BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008:24). Hal tersebut yang menjadi alasan bahasa merupakan alat komunikasi yang penting. Sudah banyak yang mengetahui bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak bahasa. Walaupun bahasa nasionalnya adalah bahasa Indonesia, tetapi karena Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan lautan maka muncullah bahasa-bahasa lokal atau yang biasa disebut dengan bahasa daerah. Dilihat dari sejarahnya, bahasa daerah itu lebih dahulu ada dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh orang Indonesia kurang lebih pada abad ke-7 adalah bahasa Melayu kuno. Bahasa Melayu pada era itu berkembang menjadi bahasa internasional di kawasan semenanjung Melayu dan Indonesia (Masinambow dan Haenen, 2002:14, 31). Bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia disahkan sebagai bahasa nasional karena peristiwa sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Disebutkan pada bait ketiga bahwa “Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Selain pada Sumpah Pemuda, UUD 1945 pasal 36 juga menegaskan bahwa “Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”. Dengan adanya pernyataan seperti itu, bahasa Indonesia sudah sah sebagai bahasa nasional Negara Indonesia, sehingga segala bentuk kegiatan yang bersifat nasional dan umum menggunakan
1
2
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kosa kata pada bahasa Indonesia yang berawal dari adaptasi bahasa Melayu, semakin beragam dengan menggunakan bantuan dari bahasa Inggris dan Belanda. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, tidak menyurutkan penutur bahasa daerah. Masih dapat ditemukan masyarakat Indonesia yang menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Kejadian tersebut disebabkan mereka lebih dahulu mengenal bahasa daerah dibanding dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah dapat dikatakan bahasa ibu mereka, walaupun mereka juga dapat menggunakan bahasa Indonesia. Biasanya penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa utama digunakan untuk menjamu tamu yang berasal dari luar daerah mereka. Dilihat dari kejadian tersebut, masyarakat Indonesia adalah multilingual, karena dapat menguasai dua bahasa atau lebih. Salah satu contohnya adalah bahasa Jawa. Dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia umumnya dan khususnya golongan etnis Jawa adalah dwibahasawan. Mereka menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Hal ini berakibat akan terjadi sentuhan antarbahasa yang dimiliki penutur sehingga terjadilah pemakaian unsur bahasa satu ke bahasa yang lain (Soeharno, 1990:58). Keahlian etnis Jawa dalam menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia ditunjukkan dalam kegiatan sosial masyarakat yang bersifat umum, seperti di sekolah, perkantoran, percakapan antartetangga, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena agar lebih sopan dalam berbicara, karena akhir-akhir ini tidak
3
semua orang dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik, walaupun orang tersebut asli Jawa. Adanya kejadian seperti itu, jika diperhatikan akan terjadi perubahan makna kata dan susunan kata. Kehidupan sosial etnis Jawa yang dapat menggunakan dua bahasa berakibat penulisan berita pada media massa berbahasa Jawa. Terjadilah adaptasi kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Kejadian tersebut terjadi karena antara wartawan dan sumber yang sedang diwawancara dapat menggunakan dua bahasa saat melakukan wawancara. Adaptasi kata merupakan awal dari interferensi. Interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi sebagai akibat perbedaan kebiasaan dengan bahasa pertama (Lado, 1960:217 via Abdulhayi, 1985:8). Menurut Chaer (1994: 66) interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Adaptasi kata sendiri dapat berupa kata yang sama namun cara pengucapan berbeda atau susunan kata yang masih seperti bahasa asal, seperti yang terjadi pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. 1.2
Rumusan Masalah Berawal dari situasi masyarakat yang dwibahasawan sehingga terjadilah
interferensi yang berawal dari adaptasi kata dapat dilihat dari contoh kata jamaah dan keamanan. Kata jemaah terdapat pada majalah Djaka Lodang edisi No. 19, hlm. 29, 9 Oktober 2010. Kata keamanan terdapat pada majalah Djaka Lodang
4
