BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sastra diadaptasi dari dunia nyata berupa pengalaman yang kemudian digambarkan melalui tulisan oleh pengarang. Saxby dalam Nurgiyantoro (2005: 4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Sastra merupakan sebuah cermin atau gambar mengenai kenyataan (Luxemberg dkk. 1989: 19). Oleh karena sastra merupakan pencerminan dari kehidupan nyata, maka di dalamnya terkandung pengetahuan yang dapat memberikan pemahaman tentang kehidupan tersebut. Pemahaman itu datang dari eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan berupa penemuan serta informasi lain yang dapat memperkaya pengetahuan pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 3). Seperti pendapat Horace dalam Pradopo, fungsi seni sastra ialah dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna (Pradopo, 1994: 3). Maka selain memberi kesenangan, membaca karya sastra juga dapat memberi manfaat di antaranya berupa bertambahnya informasi. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu (Semi, 1993: 1). Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren, 1990: 3). Hal ini berarti, sastra adalah suatu kegiatan kreatif dan sebuah karya seni yang produknya dituangkan melalui tulisan oleh pengarang menggunakan bahasa
1
2
estetis (indah), tidak menggunakan bahasa sehari-hari sehingga menarik untuk dibaca. Kegiatan membaca karya sastra merupakan salah satu bentuk dari apresiasi terhadap karya sastra tersebut. Apresiasi karya sastra memang tidak hanya dalam bentuk dinikmati, tetapi juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan (Fananie, 2002: 67). Untuk itu penulis mencoba mengangkat salah satu cerita pendek karya Akutagawa Ryuunosuke yang berjudul Majutsu sebagai objek untuk diteliti. Akutagawa Ryuunosuke lahir pada tanggal 1 Maret 1892 di Irifunecho, Tokyo. Akutagawa sudah menaruh minatnya pada karya sastra semenjak duduk di sekolah dasar. Ia menyukai karya dari penulis di zaman Meiji, salah satunya Natsume Soseki.Tahun 1913 Akutagawa masuk jurusan Sastra Inggris di Universitas Tokyo, kemudian bersama dengan Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menerbitkan kembali majalah sastra universitas Shinshicho (Aliran Pemikiran Baru) dan mulai menerbitkan karyanya pada majalah tersebut. Lalu pada tahun 1915 Akutagawa menerbitkan karyanya yang berjudul Rashomon. Karya tersebut berisi kumpulan cerpennya yang terbaik. Tahun 1916 cerpen Akutagawa berjudul Hana (hidung) dipuji oleh Natsume Soseki, sastrawan besar pada saat itu. Lulus universitas di peringkat dua dari 20 mahasiswa, Akutagawa tetap berkarya di bidang kesusastraan. Menerbitkan antologi cerpen Rashomon dan kumpulan cerpen berjudul Yabu no Naka, lalu berkarir di surat kabar Osaka Mainichi Shinbun untuk terus menulis karya fiksi sampai kontraknya habis pada tanggal 12 Maret 1919. Semasa hidupnya, Akutagawa telah menulis banyak karya sastra, diantaranya adalah Rashomon, Hana, Kappa, dan Majutsu. Bahkan temannya
3
yang bernama Kikuchi Kan mendirikan Akutagawasho (Penghargaan Akutagawa) pada tahun 1935. Penelitian sebuah karya sastra yang lebih dalam membutuhkan pemahaman dari ilmu lain, salah satunya adalah ilmu psikologi. Psikologi lahir sebagai ilmu yang berusaha memahami manusia seutuhnya, yaitu melalui pemahaman terhadapkepribadian (Alwisol, 2009: 1). Dengan kata lain, psikologi merupakan ilmu yang mempelajari kepribadian manusia seperti cara berpikir, tingkah laku dan mental manusia. Sedangkan sastra adalah suatu kegiatan seni yang berkaitan dengan dunia fiksi, drama, puisi dan essai yang dipengaruhi dari persoalan kehidupan di dunia nyata. Walaupun berbeda namun keduanya memiliki kesamaan yaitu baik ilmu psikologi maupun karya sastra sama-sama membahas manusia dan kehidupan sebagai sumber kajiannya. Kehidupan dalam karya sastra berasal dari pengalaman dan imajinasi pengarang lalu diolah hingga berwujud teks dan menjadi sebuah karya sastra yang menarik untuk dibaca, seperti misalnya karya sastra berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke. Untuk itu, selain isinya menarik, cerita pendek berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dalam bahasa Jepang juga mudah untuk dipahami dan tidak sulit untuk didapatkan. Penulis akan mengkaji lebih lanjut cerita pendek Majutsu dengan teori aktualisasi diri Abraham Maslow sebagai pisau analisisnya. Penulis memilih tokoh Aku untuk diteliti karena tokoh Aku memiliki peran sentral yang perannya sering dimunculkan di dalam cerita. Ia juga lebih banyak dikenai kejadian dan memiliki hubungan dengan tokoh tambahan. Maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Aku memiliki peran yang penting di dalam
