1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Petani memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, terutama sebagai penghasil bahan makanan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan banyaknya perubahan pada lingkungan strategis pembangunan pertanian, baik di tingkat individu petani, lokal, daerah, nasional, regional, maupun tantangan untuk bersaing di pasar global, petani diharapkan andal menjalankan berbagai perannya secara simultan; baik sebagai pembelajar, peneliti, penyelenggara agribisnis, pemimpin, maupun fasilitator bagi petani lainnya (Margono, 2003; Soedijanto, 2003). Petani sebagai fasilitator merupakan peran “puncak” seorang petani sebagai bentuk partisipasinya (Ghimire, 2009) dalam pembangunan pertanian. Petani yang memainkan perannya sebagai fasilitator dikelompokkan sebagai penyuluh pertanian swadaya. Penyuluh pertanian swadaya, sesuai Undang-Undang No. 16 Tahun 2006, merupakan seseorang yang bersedia dan secara sukarela membantu dalam proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Salah satu wahana “petani-belajar-kepada-petani” (Kundhlande dkk., 2014) adalah Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). P4S merupakan
2
sebuah lembaga sekaligus organisasi pembelajaran swadaya yang dibentuk dan dikelola oleh petani fasilitator, secara perorangan ataupun kelompok, untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilannya mencakup sebagai produsen, manajer, dan wirausaha kepada para petani pembelajar sehingga mereka merasa puas mengikuti kegiatan pelatihan di P4S tersebut dan mampu menerapkan hasilhasil pembelajaran tersebut pada usahataninya masing-masing. Jumlah P4S di Jawa Barat pada tahun 2012 adalah 140 unit atau propinsi yang memiliki P4S terbanyak di Indonesia (Anonim, 2012). Jika di setiap P4S minimal terdapat seorang petani fasilitator melatih rata-rata 20 orang petani per bulan, maka petani di Jawa Barat yang mengikuti pelatihan dapat mencapai 33.600 orang setiap tahunnya. Dengan relatif masih terbatasnya jumlah tenaga penyuluh pertanian, yaitu sebanyak 2.149 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 1.719 Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) di Jawa Barat untuk melayani petani pada 2-3 desa/kelurahan (Anonim, 2012; GFRS, 2012; Subejo dkk., 2014), keberadaan dan peran petani fasilitator P4S diharapkan secara signifikan mendukung terlaksananya peningkatan kemampuan para petani dalam mengembangkan agribisnis serta pemberdayaan masyarakat di perdesaaan. P4S yang efektif dicirikan oleh produk-produk pembelajaran yang dihasilkan, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kehadiran petani fasilitator dalam kegiatan-kegiatan P4S, serta kepuasan petani pembelajar baik ketika mereka mengikuti pelatihan di P4S maupun penerapan hasil-hasil pembelajaran pada usahataninya masing-masing.
3
Berdasarkan hasil survey pendahuluan dan identifikasi Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang tahun 2014 (Anonim, 2014), sekurangnya terdapat 15 P4S di Jawa Barat yang dinyatakan kurang efektif disebabkan oleh: a) sedikit atau tidak ada petani/kelompoktani yang bersedia belajar di P4S; b) ketua mengundurkan diri atau melepaskan komitmennya sebagai fasilitator; c) rendahnya frekuensi pembinaan dari instansi lingkup pertanian kabupaten/kota terkait terbatasnya petugas penyuluh dan anggaran yang tersedia; d) rendahnya inisiatif ketua untuk mensosialisasikan keberadaan P4S sebagai lembaga pembelajaran bagi petani;e) ketua lebih mengutamakan perannya sebagai wirausaha dan mengabaikan perannya sebagai fasilitator. Demikian pula berdasarkan hasil survey pendahuluan dan kajian para peneliti, dapat diketahui bahwa petani fasilitator P4S dan petani pelatih sukarela (volunteer farmer trainers) yang banyak dijumpai di beberapa negara di Afrika belum memiliki kompetensi yang cukup sebagai fasilitator dan rendahnya dukungan sosial guna mencapai organisasi P4S yang efektif (Jatnika, 2006; Kiptot dan Franzel, 2012; Kiptot dkk., 2012; dan Batta dkk., 2013). Disisi lain, terdapat ketidak percayaan (mistrust) dari calon petani pembelajar, petani tidak bersedia lagi sebagai fasilitator, dan kurangnya penghargaan bagi petani fasilitator (Weinand, 2002). Kompetensi petani yang dimiliki dan dikuasainya sebagai fasilitator menentukan tercapainya sebuah organisasi P4S yang efektif. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mental yang diperlukan, untuk menjalankan tugas, fungsi, peran dan posisi tertentu yang
4
memiliki kontribusi terhadap keberhasilan kinerja pekerjaan dan capaian hasil yang diinginkan atau sebuah keniscayaan untuk mewujudkan efektivitas sebuah organisasi yang modern (Parry, 1996; Proehl, 2001; Zenger dan Folkman, 2002, Ennis, 2008; Schermerhorn dkk., 2008; Djikstra, 2009; Dickson dkk., 2012). Salah satu pendekatan psikologi sosial dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mengungkap aspek psikologis seseorang (self) terhadap perilaku sosialnya (other), dan diduga memperkuat hubungan kompetensi seseorang dan efektivitas organisasi adalah empati. Empati merupakan elemen penting keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dan menjalin hubungan sosial dengan orang-orang lain, baik dalam posisi dan status antar individu yang sederajat (homofili) maupun hubungan ordinasi - subordinasi atau heterofili (misalnya: hubungan pemimpinpengikut; atasan-bawahan; guru-murid; paramedis-pasien). Empati merupakan sebuah kekuatan pribadi untuk perubahan sosial (Krznaric, 2015); sebuah variabel penting dalam modernisasi (Rogers, 1969); dan ketrampilan sosial yang sangat kuat dalam organisasi apapun (Goleman, 2011). Empati diartikan sebagai kepekaan atau kemampuan seseorang untuk memahami sudut pandang orang lain, merasakan seperti yang dirasakan orang lain, berbagi perasaan atau emosi dengan orang lain atau dengan sekelompok orang (Mosher, 1966; Richards, 2010; Worchel dkk., 1991; Pederson, 2008; Smith, 2006; Pavlovich dan Krahnke, 2012) dan mengambil sikap konstruktif jangka panjang untuk mencari solusi guna memenuhi kebutuhannya atau memberi perhatian sebagai respon terhadap orang lain tersebut dengan cara-cara yang suportif (Cooper, 2004; Dvash dan Shamay-Tsoory, 2014).
5
Pemilihan empati sebagai variabel moderator dalam penelitian ini karena adanya beberapa konsep yang menjelaskan tiga peran empati (Rameson dan Lieberman, 2009; Rivers dan Brackett, 2011; Pavlovich dan Krahnke, 2012;). Pertama, empati memperkuat keterikatan (connectedness) melalui berbagi di antara kesadaran-diri (mengenali secara akurat perasaan, minat, nilai, dan kekuatan; dasar untuk mempertahankan rasa percaya diri) dan jalan-syaraf (neuropathways) yang mencairkan hambatan diantara self (diri) dan other (orang lain) dan mendorong integrasi perasaan (affective) dan kesadaran pikiran (cognitive) yang memfasilitasi kemampuan untuk membentuk solusi dalam kesadaran sosialnya (memahami perspektif dan berempati dengan orang lain; mengenal dan menghargai persamaan/perbedaan individu/kelompok, mengenal dan menggunakan
keluarga/sekolah/masyarakat
sebagai
sumberdaya).
Kedua,
empati
memperkuat keterikatan melalui tindakan altruistik untuk berbagi kepada orang lain, merasakan kesenangan, dan mengaktivasi harmoni dengan sesama. Ketiga, empati memperkuat keterikatan yang menghasilkan koherensi atau kerja integratif dari peran penting fokus empatik (empathic focus) dan cara memproses dalam memainkan pengalaman empatik (the experience of empathy). Dengan ketiga peran ini, empati menjadi kontribusi terbesar dalam memperkuat interaksi sosial melalui kemampuannya untuk memotivasi individu-individu bekerjasama, saling berbagi sumberdaya, membantu orang-orang lain dan menjadi pusat dalam mempromosikan perilaku prososial. Empati diperlukan untuk memperkuat hubungan kompetensi peran petani sebagai fasilitator dan efektivitas P4S, karena secara empiris empati membantu
6
individu-individu membentuk interaksi dan mempertahankan ikatan-ikatan sosial sehingga terus berlangsung (Hoffman, 2000; Anderson dan Keltner, 2002); membantu memahami permasalahan/kesulitan atau kebutuhan yang dihadapi klien (Rogers, 1975); mendasari saat memfasilitasi suatu kegiatan sosial (Segal dkk., 2012); memiliki efek yang sangat kuat tidak hanya pada hubungan dan perilaku tetapi secara fundamental pada kualitas pembelajaran yang tinggi (Cooper, 2004); mampu meningkatkan kinerja (Sadri dkk., 2011); dan memiliki impak positif jangka panjang terhadap organisasi secara menyeluruh (Battarbee dkk., 2013). Berdasarkan uraian di atas, studi ini berusaha memperoleh gambaran yang lebih pasti untuk menjawab seberapa besar faktor psikologis empati sebagai variabel moderator turut menentukan hubungan kompetensi petani fasilitator dan efektivitas P4S yang dikelolanya. Empati menjadi sebuah variabel penting, karena dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia petani melalui pembelajaran “petani-belajar-kepada-petani” atau dalam hubungan homofili, empati petani fasilitator menentukan kepuasan petani pembelajar baik pada saat mengikuti pelatihan di P4S maupun kepuasan mereka dalam menerapkan hasil-hasil pelatihan pada usahataninya masing-masing. 1.2. Rumusan Permasalahan Kondisi beberapa P4S di Jawa Barat sebagai wahana pembelajaran “petanibelajar-kepada-petani” belum memperlihatkan efektivitas memadai karena sedikit atau tidak ada petani yang bersedia menjadi pembelajar di P4S dan sebagian petani melepaskan komitmennya sebagai fasilitator. Bagaimana mendeskripsikan peran-peran utama petani fasilitator sebagai produsen, manajer/pemimpin, dan
7
wirausaha di bidang agribisnis menjadi suatu “model perilaku” bagi petani pembelajar di sekitarnya sehingga berminat belajar di P4S? Bagaimana mendeskripsikan perannya sebagai fasilitator P4S sehingga memuaskan petani pembelajarnya? Untuk mengupayakan agar eksistensi dan keberlanjutan P4S, adakah petani fasilitator melakukan pertukaran sosial dengan para pemangku kepentingan (stake holder)? Jika ada, sumberdaya apa yang dipertukarkan? Bagaimana proses pertukaran sumberdaya tersebut terjadi? Dalam penyelenggaraan pelatihan petani di P4S, adakah petani fasilitator memperoleh dukungan sosial? Jika ada, dalam bentuk apa? Bagaimana dukungan sosial dapat terjadi? P4S yang berkembang sejak tahun 1990 (Anonim, 2010) merupakan sebuah lembaga pembelajaran swadaya yang mengarah pada organisasi modern dan empatik, tanpa didanai Pemerintah, mengharapkan petani memiliki kompetensi yang memadai sebagai fasilitator sehingga mampu memuaskan kebutuhan petani pembelajar sebagai kliennya (Margono, 2003), tidak hanya dalam proses pembelajaran di