No. 17, hlm. 28, 25 September 2010. Kedua kata tersebut merupakan bahasa Jawa jika dilihat bahwa majalah Djaka Lodang adalah majalah berbahasa Jawa. Kasus yang ditemukan dari kedua kata tersebut adalah adanya adaptasi fonetis dan morfologis. Majalah Djaka Lodang adalah majalah berbahasa Jawa. Namun, kata jamaah tersebut tidak ditemukan dalam kamus Baoesastra Djawa dan kata keamanan hanya ditemukan bentuk dasarnya aman, tetapi tidak turunannya. Sementara kata jamaah yang dimaksud terdapat dalam bahasa Indonesia berbentuk jemaah. Pembahasan untuk bahasa Jawa kata jamaah jika ditulis secara fonetis adalah [jamaah], fonemisnya /jamaah/, tetapi tidak terdapat arti dari kata jamaah pada bahasa Jawa. Pembahasan untuk bahasa Indonesia kata jamaah penulisannya adalah jemaah. Secara fonetis adalah [jəmaah], fonemisnya /jəmaah/, dan arti kata jemaah adalah kumpulan atau rombongan orang beribadah (Depdiknas, 2011:576). Setelah kasus dijabarkan, ditemukan permasalahannya yaitu adanya perubahan vokal [ə] dari bahasa Indonesia menjadi [a] pada bahasa Jawa. Vokal [ə] pada bahasa Indonesia posisi lidah madya menjadi [a] dalam bahasa Jawa yang posisi lidahnya rendah bawah. Kasus seperti ini bisa disebut dengan pelemahan bunyi (lenisi). Bunyi yang tadinya kuat berubah menjadi lemah. Kata keamanan merupakan kata berimbuhan. Kata dasarnya adalah aman mendapat imbuhan {ke-, -an}. Pada bahasa Jawa, imbuhan {ke-, -an} ditunjukkan sebagai kata kerja pasif (Poedjosoedarmo, 1979:31). Kata keamanan dalam bahasa Indonesia ditulis “keamanan” yang merupakan kata berimbuhan. Kata
5
dasarnya adalah aman, mendapat imbuhan {ke-an}. Pada bahasa Jawa imbuhan ragam formal adalah {ka-an}, sedangkan untuk {ke-an} merupakan imbuhan ragam informal. Bahasa Jawa memiliki imbuhan {ke-an} tetapi maknanya berbeda dengan imbuhan {ke-an} dari bahasa Indonesia, yaitu menunjukkan kejadian atau tindakan yang terjadi tidak disengaja, contohnya adalah kelebonan „kemasukan‟ dan kerubuhan „kerobohan‟ (Poedjosoedarmo, 1979:30). Dari beberapa hal yang sudah dijelaskan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Kosa kata apa sajakah yang merupakan adaptasi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa pada rubrik berita Warta Ringkes majalah Djaka Lodang edisi bulan September 2010 sampai bulan Desember 2010? 2. Bagaimana wujud adaptasi kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dalam media massa berbahasa Jawa? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian mengenai adaptasi kosa kata bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jawa pada media massa berbahasa Jawa adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan kosa kata yang merupakan adaptasi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, seperti kata border, tradhisi, kebutuhan, dll. 2. Menjelaskan wujud adaptasi kata dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa pada tataran fonetis dan morfologis.
6
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Sumber data penelitian diambil dari rubrik Warta Ringkes yang dimuat pada
majalah Djaka Lodang terbit bulan September 2010 sampai Desember 2010. Penelitian mengenai adaptasi kosa kata dari bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa pada berita berbahasa Jawa ini meliputi lingkup fonologi dan morfologi. Artinya dalam membandingkan kedua bahasa, peneliti mengacu pada bentuk fonologi dan morfologi yang ada pada kedua bahasa. Pembahasan mengenai kedua bahasa tersebut, dibatasi dengan cara membuat daftar kata yang mengalami adaptasi kemudian akan dibahas secara fonetis dan morfologis. Penelitian ini menggunakan bahasa Jawa dialek Yogyakarta. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dianggap sebagai bahasa Jawa yang standar, sudah terpola, dan sistem kebahasaannya lebih teratur. Selain itu, majalah Djaka Lodang adalah majalah yang berkantor pusat di Yogyakarta dan secara otomatis bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek Yogyakarta. Untuk mencari padanan kata dalam bahasa Jawa, digunakan kamus Baoesastra Djawa karangan Poerwadarminta (1939), sedangkan untuk membuat gloss bahasa Indonesia digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2011. Peneliti menggunakan kamus untuk mencari padanan kata dan mengecek apakah kata-kata tersebut merupakan adaptasi fonetis dan morfologis.
7
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat teoretis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah memberikan
pengetahuan mengenai kasus adaptasi kata pada bidang linguistik khususnya bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Manfaat praktis yang didapatkan dari penelitian ini adalah memberikan pengetahuan mengenai majalah yang masih menggunakan bahasa Jawa, tetapi juga mengadaptasi kata dari bahasa Indonesia. 1.6
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai interferensi pernah dilakukan oleh Suhardibroto (2000)
yang berupa skripsi berjudul Interferensi Morfologi dan Leksikal dalam Bahasa Indonesia pada rubrik Gema di Harian Bernas. Skripsi tersebut membahas mengenai dwibahasa, kontak bahasa, interferensi, dan campur kode yang menggunakan landasan teori kontak bahasa. Interferensi morfologi yang dibahas pada skrispsi tersebut berupa imbuhan {N-}, {N-in}, {-in}, {ke-}, dan {-an}. Semua imbuhan tersebut berasal dari bahasa daerah yaitu bahasa Betawi, Jawa, dan Sunda. Contoh pada kalimat berikut ini “Sedangkan soal bersih-bersih seperti ngepel, nyapu, nyuci piring, dan masak dikerjakan rame-rame” (Suhardibroto, 2000:25). Pada kata yang dicetak miring seharusnya diucapkan “mengepel”, karena padanan prefiks {N-} dalam bahasa Indonesia adalah {meN-} dan seharusnya ditulis “mengepel” (Suhardibroto, 2000:26). Selain itu, dibahas juga mengenai interferensi leksikal berupa leksikon dalam bahasa Jawa, Betawi, Inggris dan prokem yang dimasukkan dalam struktur bahasa Indonesia (Suhardibroto, 2000:37). Salah satu contohnya diambil dari
8
leksikon bahasa Jawa “…juga datang dari seniman sekaligus budayawan kondang asli Yogya, Mas Sapto Rahardjo” (Suhardibroto, 2000:37). Kata kondang adalah salah satu kata yang menyebabkan gangguan dalam struktur bahasa Indonesia karena telah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Bentuk kata tersebut seharusnya adalah “terkenal” (Suhardibroto, 2000:38). Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
interferensi
menurut
kesimpulannya adalah tingkat penguasaan bahasa yang berbeda dan kebiasaan bertutur. Para penulis pada rubrik Gema ini mencoba menyampaikan ide-ide mereka dengan ragam bahasa tertentu, yaitu ragam bahasa remaja. Ragam bahasa jenis ini adalah ragam bahasa yang memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam bahasa Indoensia. Hal tersebut disebabkan bahwa dengan cara berbicara seperti ini, mereka menjadi merasa tidak terlalu kaku pada saat berbicang-bincang dengan teman sebaya (Suhardibroto, 2000:61). Sunaryati (2009) menyusun skripsi yang berjudul Interferensi Morfologi dan Leksikal Bahasa Jawa terhadap Bahasa Indonesia dalam Kegiatan Belajar Murid Kelas I SDN Sidoarum, Godean, Sleman. Jika dilihat dari judul, skripsi Sunaryati (2009) tidak jauh berbeda dengan milik Suhardibroto (2000), tetapi untuk batasan permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interferensi memiliki perbedaan. Masalah yang dibahas pada skripsi Sunaryati (2009) yaitu mengenai kondisi bahasa Jawa (BJ) dengan bahasa Indonesia (BI) untuk siswa tingkat sekolah dasar (SD). Untuk pembahasan masalah menggunakan landasan teori kontak bahasa, kedwibahasaan, dan interferensi.
9
Bahasa Jawa bagi murid SD digunakan sebagai bahasa pertama, sedangkan bahasa Indonesia (BI) yang termasuk pada mata pelajaran menjadi bahasa kedua bagi murid SD tersebut. Ketika guru memberikan pertanyaan menggunakan bahasa Indonesia kepada murid-muridnya, mereka menjawab menggunakan bahasa Jawa. Terjadilah kontak bahasa yang mengakibatkan bilingualisme atau kedwibahasaan yang masalahanya merujuk pada interferensi. Interferensi yang dibahas pada skripsi tersebut adalah interferensi morfologis dan interferensi leksikal dengan keadaan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung di dalam kelas. Contoh kata yang mengalami interferensi morfologis adalah kata “tutup” dalam bahasa Indonesia (BI) yang mendapat imbuhan {n-} dalam bahasa Jawa (BJ) dan kata tabrak dalam BJ yang mendapat imbuhan {ke-} dalam BJ. Pembahasannya adalah sebagai berikut. Konteks
: Pembicaraan antar murid ketika mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam berlangsung di ruang kelas. Murid : Nanti kamu lho yang nutup! (Sunaryati, 2009:15) Contoh lainnya kata yang mengalami interferensi morfologis menggunakan bentuk dasar kata bahasa Jawa ada pada kalimat berikut. Konteks
: Guru sedang menerangkan mata pelajaran bahasa
Indonesia kepada murid kelas I di ruang kelas. Guru : Mengapa kita tidak boleh bermain layang-layang? Murid 1 2009:28).
: Karena nanti ketabrak mobil di jalan (Sunaryati,
10
Pembahasannya adalah unsur morfologis yang menginterferensi dalam kalimat BI adalah kata ketabrak. Bentukan kata tersebut terdiri atas bentuk dasar BJ + afiks BJ. Bentuk dasarnya berupa tabrak + prefiks {ke-} BJ sehingga menjadi “ketabrak”. Unsur morfologi pada data seharusnya “tertabrak” (Sunaryati, 28: 2009). Faktor-faktor yang menyebabkan interferensi morfologi dan interferensi leksikal yaitu mengambil faktor penutur yang bilingual, faktor nonkebahasaan yaitu faktor internal (hubungan penutur dengan lingkungan sekitar). Jurnal Humaniora Volume XV, No. 2/2003 halaman 121-132 yang berjudul Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Drs. Syamsul Hadi, S.U, M.A dkk. membahas tentang perubahan bunyi. Data diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit tahun 1993 dengan penentu kata asalnya dari bahasa Arab. Metode penelitian menggunakan metode padan translasional karena akan memadankan unsur-unsur teranalisis yang berupa kata-kata serapan. Bagian
pembahasan
menggunakan
teori
perubahan
bunyi
yang
dikemukakan oleh Crowley (dalam Hadi, 2003:121). Cara yang digunakan untuk pembahasan adalah dengan menjabarkan jenis-jenis perubahan bunyi menurut Crowley beserta kata yang mengalami perubahan bunyi. Salah satu contoh kata yang mengalami perubahan bunyi adalah kata serapan jaman. Kata serapan jaman tersebut termasuk pada kasus perubahan bunyi bagian penguatan bunyi yaitu kata yang mengalami perubahan dari bunyi-bunyi yang relatif lebih rendah menjadi
11
bunyi-bunyi yang secara relatif lebih kuat. Kata serapan jaman mengalami penguatan bunyi transliterasi menjadi zamān (Hadi, 2003:127). Skripsi Suwandi (1995) yang berjudul Bentuk-bentuk Kata Serapan dalam Bahasa Jawa dari Bahasa Arab membahas tentang pemungutan atau serapan kata dari variasi bentuk dan perubahan arti atau makna. Diterangkan lebih lanjut melalui proses perubahan bentuk-bentuk serapan serta wujud dan klasifikasi bentuk-bentuk serapan. Contoh kata bahasa Arab /khatam/ „menutup, me- katam – kan‟ pada bahasa Jawa menjadi /katam/ „tamat, selesai‟ (Suwandi, 1995:35). Menurut Suwandi (1995:92, 93), perubahan kata-kata serapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa terjadi karena penyesuaian sistem fonem dan fonotaktik dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa. 1.7
Kerangka Teori Teori yang digunakan sebagai pembahasan kali ini menggunakan teori yang
berhubungan dengan proses adaptasi pada suatu kata. Pembahasan pada teori ini akan dipusatkan kejadian adaptasi kata dengan analisis fonetis dan morfologis. Belajar linguistik adalah belajar untuk mengenal suatu bahasa. Bahasa itu bersifat nyata dan megalami perubahan. Perubahan bahasa terjadi karena kondisi geografis suatu wilayah dan kehidupan sosial di lingkungan masyarakat. Perubahan bahasa terdiri dari perubahan suara atau biasa disebut dengan perubahan fonologi, perubahan morfologi, perubahan sintaksis, dan perubahan semantik (Lehmann, 1973:2). Kejadian perubahan bahasa tersebut dikarenakan turut sertanya bahasa daerah atau dialek. Dialek berpengaruh penting dalam
12
kegitan berkomunikasi. Dialek juga yang menciptakan variasi bahasa. Berawal dari variasi bahasa, terjadilah persentuhan bahasa dan muncullah adapatasi kata. Adaptasi kata berawal dari bahasa sebagai penutur bahasa atau dialek yang mengadopsi bagian yang lain atau bentuk-bentuk yang lain. Kemudian diterapkan untuk berinteraksi di lingkungannya. ...for changes may be introduced into languages as speakers of one language adopt elements of another, or as speakers of one dialect take on forms of another. The process of introducing such elements is known as borrowing (Lehmann, 1973:3). „...untuk perubahan-perubahan boleh diawali kepada bahasa-bahasa sebagai penutur-penutur dari salah satu bahasa (yang) mengadopsi bagianbagian (dari) yang lain, atau sebagai penutur-penutur dari salah satu dialek ke bentuk-bentuk lain. Proses pengenalan seperti bagian-bagian ini dikenal sebagai peminjaman‟. Borrowing word (peminjaman kata) yang berhubungan erat dengan pemungutan kebudayaan (cultural diffusion) dan awal mula munculnya interferensi (Nababan, 1993:35). Pada ilmu bahasa, ditemukan dua bentuk kata yaitu kata asal dan kata pinjaman. Kata asal cenderung mengarah pada tatanan baku cara berbahasa. Sedangkan kata pinjaman lebih mengarah pada bahasa yang lain (Lehmann, 1973:3). Terjadinya kata pinjaman (borrowing word) menurut Crowley (1987:134) disebabkan penyesuaian bunyi yang kelihatan tidak rapi atau tidak dapat dipastikan (tidak tentu). Hal ini dapat terjadi pada bahasa sehingga terjadi peminjaman bentuk yang sama dari bahasa yang lainnya yang mana mempunyai mengalami perbedaan perubahan bunyi. Supaya memperlancar komunikasi, dilakukanlah peminjaman kata dari bahasa lain. Terkadang dari adanya kegiatan meminjam kata, dapat diketahui bahwa kata yang digunakan tersebut memiliki arti
13
yang sama dengan kata lain, walaupun dari segi pengucapan dan penulisan berbeda. Biasanya kata yang dipinjam saling memiliki hubungan kebahasaan. Contohnya seperti bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Perubahan bahasa yang terjadi pada pembahasan kali ini mengenai fonologi dan morfologi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Penjelasan pertama mengenai fonologi. Fonologi terbagi menjadi dua bagian yaitu fonemis dan fonetis. Fonologi adalah bidang ilmu dalam linguistik yang menyelidiki bunyibunyi bahasa menurut fungsinya (Kridalaksana, 2008:63). Fonologi berhubungan dengan fonemik. Fonemik adalah 1) ilmu yang mempelajari mengenai sistem fonem suatu bahasa; 2) prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa; 3) mengenai sistem fonem suatu bahasa (Kridalaksana, 2008:62). Pada dasarnya yang melandasi pembahasan fonologi dan fonemik adalah kata dan fonem. Kata adalah 1) morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan dalam bentuk yang bebas; 2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem; 3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis (Kridalaksana, 2008:110). Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna (Kridalaksana, 2008:62). Menurut KBBI yang diterbitkan oleh Depdiknas (2011:396) pengertian fonetik adalah 1) bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar; 2) sistem bunyi suatu bahasa. Kata sifat dari fonetik adalah fonetis. Fonetis adalah 1) bersangkutan dengan bunyi; 2) bersangkutan dengan fonetik. Fonetis ditunjukkan menggunakan lambang yang terdiri dari lambang vokal dan
14
konsonan. Terbentuknya suatu bunyi ujar vokal diketahui dari tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, dan striktur (jarak lidah dengan langit-langit) (Marsono, 2006:38). Bunyi ujar konsonan diketahui dari cara dihambat (cara artikulasi), tempat hambatan (tempat artikulasi), hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antar artikulator aktif dengan pasif (struktur), dan bergetar tidaknya pita suara (Marsono, 2006:60). Penulisan untuk fonetis ditandai dengan […] dan fonemis ditandai dengan /.../. Bagian selanjutnya adalah mengenai adaptasi morfologi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Proses morfologi terdiri dari kata dan morfem (Ramlan, 2001:25). Morfem adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 2008:157). Morofologi adalah 1) bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; 2) bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana, 2008:159). Menurut Ramlan (2001:52) morfologi bahasa Indonesia terdapat tiga proses yaitu proses pembubuhan afiks, proses pengulangan, dan proses pemajemukan. Morfologi untuk bahasa Jawa terdiri dari imbuhan (afiksasi), pengulangan atau reduplikasi, kata majemuk, akronimisasi, dan perubahan bunyi (Poedjosoedarmo, 1979:6). Pembahasan dalam tataran morfologis dibatasi pada afiksasi. Penulisan pengubahan menurut morfem ditandai dengan {...}.
15
1.8
Metode Penelitian Metode penelitian mencakup 3 hal yaitu metode pengumpulan data, metode
analisis data, dan metode pemaparan hasil analisis. 1.8.1 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian kali ini berupa kata atau leksikon yang diambil dari kosakata yang terdapat pada berita berbahasa Jawa. Data tersebut diperoleh dari media massa cetak yaitu majalah Djaka Lodang yang terbit pada bulan September tahun 2010 sampai bulan Desember tahun 2010. Berita diambil dari rubrik yang berjudul Warta Ringkes. Peneliti kemudian menyimak, mencari, menyeleksi, dan mencatat kata-kata yang mengalami adaptasi secara fonetis dan morfologis dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Setelah dicatat, selanjutnya dikelompokkan secara fonetis dan morfologis. Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka. Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan kamus sebagai bantuan untuk mencari makna kata. 1.8.2 Metode Analisis Data Setelah data diperoleh, tahap selanjutnya adalah mengelompokkan data. Cara yang ditempuh adalah mencari bentuk kata dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan menggunakan teori dan analisis yang diacu diantaranya menambah metode eksplisit data dan diberi analisis pada pembahasan. Data dibedakan atas kata yang diadaptasi dalam fonetis dan morfologis. Contoh katanya adalah hadhiah dan pejiarah. Contoh pembahasannya adalah sebagai berikut.
16
Untuk contoh kata yang mengalami adaptasi fonetis dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut. Bahasa Indonesia hadiah [hadiah] /hadiah/
Bahasa Jawa hadhiah [hadhiah] /hadhiah/
Kata tersebut dapat dilihat pada kalimat berikut ini. (1) Kabeh para juwara entuk hadhiah piagam/tropi, sertipikat, lan dhuwit pembinaan (MDL, No. 26, 27/11/2010, hlm. 31). „Para juara mendapatkan hadiah piagam/tropi, sertifikat, dan uang pembinaan‟. Kata “hadiah” pada bahasa Indonesia menjadi beraspirasi dalam bahasa Jawa. Fonem konsonan [d] pada bahasa Indonesia berubah menjadi beraspirasi [ḍ h] pada bahasa Jawa. Untuk contoh kata yang mengalami adaptasi morfologis dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut Bahasa Indonesia peziarah
Bentuk Adaptasi pejiarah
Proses Pembentukan {pe-} + jiarah
Kata tersebut dapat dilihat pada kalimat berikut ini. (2) Kanthi tambahe papan ganti pakaian mau nyepetake para pejiarah ganti pakaian adat kanggo mlebu ing makam Imogiri (MDL, No. 18, 2/10/2010, hlm. 28). „Adanya tambahan tempat (untuk) ganti pakaian tersebut mempercepat para peziarah berganti pakaian adat untuk masuk ke dalam makam Imogiri‟.
17
Contoh (2) menunjukkan adaptasi kata berprefiks {pe-} bahasa Indonesia dengan menggunakan kata dasar “ziarah”. 1.8.3 Metode Pemaparan Hasil Analisis Untuk pemaparan hasil analisis, digunakan dua cara yaitu, dengan uraian informal (kata-kata) dan formal (tabel serta lambang-lambang). Tabel tersebut berisikan kata dalam bahasa Jawa, kata dalam bahasa Indonesia, bentuk fonologi, bentuk morfologi, dan keterangan edisi majalah. Lambang yang digunakan antara lain [ ], / /, / / , { }, ..., „ ‟, “ ”, ( ), dan +. 1.9
Sistematika Penyajian Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dari
penulisan ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua merupakan penjelasan mengenai perubahan fonologi, fonetis, dan alasan terjadinya peminjaman kata terhadap data yang diperoleh. Bab ketiga merupakan analisis mengenai perubahan morfologi terhadap data yang diperoleh. Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab.