Bab I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemerintah daerah harus dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan ekonomi yaitu; pertama adalah tentang bagaimana pemerintah daerah dapat menghasilkan finansial
untuk menjalankan organisasi termasuk
memberdayakan masyarakat, kedua bagaimana pemerintah daerah melihat
fungsinya
mengembangkan
kemampuan
ekonomi
daerah
(Nugroho, 2000 : 109). Dengan demikian dapat dipahami salah satu ciri utama kemampuan suatu daerah adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah, sehingga daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Menurut Kaho (1997 : 124) untuk menjalankan fungsi pemerintahan faktor keuangan suatu hal yang sangat penting karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Pemerintah daerah tidak saja menggali sumber-sumber keuangan akan tetapi juga sanggup mengelola dan menggunakan secara value for money dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin dapat ditekan. Dengan dikuranginya ketergantungan kepada pemerintah pusat
2
maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan di daerah. Salah satu fungsi pemerintah daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daerah. Untuk melaksanakan fungsi ini dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan upaya-upaya dalam usaha menambah dan memupuk sumber pendapatan daerah. Lebih lanjut otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut (Mardiasmo, 2002) yaitu: 1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 2. Meningkatkan
kualitas
pelayanan
umum
dan
kesejahteraan
masyarakat 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. Dalam upaya itu salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah membentuk suatu usaha kerjasama dengan pihak lain melalui penyertaan modal daerah. Upaya Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah dituangkan dalam suatu ketetapan daerah yang berbentuk Peraturan
3
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1990 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pada Pihak Ketiga. Peraturan Daerah ini memuat aturan dan tata cara pelaksanaan kerjasama pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Kerjasama tersebut berbentuk penyertaan modal daerah kepada pihak ketiga. Modal daerah adalah kekayaan daerah yang belum dipisahkan baik berwujud uang ataupun barang yang dapat dinilai dengan uang seperti tanah, bangunan, mesin, inventaris, surat-surat berharga, fasilitas dan hak-hak lain. Penyertaan modal daerah adalah setiap usaha dalam menyertakan modal daerah pada suatu usaha bersama dengan pihak ketiga dan atau pemanfaatan modal daerah oleh pihak ketiga dengan suatu imbalan tertentu. Pihak ketiga tersebut adalah instansi atau Badan Usaha dan atau perseorangan yang berada di luar organisasi pemerintah daerah antara lain Pemerintah Pusat, pemerintah daerah lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Usaha Koperasi, Swasta Nasional dan atau Swasta Asing yang tunduk pada Hukum Indonesia. Penyertaan modal pada pihak ketiga tersebut dilaksanakan dengan cara : pembelian saham dari Perseroan Terbatas (PT) yang telah berbadan hukum dan mempunyai prospek yang baik, sebagai pendiri dalam pembentukan Perseroan Terbatas (PT), kontrak manajemen, kontrak produksi, kontrak bagi keuntungan, kontrak bagi hasil usaha dan kontrak bagi tempat usaha. Penyertaan modal daerah dalam bentuk uang terlebih dahulu dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
4
Daerah. Setelah tersedia dana untuk pembelian saham dapat diadakan penjajagan terhadap Perseroan Terbatas yang akan menjual saham untuk mendapatkan data, informasi mengenai jenis dan harga saham dimaksud. Apabila Gubernur dapat menyetujui jenis dan harga saham yang dimaksud, maka untuk pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur tentang pembelian saham dimaksud. Kemudian Gubernur dapat menunjuk pejabat untuk bertindak mewakili Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembelian saham. Penyertaan modal daerah dalam bentuk barang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penyertaan modal daerah dalam bentuk barang tidak bergerak sebelum pelaksanaannya perlu pengesahan Menteri Dalam Negeri. Setiap melakukan penyertaan modal daerah dalam pembentukan perseroan terbatas ditetapkan dengan peraturan daerah. Modal daerah yang tertanam dalam perseroan terbatas merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dalam hal penyertaan modal daerah pada suatu Perseroan Terbatas (PT), maka untuk mewakili pemerintah daerah, Gubernur menunjuk pejabat yang akan duduk sebagai Anggota Dewan Komisaris, jika berdasarkan jumlah saham yang dimiliki oleh Daerah ada hak untuk duduk dalam
Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagian laba atau hasil usaha penyertaan modal daerah pada pihak ketiga yang menjadi hak daerah, yang diperoleh selama Tahun Anggaran Perusahaan disetor ke Kas
5
Daerah dan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun berikutnya. Sebuah kebijakan yang baik belum menjadi jaminan bahwa out comes-nya akan baik juga. Seringkali kebijakan yang dirumuskan dengan baik, namun hasilnya malah justru mengecewakan. Untuk mengetahui apakah kebijakan yang ditempuh telah sesuai dengan yang diinginkan maka diperlukan evaluasi. Dengan evaluasi diukur seberapa berhasil kebijakan itu dilaksanakan. Dengan evaluasi dapat dijawab apakah masalah kebijakan yang ada bisa teratasi dengan kebijakan yang dibuat. Maksud dari pembuatan kebijakan adalah untuk mengatasi masalah kebijakan yang terjadi. Untuk mengetahui apakah Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal Daerah Pada Pihak Ketiga telah dapat mengatasi masalah kebijakan ketika kebijakan ini dibuat, maka harus dilakukan evaluasi. Evaluasi sangat penting dilakukan, selain untuk mengetahui keberhasilan kebijakan yang telah diimplementasikan juga sangat berguna untuk pembuatan kebijakan-kebijakan lain dimasa yang akan datang. Ketepatan dalam membuat sebuah kebijakan dapat memberi peluang dalam mengatasi masalah yang terjadi. Sebaliknya bila kebijakan yang dibuat tidak tepat, maka selain masalah yang ada tidak teratasi juga akan dapat menciptakan masalah-masalah yang baru. Evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu. Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan sebuah kebijakan harus dievaluasi. Untuk dapat mengetahui outcome, dan
6
dampak suatu kebijakan sudah tentu diperlukan waktu tertentu, misalnya, 5 tahun semenjak kebijakan itu diimplementasikan untuk kebijakan yang bersifat teknis dan operasional. Bahkan untuk kebijakan yang bersifat strategis dibutuhkan waktu yang lebih lama, setidaknya 10 tahun (Sofian, 2003). Sebab kalau evaluasi dilakukan terlalu dini, maka outcome dan dampak dari suatu kebijakan belum nampak. Sedangkan untuk Peraturan Daerah
Penyertaan
Modal
Pemerintah Propinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta Pada Pihak Ketiga telah diimplementasikan selama lebih kurang 15 tahun sehingga memenuhi syarat kecukupan waktu untuk dievaluasi. Sebelum dikeluarkannya kebijakan ini sudah ada upaya Pemerintah Daerah untuk menambah pemasukan bagi kas daerah, yang sebagian tujuan usaha tersebut sama dengan tujuan dari kebijakan Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga. Upaya tersebut adalah Badan Usaha Milik Daerah, namun kontribusinya bagi pendapatan daerah masih belum banyak. Menurut Haris S (2005) hal ini disebabkan : 1. Jenis usaha yang kurang cocok untuk dikelola secara perusahaan; 2. Sifat kegiatan yang tidak dikelola sebagai usaha bisnis; 3. Struktur
organisasi/kelembagaan
yang
menyebabkan
naiknya biaya (inefisiensi); 4. Kemampuan SDM yang rendah; maupun 5. Adanya campur tangan politis dalam aktivitas perusahaan.