4
cerita berdasarkan kedudukannya sebagai tokoh utama. Oleh karena itu penulis akan menganalisis bentuk kejiwaan tokoh utama dalam cerita pendek Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke, yaitu tokoh Aku, menggunakan teori psikologi humanistik Abraham Maslow. 1.2.Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. Oleh karena sastra merepresentasikan sisi-sisi kejiwaan manusia melalui tokoh di dalam cerita, maka bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri tokoh Aku dalam mengendalikan nafsu sebagai salah satu syarat dalam menggunakan ilmu sihir akan diteliti menggunakan teori psikologi humanistik Abraham Maslow. Sedangkan analisis struktural akan mengungkap unsur intrinsik karya sastra untuk mendukung analisis psikologi tersebut. Setelah itu akan disebutkan apa saja faktor-faktor yang menghambat proses aktualisasi diri dari tokoh Aku. 1.3.Tujuan Penelitian Ada dua tujuan di dalam penelitian ini, yaitu tujuan teoretis (ilmiah) dan tujuan praktis (pragmatis). Adapun tujuan teoretis di dalam penelitian ini adalah, yang pertama, untuk mengetahui bagaimana struktur dari cerpen Majutsu karangan Akutagawa Ryuunosuke. Tujuan yang kedua, untuk mengetahui bagaimana karakter dari tokoh Aku. Tujuan yang ketiga, untuk mengetahui bentuk aktualisasi diri tokoh Aku menggunakan teori aktualisasi diri Abaraham Maslow.
5
Tujuan yang keempat, untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang menghambat proses aktualisasi dari tokoh Aku. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya pengetahuan para penikmat karya sastra, khususnya penikmat karya sastra Jepang, karena cerpen ini tidak sepopuler cerpen Akutagawa Ryuunosuke yang lainnya. Selain itu juga untuk menambah wawasan pembelajaran mengenai sastra pada umumnya, dan sastra Jepang pada khususnya. 1.4.Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berfungsi untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur plagiat dalam penelitian meskipun masalah dan objek penelitian sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain. Jika masalah dan objek penelitian sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka perlu dilakukan pembahasan terhadap hasil penelitian itu. Dalam pembahasan itu harus dikemukakan perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan (Jabrohim, 2012: 35). Sejauh yang penulis ketahui, sebelumnya telah banyak penelitian yang menjadikan karya-karya Akutagawa Ryuunosuke sebagai objek untuk diteliti. Namun penulis baru menemukan satu dari penelitian-penelitian tersebut yang menggunakan karya Akutagawa Ryuunosuke berjudul Majutsu sebagai objek penelitiannya. Penelitian sebelumnya ditulis oleh G. Benardi Darumukti dengan judul Analisis Tekstual Roland Barthes Dalam Cerpen Majutsu Karya Akutagawa Ryuunosuke pada tahun 2013. Dalam penelitiannya, Benardi menggunakan teori
6
analisis tekstual semiotik Roland Barthes untuk mengungkap makna yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Sedangkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian Benardi adalah apa saja tanda yang memiliki makna dalam cerpen, makna dari tanda-tanda tersebut, dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui makna-makna yang tersirat dalam cerpen. Dari ketiga masalah tersebut ditemukan jawaban yakni terdapat 61 tanda yang memiliki maknanya masing-masing dan 12 macam makna yang berasal dari tanda tersebut. Makna-makna tersebut banyak yang mengarah kepada hubungan antara Jepang dan India. Kemudian dari makna-makna tersebut Benardi menemukan adanya amanat yang tersirat dari pengarang, yakni Jepang harus mengontrol masuknya pengaruh imperialisme Barat ke dalam negaranya, seperti negara India. Pada tahun ditulisnya Majutsu, yakni 1919, India sudah melakukan tukar menukar kebudayaan dengan negara-negara Eropa, tetapi tetap bisa menjaga kecintaan terhadap negara sendiri. Tebukti dari pertengahan abad ke-19, saat India telah menjadi negara koloni (persemakmuran) dari Inggris. Penelitian yang akan dilakukan dalam skripsi ini menggunakan objek material yang sama dengan yang digunakan oleh Benardi, yakni cerpen berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke. Meskipun objek penelitiannya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Penelitian di atas menggunakan teori analisis tekstual Roland Barthes untuk mengetahui tanda dan makna yang terdapat dalam cerpen, sedangkan penelitian ini akan menggunakan teori aktualisasi diri Abraham Maslow untuk mengetahui bentuk aktualisasi diri dari tokoh Aku.
