah rekasi atas aksi yang lain. Sebagaimana yang diutarakan oleh Foucault, perlawanan tidak berada dalam posisi di luar relasi kekuasaan melainkan berada di dalam relasi kekuasaan tersebut. Perlawanan tidak hanya terjadi dalam satu titik tertentu namun bisa terjadi di manapun dalam relasi kekuasaan yang ada. Dengan adanya perlawanan, kekuasaan menurut Foucault merupakan sesuatu yang produktif. Berbeda dengan konsep kekuasaan tradisional yang menganggap kekuasaan sebagai sesuatu yag negatif karena sifatnya yang dominan dan represif, kekuasaan menurut Foucault merupakan sesuatu yang produktif karena penggunaan kekuasaan dapat menghasilkan konsekuensi yang positif berkat interaksi relasi kekuasaan dengan perlawanan yang terjadi di dalam jaringan kekuasaan tersebut. Perlawanan menurut Foucault bisa terjadi dalam berbagai bentuk yaitu perlawanan yang diametris maupun transversal (Kelly, 2009: 109). Perlawanan 15
diametris di sini merupakan perlawanan yang tepat berlawanan dengan apa yang dimaksudkan oleh kekuasaan. Kemampuan orang untuk berkata tidak merupakan bentuk minimum dari perlawanan yang bersifat diametris atau oposisi mutlak. Perlawanan traversal adalah perlawanan yang menuju arah berlawanan dari strategi kekuasaan yang ada. Contohnya apabila seseorang memaksa kita untuk berdiri, kita bisa saja memilih untuk melawan dengan melakukan sesuatu yang lain yaitu berbaring di lantai. Dalam teori Foucault mengenai perlawanan, perlawanan terjadi dalam dua level yaitu mikro dan makro (Kelly, 2009: 109-110). Perlawanan dalam level mikro adalah perlawanan yang terjadi pada level individu. Sedangkan perlawanan dalam level makro adalah perlawanan yang bersifat kolektif untuk melawan kekuasaan yang lebih kompleks. Perlawanan pada level makro membutuhkan suatu strategi untuk dapat mengimbangi kekuasaan atasnya. Strategi perlawanan harus mampu mempersatukan banyak orang, harus kompleks dan mampu mengimbangi kekuasaan secara dinamis. Bentuk perlawanan ini terjadi pada pergerakan pemberontakan di mana pemimpin pemberontak harus mengorganisasi orang-orang lain sehingga dalam strategi perlawanan juga terdapat relasi kekuasaan. Roman Révolutions sarat akan tindakan-tindakan yang diungkapkan oleh Michel Foucault dalam konsep kekuasaan dan perlawanan. Kekuasaan terjadi dalam berbagai relasi sosial yang ada, baik itu antara suami dan istri, antara kelompok rasial, antara negara dengan individu dan kelompok masyarakat maupun kelompok masyarakat dengan individu. Untuk menentang kekuasaan 16
yang ada, perlawanan terjadi tidak hanya dalam level individu namun juga terjadi strategi kolektif. Roman Révolutions memiliki tiga karakter utama yang hidup pada masa dan tempat yang berbeda sehingga bentuk kekuasaan dan perlawanan yang dialami juga tidak sama antara satu sama lain. Berdasarkan pengamatan penulis, teori maupun konsep tersebut dirasa sangat relevan untuk digunakan dalam menunjang proses analisis dengan sudut pandang yang lebih spesifik. 1.6 Metode dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini ialah metode analisis isi yaitu suatu teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. Dasar metode ini adalah penafsiran isi pesan dengan cara memaknakan isi interaksi simbolik dalam komunikasi (Ratna: 2011, 48-49). Datadata yang digunakan dalam metode ini meliputi kalimat yang ditemukan di dalam karya tersebut. Data utama dalam penelitian ini adalah roman Révolutions karya JeanMarie Gustave Le Clézio. Penulis mengambil data terkait perlawanan terhadap kekuasaan melalui kutipan-kutipan di dalam roman.
