BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan suatu bentuk budaya yang universal. Ia merupakan tanggapan penciptanya terhadap dunia yang dihadapinya. Sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang, dan pengalaman kelompok masyarakat (Sangidu, 2004:1). Pengalaman-pengalam ini dijabarkan di dalam unsur-unsur karya sastra dengan bermediakan bahasa. Sastra juga disebut sebagai benda mati yang mempunyai makna dan menjadi objek estetik (Pradopo, 2005:106). Wellek dan Werren (1990:11) berpendapat bahwa sastra merupakan segala sesuatu yang tertulis atau tercetak dan merupakan karya imajinatif. Selain itu, sastra juga merupakan karya yang imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi. Karya sastra menurut ragamnya terbagi dalam tiga bagian, yaitu prosa, puisi, dan drama. Dalam bentuk karya sastra prosa, terdapat bentuk yang disebut cerita rekaan. Cerita rekaan terbagi dalam beberapa jenis, yaitu roman, novel, dan cerita pendek atau sering disebut dengan cerpen. Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem. Di antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal-balik, saling terikat, saling bergantung, dan saling menentukan. Dengan demikian, unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri tanpa unsur yang lainnya (Pradopo, 2005:118). Untuk dapat memahami makna sebuah karya sastra dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang unsur-unsur yang membangun struktur karya sastra itu sendiri. Stanton 1
(1965:4) mengatakan bahwa unsur-unsur karya sastra yang berupa cerita adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, serta latar. Dengan demikian, karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong yang sifatnya sekedar menghibur pembaca saja, tetapi melalui karya sastra diharapkan pembaca lebih bijak dalam bertindak dan berfikir karena karya sastra berisi masalah kehidupan manusia yang nyata. Jadi, dengan kata lain karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Sejak masa pra-Islam (zaman Jahiliyyah), kesusastraan Arab telah mengenal prosa (nas}r) sebagai salah satu genre sastra di samping genre yang lain yang paling dominan, yaitu puisi (syi‘r). Bentuk-bentuk prosa yang berkembang pada masa ini antara lain: khut}bah (pidato), was}iat , h{ikmah, mas|al (peribahasa),
qis}s}ah (cerita), dan saj‘u kuhha> n (mantra para dukun) (Sutiasumarga, 2001:3839).
Pada
masa-masa
selanjutnya,
bentuk
qis}s}ah
(cerita)
mengalami
perkembangan menjadi dua bentuk, yaitu qis}s}ah t}awi> lah (novel) dan qis}s}ah
qas}i> rah (cerita pendek). Qis}s}ah t}awi> lah (novel) adalah bentuk karya sastra yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, sedangkan qis}s}ah qas}i> rah (cerita pendek) merupakan rangkaian cerita yang pendek (Satoto, 1986:25). Cerita pendek panjangnya tidak lebih dari 1000 kata. Ada pula yang menyatakan bahwa cerita pendek paling banyak sekitar 15.000 kata atau berkisar lima puluh halaman (Stanton, 2012:75). Cerita pendek merupakan suatu wujud cerita yang sempurna karena dapat dibaca dan dipahami dengan cepat oleh pembaca. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi, tetapi 2
dapat terjadi kapan saja dan di mana saja) serta relatif pendek (Sumardjo dan Saini,
1991:37).
Kelebihan
cerpen
yang
khas
adalah
kemampuannya
mengemukakan secara lebih banyak dari sekedar apa yang diceritakan secara implisit (Nurgiyantoro, 2012:11). Sutiasumarga (2001:104-105) mengemukakan bahwa cerpen mulai muncul dalam kesusastraan Arab pada masa kebangkitan, yaitu periode antara 1798-1920 M. Pelopor cerita pendek pada masa ini adalah Salīm Butrus alBustānī. Adapun cerpenis-cerpenis yang lain selain Salīm Butrus al-Bustānī adalah Jurjī Jubrail Balit yang merupakan penerjemah cerpen pertama di Syiria dan Jubrān Khalīl Jubrān (1883-1931) yang terkenal dengan kumpulan cerpennya
al-Arwa> h}al-Mutamarridah (Jiwa-jiwa Pemberontak). Dalam hal penulisan cerpen, pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Arab banyak mengalami kemajuan dengan mengusung ciri khasnya yang bernilai tinggi dan penuh hikmah. Salah satu ciri khas para sastrawan Arab seringkali mengungkapkan tema-tema yang diangkat dari berbagai masalah kemasyarakatan seperti kesengsaraan, kemiskinan, penindasan, konflik keluarga, konflik politik, dan lain sebagainya. Para sastrawan Arab terkemuka dari berbagai Negara seperti Al-Jazair, Irak, Iran, Lebanon, Mesir, Palestina, dan Tunisia dipandang cukup produktif dalam kegiatan sastra dalam hal penulisan cerpen (Sangidu, 2004:1). Tingkat produktivitas tidak hanya muncul dari kalangan sastrawan, namun muncul juga dari sastrawati Arab, salah satunya Sami> rah bintu al-Jazi> rah al‘Arabiyyah -selanjutnya disebut Sami> rah-, yang memunculkan karya sastra, baik berupa novel maupun cerpen beraliran realis yang diangkat dari panggung 3
kehidupan masyarakat di Jazirah Arab, dan selalu menampilkan sosok wanita sebagai tokoh utama (Bunyamin, 2006:78-79). Salah satu cerpen karya Sami> rah adalah “Wara> `a al-Gaibi” yang terdapat dalam antologi cerpen Qat}ra> t un min ad-Dumu> ‘i mengisahkan konflik percintaan tokoh Ah}mad dengan Dunya> , perempuan cantik tetangga mereka. Mereka berusaha mencari kesempatan untuk melihat Dunya> . Pada akhirnya terdengar kabar bahwa perempuan cantik itu telah menikah dan membuat mereka bersedih. Setelah keluar dari universitas, tokoh Aku dan Ah}mad berpisah untuk mencari pekerjaan. Enam bulan mereka berpisah dan tak ada kabar sedikit pun dari Ah}mad kepada tokoh Aku. Hingga suatu hari tibalah seseorang yang memberikan kabar bahwa Ah}mad meminta tokoh Aku untuk menemuinya seorang diri. Pertemuan mereka terjadi sangat menegangkan ketika Ah}mad menceritakan apa yang terjadi pada dirinya selama mereka menjalani kehidupan yang saling terpisah. Cerpen pada dasarnya merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsurunsur yang saling mendukung. Oleh karena itu, untuk dapat memahami cerpen “Wara> `a
al-Gaibi”
dengan
baik,
diperlukan
analisis
struktural
untuk
mengungkapkan unsur-unsur intrinsik dan keterkaitan antarunsur yang terdapat dalam cerpen tersebut. 1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan pada latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Wara> `a al-Gaibi” karya Sami> rah dan keterjalinan antarunsur yang membangun cerpen tersebut. 4
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerpen “Wara> `a al-Gaibi” karya Sami> rah dan keterjalinan antarunsur yang membangun cerpen tersebut. 1.4 Tinjauan Pustaka Karya sastra yang berjudul Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i karya Sami> rah mengacu kepada dua buku yang berbeda, yaitu berupa novel (1970) dan antologi cerpen (1979). Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antologi cerpen. Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai cerpen “Wara> `a al-Gaibi” dalam antologi Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i karya Sami> rah belum pernah dibahas oleh mahasiswa di Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah melakukan tinjauan pustaka ke beberapa perpustakaan digital dari berbagai universitas di Indonesia di antaranya UI, UAD, UIN Sunan Kalijaga, UNHAS, penulis belum menemukan pembahasan terhadap cerpen tersebut, baik dari segi sastra ataupun bahasa. Akan tetapi, penelitian sejenis pernah dilakukan terhadap novel Qat}ara> t un
min ad-Dumu> ‘i karya Sami> rah di Jurusan Sastra Asia Barat UGM oleh Robiyanti (1987) dengan judul “Novel Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i Karya Sami> rah bintu alJazi> rah al-‘Arabiyyah (Telaah Tema dan Penokohan)”. Penelitian yang dilakukan tersebut menekankan pengungkapan unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut dengan fokus pada unsur tema dan penokohan. Dalam analisis tersebut, ia menyimpulkan bahwa novel tersebut mengemukakan: (1) tema pokok dalam novel tersebut adalah cinta akan menerjang segala rintangan dengan segala 5
resikonya, (2) tema-tema bawahan dalam novel tersebut adalah bahwa menentang adat itu sangat sulit apabila dalam kondisi terpaksa, suatu persahabatan akan dengan mudah digunakan sebagai alat untuk memutuskan suatu masalah, (3) sebagian besar tokoh-tokoh dalam novel tersebut berwatak datar (flat character), (4) metode yang dipakai pengarang dalam menggambarkan watak tokoh adalah metode analisis, dramatik, campuran, dan pemberian nama (Bahrudin, 2005:5). Rosidi (1993) meneliti novel Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i
dengan
menggunakan analisis struktural dengan judul “Novel Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i Karya Sami> rah bintu al-Jazi> rah al-‘Arabiyyah (Analisis Struktural)”. Penelitian yang dilakukan tersebut menekankan pengungkapan unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut. Ia menyimpulkan bahwa novel tersebut mengemukakan: (1) cinta merupakan hal yang universal sifatnya dan dapat terjadi kepada setiap manusia tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan tingkat sosial, cinta dapat membawa kebahagiaan dan juga dapat menyebabkan si pecinta menjadi menderita, (2) pengarang menampilkan tokoh Z|ikra>sebagai tokoh utama, (3) tema dalam novel tersebut didominasi oleh tema sosial, (4) masalah moral dalam novel tersebut membicarakan baik buruknya perbuatan yang mengandung unsur tanggung jawab, (5) novel tersebut memiliki alur ganda yang terjadi karena ada penyimpangan sehingga menyebabkan adanya sorot balik dalam cerita (dari segi kuantitas). Novel tersebut dapat dikatakan sebagai cerita yang beralur longgar (dari segi kualitas). Adapun Bahrudin (2005) meneliti novel tersebut dengan menggunakan analisis psikologi sastra dengan judul “Novel Qat}ara> t un min ad-Dumu> ‘i Karya 6
Samirah bintu al-Jazi> rah al-‘Arabiyyah: Analisis Psikologi Sastra”. Ia menyimpulkan bahwa: (1) Z|ikra dalam novel ini yang sebagai tokoh utama (central character), banyak diceritakan, dan hampir mendominasi cerita. Kehidupan Z|ikra dari awal sampai akhir cerita digambarkan sebagai sosok wanita yang penuh dengan permasalahan psikologis yang menekan dirinya, (2) telah terjadi pertentangan antara ketiga komponen kepribadian yaitu id, ego, dan superego dalam diri Z|ikra. Ini terbukti dengan adanya usaha dari diri Z|ikra untuk bersikap baik, kasih sayang, serta berusaha untuk tidak mengedepankan kebencian dan kemarahannya, (3) Z|ikra telah mengalami keseimbangan dalam menjalankan komponen kepribadiannya, terbukti dari rasa benci dan marah yang keluar dari tekanan psikologis yang dialaminya. Ia juga berusaha mengendalikan diri agar tidak terwujud dalam suatu tindakan guna menjalankan dorongan rasa benci dan marah, (4) di akhir cerita novel ini, Z|ikra telah mengalami kehidupan yang wajar dan seimbang. Ia dapat membuktikan kepada orang-orang yang menyebabkan tekanan psikologis kepada dirinya bahwa dirinya dapat hidup dengan wajar dan sukses. Dengan demikian, penelitian terhadap cerpen “Wara> `a al-Gaibi” karya Sami> rah dengan pendekatan struktural layak untuk dilakukan. 1.5 Landasan Teori Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori struktural. Teori struktural adalah suatu teori yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang bulat dan utuh, yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya (Teeuw, 2003:112). Dalam pandangan ini, karya 7
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur saling terkait satu sama lain. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya (Muzakki, 2006:138). Strukturalisme menekankan pada kajian hubungan antarunsur intrinsiknya yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2012:26). Dalam strukturalisme, makna karya sastra tidak terletak pada unsur-unsur yang berdiri sendiri, tetapi dalam jalinan unsur-unsur lain secara keseluruhan sebagai satu kesatuan (Teeuw, 2003:130). Penelitian ini menggunakan teori stuktural Robert Stanton yang mengacu pada bukunya An Introduction to Fiction (1965:11). Stanton membagi unsur pembangun fiksi menjadi tiga bagian, yaitu tema (theme), fakta cerita (facts), dan sarana cerita (literary devices). Fakta cerita (facts) terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana-sarana cerita (literary devices) biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan judul. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiga unsur tersebut. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita (Stanton, 2012:36). Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain 8
(Nurgiyantoro, 2012:74). Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema secara lebih khusus dan rinci, ada sejumlah kriteria yang dapat diikuti. Pertama, penafsiran tema hendaklah memepertimbangkan berbagai detail cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran tema hendaklah tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi. Ketiga, penafsiran tema hendaklah tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam cerita yang bersangkutan. Keempat, penafsiran tema haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada atau yang disarankan dalam cerita (Stanton, 2012:44-45). Fakta cerita terbagi menjadi tiga, yaitu alur, karakter, dan latar. Ketiganya merupakan struktur faktual yang dapat dirasakan keberadaannya dalam sebuah karya fiksi (Stanton, 1965:12). Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menjadi dampak dari peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2012:26). Plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak bersifat
sederhana
karena
pengarang
menyusun
peristiwa-peristiwa
itu
berdasarkan kaitan sebab akibat (Nurgiyantoro, 2012:113). Ada tiga unsur yang sangat penting dalam pengembangan sebuah alur cerita. Ketiga unsur tersebut adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 2012:116). Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dalam Nurgiyantoro, 2012:117). Dalam 9
hubungannya dengan pengembangan alur, peristiwa yang menentukan atau memperngaruhi perkembangan alur disebut peristiwa fungsional. Urutan-urutan peristiwa fungsional tidak boleh dihilangkan dalam cerita karena jika peristiwa fungsional ada yang dihilangkan, akan menyebabkan cerita menjadi lain dan menjadi kurang masuk akal. Adapun konflik, menurut Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 2012:122) adalah sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita. Konflik dibagi menjadi dua, yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konfik internal adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, sedangkan konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya. Salah satu konflik eksternal adalah konflik sosial, yaitu konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antar manusia. Konflik-konflik tersebut, baik internal maupun eksternal, jika telah mencapai titik puncak akan menyebabkan terjadinya klimaks (Nurgiyantoro, 2012:124-126). Menurut Stanton (2012:32), klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks sebuah cerita terdapat pada konflik utama dan akan diperankan oleh tokoh utama cerita (Nurgiyantoro, 2012:142). Alur yang baik harus bersifat utuh dan padu karena alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, akan menyuguhkan carita yang bersifat utuh dan padu pula (Nurgiyantoro, 1998:142). Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2012:142) mengemukakan bahwa sebuah alur harus terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah 10
(midle), dan tahap akhir (end). Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Pada tahap ini, diberikan sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya, misalnya berupa pengenalan latar dan tokoh cerita. Selain itu juga, pada tahap ini konflik mulai dimunculkan. Pada tahap tengah, inti cerita disajikan. Tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa-peristiwa fungsional dikisahkan, konflik semakin berkembang hingga mencapai klimaks. Pada tahap akhir, cerita diberi penyelesaian. Penyelesaian cerita bisa berupa kebahagiaan (happy end) atau kesedihan (sad end). Namun, ada sebagian cerita yang penyelesaiannya masih “menggantung”, masih menimbulkan tanda tanya karena cerita