7
1.5.Landasan Teori Pada dasarnya suatu penelitian tidak dapat dijalani tanpa menggunakan teori sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian permasalahan. Teori berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah (Jabrohim, 2012: 35). Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori psikologi sastra, yaitu teori aktualisasi diri Abraham Maslow, sebagai alat untuk memecahkan masalah. Psikologi sastra adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual (Sangidu, 2004: 30). Oleh karena itu dibutuhkan teori psikologi sastra untuk mengungkap kepribadian tokoh yang ada di dalam karya sastra yang akan diteliti. Pendekatan psikologi dalam penelitian terhadap karya sastra dapat berpijak pada psikologi kepribadian yang dikembangkan Sigmun Freud ataupun teori-teori psikologi lainnya bergantung pada karya sastra yang diteliti (Sangidu, 2004: 30). Di dalam penelitian ini peneliti akan mengungkap aktualisasi diri tokoh Aku dalam cerpen berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke. Untuk mendukung hal itu peneliti akan menggunakan teori aktualisasi diri Abraham Maslow. Akan tetapi, dalam membedah suatu karya sastra harus terlebih dahulu mengetahui unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut.
8
Maka ada dua teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori struktural dan teori aktualisasi diri Abraham Maslow. Teori struktural akan digunakan terlebih dahulu untuk mengetahui bentuk struktur dari cerpen Majutsu, kemudian menggunakan teori aktualisasi diri Abraham Maslow untuk mengetahui bagaimana bentuk aktualisasi diri dari tokoh utama dalam cerpen, yakni tokoh Aku. 1.5.1. Teori Struktural Teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Sebuah struktur karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangkaian unsurunsurnya (Sangidu, 2004: 16). Pengertian struktur pada pokoknya mengartikan bahwa sebuah karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan (Luxemberg dkk. 1989: 38). Beardsley dalam Jabrohim (2012: 69) mengatakan bahwa untuk memahami maknanya, sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Oleh karena itu, untuk menangkap makna yang terkandung di dalam sebuah karya sastra diperlukan pembedahan menggunakan teori struktural tanpa mempedulikan unsur ekstrinsik sebuah karya sastra.
9
Stanton membagi unsur intrinsik sastra menjadi tiga, yaitu tema, fakta cerita dan sarana sastra. Fakta cerita terdiri dari karakter, alur dan latar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Stanton (2012: 22) karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Sedangkan sarana sastra terdiri dari konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, klimaks sertatone dan gaya. Menurut Semi (1993: 76), penelitian yang menggunakan metode psikologi sastra tidak perlu membahas semua unsur-unsur intrinsik karya sastra. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pendekatan psikologis menekankan analisis dari segi intrinsik terutama segi penokohan atau perwatakan (Semi, 1993: 79). Kemudian antara penokohan dan latar memiliki jalinan keterikatan kaitan timbalbalik yang erat. Sifat seorang tokoh dapat dibentuk oleh keadaan latarnya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 2012: 209). Stanton (2012: 35) juga menyatakan bahwa latar terkadang dapat berpengaruh pada karakter-karakter. Maka dalam analisis struktural cerpen Majutsu penulis hanya akan menguraikan unsur intrinsik berupa tema dan fakta cerita karena mendukung analisis yang akan dilakukan selanjutnya, yaitu analisis psikologi aktualisasi diri Abraham Maslow. 1.5.1.1.Tema Stanton (2012:37) menyebutkan bahwa tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Tema memiliki koherensi
10
dan makna pada fakta-fakta cerita (2012: 39). Ini berarti, tema memiliki keterikatan dengan setiap peristiwa, kejadian, detail cerita dan memiliki makna pada fakta-fakta dalam cerita. Maka cara untuk menentukan tema adalah dari keseluruhan cerita, bukan dari bagian-bagian tertentu dalam cerita. Hal ini selaras dengan pernyataan Nurgiyantoro (2012: 68) untuk menentukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. 1.5.1.2.Fakta cerita a. Tokoh dan penokohan Jones dalam Nurgiyantoro (2012: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran jelas tentang seseorang yang berada dalam cerita. Istilah “tokoh” mengacu pada pelaku cerita, sedangkan, sedangkan “penokohan” mengacu pada penempatan tokoh-tokoh itu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan moral, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012: 167). Tokoh dari karya fiksi yang ditulis oleh pengarang sebagian besar berupa tokoh yang berasal dari imajinasi pengarang (tokoh rekaan). Seperti yang ditulis oleh Fananie (2002:86) kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah
11
cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot dan tema (Fananie, 2002: 86). Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengalami berbagai macam peristiwa di dalam karya sastra, dan merupakan salah satu unsur yang membangun cerita. Pengarang menggunakan tokoh yang posisinya strategis untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca, misalnya pesan moral atau amanat. Tokoh yang muncul di dalam cerita ada dua macam, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama diperankan secara terus menerus sehingga terasa seperti mendominasi cerita. Sedangkan tokoh tambahan hanya tampil beberapa kali saja di dalam cerita.Nurgiyantoro (2012: 176) menyebutkan tokoh yang dominan disebut tokoh utama cerita (central character atau main character). Sedangkan tokoh yang tampil beberapa kali tadi disebut tokoh tambahan (peripheral character). 1. Tokoh utama Tokoh utama adalah tokoh yang paling diutamakan penceritaannya, paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2012: 176-177). Tokoh utama, karena pemunculannya yang diutamakan dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita, memiliki peran penting dalam perkembangan plot secara keseluruhan.
12
2. Tokoh tambahan Tokoh tambahan tampil beberapa kali di dalam cerita. Kehadirannya tidak mendominasi seperti tokoh utama. Seperti yang dikatakan oleh Nurgiyantoro (2012: 177) kehadiran tokoh tambahan, yang pemunculannya dalam cerita lebih sedikit daripada tokoh utama, hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama baik secara langsung maupun tidak. b. Latar Latar atau setting merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 216). Latar memberikan penggambaran cerita secara jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2012: 217). Pembaca dengan imajinasinya masing-masing akan masuk ke dalam penggambaran cerita melalui penggambaran latar yang ditulis oleh pengarang. Unsur latar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga bagian itu, meskipun menawarkan permasalahan yang berbeda, sebenarnya saling berkaitan dan saling mempengaruhi (Nurgiyantoro, 2012: 227). 1. Latar tempat Latar tempat memiliki deskripsi lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat itu mungkin berupa tempat-
13
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa kejelasan nama. Latar tempat dengan nama tertentu seharusnya mencerminkan atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2012: 227). 2. Latar waktu Latar waktu berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan di dalam karya fiksi. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya, yang berasal dari luar cerita itu. Adanya persamaan perkembangan atau kesejalanan waktu itu juga dimanfaatkan untuk memberi kesan pada pembaca bahwa cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2012: 230). 3. Latar sosial Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat tertentu yang diceritakan di dalam karya fiksi. Ia merupakan bagian latar secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2012; 233). Ketiga unsur latar itu, dalam sebuah kesatupaduan, akan membawa pembaca pada makna yang lebih khas dan meyakinkan daripada ketika berdiri sendiri-sendiri (Nurgiyantoro, 2012: 237). 1.5.2. Teori Aktualisasi Diri Menurut Maslow, tingkah laku manusia ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupannya bahagia dan memuaskan