Data pendukung yang
membantu proses analisis meliputi buku-buku teori sastra dan teori sosiologi Michel Foucault mengenai kekuasaan dan perlawanan. Selain itu, penulis juga memanfaatkan situs internet serta penelitian terdahulu sebagai sarana penunjang untuk mengakses data-data lain demi kelancaran penelitian ini.
17
Terdapat empat tahap dalam melakukan analisi data menggunakan metode analisis isi. Penelitian dengan menggunakan analisis data dilakukan melalui empat tahap. Pertama, penulis akan melakukan pembacaan secara berulang-ulang sehingga cerita dapat dipahami dan diinterpretasikan dengan baik. Kedua, dilakukan pencarian unsur-unsur yang berkaitan dengan perlawanan serta strategi perlawanan. Ketiga, data yang diperoleh diklasifikasikan menurut kategorikategori yang telah ditentukan. Perlawanan sebagai negosiasi kekuasaan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu aksi langsung, tindakan oposisi dan perlawanan kontradiktoris. Selain itu juga terdapat empat kategori strategi perlawanan, yaitu strategi ekonomi dan logistik, strategi pengetahuan, strategi status dan strategi kepercayaan. Keempat, data yang telah diklasifikasikan dianalisis dengan menggunakan teori yang telah dipilih. Pengklasifikasian data dilakukan dengan membuat tabel yang terdiri dari nomor, kutipan, halaman serta kategori data. Tabel ini memudahkan proses analisis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Keseluruhan permasalahan dalam roman akan dijelaskan secara rinci dengan menerapkan teori yang telah dipersiapkan dengan menitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan yang ingin diungkapkan. Setelah berhasil mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian diakhiri dengan menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah selesai dilakukan.
18
1.7 Ruang Lingkup Penelitian dengan metode seperti yang telah diungkapkan di atas dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penelitian bermula pada penjelasan mengenai kekuasaan dan perlawanan dengan mengkaitkan kondisi sosial yang terjadi dibalik roman tersebut. Selanjutnya, persoalan yang muncul dianalisis dengan menerapkan teori sosiologi dari Michel Foucault untuk mendapatkan usaha negosiasi terhadap kekuasaan dan strategi yang digunakan dalam usaha negosiasi tersebut untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua. Penelitian ini dibatasi pada perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh terhadap kekuasaan yang dipraktikan atas mereka sesuai dengan karakteristik masing-masing cerita. 1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian dalam roman Révolutions karya JeanMarie Gustave Le Clézio dapat dijelaskan sebagai berikut: -
BAB I: Mencakup pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, ruang lingkup, dan sistematika penyajian. Sudut pandang pembahasan
menekankan
pada
rumusan
permasalahan
yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan perlawanan. Teori-teori yang dipilih oleh penulis juga dijelaskan untuk mengungkap permasalahan dan menemukan jawaban yang paling tepat.
19
-
BAB II: Mencakup pembahasan berupa jawaban dari pertanyaan pertama yang diajukan pada bab sebelumnya. Bab ini berfokus pada klasifikasi dan analisis upaya negosiasi terhadap kekuasaan.
-
BAB III: Mencakup penjelasan dan jawaban atas pertanyaan kedua. Bab ini menganalisis dan mengklasifikasi strategi-strategi perlawanan yang dilakukan untuk merespon kekuasaan yang dilakukan terhadap tokohtokoh dalam cerita.
-
BAB IV: Mencakup pembahasan ringkas mengenai kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan seluruh uraian dan pembahasan dalam analisis bab II dan bab III, daftar pustaka yang memuat judul-judul sumber data, bukubuku, serta tulisan-tulisan yang berfungsi sebagai referensi yang digunakan oleh penulis, dan lampiran sinopsis roman Révolutions.
20