tersebut dirasakan belum selesai. Oleh karena itu, penyelesaian sebuah cerita dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyelesaian tertutup, dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian yang bersifat tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Adapun penyelesaian yang bersifat terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang sebenarnya masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika, cerita masih potensial untuk dilanjutkan karena konflik belum sepenuhnya diselesaikan dan tokoh-tokoh cerita belum ditentukan nasibnya. Penyelesaian terbuka memberi kesempatan pembaca untuk ikut memikirkan atau mengimajinasikan bagaimana kira-kira penyelesaian tersebut (Nurgiyantoro, 2012:146-147). Karakter didefinisikan dalam dua konteks yang berbeda. Konteks pertama merupakan karakter yang merujuk pada tokoh atau individu-individu yang muncul 11
dalam cerita. Konteks kedua merupakan perwatakan atau karakter yang merujuk pada percampuran berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral individu-individu tersebut (Stanton, 2012:33). Penokohan mengandung makna yang lebih luas dibandingkan tokoh dan perwatakan sebab dia mencakup masalah siapa tokoh cerita, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam suatu cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas pada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:166). Stanton (2012: 17) juga mengungkapkan bahwa dalam sebagian besar cerita berisi satu tokoh sentral (central character), yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang ada dalam cerita. Namun konsep ini tidak dijelaskan secara terperinci oleh Stanton. Oleh karena itu, konsep tokoh yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (2012: 176) dipilih karena konsep tersebut sederhana, jelas, dan dapat mendukung konsep yang dikemukakan oleh Stanton. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian cerita (Nurgiyantoro, 2012: 176). Dalam sebuah cerita, tokoh utama bisa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita tersebut. Sebagai tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Akan tetapi, kadang tokoh utama tidak hadir atau tidak 12
langsung ditunjuk pada setiap bab, tetapi dalam bab atau kejadian itu, tetap berkaitan erat dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2012: 177). Tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2012: 176). Di lain pihak, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tak langsung (Nurgiyantoro, 2012: 177). Masalah penokohan dalam sebuah karya tidak hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Teknik pelukisan tokoh pada karya sastra dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu teknik pelukisan secara langsung (ekspositori) dan teknik penulisan secara tidak langsung (dramatik). Teknik penulisan secara langsung (ekspositori) adalah teknik pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh
cerita
dihadirkan
pengarangan
secara
langsung disertai deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya. Pada teknik pelukisan secara tidak langsung (dramatik), pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui peristiwa yang terjadi. Teknik dramatik ini terdiri dari delapan macam teknik, yaitu teknik cakapan, teknik 13
tingkah laku, teknik pikiran dan perasaanm teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (Nurgiyantoro, 2012: 194-195). Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita. Latar dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca atau satu periode sejarah (Stanton, 2012:35). Senada dengan yang disampaikan Stanton, Nurgiyantoro (2012:227) menjelaskan bahwasannya latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Latar tempat disebut sebagai latar fisik karena menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Ketidakjelasan penunjuk tempat dapat mengisyaratkan bahwa peristiwa-peristiwa yang diceritakan dapat terjadi di tempat lain sepanjang memiliki sifat khas latar sosial (dan waktu) yang mirip (Nurgiyantoro, 2012:227). Latar waktu disebut sebagai latar fiksi karena berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penekanan latar waktu yang fungsional mungkin hanya berupa siang malam saja. Dalam karya yang demikian, yaitu tidak ditonjolkan unsur waktu, mungkin karena memang tidak penting untuk 14
ditonjolkan dengan kaitan logika ceritanya (Nurgiyantoro, 2012: 230-232). Latar sosial disebut sebagai latar spiritual karena menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, yaitu rendah, menengah, dan atas (Nurgiyantoro, 2012: 233-234). Sarana cerita yaitu metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sarana cerita terdiri atas judul (title), sudut pandang (point of view), gaya bahasa dan nada (style and tone), simbolisme (symbolism), dan ironi (irony) (Stanton, 2012:46). Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat memilih berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2012:46). Pada analisis ini, penelitian dibatasi hanya pada judul dan sarana cerita yang dominan dalam cerpen “Wara> `a al-Gaibi”. Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk suatu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, penting untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini, acap kali (terutama sekali dalam cerpen) menjadi petunjuk makna
15
cerita bersangkutan. Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna (Stanton, 2012:51-52). Sudut pandang yaitu posisi pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita (Stanton, 2012:53). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya (Nurgiyantoro, 2012:248). Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama yaitu, pada ‘orang pertamautama’, pada ‘orang pertama-sampingan’, pada ‘orang ketiga-terbatas’, pada ‘orang ketiga-tidak terbatas’. Terkadang sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu ‘subjektif’ dan ‘objektif’ (Stanton, 2012:53-54) Stanton membagi sudut pandang menjadi empat tipe, yaitu pertama, orang pertama sentral (first-person-central), cerita dituturkan oleh orang pertama (aku) dalam ceritanya sendiri. Kedua, orang pertama bawahan (first-person-peripheral), cerita dituturkan oleh orang pertama (aku) yang berperan sebagai bawahan, dalam arti ia berperan sebagai pencerita untuk tokoh selain dirinya. Ketiga, orang ketiga terbatas, (third-person-limited), pengarang mengacu kepada semua tokoh dan memosisikan tokoh-tokohnya sebagai orang ketiga (dia), tetapi hanya menceritakan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang tokoh saja. Keempat, orang ketiga tidak terbatas (third-person-omniscient), pengarang mempunyai posisi serba tahu, ia mengacu pada setiap tokoh (dia) dan menceritakan apa yang dilihat, didengar dan dipikirkan oleh beberapa tokoh, atau menceritakan peristiwa tanpa kehadiran seorang pun tokoh (1965: 26-27).
16
1.6 Metode Penelitian Metode adalah cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004:34). Metode penelitian harus sesuai dengan landasan teori yang digunakan. Penelitian karya sastra ini menggunakan teori struktural. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis struktural, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2003:112). Metode struktural dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, judul, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah itu, dijelaskan bagaimana fungsi masingmasing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2012: 37).
17
Cerpen “Wara> `a al-Gaibi” akan diidentifikasi dan dideskripsikan unsurunsur intrinsiknya yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Fakta cerita yang akan dideskripsikan terdiri dari karakter, alur, dan latar, sedangkan sarana cerita dibatasi hanya pada judul dan sudut pandang saja sebagai unsur yang dominan di antara unsur sarana cerita lainnya. Selain teori yang dikemukakan oleh Stanton, ditambahkan pula teori lain untuk memperkaya analisis cerpen “Wara> `a al-Gaibi”. 1.7 Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini, sistematika penulisan laporan penelitian disusun sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan laporan penelitian, serta pedoman transliterasi Arab Latin. Bab II berisi tentang biografi pengarang dan sinopsis cerpen “Wara> `a al-Gaibi” dalam antologi cerpen Qat}ra> t un min ad-Dumu> ‘i. Bab III berisi analisis struktural terhadap cerpen “Wara> `a al-Gaibi” dalam antologi cerpen Qat}ra> t un min
ad-Dumu> ‘i dan pada Bab IV berisi penutup berupa kesimpulan. 1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/U/1987.
18
1. Konsonan Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ﺍ ﺏ ﺕ ﺙ ﺝ ﺡ ﺥ ﺩ ﺫ ﺭ ﺯ ﺱ ﺵ ﺹ ﺽ ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ ﻑ ﻕ ﻙ ﻝ ﻡ ﻥ ﻭ ﻫ ء ﻱ
Alif Ba’ Ta’ Sa’ Jim Ha’ Kha’ Dal Zal Ra’ Zai Sin Syin Sad Dad Ta’ Za’ ‘Ain Gain Fa’ Qaf Kaf Lam Mim Nun Wau Ha’ Hamzah Ya’
Tidak dilambangkan B T S| J H> { Kh D Z| R Z S Sy S{ D{ T{ Z{ ‘_ G F Q K L M N W H `_ Y
Tidak dilambangkan Be Te Es (dengan titik di atas) Je Ha (dengan titik di bawah) Ka dan ha De Zet (dengan titik di atas) Er Zet Es Es dan ye Es (dengan titik di bawah) De (dengan titik di bawah) Te (dengan titik di bawah) Zet (dengan titik di bawah) Koma terbalik (di atas) Ge Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof Ye
2. Vokal Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
19
a. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut. Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
َ_
Fath}ah
A
a
ِ¯
Kasrah
i
i
ُ_
D{amah
u
u
Contoh:
ﻛﺘﺐ
/kataba/
ﺫﻛﺮ
/z|ukira/
b. Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: Tanda dan huruf
Nama
Gabungan huruf
Nama
ﻱ...َ
Fath}ah dan ya’
ai
a dan i
ﻭ...َ
Fath}ah dan wawu
au
a dan u
Contoh:
ﻛﻴﻒ
/kaifa/
ﺣﻮﻝ
/h}aula/
c. Vokal Panjang Vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: 20
Harakat dan
Nama
Huruf dan tanda
Nama
Fath}ah dan alif atau
a>
a dan garis di atas
huruf ﻯ...َ
ﺍ...َ
ya’ ﻱ...ِ
Kasrah dan ya’
i>
i dan garis di atas
ﻭ...ُ
D{ammah dan wau
u>
u dan garis di atas
Contoh:
ﻗﺎﻝ
/qa> la /
ﻗﻴﻞ
/qi> la/
ﻳﻘﻮﻝ
/yaqu> lu/
3. Taˋ Marbu >t}ah Transliterasi untuk taˋ marbu> t }ah ada dua, yaitu: a.
Taˋ marbu> t a}h yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan
d}ammah, transliterasinya adalah /t/, b.
Jika pada kata yang terakhir dengan taˋ marbu> t }ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka taˋ marbu> t }ah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ
/raud}ah al-at}fa> l/ /raud}atul-at}fa> l/
4. Syaddah (Tasydi> d)
Syaddah atau tasydi> d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydi> d, dalam transliterasi ini tanda 21
syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
ﺭﺑّﻨﺎ
/rabbuna> /
ﻧﺰّﻝ
/nazzala/
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu al. Akan tetapi, dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Contoh:
ﺍﻟﻨﺴﺎء
/an-nisa> ˋ/
b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan huruf aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda simpang (-). Contoh: 22
ﺍﻟﺮّﺟﻞ
/ar-rajulu/
ﺍﻟﻘﻠﻢ
/al-qalamu/
6. Hamzah Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Akan tetapi, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh:
ﺗﺄﺧﺬ
/taˋkhuz|u/
ﺷﻲء
/syaiˋun/
ّﺇِﻥ
/inna/
7. Penulisan Kata Pada dasarnya setiap kata, baik fi‘l, ism, maupun h}arf, ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
ﻭﺇﻥّ ﺍﷲ ﻟﻬﻮ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺮّﺍﺯﻗﻴﻦ/Wa innalla>ha lahuwa khair ar-ra>ziqi>na/ ﻓﺄﻭﻓﻮ ﺍﻟﻜﻴﻞ ﻭﺍﻟﻤﻴﺰﺍﻥ
/Wa innalla> ha lahuwa khairur-ra> ziqi> na/ /Fa aufu>al-kaila wa al-mi> za> na/
/Fa aufu>l-kaila wal-mi>za>na/ 23
8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya adalah huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh:
ﻭﻣﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺇﻻّ ﺭﺳﻮﻝ
/Wa ma>Muh}ammadun illa>rasu> l/
ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻝﺫﻱ ﺃﻧﺰﻝ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
/Syahru Ramad}a> na al-laz|i>unzila fi> hi
al-Qurˋa> n/
/Syahru Ramad}a> nal-laz|i>unzila fi> hil-Qurˋa> n/ Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arab-nya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan. Contoh:
ﻧﺼﺮ ﻣﻦ ﺍﷲ ﻭﻓﺘﺢ ﻗﺮﻳﺐ
ﷲ ﺍﻷﻣﺮ ﺟﻤﻴﻌﺎ
/Nas}run minalla> hi wa fath}un qari> b/ /Lilla> hi al-amru jami> ‘an/ /Lilla> hil-amru jami> ‘an/
24