BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasi diri (Kridalaksana, 2011:24). Salah satu bahasa di dunia yang digunakan bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasi diri tersebut adalah bahasa Arab. Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri atas unsur-unsur atau komponenkomponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu (sistematis) dan membentuk suatu kesatuan (sistemis). Oleh karena itu, bahasa bukan hanya merupakan sistem tunggal, tetapi juga terdiri atas subsistem atau sistem bawahan. Salah satu sistem bawahan tersebut adalah subsistem sintaksis. Dalam kajian sintaksis, ada beberapa tataran di antaranya tataran kata, tataran frase, tataran klausa, dan tataran kalimat (Chaer, 2012:35-36). Kalimat sebagai tataran terbesar dalam sintaksis diartikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar berupa klausa yang dilengkapi dengan suatu penghubung bila diperlukan serta dengan intonasi final (Chaer, 2012:240). Adapun klausa adalah satuan bahasa yang terdiri dari hanya satu verba atau frasa verbal saja, disertai satu atau lebih konstituen yang secara sintaksis berhubungan dengan verba tersebut (Verhaar, 2012:162). Dalam bahasa Arab, klausa berpadanan dengan jumlah. Adapun klausa yang mengandung pengertian sempurna disebut jumlah mufi>dah atau kala>m yang dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kalimat (Ma„ruf, 2002:64).
1
2
Adapun salah satu kajian dalam sintaksis (nahwu) adalah diatesis. Sebagaimana dijelaskan oleh Kridalaksana (2011:49), diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa. Sudaryanto, (1991:1) memaparkan bahwa diatesis ada empat macam, yaitu diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis resiprokal, dan diatesis refleksif. Diatesis aktif bersangkutan dengan klausa yang predikat verbanya adalah aktif dengan subjek sebagai pelaku. Apabila verba yang bersangkutan transitif, objek berupa penderita. Begitu pula dengan diatesis pasif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya adalah pasif dan subjek penderita. Adapun diatesis resiprokal menunjukkan subjek jamak bertindak berbalasan atau subjek tunggal bertindak berbalasan dengan pelengkap dan diatesis refleksif menunjukkan subjek berbuat atas diri sendiri. Dalam berbagai bahasa, diatesis itu biasanya diberi pemarkah, baik bersifat morfemik maupun leksikal. Contoh dalam bahasa Indonesia misalnya, diatesis aktif dengan verba yang antara lain berawalan me- seperti dalam Dia mencukur saya. Diatesis pasif dengan verba yang antara lain berawalan di- seperti dalam Saya dicukurnya. Diatesis resiprokal dengan verba yang antara lain berimbuhan belah ber-/-an seperti dalam Mereka berangkulan. Diatesis refleksif dengan kata kerja yang antara lain berawalan ber- seperti dalam Dia bercukur (Sudaryanto, 1991:1-2). Di dalam bahasa Arab, diatesis itu tidak dibahas secara terperinci. Akan tetapi dari pemaparan di atas, diatesis tersebut dapat dikenali pula dengan mengacu pada pemarkahannya seperti verba yang digunakan atau juga pemarkah
3
lainnya yang mendukung adanya diatesis.
Contohnya, diatesis aktif dapat
dibentuk dengan adanya verba aktif atau fi‘l ma‘lu>m seperti verba mas}s}ara dalam
Mas}s}ara al-Mans}u>ru Bagda>da „(Khalifah Mansur telah menjadikan Bagdad (sebagai kota)‟. Diatesis pasif dapat dibentuk dengan adanya verba pasif atau fi‘l
majhu>l (Fj) seperti verba yukramu dalam Yukramu al-mujtahidu „Orang rajin itu (akan) dimuliakan‟ (al-Gala>yaini, 2007:33-34). Diatesis resiprokal dapat dibentuk dengan adanya nomina resiprokal „ba‘dun‟ yang diulang dengan penambahan pronomina terikat pada yang pertama seperti dalam D}araba ba‘d}uhum ba‘d}an „Mereka memukul satu sama lainnya‟. Diatesis refleksif dapat dibentuk dengan adanya nomina resiprokal „nafsun‟ seperti dalam Sya>hadtu nafsi> fi al-mir`a>ti „Aku melihat diriku sendiri di cermin itu‟ (Abu-Chacra, 2007:101-102). Memperhatikan itu, penelitian terhadap diatesis tersebut dilakukan terutama bentuk struktur perannya yang menunjukkan adanya hubungan verba aksi dengan argumennya tersebut dalam klausa. Permasalahan diatesis ini penting untuk diteliti karena seperti diketahui bahwa diatesis ini merupakan salah satu sistem dalam semestaan bahasa, khususnya dalam sintaksis. Oleh karena itu, diatesis terdapat semua bahasa, termasuk bahasa Arab dengan anggapan setiap bahasa memiliki kalimat tunggal yang berkonstituen verba (Sudaryanto, 1991:27). Diatesis sebagai hubungan antara verba dengan argumennya seperti pada contoh-contoh di atas juga terdapat pada jumlah-jumlah dalam “Anwa>‘u anNus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>”. Dalam buku tersebut, masing-masing diatesis tidak hanya memiliki satu macam saja, tetapi juga macam bawahan (subjenis). Adanya subjenis diatesis terutama
4
berkaitan dengan permasalahan verba sebagai konstituen induk, serta macam dan jumlah argumen pendamping verba tersebut. Dengan adanya hal-hal tersebut, dimungkinkan pula membentuk struktur peran yang berbeda pula. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang muncul dan akan diteliti berdasarkan latar belakang di atas adalah diatesis yang terdapat dalam “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>” beserta struktur peran yang terbentuk. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diatesis yang terdapat dalam “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>” beserta struktur peran yang terbentuk. 1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, penelitian yang berkaitan dengan diatesis pernah dilakukan oleh Sudaryanto (1991) dalam laporan penelitiannya yang berjudul Diatesis dalam Bahasa Jawa. Dipaparkan bahwa diatesis dalam bahasa Jawa ada empat macam beserta subjenisnya masing-masing. Paparan tersebut memuat tiga puluh tujuh tipe kalimat dalam bahasa Jawa. Adapun dalam bahasa Arab, diatesis pernah dibahas oleh Nur (2008) dalam salah satu butir bab disertasinya yang berjudul Verba dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia: Studi Gramatika Kontrastif. Dalam laporan penelitian tersebut, pembahasan diatesis lebih pada tataran morfologis, yaitu pada bentuk verba saja.
5
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian tentang kalimat (berdiatesis) pasif yang dilakukan oleh Aminuddin (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Pasif dalam novel Imra`atun ‘Inda Nuqtati as-Sifr karya Nawal as-Sa„dawi: Analisis Sintaksis. Dalam skripsi tersebut disimpulkan macammacam pola kalimat pasif, terutama kalimat pasif berbentuk jumlah fi‘liyyah yaitu: (1) fi‘l majhu>l – na>`ib al-fa>‘il dan (2) fi‘l mut}a>wa‘ah – fa>‘il. Apabila dilihat dari pengertian diatesis dalam latar belakang (1.1) di atas, maka penelitian terhadap subjek atau peserta lain dan verba dalam klausa dapat dipandang sebagai bagian dari penelitian diatesis. Penelitian tersebut adalah yang dilakukan oleh Budiman (2006) dalam skripsinya yang berjudul Subjek dalam Kalimat Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia: Analisis Kontrastif. Dalam penelitiannya, Budiman menyebutkan bahwa subjek dalam bahasa Arab (musnad
ilaihi) dapat berupa „dikenal‟, „pelaku‟, „alat‟, „penderita‟, „pengalam‟, „penerima‟, „hasil‟, „tempat‟, „terjumlah‟, dan peran „sebab‟. Penelitian lainnya yang dianggap berhubungan terutama tentang peserta lain dalam klausa berupa objek adalah penelitian oleh Juwitowati (2011) dalam skripsinya yang berjudul Maf‘u>l bih
S}ari>h} dalam Qisa}>su al-H{ayawa>n fi al-Qur`a>ni Karya Ahmad Bahjat: Analisis Kategori. Dalam penelitiannya, Juwitowati menjelaskan macam-macam maf‘u>l
bih s}ari>h} secara kategorial, yaitu ism z}a>hir, ism d}ami>r, dan murakkab/tarki>b, kecuali
murakkab isna>diyy. Akhirnya, Purnamawati (2000) membahas
ketransitifan verba (fi‘l) dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Ketransitifan dalam Nawa>dir
al-Mutazawwiji>na”. Dalam penelitian itu didapatkan ba`hwa
verba dalam objek material bermacam-macam. Dari segi bentuknya, verba
6
transitif dapat berupa verba transitif mujarrad, verba transitif berpola af‘ala, verba transitif berpola fa‘‘ala, verba transitif berpola fa>‘ala, verba transitif berpola
ifta‘ala, verba transitif berpola tafa‘‘ala, dan verba transitif berpola istaf‘ala. Dari segi jumlah objeknya, verba transitif dapat berupa verba transitif berobjek satu dan verba transitif berobjek dua, tetapi tidak ditemukan verba transitif berobjek tiga. Adapun penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian diatesis dalam bahasa Arab dari segi sintaksis pada objek material berupa buku yang berjudul “Anwa>‘u an-Nus}u>s{ al-Muqarrarah li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al‘Ulya>.” Sejauh pengamatan peneliti, buku tersebut merupakan objek material yang belum pernah diteliti. Oleh karena beberapa hal tersebut, penelitian ini layak dilakukan. 1.5 Landasan Teori Pada latar belakang masalah (1.1) di atas, telah dijelaskan bahwa diatesis dalam penelitian ini merupakan diatesis dalam kajian sintaksis (nahwu). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan teori sintaksis oleh Verhaar (2012) dan teori diatesis temuan Sudaryanto (1991). Menurut Verhaar (2012:162-163), ada tiga cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis, yaitu ada fungsi-fungsi, peran-peran, dan kategori-kategori. Fungsi sintaksis adalah konstituen yang bersifat “formal”. Adapun peran sintaksis adalah isi dari segi semantis untuk fungsi yang “formal” itu, sedangkan kategori adalah isi dari segi bentuk. Perhatikan contoh (1) sampai dengan (4) berikut ini.
7
(1) (2) (3) (4)
Ayah membeli beras ketan untuk saya. Ayah membelikan saya beras ketan. Beras ketan dibeli ayah untuk saya. Saya dibelikan beras ketan oleh ayah. Menurut analaisis fungsi, subjek (S) dalam (1) sampai dengan (4) adalah
ayah untuk (1) dan (2), beras ketan untuk (3), dan saya untuk (4). Predikatnya (P) masing-masing: membeli, membelikan, dibeli, dan dibelikan. Objek (O) didapati hanya dalam (1) dan (2), masing-masing beras ketan. Dalam (1) dan (3) frasa untuk saya bukan “fungsi”, melainkan konstituen yang namanya keterangan (K). Lainnya halnya dengan analaisis peran. Peran “pelaku” (Ag) adalah ayah dalam (1), (2), dan (3), dan oleh ayah dalam (4). Peran “pengalam” (Ob) adalah beras ketan dalam keempat klausa. Peran “penerima” (Ben) adalah saya dalam (2) dan (4). Akhirnya, menurut kategori akan dikatakan bahwa ayah dan beras ketan adalah “nomina”; bahwa membeli, membelikan, dibeli, dan dibelikan adalah verba; bahwa saya adalah pronomina; dan bahwa untuk adalah “preposisi”. Ketiga macam analisis tersebut agak berbeda-beda, akan tetapi saling berkesinambungan dalam membentuk struktur sintaksis. Struktur fungsi sintaksis adalah struktur formal atau dapat dikatakan “kosong”. Kosong menurut isi semantisnya berarti menurut peran, dan kosong menurut isi bentuknya berarti secara kategorial. Kekosongan atau keformalan struktur itu bersifat relasional (Verhaar, 2012:173-174). Ketiganya digunakan dalam penelitian ini sesuai kegunaan terutama struktur peran yang merupakan struktur makna sintaksis yang menunjukkan adanya diatesis.
8
Adapun teori diatesis yang digunakan adalah teori diatesis temuan Sudaryanto (1991). Sebagaimana dalam latar belakang masalah (1.1) di atas, dijelaskan bahwa diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa. Jadi, diatesis ini selain menyangkut masalah sintaksis juga menyangkut masalah semantik. Dikatakan menyangkut masalah semantik karena konsep partisipan atau sering disebut argumen merupakan konsep makna yang membentuk struktur makna sintaksis atau yang disebut juga dengan struktur peran (Sudaryanto, 1991:1). Istilah partisipan diidentikkan dengan istilah argumen yang konsepnya lebih kemaknaan. Adapun subjek dalam hubungannya dengan konsep argumen tersebut (sebagai imbangan predikat berupa “tempat kosong”) adalah salah satu tempat bagi argumen tertentu. Demi kepraktisan dalam penelitian, selanjutnya hanya digunakan istilah argumen sebagaimana mengikuti peristilahan yang juga digunakan oleh Sudaryanto (1991:11) untuk menyebutkan istilah partisipan dan subjek. Adapun untuk menyebutkan “perbuatan yang dinyatakan oleh verba” digunakan istilah “verba aksi”. Oleh karena itu, diatesis secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara verba aksi dan argumennya dalam klausa. Berikut akan dijelaskan tentang verba aksi dan argumen serta klausa sebagai struktur yang terbentuk oleh adanya hubungan verba aksi dan argumen tersebut, khususnya struktur peran.
9
1.5.1 Verba Aksi Verba aksi adalah verba yang secara semantis menyatakan aktivitas, perbuatan, tindakan, atau aksi. Verba aksi memiliki dua ciri. Pertama, verba aksi dapat menjadi jawaban atas pertanyaan “apa yang dilakukan oleh FN (S)?” Kedua, verba aksi dapat dijadikan berntuk imperatif. Verba aksi dapat dibedakan menurut bentuk dan watak semantisnya (Mastoyo, 1993:292). Menurut bentuknya, verba aksi terutama dalam bahasa Arab dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk (s}igah), yaitu fi‘l ma>d}i>, fi‘l mud}a>ri‘ dan fi‘l
amr. Nu‘ma>n (t.t.:183-184) mendeskripsikan tentang pembentukan fi‘l-fi‘l tersebut sehingga dapat dikenali, terutama fi‘l ma>d}i> (Fma) dan fi‘l muda>ri‘ (Fmu) sebagai verba pembentuk kalimat deklaratif yang menjadi bahan dalam penelitian ini. Adapun menurut watak semantisnya, Cook (1989:195) menyebutkan bahwa verba aksi dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu verba aksi murni, verba aksi benefaktif, dan verba aksi lokatif. Verba aksi murni (VAM) adalah verba yang menyatakan aktivitas semata. Dalam kedudukannya sebagai pusat struktur peran, VAM itu mengisyaratkan kehadiran peran agentif dan atau tanpa peran objektif (Cook, 1989:195). Verba aksi benefaktif (VAB) adalah verba yang menyatakan aktivitas benefaktif. Dalam membentuk struktur peran, VAB itu menuntut kehadiran peran agentif, benefaktif, dan peran objektif (Cook, 1989:196).
10
Adapun verba aksi lokatif (VAL) adalah verba yang menyatakan aktivitas lokatif. Dalam membentuk struktur peran, VAL itu mengisyaratkan kehadiran peran agnetif, objektif, dan peran lokatif (Cook, 1989:196). Verba aksi yang disebutkan oleh Cook di atas terbatas pada verba aksi yang aktif semata. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di samping ada verba aksi yang aktif, ada pula verba aksi yang pasif. Dalam bahasa Arab, verba aktif berpadanan dengan fi‘l ma‘lu>m, sedangkan verba pasif berpadanan dengan fi‘l
majhu>l. Menurut al-Galayaini (2007:33-34), pembagian verba menjadi Fm dan Fj tersebut didasarkan atas ada atau tidak adanya fa>‘il atau (peran) pelaku dari verba dalam klausa, dalam hal ini verba aksi. Penanda yang menjadi pembeda keduanya adalah dengan adanya modifikasi internal kata, yaitu dengan mengubah vokalvokal yang mendampingi konsonan verba. Verba aksi tertentu menuntut adanya argumen tertentu pula. Sudaryanto (1991:11) menjelaskan bahwa verba aksi (baik aktif maupun pasif) yang memiliki watak semantis tertentu itulah penentu adanya macam argumen tertentu. 1.5.2 Argumen Dalam hubungannya dengan verba aksi dalam klausa, argumen secara kategorial dapat berupa nomina, pronomina, ataupun frase nominal (Sudaryanto, 1991:10-11). Adapun macam-macam argumen ditentukan oleh perannya dalam klausa. Cook (1979:202) menyebutkan bahwa peran sebagai arti argumen pendamping verba aksi itu dapat bermacam-macam, di antaranya adalah peran agentif (Ag), peran objektif (Ob), peran benefaktif (Ben) dan peran lokatif (Lo).
11
Peran Ag adalah peran yang diwajibkan hadir oleh verba aksi. Peran Ag itu berkaitan dengan kedudukan pelaku. Peran Ag ini juga dapat menjadi jawaban dari pertanyaan “siapa yang melakukan tindakan yang dinyatakan verba aksi?” (Mastoyo, 1993:289-290). Peran Ob adalah peran yang berkitan dengan kedudukan penderita atau sasaran yang harus mengalami tindakan. Peran Ob itu dapat berupa (a) nomina yang terkena pengaruh atau hasil suatu aksi; (b) nomina yang merupakan isi suatu pengalaman kognisi, emosi, mengetahui, atau komunikasi; (c) nomina yang menjadi milik, hilang, atau berpindah (Mastoyo, 1993:291). Peran Ben adalah peran yang ditentukan hadir oleh verba benefaktif. Peran Ben ini berkaitan dengan kedudukan penggunaan atau yang menggunakan atau yang menerima peruntukan. Peran Ben juga dapat menjadi pengisi fungsi yang berwujud frasa yang mengandung preposisi „untuk‟. Dalam bahasa Arab, preposisi tersebut dapat berupa harf jarr li> (Mastoyo, 1993:290). Adapun peran Lo adalah peran yang dituntut hadir oleh verba lokatif. Peran Lo itu bersangkutan dengan kedudukan tempat. Tempat yang dimaksud dapat berupa tempat asal, tempat berada, dan tempat tujuan. Sebagai pengisi fungsi, peran Lo juga dapat menjadi frasa yang mengandung preposisi dari, di, dan ke (Mastoyo, 1993:291). Sebagai arti dari argumen, kehadiran peran-peran tersebut ditentukan oleh verba aksi tertentu. Pada gilirannya, verba aksi dan argumen tersebut membentuk klausa berdiatesis.
12
1.5.3 Klausa Berdiatesis Klausa adalah runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif (Chaer, 2012:231). Dalam bahasa Arab, klausa (jumlah) dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu jumlah ismiyyah dan. Adapun jumlah berdiatesis adalah jumlah yang predikatnya berupa verba aksi, yaitu jumlah fi‘liyyah yang fi‘l-nya mengandung makna aksi, baik fi‘l ma‘lu>m (Fm) ataupun fi‘l majhu>l (Fj). Menurut al-Gala>yaini (2007:535), jumlah fi‘liyyah (khususnya yang berdiatesis) sekurangkurangnya terdiri atas musnad/predikat (P) berupa Fm dan musnad ilaihi/subjek (S) berupa fa‘il (Fa) atau dapat pula terdiri atas P berupa Fj dan S berupa na>ib al-
fa>il (Nf). Dikatakan oleh Sudaryanto (1991:50) bahwa klausa berverba aktif (jumlah ber-Fm) dan klausa yang berverba pasif (jumlah ber-Fj) ini keduanya saling berparafrase. Argumen yang dalam diatesis aktif mengisi fungsi O, dalam diatesis pasif mengisi fungsi S. Hal ini menunjukkan bahwa Fm yang bersangkutan haruslah berupa verba yang menghendaki adanya fungsi O, di samping fungsi inti P dan S. Diatesis sebagai hubungan antara verba aksi dan argumennya dengan peran-peran tertentu dalam klausa bersifat relasional (Verhaar, 2012:174). Sifat itu menunjukkan bahwa adanya peran yang satu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya peran yang lain. Misalnya, peran Ag menjadi tidak berarti tanpa adanya peran aksi dari verba yang bersangkutan. Begitu juga sebaliknya, peran aksi dari verba bersangkutan tidak dapat dibayangkan tanpa adanya Ag. Sifat relasional tersebut menunjukkan bahwa peran juga bersifat struktural. Struktur yang dibangun oleh peran itulah yang disebut dengan struktur peran (Mastoyo,
13
1993:289). Struktur peran tersebut dapat menunjukkan hubungan antara verba aksi dan argumennya yang pada gilirannya dapat menunjukkan diatesis tertentu. 1.6 Metode Penelitian Ada tiga tahap strategis yang harus dihadapi dalam sebuah penelitian (Sudaryanto, 1993:5). Masing-masing tahap menggunakan metode dan teknik yang sesuai dengan objek sasaran penelitian. Adapun tahap-tahap tersebut adalah tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data. Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak dengan teknik lanjutan berupa teknik catat. Dikatakan metode simak karena dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Pertama, peneliti membaca secara berulang-ulang objek material, yaitu berupa macam-macam teks dalam buku “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i
asy-Syaha>dati
as\-S|a>nawiyyati
al-‘Ulya>”
yang
http://www.al3arabiya.org/2013/03/text-types-in-arabic.html.
diunduh Buku
dari
tersebut
berupa pdf yang tidak bernomor halaman. Oleh karena itu, peneliti mengunduh buku tersebut, mencetaknya dan memberikan nomor halaman secara manual dengan mengikuti halaman pada bentuk pdf-nya. Ketika membaca buku “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>” tersebut, penulis menemukan jumlah-jumlah yang berdiatesis.
Kemudian,
jumlah-jumlah berdiatesis tersebut diketik dalam file Ms. Word dengan format document. Selanktunya, peneliti mencetak jumlah-jumlah berdiatesis yang terdapat dalam buku “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asySyaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>” tersebut pada beberapa kartu data berupa
14
kertas ivory 260. Semua kartu data tersebut memuat jumlah-jumlah fi‘liyyah yang berdiatesis. Setelah pencetakan dilakukan pada kartu data, kartu data dikelompokkan menurut macamnya untuk dianalisis, yaitu (1) jumlah berdiatesis aktif, (2) jumlah berdiatesis pasif, (3) jumlah berdiatesis resiprokal, dan (4)
jumlah berdiatesis refleksif. Pada tahap analisis data, metode yang digunakan adalah metode agih. Metode agih adalah metode analisis yang alat penenturnya berada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Keagihan dalam penelitian ini tampak pada penentuan tujuan penelitian, yaitu menentukan diatesis beserta struktur perannya. Selanjutnya, teknik analisis yang digunakan adalah teknik dasar bagi unsur langsung (BUL). Data yang merupakan satuan lingual berupa jumlah berdiatesis dibagi menjadi beberapa bagian berupa satuan lingual yang lebih kecil. Pembagian itu didasarkan dari segi sintaksis seperti pada landasan teori (1.5) di atas. Setelah dilakukan teknik BUL, digunakan teknik lanjutan berupa teknik ubah ujud dan baca markah. Teknik-teknik tersebut digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Teknik ubah ujud digunakan untuk menentukan satuan makna konstituen sintaksis (peran) pada pada jumlah berdiatesis.
Adapun
teknik
baca
markah
digunakan
dengan
membaca
permarkahan yang menunjukkan kejatian identitas, terutama verba (aksi) sebagai induk klausa berdiatesis juga konstituen tertentu yang menunjukkan adanya diatesis tertentu pula. Setelah analisis data selesai, hasil analisis disajikan dalam sebuah laporan. Pada tahap ini, penyajian laporan dilakukan secara informal dan formal. Penyajian
15
informal adalah penyajian laporan yang berwujud perumusan dengan kata-kata biasa meski dengan istilah yang teknis sifatnya. Adapun penyajian adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penyajian hasil analisis secara informal tersebut, penjelasan-penjelasan mengenai klausa berdiatesis ataupun kaidah sebagai hasil kesimpulan disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa yang dapat langsung dipahami. Kemudian digunakan pula penyajian secara formal terutama dalam penyusunan struktur peran. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian tentang diatesis yang terdapat dalam “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i alMuqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>” ini, terbagi menjadi enam bab. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi tentang struktur peran diatesis aktif dalam “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>”. Bab III berisi tentang struktur peran diatesis pasif dalam “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>”. Bab IV berisi tentang struktur peran diatesis resiprokal “Anwa>‘u an-Nus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al‘Ulya>”. Bab V berisi tentang struktur peran diatesis refleksif dalam “Anwa>‘u anNus}u>s{i al-Muqarrarati li Tala>mi>z{i asy-Syaha>dati as\-S|a>nawiyyati al-‘Ulya>”, dan bab VI berisi kesimpulan.
16
1.8 Transliterasi Arab-Latin Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berdasarkan pada keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 158 th.1987 dan nomor 0543/b/u/1987. a. Konsonan Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Huruf Arab ا
Nama alīf
ب
bā tā s\a jīm h{ā khā dāl żāl rā zai sī n syīn s{ād d{ād t{ā
ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ﻉ ﻍ ف
z{ā ‘ain gain fā
Huruf Latin tidak dilambangkan b
Keterangan tidak dilambangkan
t
te
s\
es (dengan titik di atas)
j
je
h{
ha (dengan titik di bawah)
kh
ka dan ha
d
de
ż
zet (dengan titik di atas)
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s}
es (dengan titik di bawah)
d}
de (dengan titik di bawah)
t} z}
te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah)
‘_
koma terbalik (di atas)
g
ge
f
ef
be
17
Huruf Arab ق
Nama qāf
Huruf Latin q
Keterangan ki
ك
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
ه
kāf lām mīm nūn wāwu hā
h
ha
ء
hamzah
`_
ي
yā
y
apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata ye
ل م ن و
b. Vokal Vokal bahasa Arab, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, vokal rangkap atau diftong, dan vokal panjang. Vokal tunggal
Vokal rangkap
Tanda
Latin
Tanda
Latin
_
a
ai
¯ِ
i
ُ_
ي.. ْ . و.. ْ .
u
au
Vokal panjang Tanda
ى...
Latin
ا... ي.. ْ .ِ و...ُ
a> i> u>
c. Ta` marbūt{ah Transliterasi untuk ta` marbūt}ah ada dua. Pertama, ta` marbūt}ah hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah /t/. Kedua, ta` marbūt}ah mati atau mendapat suku>n transliterasinya adalah /h/. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta` marbūt}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka ta` marbūt}ah itu ditransliterasikan dengan /h/.
18
Contoh:
ُ امل ِديْنَةُ املنَ َّوَرة: al-Madīnah al-Munawwarah atau al-Madīnatul-Munawwarah. ُ َ d.Syaddah (tasydīd) Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
نََّزَل: nazzala e. Kata sandang Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Contoh:
َّ : as-samā`u ُالس َماء
Kata sandang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan
aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Contoh:
ال َرقلَ ُم: al-qalamu
f. Hamzah
19
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof apabila terletak di tengah atau di akhir kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh:
أخ ُذ ُ َي: ya`khuz|u, َقَ َّأ: qara`a, إ ّن: inna
g. Penulisan kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
ِ َّ ّ وإِ َّن هللا َهلو خي ي َ ْ الّا ِزق ُ ْ َ َُ َ َ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn atau Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn h. Huruf kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya, huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh:
َوَما ُُمَ َّم ٌد إِالَّ َر ُس ْوٌل
:Wamā Muh{ammadun illā rasūl