BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era otonomi daerah telah diberikan kewenangan lebih besar pada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, sehingga daerah menjadi lebih mandiri. Akan tetapi dalam rangka desentralisasi pemerintah pusat tidak begitu saja melepaskan tanggungjawabnya
kepada
pemerintah
daerah
untuk
membiayai
urusan
pemerintahannya. Hal ini mengingat dana yang diberikan dalam beberapa bentuk, seperti dana perimbangan, dana otonomi khusus maupun dana penyesuaian ternyata belum cukup untuk menutupi kebutuhan belanja daerah. Oleh karenanya pemerintah daerah dituntut mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan belanja daerah tersebut yaitu dengan cara mengoptimalkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan unit usaha milik pemerintah yang bertujuan untuk mengoptimalisasi potensi ekonomi di daerah dalam upaya menggali dan mengembangkan sumberdaya daerah, memberikan pelayanan masyarakat atau publik services serta mencari keuntungan atau profit motif. Alasan strategis mendirikan BUMD adalah mendirikan lembaga usaha yang melayani kepentingan publik, namun masyarakat atau swasta tidak mampu atau belum mampu melakukannya, baik karena investasi sangat besar, risiko usaha yang sangat besar maupun karena eksternalitasnya sangat besar dan luas. Alasan budget merupakan alasan
bagi pemerintah bahwa daerah perlu mempunyai sumber
1
pendapatan diluar pajak, retribusi dan alokasi dana dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran belanja dan pembangunan daerah. Dalam mengantisipasi pasar bebas
dan menghadapi derasnya arus
globalisasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dituntut untuk selalu berorientasi pada pemikiran dan perilaku bisnis kewirausahaan serta dituntut untuk selalu berlaku efisien efektif, produktif dan antisipatif. BUMD juga dituntut mampu bersaing
untuk memenangkan
persaingan
yang
semakin
ketat sekaligus
membangun keunggulan komparatif. Sebagai alat otonomi daerah BUMD harus dapat berperan dalam mendorong perekonomian daerah (agent of development), BUMD juga diharuskan memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem dan struktur perekonomian daerah dan dapat berperan sebagaimana mestinya tanpa meninggalkan fungsi sosialnya. Peranan BUMD dalam sistem perekonomian daerah diharapkan dapat berperan tidak hanya sebagai penyeimbang kekuatan pasar, melainkan juga diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam meningkatkan pendapatan melalui penyetoran laba BUMD. BUMD sebagai sumber pendapatan daerah secara legal formal diakui dalam peraturan perundang-undangan, sehingga muncul rekening “bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah (BUMD)” yang terdapat pada lampiran A.IV Permendagri Nomor 13/2006. Namun hal ini juga bermakna bahwa jika BUMD tidak memperoleh laba, maka pemerintah daerah juga tidak akan memperoleh PAD dari BUMD tersebut. Dengan demikian, besaran PAD yang diperoleh pemerintah daerah dari BUMD tergantung pada besaran laba yang diperoleh BUMD Dengan demikian pembentukan BUMD mempunyai nilai strategis dengan maksud dan tujuan :
2
1. Sebagai unit perekonomian daerah yang berfungsi mengisi otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab. Perusahaan Daerah/BUMD harus dapat membantu kelancaran perkembangan dan pembangunan daerah. 2. Sebagai unit perekonomian daerah harus mampu berfungsi sebagai aparat pengembangan dan pembangunan ekonomi daerah yang secara aktif dan langsung melakukan usaha-usaha diberbagai sektor industri, jasa, perdagangan
tanpa
mengenyampingkan
penyelenggarakan
usaha
pelayanan bagi masyarakat dan kemanfaatan umum yang sekaligus sebagai penyedia lapangan kerja. 3. Sebagai sumber keuangan daerah guna meningkatkan kemampuan dan kekuatan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan umum. Dari sini dapat diketahui bahwa misi BUMD adalah menjadi agent of development yang multi fungsi : perintis pelayanan publik, membuka lapangan kerja, hingga mencari laba untuk mengisi kas daerah. Berdasarkan dinamika hasil rapat internal panitia khusus pembahasan raperda tentang perusahaan daerah pengelolaan properti di DPRD Kota Yogyakarta pada tanggal 2 Desember 2010 telah menyetujui ditetapkannya rancangan peraturan daerah kota Yogyakarta tentang Perusahaan Daerah Pengelolaan Properti atau pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan adanya Peraturan daerah tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tersebut, maka selanjutnya pihak eksekutif dalam hal ini Pemerintah Kota Yogyakarta mengajukan rancangan peraturan daerah mengenai penyertaan modal pada BUMD. Kemudian pihak eksekutif bersama dengan pihak legislatif melakukan proses pembahasan atas rancangan peraturan daerah tentang penyertaan modal tersebut. Selanjutnya apabila telah disepakati bersama maka dilakukan legislasi atas rancangan peraturan
3
daerah
penyertaan modal pada
BUMD kota Yogyakarta yang bernama PD.