7
Kemudian Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (dalam Joedo : 2006) menyatakan
kegagalan BUMD dalam peningkatan laba
dimungkinkan oleh kondisi motif pelayanan masyarakat lebih dominan daripada motif pemupukan laba (provite motive), atau kondisi ini dimanfaatkan sehingga terjadi stagnasi dalam pencapaian labanya setiap tahunnya. Fakta ini tidak memadai jika dibandingkan dengan salah satu maksud dan tujuan dari pendirian perusahaan-perusahaan daerah dan badan-badan usaha daerah, yaitu sebagai sumber keuangan daerah guna meningkatkan
kemampuan
dan
kekuatan
daerah
dalam
menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah dan penyelenggaraan pelayanan umum. Lebih lanjut Joedo (2006 : 49) mensinyalir penyebab jeleknya kinerja BUMD tersebut adalah manajemen yang tidak cukup profesional, budaya perusahaan yang tidak sesuai, dan lingkungan strategis yang seringkali menjadi tambahan beban bagi BUMD. Tanri Abeng (dalam Sandiwan Suharto : 2000) membuat konsonansi dan komparasi antara BUMN dan BUMD. Dikatakannya bahwa ada beberapa kesamaan fundamental antara BUMD dan BUMN. Pertama,
keduanya
menjadi
salah
satu
sumber
pembiayaan
pembangunan. Bedanya, BUMN menjadi sumber di tingkat nasional (APBN), sementara BUMD menjadi sumber pendanaan tingkat lokal (APBD Propinsi dan APBD Kota/Kabupaten). Kedua, biasanya keduanya sama-sama menjalankan bisnis yang monopoli karena menyangkut hajat
8
hidup orang banyak. Tidak terdapat perbedaan antara fondamen dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ketiga, keduanya mempunyai hubungan erat dengan birokrasi pemerintah. Oleh karena kesamaan-kesamaan tersebut, keduanya juga mempunyai ”penyakit” yang relatif sama. Pertama, keduanya overbureucratized. Kedua, sama-sama tidak terbiasa berorientasi pasar sehingga tidak terbiasa berkompetisi. Tony Prasentiantono (2005) menjelaskan eksistensi BUMD saat ini dalam teori property rights dan principal agent. Dalam teori property rights dikemukakan esensinya perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu, yang bebas menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya.
Konsekuensinya,
mereka
akan
mendorong
semaksimal
mungkin usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan. Sebaliknya BUMD tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh Pemerintah Daerah. Dalam realitas, pengertian Pemerintah Daerah menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah justru tanpa pemilik. Akibatnya manajemen BUMD menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi. Dalam toeri principal agent diungkapkan peta hubungan antara principal (pemilik perusahaan, untuk BUMN adalah pemerintah daerah) dan agent (perusahaan, yakni BUMD). Disektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen) tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholders). Pada BUMD manajemen tidak jelas harus loyal kepada siapa. Disini nuansa
9
politisasi kemudian menjadi kental karena berbagai kepentingan politik bermain, yang pada akhirnya dapat menyebabkan BUMD tereksploitasi oleh para politisi. Para pengelola BUMD terpaksa harus ”meladeni” para politisi sehingga mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi. Upaya menghilangkan intervensi politik dalam pengelolaan BUMD ini ditempuh dengan konsep stakeholder economy, perusahaan harus memiliki tanggung jawab terhadap sejumlah pihak terkait (stakeholders). Output dari kebijakan tentang penyertaan modal daerah pada pihak ketiga adalah terbentuknya suatu bentuk usaha bersama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga, diantaranya adalah pihak swasta. Dalam konsep stakeholder economy tentunya hal ini akan memberikan implikasi positif terhadap kinerja perusahaan untuk bisa dikelola secara efisien
dan
efektif.
Dengan
lebih
tertatanya
perusahaan
secara
organisasi/kelembagaan, sumber daya manusia serta struktur keuangan dan permodalan, diharapkan kinerja perusahaan akan menjadi lebih baik.
1.2.
Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja kebijakan Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ? 2. Bagaimana implikasi kebijakan penyertaan modal daerah pada pihak ketiga terhadap aspek-aspek perusahaan ?
10
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Untuk melihat kinerja kebijakan Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga . 2. Untuk mengetahui implikasi kebijakan penyertaan modal daerah pada pihak ketiga terhadap aspek-aspek perusahaan 1.4. Faedah Penelitian Terdapat berbagai faedah yang mungkin diharapkan dari penelitian ini. Akan tetapi secara eksplisit penulis membaginya ke dalam 3 buah faedah khusus yaitu: 1. Mampu memberikan wacana bagi para perumus dan pengambil kebijakan
dalam
penetapan
kebijakan.
Melalui
penelitian
ini
diharapkan dapat mengoptimalkan manfaat sekaligus meminimalisasi resiko yang ada seperti yang telah disinyalir. Lebih jauh diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana pendukung bagi teori-teori pembangunan daerah terutama dalam kontek penanaman modal. 2. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DPRD dan para elit lokal dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daerah agar kebijakan yang diambil benar-benar efektif dan memiliki keberpihakan kepada publik.
11
3. Terutama bagi penulis sendiri penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan metodologi penelitian evaluasi. 1.5. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi dan lainnya yang ingin diatasi dengan Peraturan Daerah Propinsi DI. Yogyakarta tentang Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga. Uraian singkat gambaran keadaan BUMD secara umum. Uraian singkat tentang latar belakang teoritis tujuan dari studi implementasi (evaluasi) kebijakan. Penjabarannya dimulai dengan uraian Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Faedah Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan konsep pokok serta pendekatan teori yang akan digunakan untuk memahami kebijakan Penyertaan Modal Daerah
Pada
Pihak
Ketiga
Penjabarannya disusun dengan
dan
aspek-aspek
perusahaan.
pendeskripsian tentang Kinerja
Kebijakan, Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga serta tentang Aspek-aspek Perusahaan.
12
BAB III METODE PENELITIAN Pada bagian ini diuraikan cara penelitian yang dipilih di dlam menjawab pertanyaan penelitian serta juga menguraikan secara jelas metode pengukuran variabel-variabel pokok serta teknik analisis yang akan digunakan. Penjabarannya disusun atas Jenis Penelitian, Unit Analisa, Sumber Data dan Tehnik Pengumpulan Data. BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Bab ini berisikan deskripsi secara umum Propinsi DI. Yogyakarta dan profil PT. Anindya Jogja, berupa Sejarah Pendirian Perusahaan, Peran dan Fungsi, Struktur Organisasi. BAB V KINERJA KEBIJAKAN PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA Hasil
analisis
tentang
tingkat
keberhasilan
implementasi
kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan. Dijabarkan berdasarkan
output
kebijakan yaitu sosialisasi, promosi dan usaha kerjasama yang terbentuk; effect kebijakan yaitu aksesibilitas, cakupan, frekuensi, akuntabilitas;
serta
impact
kebijakan
yang
diuraikan
dengan
peningkatan PAD dan peningkatan lapangan pekerjaan; faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan.
13
BAB
VI
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
TERHADAP
ASPEK-ASPEK
PERUSAHAAN PT. ANINDYA Pada bab ini dideskripsikan hasil identifikasi peneliti tentang implikasi kebijakan terhadap aspek-aspek perusahaan pada PT. Anindya.
Penjabarannya
dimulai
dengan
Pengidentifikasian
Manajemen yang terdiri atas paradigma, struktur organisasi, nilai perusahaan;
Budaya Korporat yang meliputi orientasi kerja, cara
menghadapi masalah, pola pemberian ganjaran, komunikasi dan kesetaraan; serta aspek Lingkungan Strategis yang berupa intervensi politik dan pengetahuan masyarakat. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini terdiri dari dua bagian yakni kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan dilaporkan ringkasan analisis serta kesimpulankesimpulan teoritis dan praktis dari analisis. Atas dasar kesimpulankesimpulan teoritis dan praktis tersebut diberikan saran-saran untuk kajian lebih lanjut, kalau hal tersebut dirasa perlu, serta saran-saran guna memperbaiki kinerja kebijakan.