BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian yang tertuang dalam Rencana Strategis
Kementerian
Pertanian
tahun
2010-2014
adalah
meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Indikator yang dipakai untuk mengukur kesejahteraan petani yaitu struktur pendapatan, pengeluaran untuk pangan, dan nilai tukar petani (NTP). Dalam rencana strategis itu, pemerintah menargetkan NTP sebesar 115-120 dan pendapatan per kapita petani Rp 7,93 juta per tahun. Realisasi NTP pada bulan Juli 2013 sebesar 104,58 dengan pendapatan per kapita petani pada tahun 2013 sebesar Rp 5,82 juta per tahun (Kementan, 2013 dan BPS, 2013). Hal ini berarti kesejahteraan petani tidak mengalami peningkatan yang berarti, yang mana NTP dan pendapatan per kapita petani masih jauh di bawah di bawah target. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai NTP sebesar 98,55 per November 2013 (BPS Provinsi NTT, 2013), yang berarti lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata NTP nasional. NTP yang lebih rendah dari 100 berarti petani belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Target NTP belum tercapai karena rendahnya produktivitas usahatani, integrasi hulu hilir usahatani belum berjalan dengan baik. Selain itu juga karena petani mempunyai keterbatasan dalam hal modal usahatani, sumber daya manusia, dan dukungan dari sektor lainnya seperti transportasi, saluran irigasi, permodalan dan sebagainya. Salah satu sub-sektor agribisnis yang memegang peran penting dalam pembangunan pertanian adalah peternakan. Struktur industri peternakan di 1
2
Indonesia sebagian besar masih bertahan pada skala usaha rakyat. Ciri-ciri usaha rakyat yaitu tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar, ukuran usaha relatif sangat kecil, modal terbatas,dan pengadaan input utama yaitu hijauan makanan ternak (HMT) bergantung pada musim dan alam, ketersediaan tenaga kerja keluarga dan penguasaan lahan terbatas, produksi pakan butiran terbatas dan sebagian besar bergantung pada impor. Pola manajemen usaha yang tradisonal ini cenderung menjadi tidak efektif dan juga tidak efisien. Petani kurang menargetkan produktivitas ternak sapinya yang mau dicapai dan kurang memperhitungkan input dan output usaha ternaknya. Populasi ternak sapi Provinsi NTT menempati urutan keempat (16% dari populasi nasional) di Indonesia. Pada tahun 2011, jumlah populasi ternak sapi Provinsi NTT sebanyak 778.633 ekor, kemudian meningkat 4,60% menjadi 814.450 ekor pada tahun 2012 (BPS, 2013). Angka itu diprediksi akan terus meningkat seiring dengan sejumlah langkah nyata dalam pengembangan peternakan di Provinsi NTT. Pemda NTT ingin mengembalikan basis ekonomi unggulan daerah dan kelembagaan ekonomi rakyat sebagai lumbung ternak. Target menjadi lumbung ternak didukung oleh potensi wilayahnya yaitu potensi areal pertanian lahan kering seluas 1.528.308 ha dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 54,62% dan lahan yang belum diusahakan seluas 751.185 ha. Potensi padang penggembalaan untuk peternakan sapi, kuda, kerbau dan kambing seluas 832.228 ha. Pertanian lahan kering itu dapat dimanfaatkan
3
untuk pengembangan usahatani terpadu yang memadukan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman pakan ternak (Dinas Peternakan NTT, 2013). Potensi pasar ternak sapi potong terbuka lebar seiring dengan kebijakan pemerintah yang menargetkan swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014. Saat ini, usaha ternak sapi belum berdampak terhadap perubahan ekonomi petani-peternak, karena pemasaran ternak sapi membentuk jaringan tataniaga yang sangat komplek dari petani-peternak di desa sampai konsumen di kota besar. Penguasaan tataniaga ternak sapi didominasi oleh keberadaan blantik yang mempunyai posisi tawar lebih kuat. Blantik merupakan pedagang perantara mulai dari tingkat dusun, desa sampai lintas kabupaten. Rustijarno (2005) mengatakan bahwa pada sistem tataniaga regional, pelaku pasar dalam mendapatkan keuntungan tataniaga ternak sapi potong sangat bervariasi. Keuntungan tataniaga pada pelaku pasar sapi potong menunjukkan bahwa kelompok ternak Andini Mukti di Yogyakarta mendapatkan keuntungan Rp 10.000 setiap ekor ternak yang dijual kepada blantik. Blantik mendapatkan keuntungan sebesar 28,50%; pedagang pengumpul 17,10%; jagal 29,65% dan pedagang daging 24,75% untuk setiap unit ternak sapi yang dipotong. Persoalan pemasaran ternak sapi yang merugikan petani-peternak juga dialami oleh petani-peternak di Provinsi NTT. Kemampuan petani-peternak dalam melakukan negosiasi harga jual ternak sapinya masih sangat rendah. Posisi tawar petani pada umumnya masih rendah karena petani kurang memiliki akses pasar, kurang mendapatkan informasi pasar terutama harga jual komoditi, dan permodalan yang tidak memadai (Branson dan Douglas, 1983).
4
Menurut Akhmad (2007), upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah sebagai berikut. 1) Kolektivitas modal, yaitu upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya. 2) Kolektivitas produksi yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis dan kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. 3) Kolektivitas dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar petani dalam perdagangan produk pertanian. Ketiga kolektivitas itu dapat diatasi dengan peran serta pemerintah dan swasta melalui pola kemitraan tertentu. Pola kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan petani dalam mengembangkan usaha ternak sapi potong. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah yaitu UU No.20 tahun 2008 dan PP No.17 tahun 2013 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, yang didalamnya juga mengatur pola kemitraan. Kemitraan merupakan kerjasama antar pelaku bisnis dalam jangka waktu tertentu mulai dari pra produksi, produksi sampai pemasaran yang dilandasi oleh prinsip saling mempercayai, membutuhkan, dan menguntungkan (Hafsah, 1999). Pola kemitraan bertujuan untuk meningkatkan profit pihak-pihak yang bermitra, memperbaiki pengetahuan situasi pasar, memperbaiki proses produksi, dan meningkatkan akses teknologi. Berbagai pihak (pemerintah, perusahan, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lainnya) telah melakukan intervensi program pertanian untuk meningkatkan
5
pendapatan petani. Misalnya, pemerintah mengeluarkan program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) untuk pengembangan usaha-usaha produktif termasuk peternakan. Pemda NTT meluncurkan program Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (“Anggur Merah”) untuk modal usaha produktif pedesaan, dimana hampir 65% modal usaha digunakan oleh Gapoktan untuk usaha ternak sapi (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2013). Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfasilitasi pemberdayaan ekonomi petani melalui kemitraan usaha ternak sapi potong adalah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM). YMTM memilih Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi NTT sebagai lokasi pengembangan usaha ternak sapi karena populasi ternak sapi potong di daerah ini menduduki peringkat keempat (103.168 ekor) di Provinsi NTT, setelah Kabupaten Belu 115.826 ekor, Kupang 147.498 ekor dan Timor Tengah Selatan 161.990 ekor (BPS Provinsi NTT, 2013). Usaha ternak sapi dikembangkan melalui model agro-silvopastoral, yang memadukan beberapa komponen usahatani yaitu konservasi tanah dan air, tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan, tanaman pakan ternak dan peternakan. Kemitraan usaha ternak sapi yang dirintis oleh YMTM sejak tahun 1994 menunjukkan perkembangan yang baik dan petani-peternak menilai cukup berhasil dalam memperbaiki ekonominya. Pada akhir tahun 2013, sebanyak 1.809 orang petani telah mendapatkan akses bantuan ternak sapi, dan lebih dari 2.500 orang petani yang menjual ternak sapinya melalui skema collective marketing. Sampai saat ini, YMTM belum melakukan evaluasi secara mendalam dan menyeluruh atas pelaksanaan usahanya sehingga belum diketahui secara pasti
6
tingkat efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong dan peningkatan pendapatan petani-peternak. Atas dasar itu, maka sangat menarik dilakukan penelitian tentang efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong dalam mencapai tujuan usaha untuk meningkatkan pendapatan petani-peternak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong
di
Kabupaten Timor Tengah Utara? 2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM, dan teknik sapta usaha peternakan terhadap efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Timor Tengah Utara? 3. Bagaimanakah pengaruh efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Timor Tengah Utara?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui tingkat efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Timor Tengah Utara.
7
2. Mengetahui pengaruh karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong terhadap efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Timor Tengah Utara. 3. Mengetahui pengaruh efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Timor Tengah Utara.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda yaitu manfaat akademik, praktis dan kebijakan, adalah sebagai berikut. 1.
Pada aspek manfaat akademik, hasil penelitian ini dapat berkontribusi terhadap khasanah pengembangan ilmu sosial ekonomi pertanian, wawasan bagi peneliti dan bahan pertimbangan untuk penelitian yang sejenis tentang kemitraan usaha ternak sapi potong.
2.
Pada aspek manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi petani-peternak dan YMTM untuk memperbaiki kapasitas petani, teknik pendampingan dan teknik sapta usaha peternakan sapi sehingga kemitraan usaha ternak sapi lebih menguntungkan kedua belah pihak.
3.
Pada aspek manfaat kebijakan, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pikiran kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan pemberdayaan ekonomi petani-peternak dan pengembangan kemitraan usaha ternak sapi potong yang efektif.
8