14
(Maslow dalamGoble, 1987: 70). Untuk mencapai tujuan agar bahagia dan memuaskan, terdapat tingkatan kebutuhan dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow akan digunakan penulis untuk menganalisis tokoh Aku dalam cerita pendek berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke. Menurut Maslow, manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang kemudian menjadi motivasi dalam diri manusia untuk mengaktualisasikan diri. Inilah gambar dari teori Abraham Maslow:
Kebutupan akan
Kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta
Kebutuhan akan rasa ainan
Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan akan aktualisasi diri berada ditingkat paling atas. Prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri ialah memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih rendah: (1) kebutuhan-kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan-kebutuhan akan memiliki cinta, (4) kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (Maslow dalam Schultz, 1991:
15
90). Keempat kebutuhan tersebut harus sebagian terpuaskan terlebih dahulu sebelum timbul kebutuhan yang kelima, yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri. a. Kebutuhan fisiologis Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan terhadap makanan, air, udara, tidur, dan seks dan pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan itu sangat penting untuk kelangsungan hidup (Maslow dalamSchultz, 1991: 91). Dengan kalimat yang berbeda, Goble (1991: 71) memaparkan bahwa kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling dasar, paling kuat dan paling jelas antara kebutuhan manusiauntuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhannya untuk makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur dan oksigen. Ketika seseorang merasa lapar maka kebutuhan fisiologisnya belum tercapai dan ia akan mencari cara untuk memuaskan kebutuhan fisiologisnya tersebut, yaitu makan atau melakukan aktivitas lain seperti minum air putih atau merokok. Seperti yang dijelaskan oleh Maslow dalam Gobel (1987: 71) ia akan mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. Mungkin sekali untuk sedikit memuaskan rasa lapar dengan kegiatan lain seperti minum air atau merokok (Maslow, 1994: 45). Kemudian setelah kebutuhan fisiologis tercapai, muncul kebutuhan lain dengan tingkat yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman. b. Kebutuhan akan rasa aman Pada tingkat yang kedua terdapat kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhankebutuhan
ini
meliputi
kebutuhan-kebutuhan
akan
jaminan,
stabilitas,
16
perlindungan, ketertiban, bebas dari ketakutan dan kecemasan (Maslow dalamSchultz, 1991: 91). Pada orang dewasa yang normal dan sehat, kebutuhan ini akan terpuaskan. Mereka yang merasa tidak aman akan bertingkah laku seolaholah sedang terancam bahaya besar (Goble, 1987: 73). c. Kebutuhan akan memiliki dan cinta Orang mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di tengah kelompoknya. Ketiadaan akan keterikatan ini akan mengakibatkan seseorang merasa terasing (Goble, 1987: 74). Maslow menemukan bahwa tanpa cinta pertumbuhan dan perkembangan kemampuan orang akan terhambat (Goble. 1987: 75). Namun yang perlu ditekankan di sini adalah cinta dan kasih sayang tidaklah sama dengan kegiatan seks. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maslow (1994: 55) bahwa seks merupakan suatu kebutuhan yang murni bersifat fisik. d. Kebutuhan akan penghargaan Kebutuhan pada tingkat keempat adalah kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan ini, menurut Maslow (1994: 55), meliputi dua hal, yakni, harga diri dan penghargaan dari orang lain. Penghargaan atas diri sendiri, seperti kepercayaan diri, kemampuan, prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Sedangkan yang kedua adalah penghargaan dari orang lain, seperti pengakuan, kedudukan, perhatian dan lain-lain. Bila kebutuhan seseorang pada tingkat ini terpenuhi maka orang tersebut akan merasa lebih percaya pada diri sendiri (Maslow, 1994: 56).
17
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri Pada tingkat teratas terdapat kebutuhan psikologis yang dimiliki oleh seseorang
untuk
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
menggunakan
kemampuannya. Maslow juga melukiskan kebutuhan ini sebagai “hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya” (Maslow dalam Goble, 1987: 77). Dengan kata lain, kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan seseorang untuk menjadi dirinya seperti yang ia mampu dan yang ia mau. Kebutuhan ini, yang berada di tingkatan paling atas, muncul setelah kebutuhan-kebutuhan di bawahnya terpenuhi (Goble, 1987: 77). Berikut ini adalah beberapa gambaran mengenai aktualisasi diri: a. Melihat hidup secara jernih Orang-orang yang teraktualisasi dirinya melihat hidup secara jernih, apa adanya, dan bukan dengan menurut kepada keinginan mereka (Maslow dalam Goble, 1987: 51).
Dengan kata lain, orang yang teraktualisasikan dirinya
memandang hidup secara objektif. b. Mengabdikan dirinya pada pekerjaan atau kewajiban Mereka yang mengaktulisasikan dirinya akan mengabdikan dirinya pada pekerjaan, kewajiban, atau panggilan tertentu yang mereka anggap penting. Karena rasa tanggung jawab yang besar, mereka akan selalu melakukan yang terbaik menurut kemampuannya (Maslow dalam Goble, 1987: 53).
18
c. Kreatif dan spontan Sifat kreatif yang berupa fleksibilitas, spontanitas, berani membuat kesalahan, keterbukaan dan kerendahan hati dimiliki oleh mereka yang mengaktualisasikan diri. Kreativitas itu menuntut keberanian, kemampuan untuk bertahan, mampu mengabaikan kritik serta cemooh, dan mampu menolak pengaruh kebudayaannya sendiri (Maslow dalamGoble, 1987: 54). Sedangkan sifat spontanitas memiliki penggambaran yang hampir sama dengan kreativitas, yaitu lebih ekspresif, wajar dalam bersikap, polos dan tidak menyembunyikan perasaan, pikiran, dan tidak bertingkah laku dibuat-buat. d. Kadar konflik dirinya rendah Orang yang mengaktualisasikan dirinya tidak berperang melawan dirinya sendiri, kepribadiannya menyatu, memiliki banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif (Maslow dalamGoble, 1987: 55). Golongan orang ini tidak banyak membuang-buang waktu serta tenaga untuk melindungi diri mereka sendiri. Hasrat-hasrat mereka sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan mereka (Goble, 1987: 56). e. Mempunyai kemerdekaan psikologis Orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya mampu mengambil keputusan-keputusan mereka sendiri sekalipun melawan pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak jika memang tidak sejalan dengan pandangan mereka (Maslow dalamGoble, 1987: 59).
19
1.6.Metode Penelitian Metode penelitian adalah urutan-urutan bagaimana suatu kegiatan penelitian dilakukan oleh peneliti (Nazir dalam Sangidu, 2004: 6). Metode adalah cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Poerwadarmintadalam Sangidu, 2004: 16).Dengan kata lain, metode merupakan cara kerja yang berupa urutan yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitiannya guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penelitian di dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bersifat menjelaskan dan menggambarkan.Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka (Moleong, 1989: 7). Ada enam tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, dengan kegiatan mencari objek yang akan diteliti, yaitu cerita pendek Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dalam bahasa Jepang. Kedua, membaca objek secara keseluruhan. Ketiga, menampilkan permasalahan yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Keempat, menentukan teori yang akan digunakan untuk membedah permasalahan, yaitu teori strukturalisme guna membahas unsur intrinsik di dalam karya sasta dan teori aktualisasi diri Abraham Maslow. Kelima, mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan di bagian permasalahan. Keenam, mengolah, menganalisis lalu intepretasi data sehingga mendapatkan kesimpulan. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan. Maka penulis hanya akan menganalisis dan meneliti dari sumber buku saja. Buku yang penulis gunakan
20
sebagai referensi didapat dari perpustakaan yang mudah diakses oleh penulis serta koleksi pribadi penulis. 1.7. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan didalam penelitian ini akan disajikan dalam tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, penutup, dan terdiri dalam empat bab. Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II dan III adalah isi. Bab II berisi hasil analisis unsurunsur intrinsik, yaitu tema, tokoh dan latar, yang terdapat dalam cerpen berjudul Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke menggunakan teori struktural. Kemudian bab III akan menjelaskan aktualisasi diri dari tokoh Aku dengan menggunakan teori psikologi Abraham Maslow. Terakhir, Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan jawaban dari persoalan-persoalan yang telah dirumuskan dan saran. Kemudian akan diikuti dengan daftar pustaka serta lampiran cerita pendek Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke.