BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyerasikan, mengembangkan perekonomian dan pembangunan nasional. Kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat. Hal ini terutama karena fungsi Bank sebagai perantara (intermediary) antara pihak-pihak kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang memerlukan dana (luck of funds).
Sebagai
agent of development yaitu fungsi bank dalam
kelancaran kegiatan investasi, distribusi, konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat, Bank merupakan alat pemerintah dalam membangun
perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis
usaha
pembangunan, yaitu sebagai financial intermediary (perantara keuangan) yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara.1 Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan
hukum.
Oleh
karena
itu,
dengan
semakin
meningkat
dan
berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itu pun semakin dirasakan penting.
1
Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm 3.
Keperluan akan dana dalam kehidupan sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat, maka untuk itu diperlukan suatu lembaga perantara sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pihak baik yang kelebihan dan pihak yang kekurangan dana, disinilah bank berperan sebagai financial intermediary, yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi masyarakat yang kekurangan dana, sehingga dapat terbentuk suatu perjanjian kredit. Kredit merupakan kepercayaan, berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyatakan: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. untuk itu sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian dari berbagai aspek.2 Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah/debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2
Rachmadi Usman,2001,Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 246
Berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini, sebelum memberikan kredit bank harus menilai watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha, yang dikenal dengan istilah 5C atau “The Five C”.3 Kriteria 5C atau “The Five C” yaitu : a. Penilaian watak (Character). Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran atau itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak akan menyulitkan bank dikemudian hari. b. Kemampuan (Capacity) . Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerial, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjaman. c. Penilaian terhadap modal (Capital). Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketehui kemapuan permodalan calon debitur yang bersangkutan. Nasabah harus menyediakan modal sendiri dan kekurangannya akan dibiayai oleh bank dengan kredit bank.
3
Ibid.
d. Penilaian terhadap agunan (Collateral). Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah untuk dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. e. Condition of economy ( Kondisi Ekonomi ) Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam maupun di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil prospek atau usaha calon debitur yang dibiayai oleh bank dapat diketahui.4 Pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis baik dibawah tangan maupun akta notaris. Perjanjian kredit ini berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan,pelaksanaan,pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan baik. Oleh karena itu sebelum memberikan kredit, bank harus memperhatikan seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku,dimana isinya atau klausulaklausula perjanjian kredit tersebut telah dituangkan dalam bentuk formulir, tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah tinggal membubuhkan
4
Ibid, hlm 246-248
tanda tangannya saja apabila setuju dan menerima isi perjanjian tersebut. Perjanjian kredit mempunyai fungsi sebagai berikut: 1.
Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya perjanjian kredit merupakan seseuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lainnya yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
2.
Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur.
3.
Perjanjian kredit berfungsi untuk melakukan monotoring kredit.5 Perjanjain kredit yang merupakan perjanjian pokok ini harus ada
perjanjian tambahannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Jaminan sangat diperlukan dalam pemberian kredit kepada debitur, kegunaan jaminan kredit ini adalah :6 a. Memberikan hak dan kekuasaan pada bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur cidera janji, yaitu untuk membayar kembali uangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. b. Menjaminkan agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya, kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil. 5
Ibid, hlm 264-265 Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT.Raja Grafindo, Jakarta,
6
hlm 28
c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya untuk pembayaran kembali sesuatu dengan syarat-syarat yang telah disetujui. Pada dasarnya jenis-jenis jaminan kredit terdiri dari jaminan perorangan (Personal Guarantee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan seseorang pihak ketiga guna pemenuhan kewajiban pihak debitur kepada kreditur dan jaminan kebendaan yang menurut sifatnya jaminan kebendaan ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda yang tidak berwujud (immaterial). Adapun jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa dan hakhak lainya yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.7 Salah satu yang dijadikan jaminan adalah hak guna bangunan. Berdasarkan ketentuan di atas yang menjadi salah satu
hak atas tanah adalah hak guna
bangunan. Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA, yang menyatakan :” Hak guna bangunan adalah hak untuk mempunyai bangunan atau mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun”. Hak guna bangunan ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian maka sifat hak gunan bangunan adalah sebagai berikut :
7
Hasanuddin Rahman, 1995, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Cetakan Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 182.
a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam arti dapat di atas tanah negara maupun tanah milik orang lain. b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi. c. Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan8 Selaras dengan ketentuan UUPA diatas Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, menyebutkan bahwa sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas tanah yang sama. Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan,bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut, sedangkan menurut Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dinyatakan bahwa permohonan perpanjanga jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun, sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. 8
Rinto Manulang, 2011, Segala Hal tentang Tanah, Rumah dan Perizinan, PT.Suku Buku, Jakarta, hlm 20-21
Dengan adanya 2 (dua) istilah berbeda yang dipergunakan menyangkut jangka waktu pengajuan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan, maka dapat menimbulkan penafsiran serta implikasi yang berbeda didalam prakteknya. Hal ini akan sedikit banyak berpengaruh terhadap terselengaranya kepastian hukum. Berkaitan dengan pembebanan Hak Tanggungan terhadap Hak Guna Bangunan dalam Pasal 39 UUPA jo Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyatakan, bahwa Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan. Hal ini sesuai dengan dengan apa yang ditetapkan oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah, bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik,Hak Guna Usaha,Hak Bangunan. Subyek hukum dalam pemberian Hak tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pasal 8 Undang-Undan Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) menentukan, bahwa pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) menyebutkan, bahwa pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Haukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Oleh karena Hak Guna Bangunan yang dijadikan objek jaminan Hak Tanggungan
memiliki
keterbatasan
waktu,sudah
barang
tentu
akan
menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Pemberian kredit yang diberikan oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru dengan jaminan yang diikat dengan hak tanggungan terhadap objek jaminan tanah, dengan status Hak Guna Bangunan, tetapi dalam pelaksanaan disaat jangka waktu kredit debitur masih ada tetapi jangka waktu Hak Guna Bangunan nya akan berakhir jangka waktu tersebut haruslah diperpanjang. Berdasarkan
latar
belakang
“PERPANJANGAN DIBEBANI
HAK
HAK
di
atas
GUNA
TANGGUNGAN
maka
penulis
mengambil
judul
BANGUNAN
YANG
SEDANG
PADA
BANK
MANDIRI
PT.
(PERSERO) Tbk PEKANBARU”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana proses perpanjangan Hak Guna Bangunan yang sedang diibebani hak tanggungan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru? 2. Bagaimana proses pengikatan hak tanggungan terhadap hak guna bangunan yang telah diperpanjang PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru pada saat perjanjian kredit berlangsung?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis ini belum pernah dilakukan oleh pihak lain untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan/atau Doktor) baik pada Universitas Andalas maupun pada Perguruan Tinggi lainnya, jika ada tulisan yang sama dengan yang ditulis oleh penulis sehingga diharapkan tulisan ini sebagai pelengkap dari tulisan yang sudah ada sebelumnya, yaitu: 1. Tesis atas nama Nuraida, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Andalas Padang, tahun 2015 dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan yang berakhir pada PT.BPR Faiza Pradani Andi Kota Pekanbaru”. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana proses pemasangan hak tanggungan atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang berakhir jangka waktunya sebagai jaminan terhadap hutang debitur pada PT.BPR Faiza Pradani Andi Kota Pekanbaru, mengapa bisa terjadi adanya Hak Guna Bangunan (HGB) yang berakhir jangka waktunya namun hutangnya belum lunas pada PT.BPR Faiza Pradani Andi Kota Pekanbaru dan bagaimana perlindungan hukum atas Hak Guna Bangunan (HGB) yang berakhir jangka waktunya PT.BPR Faiza Pradani Andi Kota Pekanbaru. 2. Tesis atas nama Nur Amaliah Ranie, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Semarang, tahun 2008, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Obyeknya Terkena Luapan Lumpur Lapindo“. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah terkena lumpur lapindo,
bagaimana perlindungan hukum kreditur terhadap debitur yang obyek jaminannya musnah terkena lumpur lapindo, apa kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian perjanjian kredit yang terkena lumpur lapindo.
D. Tujuan Penelitian Adupun tujuan penelitian yang dilakukan penulis, sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses perpanjangan Hak Guna Bangunan yang sedang diibebani hak tanggungan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru 2. Untuk mengetahui proses pengikatan hak tanggungan terhadap hak guna bangunan yang telah diperpanjang PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru pada saat perjanjian kredit berlangsung
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dilakukan penulis, sebagai berikut: 1. Secara Teoritis . Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sejenis, serta memberikan sumbangan pemikiran mengenai proses pengikatan hak tanggungan terhadap hak guna bangunan yang telah diperpanjang PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru pada saat masih berlangsung perjanjian kredit. 2. Secara Praktis.
Sebagai bahan masukan dan bermanfaat bagi para praktisi yang terlibat langsung dalam Proses pengikatan hak tanggungan terhadap hak guna bangunan yang telah diperpanjangan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru pada saat masih berlangsung perjanjian kredit.
F. Kerangka Teoritis Dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis. a. Teori Kesepakatan Kata sepakat dalam suatu perjanjian dapat diperoleh melalui suatu proses penawaran (offerte) dan penerimaan (acceptatie). Istilah penawaran (offerte) merupakan suatu pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian, yang tentunya dalam penawaran tersebut telah terkandung unsur esensialia dari perjanjian yang akan dibuat. Penerimaan (acceptatie) sendiri merupakan pernyataan kehendak tanpa syarat untuk menerima penawaran tersebut. Kata sepakat dapat diberikan secara tegas maupun diam-diam. Secara tegas dapat dilakukan dengan tertulis, lisan maupun dengan suatu tanda tertentu. Cara tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah tangan. Mengenai kapan saat terjadinya kata sepakat, terdapat 4 (empat) teori yang menyoroti hal tersebut, yaitu:9 1). Teori Ucapan (Uitings Theorie)
9 Novita S, Kesepakatan Dalam Perjanjian, http://vitaorrin.blogspot.co.id/2013/11/kesepakatan-dalam-perjanjian.html, diakses pada Pukul 11.08 WIB, tanggal 4 September 2016.
Teori ini berpijak kepada salah satu prinsip hukum bahwa suatu kehendak baru memiliki arti apabila kehendak tersebut telah dinyatakan. Menurut teori ini, kata sepakat terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran telah menulis surat jawaban yang menyatakan ia menerima surat pernyataan. Kelemahan teori ini yaitu tidak adanya kepastian hukum karena pihak yang memberikan tawaran tidak tahu persis kapan pihak yang menerima tawaran tersebut menyiapkan surat jawaban. 2). Teori Pengiriman (verzendings Theorie) Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran telah mengirimkan surat jawaban atas penawaran yang diajukan terhadap dirinya. Dikirimkannya surat maka berarti si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat, selain itu saat pengiriman dapat ditentukan dengan tepat. Kelemahan teori ini yaitu kadang terjadi perjanjian yang telah lahir di luar pengetahuan orang yang melakukan penawaran tersebut, selain itu akan muncul persoalan jika si penerima menunda-nunda untuk mengirimkan jawaban. 3). Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie) Menurut teori ini, terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung surat jawaban dari pihak yang menerima tawaran. 4). Teori Pengetahuan (Vernemings Theorie) Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang melakukan penawaran mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Kelemahan
teori ini antara lain memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena menunda-nunda untuk membuka surat penawaran dan sukar untuk mengetahui secara pasti kapan penerima tawaran mengetahui isi surat penawaran. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kesepakatan maka perlu dilihat apa itu perjanjian, dapat dilihat pasal 1313 KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sebab Kesepakatan atau kata sepakat merupakan bentukkan atau merupakan unsur dari suatu perjanjian (Overeenkomst) yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dimana pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kesepakatan atau tercapainya suatu kehendak. Kata sepakat sendiri bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dimana pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kehendak. Menurut Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah : “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Menurut Riduan Syahrani bahwa:10
10
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 16.
“Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persetujuan kemauan atau menyetujui kehendak masing-masing yang dilakukan para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan penipuan”. Jadi yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni: a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. c) Teori
Pengetahuan
(vernemingstheorie), kesepakatan terjadi
apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Azas Consensualitas mempunyai pengertian yaitu pada dasarnya perjanjian terjadi sejak detik tercapainya kesepakatan, dimana perjanjian tersebut harus memenuhi persyaratan yang ada, yaitu yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Perjanjian seharusnya adanya kata sepakat secara suka rela dari pihak untuk sahnya suatu perjanjian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang mengatakan bahwa : Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau tipuan. Dengan demikian jika suatu perjanjian tidak memenuhi syaratsyarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika suatu perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu adalah batal demi hokum. b. Teori Jaminan. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Dalam Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Universitas Gajah Mada tanggal 9 sampai 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan, bahwa istilah “ hukum jaminan “ itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perseorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan.11
11
Rachmadi Usman I, Op Cit, hlm 1
Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.12 Sementara itu Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.13 Jaminan yang digunakan untuk mendapatkan fasilitas kredit ini merupakan sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Dengan demikian jaminan mengandung suatu kekayaan (materiil) ataupun suatu pernyataan kesanggupan (immateriil) yang dapat dijadikan sebagai sumber pelunasan utang. Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk pembayaran utang. Keharusan adanya jaminan tersirat dalam kalimat keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur yang terdapat dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal Pasal 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyatakan :
12 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 3 13 Salim, 2004, Op.cit, hlm 6.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuna serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunansi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) Jaminan yang timbul dari undang-undang yaitu segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan dan; b) Jaminan yang timbul dari atau perjanjian, pada dasarnya jaminan tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu : 1. Jaminan perseorangan atau dalam istilah hukum disebut persoonlijke zekerheid.Jaminan peseorangan menimbulkan hak-hak perseorangan, sehingga terdapat hubungan hukum secara khusus antara kreditur dan orang yang menjamin pelunasan utang debitur (penjamin). 2. Jaminan kebendaan atau dalam istilah hukum disebut zekelijke zekerheid. Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur daripada kreditur lainnya atas benda tersebut.14 Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dilihat di dalam Pasal 1 Angka 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yaitu agunan adalah jaminan tambahan diserahkan debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam setiap pengikatan kredit,
14
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2004, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, hlm 43
bank wajib meminta agunan berupa barang bergerak maupun barang tetap kepada debitur. Jaminan ini merupakan suatu tanggungan yang diberikan oleh seseorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. Jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditur guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khususnya yang bersifat assesoir dari perjanjian kredit oleh debitur dengan kreditur. Salah satu jaminan adalah benda tetap (tanah), tanah sebagai jaminan ini diikat dengan hak tanggungan. Jaminan ini berguna untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
c. Teori kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari hukum. Dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perseorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang yang mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.15 Adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa adanya kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya
15
hlm 45.
Salim, 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum , Raja Grafindo Persada, Jakarta,
benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum.16 Ada beberapa pendapat para ahli mengenai kepastian hukum ini :17 1) Jan M.Otto Bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut : a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh yang diterbitkan oleh kekuasaan Negara. b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya. c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut. d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tdak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan Jan M.Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari
16 lihat http//www. Hubungan dan Tujuan Hukum, Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan,http://rasjuddin.blogspot.com, diupdate tanggal 22 Desember 2015 Pukul 14.00 Wib 17 Lihat http://www.ngobrolinhukum.com.memahami kepastian (dalam) hukum (terakhir kali dikunjungi pada 23 Desember 2015.
dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara Negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
2) Sudikno Mertokusumo Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.
3) Peter Mahmud Marzuki Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu :18 a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. b. Keamanan hukum bagi individu dari kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Dari uraian diatas maka kepastian hukum dapat mengandung beberapa arti yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif serta dapat dilaksanakan, dan mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.
2. Kerangka Konseptual. 18
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hlm 137.
Untuk menghindari kerancuan dalam pengertian, maka perlu kiranya dirumuskan beberapa definisi dan konsep. Adapun konsep yang penulis maksud meliputi hal-hal, sebagai berikut: a. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. b. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pihak peminjam berdasarkan kesepakatan atau persetujuan pinjam meminjam antara pihak yang satu dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. c. Hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, menyatakan: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. d. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mempunyai bangunan atau mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun
G. Metode Penelitian. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi,yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.19 Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah : 1. Pendekatan masalah.20 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
yuridis
empiris. Metode pendekatan yuridis empiris merupakan cara prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer dilapangan, artinya metode pendekatan yuridis empiris adalah mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dan menghubungkannya dengan kenyataan dalam perpanjangan hak guna bangunan yang sedang dibebani hak tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru. Sifat Penelitian.21
2.
Penelitian yang dilakukan penulis adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisa permasalahan mengenai Proses pengikatan
19
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
20
Ibid. Ibid.
hlm 42. 21
hak tanggungan terhadap hak guna bangunan yang telah diperpanjangan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru. 3. Jenis dan Sumber Data.22 Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : a. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan dengan mengadakan penelitian pada: 1)
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Pekanbaru
2)
Notaris kota Pekanbaru.
3)
Kreditur
4)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekanbaru
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang berupa : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap individu atau masyarakat yang berasal dari peraturan perundang-undangan, meliputi : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. c) Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1996
tentang
Hak
Tanggungan. d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
22
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm 143-146
e) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. f) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. g) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). h) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Kantor Pertanahan Nasioanal Nomor 1 Tahun 1993 tentang Tata Cara Pembebanan, Perpanjangan dan Pembaharuan Hak Guna Bangunan, KawasanKawasan tertentu di Provinsi Riau. Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Kantor Pertanahan Nasioanal Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan HGB i) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Kantor Pertanahan Nasioanal Nomor
9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer misalnya: buku-buku, jurnal, hasil seminar maupun teori-teori mengenai hak tanggungan dan hak guna bangunan. 3) Bahan hukum tertier yakni bahan hukum yang dapat memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer misalnya penggunaan kamus-kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi dokumen atau bahan kepustakaan adalah memperoleh data dengan mencari dan mempelajari buku-buku dan dokumendokumen yang berkaitan dengan hak tanggungan dan hak guna bangunan. b. Wawancara atau interview adalah dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis kepada PT.Bank Mandiri (Persero) Tbk Kota Pekanbaru dan Notaris kota Pekanbaru. Teknik wawancara yang penulis gunakan, wawancara tidak terstruktur
yaitu
wawancara
yang
bebas
dimana
peneliti
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan. 23 5. Teknik Pengolahan data. Pengolahan data yang dilakukan penulis, sebagai berikut :24 a. Editing adalah proses penelitian kembali terhadap catatan, berkasberkas, informasi yang dikumpulkan oleh penulis, agar dapat meningkatkan mutu kehandalan data yang hendak dianalisis.
23
Sugiono,2008, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung, hlm 24 Amiruddin, Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penlitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 168-169. 24
b. Coding adalah usaha mengklasifikasikan jawaban responden berdasarkan macamnya, yang sudah masuk tahap pengorganisasian data, karena kegiatannya adalah memberi kode terhadap jawaban responden sesuai dengan kategori masing-masing. 6. Analisis Data Dalam penulisan karya tulis ini penulis lakukan, penganalisaan data dilakukan secara kualitatif. Analisa kualitatif adalah suatu analisa data yang dilakukan dengan cara menjelaskan data-data berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pendapat para ahli dan pengetahuan dari penulis sendiri.