Jogjatama Vishesha. Penyertaan modal pemerintah merupakan pengalihan kepemilikan aset milik negara yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan hukum lainnya, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Mengacu pada peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah dijelaskan lingkup penyertaan modal pemerintah tidak hanya penyertaan modal dalam bentuk aset fisik, melainkan juga dalam bentuk aset finansial, yaitu dapat berupa surat berharga (saham) pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga. Sampai dengan tahun 2012, jumlah investasi daerah (penyertaan modal) Pemerintah Kota Yogyakarta pada investasi permanen dengan rincian di tabel 1.1, sebagai berikut : Tabel 1.1 Penyertaan Modal Pemerintah Kota Yogyakarta Sampai Dengan Tahun 2012 Penyertaan Modal pada :
Jumlah Penyertaan Modal
1.
Bank BPD DIY
Rp 29.246.000.000,00
2.
PD. BPR Bank Jogja
Rp 25.000.000.000,55
3.
PDAM Tirta Marta
Rp 15.499.156.979,38
4.
BUKP
Rp
411.000.000,00
5.
PT. Swara Adhiloka
Rp
690.000.000,00
6.
PD. Jogjatama Vishesha
Rp 115.168.720.000,00
Jumlah penyertaan
Rp 186.014.876.979,93
Sumber : DPDPK Kota Yogyakarta, diolah
4
Laba dari penyertaan modal pemerintah daerah merupakan salah satu komponen PAD selama ini keberadaannya belum mampu menjadi tulang punggung sumber penerimaan daerah. Ketidakefektifan Badan Usaha BUMD tercermin pada kecilnya laba bersih yang dihasilkan. Secara Agregat penerimaan laba BUMD kota Yogyakarta memberi kontribusi laba dari total PAD mulai tahun 2008 adalah 6,38% , pada 2009 (6,33 %), pada 2010 (6,15 %), pada 2011 (4,42%) dan pada 2012 sebesar 3,39 %. Sementara pajak daerah masih merupakan komponen penyumbang terbesar PAD yakni berkisar antara 47,16 persen sampai dengan 61,48 persen, kemudian berturut-turut diikuti retribusi daerah dan penerimaan lain-lain. Masih relatif kecilnya bagian laba dari BUMD terhadap penerimaan PAD, mengindikasikan
masih sarat dengan berbagai persoalan. Sementara
kecilnya alokasi dana pembangunan di daerah sangat
besar
tergantung pada besar
kecilnya jumlah penerimaan daerah. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dapat diproyeksikan andil Badan BUMD
dalam menunjang pembangunan daerah
cenderung semakin kecil, bahkan tidak mustahil keberadaan perusahaan daerah akan tergulung oleh perusahaan-perusahaan swasta yang lebih competitive advantage. Tesis ini terutama akan membahas
bagaimana pemerintah daerah
bersama dengan DPRD dalam proses perumusan kebijakan penyertaan modal yang akan dilakukan pada BUMD Perusahaan Daerah Jogjatama Vishesha. Penyertaan modal tersebut berupa uang dan berupa aset tetap beserta kelengkapannya. Untuk aset dan kelengkapannya dilakukan atau didahului dengan penghapusan atau pemisahan aset dari inventaris/kepemilikan pemerintah kota Yogyakarta karena semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara
5
Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Penyertaan modal pada BUMD merupakan bagian dari investasi jangka panjang daerah yang jumlah akumulatifnya disajikan dalam neraca pada sisi aset. Dalam penganggarannya, penyertaan modal atau investasi tersebut tidak diakui sebagai belanja, namun dimasukkan sebagai pengeluaran pembiayaan. Hasil yang diterima dari investasi yang telah dilakukan dikategorikan sebagai PAD yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah mengamanatkan bahwa investasi pemerintah perlu dilakukan dengan proses manajerial yang baik, sehingga memberikan manfaat ekonomi, sosial dan manfaat lainnya. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44, Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas disebutkan dana untuk melakukan investasi harus dipisahkan dari APBD. Hal tersebut berarti aktivitas investasi akan menyebabkan terjadinya pengurangan porsi dana untuk aktivitas belanja (konsumsi) yang dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat sehingga harus dikelola secara efektif, efisien dan ekonomis, serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan data Badan Kerjasama BUMD seluruh Indonesia (BKBUMDSI) hingga tahun 2009 jumlah BUMD mencapai 1.174 yang terdiri dari sektor perbankan, rumahsakit daerah, PDAM, pasar , properti, logistik dan sebagainya. Seiring dengan semangat otonomi tersebut kemudian bermunculan BUMD-BUMD
6
baru. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit dari BUMD yang didirikan itu hanya sekedar pajangan karena belum memiliki core busines yang jelas. Hal ini mengingat banyak diantara BUMD sudah berdiri, namun belum ada kegiatannya, karena merupakan bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah yang
kebanyakan
pegawai
tidak
memiliki
pengalaman
dan
wawasan
entrepreneurship. Ditambah lagi banyak diantara BUMD tersebut tidak memiliki otonomi manajemen, sehingga sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, seperti pinjaman bank, karena kreditur sulit menetapkan siapa yang bertanggungjawab
atas
kolateral
yang
diminta
(www.businessreview.co.id,
15/12/2009). Dari beberapa penelitian yang dilakukan, antara lain oleh Robert (2000) dalam Tae (2009) di PD Pasar Jaya Propinsi DKI. Jakarta menunjukkan bahwa perkembangan tingkat kesehatan perusahaan daerah ibukota Jakarta tersebut mengalami fluktuasi. Pada tahun 1997 tidak ada perkembangan yang dicapai hanya 5,88 persen dan pada tahun 1999 turun sebesar 14,81 persen. Selanjutnya pada tahun 2000 meningkat 6,52 persen. Perkembangan kesehatan PD. Pasar Jaya tersebut dari tahun 1996-2000 menunjukkan trend yang menurun. Penelitian yang dilakukan Tae (2009) pada PD. Flobamor di propinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil rekapitulasi perhitungan antara pendapatan usaha dan biaya operasional perusahaan diketahui bahwa perusahaan tersebut mengalami kerugian selama 3 tahun
berturut-turut. Pada tahun tahun 2003
kerugian yang dialami sebesar Rp 209.105.253 (-247 persen), tahun 2004 sebesar Rp 161.005.932 (-113 persen), dan tahun 2006 dengan jumlah kerugian sebesar Rp 1.154.969.738 (-190). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PD. Flobamor
7
belum dikelola dengan baik dan perlu pembenahan internal manajemen perusahaan. Penyertaan modal/investasi di BUMD sudah sering menjadi perdebatan politik di parlemen daerah (DPRD). Pihak legislatif mengetahui bahwa BUMD adalah milik daerah dan sering terjadi penggelontoran dana APBD yang dianggap sebagai pemborosan. Hal ini mengingat manajemen BUMD umumnya tidak bekerja secara profesional, sehingga tidak menguntungkan secara finansial.
Seperti diketahui
BUMD merupakan perusahaan/bisnis yang tidak menimbulkan kewajiban bagi Pemda untuk mendanai dari APBD (bersifat diskresional) dan dipandang sebagai unit yang hanya menghasilkan dana non-budgeter atau dana taktis bagi kepala daerah. (http://syukriy.wordpress.com,26/01/2010). Pengelolaan atas kekayaan daerah yang dipisahkan menjadi sangat penting ketika
pemerintah
daerah
berusaha
meningkatkan
pendapatannya
untuk
membiayai pelayanan publik yang outcomes-nya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun
dalam kenyataannya hasil yang diperoleh dari aset yang
dipisahkan ini sering sangat kecil, sehingga investasi yang dilakukan secara terus menerus justru hanya seperti “sunk costs” yang terus membebani APBD dan tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dari fakta-fakta empiris tentang BUMD diatas menunjukkan lemahnya kinerja BUMD yang pada akhirnya tidak dapat memberikan kontribusi terhadap PAD. Hal yang terjadi pada Pemerintah Kota Yogyakarta setelah berdirinya BUMD PD Jogjatama Vishesha pada tahun 2010 dan baru ditahun 2012 diambil keputusan untuk dilakukannya penyertaan modal. Dengan lambatnya proses pengambilan keputusan untuk penyertaan modal tersebut menyebabkan hilangnya peluang yang bisa diperoleh. Selain itu juga pemda harus menanggung beban
8
pemeliharaan selama menunggu hasil keputusan penyertaan modal. Dengan tidak beroperasinya XT Square untuk biaya pemeliharaan dalam enam bulan mencapai 100 juta lebih (www.harianjogja.com, 08/06/2012) Berdasarkan
informasi
salah
seorang
dari
Bagian
Perekonomian
Pengembangan Pendapatan Asli Daerah dan Kerjasama, pendapatan bersih yang bisa diperoleh dari operasional pengelolaan XT Square yang dikelola oleh PD Jogjatama Vishesha seandainya bisa segera dioperasikan sampai dengan tahun 2012 adalah sebesar Rp 4.060.135.264,01. Memperhatikan fenomena tersebut kiranya sangat relevan untuk mengkaji lebih jauh berbagai upaya-upaya yang ditempuh pemerintah kota Yogyakarta dalam pengambilan keputusan penganggaran penyertaan modal ditahun 2012 pada Perusahaan Daerah (PD) Jogjatama Vishesha. Hal ini mengingat lambatnya proses pengambilan keputusan penyertaan modal yang dibutuhkan untuk operasional Perusahaan Daerah (PD) Jogjatama Vishesha dimana
belum pernah dilakukan
penelitian tentang hal tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas maka permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah proses pembahasan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD
dalam rangka perumusan kebijakan penyertaan modal
Pemerintah Kota Yogyakarta pada PD. Jogjatama Vishesha tahun 2012 dalam? 2. Faktor-faktor apasajakah yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan penyertaan modal tersebut ?
9
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses yang terjadi dalam perumusan kebijakan penyertaan modal Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta pada PD. Jogjatama Vishesha tahun 2012. 2. Diharapkan dari penelitian ini dapat menjelaskan faktor- faktor
yang
mempengaruhi lambatnya proses perumusan kebijakan penyertaan modal tersebut 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan secara ilmiah dan sistematis bagi pengembangan ilmu administrasi khususnya bagi ilmu Administrasi Publik 2. Sebagai sarana di dalam menambah pengetahuan dan referensi bagi penulis berkaitan dengan investasi dalam penyertaan modal Pemerintah Daerah pada BUMD 3. Sebagai referensi bagi peneliti lain di dalam melakukan penelitian sejenis.
10