BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau yang sering disebut sebagai pahlawan devisa bagi negara Indonesia sering kali tidak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang pahlawan; seperti hak-hak mereka untuk diberi perlindungan, gaji yang layak, perlakuan yang semestinya bahkan kesempatan untuk cuti pulang ke negara asalnya. Meskipun demikian usaha mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak dengan cara pergi ke luar negeri, tentu harus mengorbankan banyak hal termasuk waktu bersama keluarga di tanah air. Dewasa ini media justru menayangkan hanya berita-berita yang bernada negatif terkait TKI di luar negeri. Misalnya tentang banyaknya kekerasan yang dilakukan majikan terhadap TKI, dan juga kasus lain seperti TKI yang terancam hukuman mati. Hal tersebut membentuk pola pikir masyarakat Indonesia bahwa TKI hanyalah pekerja kasar yang mengadu nasib di luar negeri dengan mempertaruhkan nyawanya, karena belum tentu mereka dapat kembali ke tanah air dalam keadaan “utuh”. Fakta seputar TKI yang terancam hukuman mati di negara lain tentu sangat mengawatirkan sejumlah pihak terutama keluarga yang bersangkutan,
1
pasalnya terpidana mati baru bisa dibebaskan dari hukuman mati apabila ada uang tebusan yang dibayarkan sebagai ganti rugi bagi pihak korban. Salah satu contohnya adalah kekecewaan pemerintah dan masyarakat Indonesia atas eksekusi hukuman mati yang diberikan kepada Siti Zaenab pada Selasa, (14/4/2015) siang waktu Indonesia, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Siti dijatuhi hukuman mati sejak tahun 2001, karena menjambak dan menusuk perut majikannya. Menurut pengakuannya ia hanya berusaha untuk membela diri dari usaha pemerkosaan yang hendak dilakukan majikannya. Protes keras dari pemerintah Indonesia juga telah ditujukan kepada pemerintah Saudi Arabia yang terlambat memberikan informasi sebelum dilaksanakannya eksekusi mati.1 Berita yang ditayangkan di stasiun televisi lokal Indonesia seolah tidak berpihak kepada usaha pemerintah untuk menangani kasus TKI. Asumsi tersebut diutarakan peneliti karena berita-berita yang disiarkan tentang TKI, mayoritas adalah berita-berita negatif. Namun faktanya tidak semua TKI yang bekerja di luar negeri mengalami masalah yang serupa. Selain media, asumsi bahwa hukum Indonesia tidak cocok dengan norma dan hukum yang berlaku di Saudi Arabia juga menjadi alasan mengapa banyak TKI Indonesia yang terancam hukuman mati. Berangkat dari fakta dan opini peneliti di atas, penelitian mengenai Kebijakan Pemerintah terhadap TKI yang akan dihukum Mati di Saudi Arabia 2
pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Terlebih sampai pada masa pemerintahan Presiden yang baru yakni Joko Widodo, permasalahan TKI masih terus bermunculan. Fokus penelitian dikhususkan pada TKI yang ada di Saudi Arabia karena berdasarkan data
Pengaduan TKI
tahun 2010-2013 Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), negara Saudi Arabia lah yang menempati tempat teratas dengan jumlah kasus yang diadukan sebesar 31.676 kasus pada tahun 2010 2, seperti yang dapat dilihat pada tabel tersebut :
Tabel 1.1 PELAYANAN TKI BERMASALAH MENURUT NEGARA di Badan Pemeriksa Keuangan-TKI (BPK-TKI) Selapajang Tangerang (Tahun 2010-2013) Sumber data : PUSAT PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INFORMASI (PUSLITFO BNP2TKI)
3
Penelitian akan fokus pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua, dimana kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dipertaruhkan. Skripsi ini ditulis dengan data Pengaduan TKI tahun 2010-2013 BNP2TKI yang terdiri dari berbagai jenis permasalahan, ditunjukkan penurunan angka yang signifikan. Hal tersebut membuat peneliti berasumsi bahwa kebijakan pemerintah efektif untuk mengatasi permasalahan yang ada.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Pembahasan topik ini dimulai dari periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode ke 2 dengan cakupan tahun 2010-2013. Bahasan penelitian ini meliputi Kebijakan Luar Negeri pemerintah Indonesia terhadap TKI, selain itu peneliti juga akan meneliti bagaimana manajemen sebelum dan sesudah TKI dikirim ke luar negeri, dan perlindungan seperti apa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada TKI yang bekerja di luar negeri. Selain membahas kebijakan pemerintah Indonesia, penelitian ini juga akan membahas bagaimana pengaruh positif maupun negatif bagi kebijakan moratorium yang dibentuk pemerintah Indonesia terhadap TKI yang hendak ke Saudi Arabia.
4
Adapun Rumusan Masalah dalam skripsi ini : 1. Bagaimana Kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap TKI yang terancam Hukuman Mati di Saudi Arabia tahun 2010-2013 dilaksanakan? 2. Apakah dampak Kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap TKI yang terancam Hukuman Mati di Saudi Arabia tahun 2010-2013 sudah sesuai dengan target pemerintah?
C. TUJUAN DAN MANFAAT Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia terkait TKI yang akan dihukum mati di Saudi Arabia. 2. Untuk mengetahui manajemen sebelum dan sesudah TKI di kirim ke luar negeri 3. Untuk mengetahui apa saja yang diusahakan oleh pemerintah Indonesia untuk membebaskan TKI yang akan dieksekusi mati di Saudi Arabia.
5
Berkaca pada tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti, maka penelitian ini tentu diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara akademis maupun secara praktis. 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan secara teoritis khususnya bagi peneliti, dan juga dapat bermanfaat untuk para civitas akademika agar lebih tahu tentang bentuk kebijakan pemerintah Indonesia terkait TKI dan bagaimana usaha pemerintah membebaskan TKI yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia. 2. Manfaat Praktis Melalui penelitian ini, upaya untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya tentang usaha pemerintah dalam melindungi rakyatnya khususnya TKI yang ada di luar negeri. Bahkan dapat mengubah pandangan masyarakat tentang TKI yang notabene adalah pahlawan devisa bagi negara Indonesia.
D. Studi Literatur Pada pengerjaan penelitian ini, peneliti menemukan hal-hal yang masih perlu untuk dikaji ulang. Berikut adalah beberapa temuan yang ditemui saat studi literatur :
6
1. An Comparative Introduction : Foreign Policy Analysis, karya Marijke Breuning Buku ini menjelaskan tentang pentingnya mempelajari Politik Luar Negeri yang lebih menekankan pada agen pembuat kebijakan dan apa saja yang mempengaruhi suatu kebijakan luar negeri dibuat. Terdapat tiga objek kajian dalam Analisis Politik Luar negeri. Objek pertama, decission yang mana analisis dititik beratkan pada individu. Pada konteks ini individu merujuk pada pemimpin negara. Pada objek ini akan membahas tentang bagaimana dan dimana proses kebijakan dibuat. Selain itu objek ini juga menganalisis apakah seorang pemimpin negara juga melibatkan stafnya untuk bersama-sama memikirkan keputusan yang akan diambil, bahkan siapa saja pihak-pihak yang diakui oleh seorang presiden sebagai decission unit atau pertimbangan kebijakan. Objek yang kedua, behaviour yang akan membahas tentang bagaimana manajemen kepemimpinan presiden dan cara mengambil keputusan. Objek ketiga adalah outcomes yang mengacu kepada hasil dari pada kebijakan yang telah diambil. Selain itu buku ini juga banyak menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri diambil oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu buku ini mampu dan relevan untuk 7
menunjang peneliti dalam menganalisis bagaimana kebijakan pemerintah luar negeri Indonesia terkait kasus TKI di Saudi Arabia.
2. The New Foreign Policy : Foreign policy Analysis : Continuity and Change in Its Second Generation, karya Laura Neack, Jeanne A. H. Key, dan Patrick J. Haney Berdasarkan studi literatur yang dilakukan pada buku ini, ditemukan beberapa pembahasana tentang kebijakan luar negeri yang
akan
sangat
membantu
peneliti
dalam
menganalisis
permasalahan tentang kebijakan luar negeri Indonesia. Pada buku ini pembaca akan menemukan tentang bagaimana struktur dan proses dalam menganalisis kebijakan luar negeri terutama dalam keadaan krisis. Istilah “struktur” dalam konteks ini mengacu pada tatanan organisasi yang mana di dalamnya terdapat proses-proses pembuatan kebijakan luar negeri. Faktor-faktor yang membentuk hasil dari proses pembuatan kebijakan antara lain; kesempatan untuk memutuskan, individu atau pemimpin, dan organisasi yang berada di belakang individu. Faktanya adalah para pembuat keputusan tidak hanya bekerja secara individu saat membuat
8
kebijakan luar negeri, namun mereka juga berada dalam pengaruh lingkungan organisasi. 3 Menurut beberapa literatur yang dimiliki oleh peneliti, ia juga menyoroti
tentang
bagaimana
Presiden
Amerika
Serikat
mengkoordinasi “White House” dalam membuat kebijakan dengan awal dimulainya penelitian tentang dampak apa saja kemungkinan yang akan muncul atas pembuatan kebijakan tersebut. 4 Selain itu peneliti juga membahas tentang bagaimana presiden juga belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin terdahulu dalam membuat kebijakan. Lalu terdapat pula pembahasan yang menyatakan bahwa cara presiden mempimpin atau mengorganisir grup penasehat bisa saja memiliki dampak yang penting dan iklim politik juga berdampak pada proses pembuatan kebijakan. Hal ini sering disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan formal dikarakteristikkan dengan tertibnya tatanan pembuatan kebijakan yang mencari keuntungan dari berbagai macam prespektif. Gaya ini juga menekan terjadinya konflik terbuka. Selain gaya kepemimpinan formal, terdapat gaya kepemimpinan kompetitif. Gaya kepemimpinan ini mendukung sudut pandang konflik, tetapi juga bisa menyebabkan kekacauan dan kegagalan dalam memberikan informasi yang jelas 9
dan ringkas kepada pemimpin. Gaya kepemimpinan berikutnya adalah kolegial. Gaya kolegial ini mencoba menyediakan tatanan dan cenderung menekan konflik, melalui diperbolehkannya seorang wakil untuk memimpin agenda kebijakan luar negeri yang dirasa terlalu berat bila dikerjakan sendiri.5 Kata struktur dan proses pada situasi krisis memiliki makna yang penting. Krisis adalah situasi yang terbentuk oleh cara pandang atau presepsi dari pengambil keputusan tentang ancaman serius terhadap nilai-nilai nasional atau kepentingan yang ada. Krisis merupakan situasi yang melibatkan kemungkinan yang besar yang dapat menyerang negara. Pada situasi ini, pandangan yang dominan mulai terbentuk, pembuatan keputusan dikontrol oleh sekelompok elit pemimpin dan orang yang berpengaruh. Mereka diatur oleh presepsi individual akibat situasi tadi.6 Setelah membahas tentang krisis dan struktur, penting juga dibahas tentang apa itu proses dalam kebijakan luar negeri. Proses mengacu pada langkah-langkah dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh kelompok yang memimpin mereja pada kebijakan yang sedang dibuat, seperti mengonsep tujuan dan objektivias, mencari informasi dan membangun rencana-rencana yang memungkinkan.7
10
Menurut Janis’s Groupthink, groupthink adalah saat individu dalam suatu grup mencari kebulatan suara atau persetujuan pada kalayak luas yang mana mereka secara waspada melakukan tugastugas membuat kebijakan. Namun keberadaan groupthink ini sendiri dapat memicu munculnya kegagalan atau malfunction yang berupa kegagalan untuk menyurvei objektivitas, kegagalan untuk menyurvei alternatif, kegagalan untuk menaksir kembali alternatif yang ditolak asalnya, kegagalan untuk menguji resiko-resiko dari pilihan-pilihan yang disukai, kegagalan mencari informasi, kegagalan untuk memproses informasi.8 Pembahasan-pembahasan
mengenai
gaya
kepemimpinan,
struktur pemerintahan, situasi dalam membuat kebijakan dan juga tadi menjadi relevan dan mampu melengkapi data untuk penelitian ini supaya bisa menganalisis lebih lanjut tentang bagaimana proses pembuatan kebijakan pemerintah Indonesia terkait TKI yang dihukum mati di Saudi Arabia.
11
3. Human Rights Watch : As If I am not Human (Abuses against Asian Domestic Workers in Saudi Arabia) diterbitkan oleh Human Right Watch Buku ini merupakan literatur yang menarik untuk dijadikan bahan analisis bagi peneliti tentang kebijakan pemerintah Indonesia terkait maraknya kasus TKI yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia. Buku ini memuat kisah-kisah penyiksaan yang dialami para pekerja khususnya pekerja wanita dari Asia yang ada di Saudi Arabia. Pekerja wanita yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga kerap kali dianggap sebagai pekerja kasar yang boleh diperlakukan menurut kehendak majikannya.
9
Meskipun demikian, penghasilan
berupa remitan yang diperoleh oleh pekerja ini memiliki peran yang penting bagi pemasukan negara. Bahkan di Indonesia mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa.10 Menurut literatur, pekerja yang berasal dari penduduk Saudi Arabia sendiri jumlahnya lebih sedikit dibanding pekerja yang berasal dari luar negeri. Itu artinya permintaan terhadap pekerja dari luar negeri sangatlah banyak.11 Hal tersebut diimbangi dengan fakta bahwa Indonesia menjadi pengekspor tenaga kerja ke Saudi Arabia dengan jumlah yang besar.
12
Literatur di atas relevan untuk mampu memberikan data tambahan tentang contoh-contoh kasus TKI yang bermasalah di Saudi Arabia dan apa saja upaya dari masing-masing pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja yang bermasalah. Selain itu dimuat juga tentang bagaimana pandangan masyarakat internasional terkait penyiksaan pekerja yang berasal dari Asia di Saudi Arabia.
4. Majalah Peduli (Diplomasi Perlindungan Luar Negeri) : Evakuasi WNI Paling Berbahaya. Tahun II/ Edisi 6/ September 2015 oleh Perlindungan WNI dan BHI Majalah ini memuat artikel tentang TKI yang bernama Keni. Ia adalah TKI yang berasalah dari Brebes. Keni merupakan salah satu TKI yang mengalami tindak penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya. 12 Suasana persidangan yang dijalani oleh Keni mendadak tegang saat Keni menunjukkan amarahnya karena tidak terima atas pengingkaran perbuatan keji yang dilakukan oleh istri majikannya. Ia menceritakana bagaimana ia mendapat siksaan dari Wafa, istri majikannya. Keni diharuskan untuk bekerja super cepat dan maha
13
bersih. Setiap kesalahan dan keterlambatannya akan diganjar dengan seterikaan dan siksaan di tubuhnya. 13 Kasusnya disidangkan oleh Hakim Syekh Saleh Abdullah Al Jal’oud, ia dikenal sebagai seorang hakim yang tegas dan adil. Ketegasan dan keadilannya membawa harapan besar bagi pemerintah RI melalui Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) agar Keni mendapatkan keadilan. 14 Demi
memperjuangkan
keadilan,
Keni
harus
sering
mengunjungi Madinah. Ia didampingi oleh staf dan pejabat KJRI Jeddah, dengan menempuh perjalanan darat sejauh 450 km selama sekitar 4 jam. Wanita tersebut juga harus meninggalkan anaknya yang masih berusia 2 tahun untuk mengurus kasusnya ini. 15 Keni sudah diberi pengarahan oleh Konsul Muda KJRI untuk menghafalkan 3 poin logika pembuktian atas kasusnya tersebut, karena yang memiliki hak berbicara adalah pihak yang berperkara dan pengacaranya. Oleh karena itu Keni harus menyampaikan sendiri logika pembuktian tersebut kepada hakim. 16 Akhirnya perjalanan panjang dan juga perjuangan Keni membuahkan hasil yang manis. Setahun kemudian, Hakim Saleh Abdullah Al Jal’oud menjatuhkuan putusan setelah Keni mengangkat sumpah bahwa ia adalah korban panyiksaan dari Wafa. Majikan 14
divonis untuk membayar kompensasi kepada Keni sebesar Rp 450 juta. 17 Relevansi artikel artikel tersebut dalam penelitian adalah dapat menjadi salah satu contoh kasus dimana aparat pemerintah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono turut bertanggung jawab untuk mendampingi TKI yang bermasalah.
5. E-Journal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, Volume 2, Nomor 3 : Dampak Penerapan Kebijakan Moratorium Bagi TKI ke Saudi Arabia Oleh Pemerintah Indonesia oleh Nissa Juandea Berdasarkan data BNP2TKI dalam rentang tahun 2006-2010, begara yang paling banyak dituju oleh TKI adalah Saudi Arabia. Menurut Maruli Tobing, hal ini didasarkan oleh adanya kesamaan agama serta banyaknya informasi yang di dapat oleh para TKI tentang kemudahan untuk bisa menjalankan Haji atau Umroh apabila mereka mau bekerja di sana. Tidak diperlukan kemampuan khusus seperti dapat berbahasa Inggris, maupun bahasa Arab untuk berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), bahkan calon TKI yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga diperbolehkan. 18
15
Namun demikian kemudahan itu justru seringkali menimbulkan banyak masalah saat TKI mulai bekerja di sana. Banyaknya TKI yang bermasalah memunculkan banyak pertimbangan bagi pemerintah untuk akhirnya mengeluarkan kebijakan penghentian sementara untuk TKI ke Saudi Arabia atau moratorium. 19 Hasil penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendasari terbentuknya
kebijakan
moratorium
pengiriman
TKI
oleh
pemerintah Indonesia yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut adalah banyaknya permasalahan TKI selama meraka bekerja di Saudi Arabia itu sendiri. Selain itu desakan organisasi masyarakat sepertim Migrant Care maupun anggota DPR RI dari komisi IX yang menutut adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk segera mengakhiri permasalahan-permasalahan yang selalu menimpa para TKI yang bekerja di Saudi Arabia. Sedangkan faktor eksternalnya adalah karena belum adanya kesepakatan
Memorandum
of
Understanding
(MoU)
antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah Saudi Arabia mengenai perlindungan TKI yang bekerja di Saudi Arabia. 20 Jurnal ini juga memuat tentang bagaimana proses terbentuknya moratorium. Pada tanggal 23 November 2010, diadakan Rapat Dengar Pendapat yang dihadiri oleh 35 orang Komisi IX DPR RI dengan Kepala BNP2TKI di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI. Rapat ini 16
membahas konsep perlindungan dan penempatan yang akan dilaksanakan oleh BNP2TKI dalam memastikan pembuatan MoU antara Indonesia dan Saudi Arabia. Selain itu rapat tersebut juga mengkaji
khusus
moratorium
penempatan
TKI
dan
juga
mempertimbangkan tentang perlu dilakukannya moratorium, pemberantasan calo, mafia TKI dan kasus-kasus pemalsuan dokumen. 21 Rapat selanjutnya diadakan pada 29 November 2010 yang melibatkan Komisi IX DPR RI dengan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Rapat ini membasa tentang perlindungan TKI di Luar Negeri dan masalah Konsorium asuransi TKI di luar negeri. Komisi IX DPR RI menuntut Kemenakertrans untuk mengkaji rencana moratorium tersebut. Menurut sumber, terdapat catatan khusus yang menjelaskan bahwa Komisi IX DPR RI telah mendesak pemerintah untuk membuat moratorium pengiriman TKI dan mempercepat pembuatan MoU dengan negara penempatan TKI untuk perlindungan dan penempatan TKI. 22 Lalu
pada
awal
Januari
2011,
pemerintah
menetapkan
pengetatan total atau yang disebut soft moratorium untuk persiapan menuju moratorium. Pengetatan total tersebut meliputi dua langkah yaitu
Regulasi
dan
Sosialisasi.
Setelah
ditetapkannya
soft
moratorium tersebut muncul dampak diantaranya menurunnya 17
permintaan tenaga kerja secara drastis yaitu dari 1.000 orang/hari menjadi 5 orang/hari. Hal ini terjadi dalam kurun waktu Januari sampai Juni 2011. Selain itu pihak Saudi Arabia juga mendesak melakukan
pembicaraan
dengan
pihak
pemerintah
dalam
penanganan masalah-masalah TKI. 23 Pada tanggal 28 Mei 2011 telah diadakan Pertemuan antar pejabat tinggi Indonesia dengan Saudi Arabia di Jeddah. Pertemuan ini membahas perbaikan penempatan dan perlindungan TKI di Saudi Arabia yang menghasilkan penandatanganan MoU antara pihak Indonesia dengan Saudi Arabia. 24 Pertemuan kedua belah pihak kembali diselenggarakan pada 1115 Juli 2011 di Riyadh. Pada pertemuan kali ini mereka membahas mengenai perundingan tahap awal tentang pembuatan MoU mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Saudi Arabia yang ditargetkan selesai dalam waktu 6 bulan ke depan sejak diadakannya pertemuan tersebut. 25 Meskipun telah diterapkan kebijakan soft moratorium masalah tidak kunjung usai. Hal ini justru memuncak saat Ruyati, TKI yang terancam hukuman mati pada akhirnya dieksekusi tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu pada pihak Indonesia. 26
18
Akhirnya pada 23 Juni 2011 melalui pidato pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan 6 butir keputusan dan instruksi tentang ketenagakerjaan yang mana salah satunya adalah memutuskan untuk melaksanakan moratorium pengiriman TKI ke Saudi Arabia yang efektif terhitung tanggal 01 Agustus 2011. Memorandum ini akan dihentikan bila Indonesia dengan Saudi Arabia memiliki perjanjian, pranata, kesepakatan yang menjamin perlindungan pemberian hak dan hal-hal lain yang diperlukan oleh para TKI. 27 Relevansi jurnal tersebut dalam penelitian ini adalah menjadi penuntun bagi peneliti untuk meneliti lebih lanjut tentang perlindungan
yang
diberikan
pemerintah
Indonesia
berupa
moratorium yang membawa dampak besar bagi internal maupun eksternal negara Indonesia.
E. KERANGKA KONSEPTUAL Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep sebagai alat bantu untuk menganalisis data yang ada, konsep tersebut antara lain : 1. Teori Perencanaan (Purposeful Theory) Migrasi merupakan suatu proses yang rumit dan heterogen sehingga konsep tentang migrasi dapat dipahami dari prespektif 19
dan dengan
berbagai
macam
kerangka
konseptual serta
paradigma. Penelitian ini difokuskan pada para pelaku migrasi internasional yaitu TKI di Saudi Arabia. Penggunaan Teori Perencanaan yang didasarkan pada pengambilan keputusan, mampu menjelaskan proses pengambilan keputusan migran untuk berencana melakukan emigrasi. Teori ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi terkait kasus TKI di Saudi Arabia. 28 Teori ini terdiri dari konsep yang menjadi dasar terbentuknya Teori Perencanaan. Pertama adalah konsep Migrasi itu sendiri, yang memiliki definisi perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain melewati batas politik/administratif. Migrasi juga memiliki dua dimensi penting yang perlu untuk diperhatikan yaitu dimensi waktu dan dimensi ruang. Dimensi waktu tidak memiliki batasan yang pasti, sedangkan dimensi ruang dapat memiliki batasan tertentu yaitu dusun, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, dan seterusnya. Migrasi dapat pula dibedakan menurut skala perpindahannya. Namun dalam penelitian ini pembahasan akan dikerucutkan pada skala emigrasi yang berarti migrasi ke luar dari suatu negara ke negara lain. 29 Konsep kedua pembentuk Teori Perencanaan ini adalah Konsep pembiayaan (cost) yang harus dikeluarkan oleh migran 20
untuk pergi ke negara tujuan. Sedangkan konsep ketiga adalah keuntungan (benefit) yang merupakan tujuan atau target harapan dari migran itu sendiri. Kedua konsep ini sangat berkaitan erat untuk membentuk Teori Perencanaan ini karena dalam prakteknya TKI tentu akan mempertimbangkan pembiayaan dan keuntungan apa yang didapat untuk melakukan emigrasi ke Saudi Arabia. 30 Teori ini secara sederhana dapat dilihat melalui model Everet S. Lee (1966) sebagai berikut :
Gambar 1. 1 Model Teori Migrasi Everet S. Lee Sumber : http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=Dow nloadFile&act=view&typ=html&id=84493&ftyp=potongan&potongan =S2-2015-354417-chapter1.pdf
Tanda postif (+) adalah faktor yang menguntungkan bila seseorang tinggal di tempat baru. Tanda negatif (-) merupakan kerugian yang didapat bila terus tinggal di tempat lama sehingga, para migran mau tidak mau harus segera pindah ke tempat baru. Sedangkan
tanda
netral
(0)
adalah
faktor
yang
tidak
mempengaruhi keputusan seseorang apakah tetap ingin tinggal di 21
tempat atau berpindah. Rintangan antara adalah faktor yang menentukan besar kecilnya arus mobilisasi penduduk dan frekuensi migrasi seperti ongkos pindah (cost), tofograsi atau wilayah yang harus dilalui, sarana transportasi dan ketersediaan wilayah tujuan.31 Selain melalui bagan tadi, faktor positif dan negatif seseorang melakukan migrasi juga dapat dilihat pada konsep push dan pull antara wilayah asal (origin space) dengan wilayah tujuan (destination space). 32 Konsep push
merupakan tekanan yang mendorong
masyarakat di tempat asal untuk keluar mencari wilayah baru. Tekanan yang dimaksud dapat berupa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari seperti peningkatan populasi, kemiskinan, kelangkaan sumber daya serta bencana alam. 33 Sedangkan Konsep pull berhubungan dengan potensi daerah tujuan migran. Potensi ini berupa ketersediaan sumber daya alam, kerapatan penduduk, letak geografis, iklim dan jauh dari wabah pennyakit. Namun kembali pada setiap tempat asal dan tempat tujuan memiliki faktor positif dan negatifnya masing-masing.
34
Maka dengan kata lain konsep push dan pull juga menjadi salah satu bagian dari pembentuk Teori Perencanaan. Berdasarkan penjabaran di atas peneliti menyimpulkan generalisasi, yang nantinya menjadi dasar Teori Perencanaan dapat 22
digunakan
untuk menganalisis penelitian ini. TKI dapat
digolongkan sebagai pelaku migrasi karena angkatan kerja ini melakukan proses perpidahan ke negara lain melalui proses administratif. Perilaku migrasi ini tentu didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya faktor pendorong (push) dan faktor penarik (pull) yang dimiliki oleh daerah tujuan maupun daerah asal. Selain itu TKI juga memiliki pertimbangan tentang pembiayaan (cost) yang harus mereka keluarkan untuk dapat ke negara tujuan mereka dan pada akhirnya tujuan mereka yaitu mendapat keuntungan (benefit) berupa upah dapat tercapai. Berdasarkan generalisasi di atas maka teori migrasi internasional ini dapat diterapkan dalam Disiplin Ilmu Hubungan Internasional dengan pendekatan demografi-ekonomi untuk meneliti lebih lanjut tentang TKI di Saudi Arabia khususnya pertimbangan yang dilakukan TKI sehingga memutuskan untuk mengadakan migrasi ke Saudi Arabia dan bekerja di sana.
2. Konsep Responsibility to Protect (R2P) Konsep R2P merupakan kondisi dilematis yang terjadi antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan dalam menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Dewasa ini, berurusan 23
dengan negara lain terkait masalah HAM kerapkali menempatkan suatu negara pada posisi yang dilematis, dimana intervensi atas nama penegakan HAM seringkali berbenturan dengan persoalan kedaulatan. Tindakan intervensi disuatu sisi bertujuan untuk melindungi masyarakat sipil, namun di sisi lain melanggar prinsip kedaulatan
negara.
Hal
ini
merupakan
tantangan
untuk
mengupayakan perlindungan bagi masyarakat sipil selaku subyek hukum internasional maupun komunitas internasional.35 Suatu konsep dapat menjadi penghubung antara prinsip kedaulatan negara dan penegakan hak asasi manusia dalam lingkup
internasional.
Konsep
tersebut
adalah
Konsep
Responsibility to Protect (R2P).36 Konsep R2P dimasukkan dalam dokumen hasil pertemuan dalam World Summit 2005, yang tercantum dalam paragraf 138 dan paragraf 139 yang menyatakan sebagai berikut : 138. Each individual State has the responsibility to protect its populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. This responsibility entails the prevention of such crimes, including their incitement, through appropriate and necessary means. We accept that responsibility and will act in accordance with it. The international community should, as appropriate, encourage and help States
24
to exercise this responsibility and support the United Nations in establishing an early warning capability.37 139. The international community, through the United Nations, also has the responsibility to use appropriate diplomatic, humanitarian and other peaceful means, in accordance with Chapters VI and VIII of the Charter, to help protect populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. In this context, we are prepared to take collective action, in a timely and decisive manner, through the Security Council, in accordance with the Charter, including Chapter VII, on a case−by−case basis and in cooperation with relevant regional organizations as appropriate, should peaceful means be inadequate and national authorities manifestly fail to protect their population from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and its implications, bearing in mind the principles of the principles of the Charter and international law. We also intend to commit ourselves, as necessary and appropriate, to helping States build capacity to protect their populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and to assisting those which are under stress before crises and conflict break out.38
Pada bulan April 2006, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali ketentuan-ketentuan dalam paragraf 138 dan 139 dalam sebuah Resolusi S/Res/1674 sebagai bentuk dukungan formal terhadap konsep R2P tersebut. 39 25
Selanjutnya konsep ini kembali dikembangkan pada bulan Januari 2009, saat Sekertaris Jendral PBB, Ban Ki-moon mengeluarkan suatu laporan yang disebut Implementing the Responsibility to Protect. Laporan tersebut berisi tiga pilar tentang R2P yang perlu dilakukan oleh negara untuk mengimplementasikan konsep ini , antara lain 40 : 1) Suatu negara bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya sendiri dari ancaman genosida, war crimes, ethnic cleansing, crimes against humanity, dan berbagai macam
tindakan
yang
mengarah
pada
jenis-jenis
kejahatan. 2) Masyarakat internasional berkomitmen untuk membantu negara-negara dalam menjalankan tanggung jawabnya tersebut. 3) Setiap anggota negara PBB bertanggung jawab untuk merespon secara kolektif, tepat waktu dan tegas ketika suatu negara gagal. Maka dapat dipahami bahwa konsep R2P adalah suatu norma atau
prinsip
yang
berdasarkan
pada
pemahaman bahwa
kedaulatan bukanlah suatu hak, melainkan adalah sebuah tanggung jawab. Sehingga dapat diartikan sebagai sovereignty as 26
responsibility,
41
dan konsep ini dapat digunakan untuk
menganalisis lebih lanjut mengenai Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Indonesia terhadap TKI yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia khususnya alasan mendasar mengapa pemerintah wajib untuk membuat kebijakan yang fungsinya untuk memberikan perlindungan terhadap TKI.
3. Konsep National Interest Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing dalam menjalin relasi dengan negara lain. Dalam kasus ini Indonesia memiliki kepentingan dalam menjalin relasinya dengan Saudi Arabia yang disebut dengan national interest. Ada pendapat yang mengatakan bahwa national interest, pada dasarnya bersifat “dua muka”, artinya kepentingan nasional dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku luar negeri dari suatu negara. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menentukan kepentingan nasional menurut Morgenthau adalah menggunakan pendekatan power atau kekuasaan. Menurutnya, kepentingan nasional adalah bagaimana berpengaruh dan mendapatkan segala yang diinginkan. 42
27
Indonesia memiliki national interest-nya untuk melindungi rakyatnya sebagai wujud nyata responsibility to protect. Namun pada kenyataannya kepentingan Indonesia tidak hanya untuk melindungi rakyatnya, masih ada kepentingan lain yang dimiliki pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Kebijakan Luar Negeri dalam mengatasi TKI di Saudi Arabia yang terancam hukuman mati. Konsep ini dapat digunakan untuk menganalisis lebih lanjut apa saja national interest yang dimiliki Indonesia yang terkandung dalam
kebijakan
pemerintah
dalam
rangka
mengatasi
permasalahan TKI di Saudi Arabia.
4. Konsep Politik Luar Negeri Definisi standar dari politik luar negeri adalah politik untuk mencapai tujuan atau kepentingan nasional suatu negara dengan cara menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat dan bentuk politik luar negeri suatu negara antara lain sistem politik, ekonomi, dan sosial dari suatu negara. 43 Berdasarkan pengertian di atas, maka Politik Luar Negeri Indonesia dapat diartikan sebagai kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah yang didasarkan pada ideologi bangsa Indonesia dan 28
mencerminkan ciri khas serta merupakan karakteristik bangsa Indonesia. Sedangkan Kebijakan Luar Negeri adalah implementasi dari Politik Luar Negeri yang mana dalam prakteknya masih dapat dirubah sesuai dengan kesepakatan bersama. Perbedaan Politik Luar Negeri Indonesia dengan Kebijakan Luar Negeri Indonesia adalah sifat keduanya. Politik Luar Negeri Indonesia bersifat tetap dan tidak dapat dirubah atau diganggu gugat. Sedangkan Kebijakan Luar Negeri Indonesia bersifat fluktuatif karena masih bisa dirubah sesuai dengan kesepakatan. 44 Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis tentang bagaimana Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait persoalan TKI di Saudi Arabia. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini sedang menganalisis produk dari hasil implementasi Politik Luar Negeri Indonesia, berupa Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Indonesia terkait isu TKI di Saudi Arabia. Terdapat banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya Politik Luar Negeri. Seringkali suatu negara disetir oleh negara lain dalam proses penentuan Kebijakan Luar Negeri. Selain itu kemampuan aktor untuk mempengaruhi behaviour aktor lain supaya
mengikuti
sesuai
29
dengan
keinginan
aktor
yang
mempengaruhi atau disebut juga dengan power, juga merupakan salah satu faktor terbentuknya Kebijakan Luar Negeri. Selain itu state capabilities adalah aset yang menjadi modal bangsa yang bisa diukur dan digunakan sebagai suatu indikator kekuatan potensial. Misalnya luas geografis, populasi, sumber daya alam, ekonomi dan militer. Klasifikasi inilah yang menentukan politik luar negeri Indonesia dan bagaimana proses pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia atau decision making process. Kebijakan Luar Negeri Indonesia adalah hasil dari decision making process. Ada dua faktor penting dalam decision making process yang mempengaruhi kebijakan luar negeri yaitu pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah pengaruhpengaruh yang berada pada level internal negara, misalnya kapabilitas militer, pembangunan ekonomi, sistem pemerintahan, dsb., seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan faktor eksternal adalah bahwa kebijakan luar negeri merupakan aktivitas yang melintasi batas negara dan dipengaruhi oleh faktor di luar negara, misalnya adalah geopolitik dan karakter negara lain. 45 Konsep ini juga dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana Kebijakan Luar Negeri Indonesia untuk mengatasi TKI di Saudi Arabia yang terancam hukuman mati khususnya untuk
30
memberikan gambaran pada pembaca tentang apa perbedaan Politik Luar Negeri dan Kebijakan Luar Negeri.
5. Konsep Evaluasi Kebijakan Konsep Evaluasi Kebijakan merupakan bagian terpenting dari Kebijakan Luar Negeri. Seperti yang telah dijelaskan pada konsep sebelumnya mengenai apa itu Politik Luar Negeri dan apa perbedaannya dengan Kebijakan Luar Negeri, pada sub bab ini akan dijelaskan tentang definisi Konsep Evaluasi Kebijakan. Studi mengenai Analisis kebijakan terdiri dari tiga poin penting yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Pada sub bab ini akan dikhususkan untuk membahas tentang analisis kebijakan khususnya tentang evaluasi kebijakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi evaluasi adalah hasil. Sedangkan menurut Bryan & White, evaluasi adalah upaya untuk mendokumentasikan dan melakukan penilaian tentang apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Contoh evaluasi yang sederhana adalah mengumpulkan informasi tentang keadaan
sebelum
dan
program/rencana. 46 31
sesudah
pelaksanaan
suatu
Kegiatan evaluasi pada dasarnya untuk dapat mengetahui apakah pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan tujuan utama yang sebelumnya telah direncanakan, sehingga selanjutnya kegiatan evaluasi dapat menjadi tolok ukur apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan layak diteruskan, diperbaiki atau dihentikan. 47 Salah satu metode evaluasi kebijakan oleh Ernest R. Alexander adalah Before and After Comparisons. Metode ini mengaji suatu objek penelitian dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan tersebut diterapkan. 48 Sembari mempertimbangkan sifat kebijakan yang masih berlangsung, evaluasi akan dinilai dengan model evaluasi formatif. Evaluasi formatif artinya suatu evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu program tertentu sedang dikembangkan. Tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk melakukan perbaikan suatu kebijakan atau program. 49 Penggunaan evaluasi formatif untuk menganalisis kebijakan akan sangat tepat untuk digunakan dalam menganalisis Kebijakan Luar Negeri Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani TKI yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia. Membandingkan kondisi saat kebijakan tersebut belum diterapkan dengan kondisi 32
setelah kebijakan tersebut diterapkan, akan membantu peneliti untuk dapat menyimpulkan apakah kebijakan tersebut efektif atau perlu untuk dikaji ulang.
Mengenai penjelasan lengkap tentang teori-teori dan konsep-konsep di atas akan dijabarkan pada Bab III yaitu Analisis Data.
33
Berdasarkan konsep tadi, berikut ini merupakan kerangka berfikir yang dibuat oleh peneliti untuk menjelaskan mengenai bagaimana langkahlangkah penelitian ini akan dilakukan. Diawali dengan kondisi adanya TKI yang akan dihukum mati di Saudi Arabia sampai kepada adanya hasil angka TKI yang bermasalah menurun.
Penurunan angka Kasus-kasus TKI Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
34
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Berdasarkan tema dan studi literatur yang sudah ada, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian ini akan mencoba menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia dalam menangani kasus TKI yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia.
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam metode penelitian kualitatif, teknik mengumpulkan data dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut : 1) Mengumpulkan dan menganalisis data narasi melalui studi pustaka 2) Mencari video-video pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maupun pihak decision maker yang membahas soal TKI, terutama yang berkaitan dengan isu TKI di Saudi Arabia.
35
1) Jenis Data Jenis data yang akan dicari adalah data kualitatif berupa artikel-artikel dari berbagai macam media seperti elektronik mapun cetak, yang membahas tentang TKI yang akan dihukum mati. Selain itu data bisa berupa rekaman pidato baik video maupun suara, yang nantinya bisa dianalisis bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengatasi TKI yang akan dihukum mati di Saudi Arabia. 2) Sumber Data Sudut pandang yang diambil oleh peneliti adalah sudut pandang dari pemerintah Indonesia, maka sumber data dapat diperoleh di perpustakaan, internet dan juga situssitus penyedia video-video pidato pemerintah dari berbagai sumber, salah satunya Youtube. Kemudian setelah data tersebut diperoleh dengan berbagai teknik pengumpulan data, keabsahan data akan diuji dengan dilakukannya teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan
data
dari
berbagai
teknik
pengumpulan dan sumber data yang telah ada. Tujuan triangulasi adalah untuk membuktikan bahwa data yang 36
diperoleh adalah valid, dengan cara mencocokan data yang diperoleh dari satu sumber ke sumber lain. Adapun pengertian dari kedua teknik triangulasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 50 1) Triangulasi Teknik Triangulasi pengumpulan
teknik data
dilakukan yang
dengan
teknik
berbeda-beda
untuk
memperoleh data dari sumber data yang sama. Lebih jelasnya, triangulasi teknik dapat dijelaskan melalui skema berikut: Wawancara Sumber Data Sama Studi Pustaka
Gambar 1.3 Triangulasi Teknik 2) Triangulasi Sumber Triangulasi sumber digunakan untuk memperoleh data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Hal ini dilakukan untuk mencocokkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, dan apabila data tersebut cocok satu sama yang lain maka data dapat dikatakan valid. 37
Sebagai tambahan, triangulasi sumber dapat dijabarkan melalui skema berikut: A B
Wawancara
C
Gambar 1.4 Triangulasi Sumber
3. Teknik Analisis Data Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, sehingga teknik analisis data yang akan digunakan adalah
Deskriptif
Komparatif. Teknik analisis data ini akan digunakan dalam usaha peneliti untuk mencari, mengumpulkan, menyusun, menggunakan, serta menafsirkan data yang sudah diperoleh. Metode ini berguna untuk menjelaskan secara lengkap, teratur dan teliti tentang suatu obyek penelitian. Metode ini berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang telah ada, baik kondisi atau relasi yang sudah ada, pendapat yang sedang tumbuh, serta proses yang telah berlangsung dan berkembang. Oleh karena itu, metode ini mampu memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material/fenomena yang akan diteliti. 38
Catatan Akhir
1
Sabrina Asril, “16 Tahun Memohon Ampun, TKI Siti Zaenab Dieksekusi Mati di Saudi Arabia,” Kompas.com, 15 April 2015, dilihat 15 September 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/04/15/00452961/16.Tahun.Memohon.Ampun.TKI.Si ti.Zaenab.Dieksekusi.Mati.di.Arab.Saudi 2 “Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Pada Tahun 2013,” BNP2TKI, dilihat 18 Juni 2015, http://www.bnp2tki.go.id/uploads/data/data_21-02-2014_043950_fix_2013.pdf 3 Laura Neack, Jeanne A. K. Hey, Patrick J. Haney, “Foreign Policy Analysis : Continuity and Change in Its Second Generation,” Miamy University, Prentice Hall (New Jersey : 1995) h. 99-110 4 Ibid 5 Ibid 6 Ibid 7 Ibid 8 Ibid 9 “Human Right Watch : As If I am Not Human (Abuses against Asian Domestic Workers in Saudi Arabia,” Human Rights Watch (United States of America : 2008) 10 Ibid 11 Ibid 12 Muhammad Sadri, Cap Seterika di Tubuh Keni Carda Bodol, (Jakarta : Majalah Peduli Edisi 6, Dit. Perlindungan WNI & BHI, 2015) h. 50-51 13 Ibid 14 Ibid 15 Ibid 16 Ibid 17 Ibid 18 Nissa Juandea, “Dampak Penerapan Kebijakan Moratorium bagi TKI ke Arab Saudi oleh Pemerintah Indonesia,” eJournal Ilmu Hubungan Internasional, (Universitas Mulawarman : 2014) h. 589-600 19 Ibid 20 Ibid 21 Ibid 22 Ibid 23 Ibid 24 Ibid 25 Ibid 26 Ibid 27 Ibid 28 “Jejak Migrasi Orang Dayak” dalam Ilmu Budaya (Yogyakarta : Jurnal Fakultas Seni dan Sastra Universitas Gajah Mada), h. 22-24. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view &typ=html&id=84493&ftyp=potongan&potongan=S2-2015-354417-chapter1.pdf 29 Ibid 30 Ibid 31 Ibid 32 Ibid 33 Ibid 34 Ibid
39
35
Santa Marelda Saragih, Responsibility to Protect : Suatu Tanggung Jawab dalam Kedaulatan Negara, diakses pada 06 Januari 2016, http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Mei-Agustus%202011_35_45.PDF 36 Ibid 37 Ibid 38 Ibid 39 Ibid 40 Ibid 41 R. Rahayu, Eksistensi Prinsip 'Responsibility To Protect' dalam Hukum Internasional (Semarang : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, jilid 41 No. 1, 2012), h. 131 42 I Nyoman Sudira, Modul Pelatihan National Interest Analysis Statement (Nias), (Chemonics International Inc., direview oleh United States Agency for International Development, 2014), h. 6 43 Suffri Jusuf, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 110 44 Ibid 45 Siti Octrina Malikah, Decision Making Process Politik Luar Negeri Indonesia, (Universitas Paramadina, Artikel Hubungan Internasional Mata Kuliah Politik Luar Negeri Indonesia, 2015), h. 1-2 46 Solichin Abdul Wahab, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, h. 40-50 47 Ibid 48 Budi Winarno, “Kebijakan Publik, Teori, dan Proses”, 2007, h. 15. 49 Ibid 50 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h.83-84
40