P4S, tetapi berhasil menerapkan hasil-hasil pembelajaran pada usahataninya masing-masing. Ini artinya, bahwa petani sebagai fasilitator merupakan peran yang relatif baru dibandingkan peran-peran utamanya sebagai “produsen-manajer/pemimpin-wirausaha”. Bagaimana petani memenuhi kapasitasnya untuk memiliki dan menguasai kompetensinya sebagai fasilitator? Seberapa besar kontribusi kompetensi peran petani sebagai fasilitator terhadap efektivitas P4S? Apakah ada perbedaan signifikan kompetensi petani fasilitator pada kelas P4S berbeda (Pemula dan Non Pemula)? Seberapa besar empati dapat
8
memperkuat/memperlemah hubungan kompetensi petani sebagai fasilitator dan efektivitas P4S? Apakah empati petani fasilitator berhubungan dengan kelas P4S? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan gejala dan fakta terkait multi peran petani (sebagai produsen, manajer/pemimpin, wirausaha, dan fasilitator) dan efektivitas P4S dengan Teori Peran, Teori Dukungan Sosial, dan Teori Pertukaran Sosial. 2. Menganalisis pengaruh tigakluster kompetensi (pengetahuan, sikap mental, dan ketrampilan) peran petani sebagai fasilitator terhadap efektivitas P4S. 3. Menguji empati memoderasi hubungan kluster kompetensi peran petani sebagai fasilitator dan efektivitas P4S. 1.4 Keaslian Penelitian Di bidang penyuluhan pertanian, relatif lebih banyak peneliti yang mengkaji peran dan kinerja penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai fasilitator dan petani sebagai pembelajarnya. Beberapa hasil penelitian juga mengungkap peran dan kinerja petani sebagai pemandu/pelatih sukarela/fasilitator terhadap petani pembelajar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam penyuluhan “daripetani-untuk-petani” sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.
9
Tabel 1. Ringkasan hasil beberapa penelitian No. 1 1.
Judul 2 Kinerja Petani Pemandu Dalam pengembangan PHT dan Dampaknya Pada Perilaku Petani di Jawa Barat (Effendy, 2010)
Aspek Kajian 3 Faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja petandu dalam pengembangan PHT di Jawa Barat Dampak kinerja petandu pada perilaku petani dalam berusahatani sesuai prinsip PHT Tingkat hubungan faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja petandu dan perilaku petani
2.
Operationalising participatory research and farmer-to-farmer extension: the Kamayoq in Peru (Hellin dan Dixon, 2008)
Efektivitas penelitian partisipatif dan penyuluhan “dari petani untuk petani” dalam melayani kebutuhan petani kecil
Deskriptif kualitatif
Effectiveness of the Farmer Trainer Approach in Dissemination of Livestock Feed Technologies: A Survey of Volunteer Farmer Trainers in Kenya (Kiptot dan Franzel, 2012)
Persepsi, motivasi, kegiatan diseminasi, kompetensi, dan tantangan yang dihadapi petani pelatih sukarela(volunteer farmer-trainers)
Penelitian survey yang dilakukan pada 7 daerah di Kenya (Mweiga, Olkalou, Muki, Kipkaren, Kabiyet, Cheptalal, dan Longisa) dengan melibatkan 99 orang petani pelatih sukarela
3.
(dilanjutkan)
Metode Analisis 4 Penelitian survey yang melibatkan 175 orang petani di 7 Kabupaten di Jawa Barat Kuesioner dirancang dengan 5 variabel bebas dan 2 variabel terikat Data dianalisis menggunakan SEM
Hasil Kajian 5 Variabel: kompetensi PHT, karakteristik lingkungan, dan dinamika belajar berpengaruh nyata terhadap kinerja petandu; dan secara simultan ketiga variabel tersebut mempengaruhi kinerja petandu sebesar 60% (R2=0,60) Kinerja petani petandu PHT berdampak positif pada perilaku petani dengan koefisien 0,25 dan mempengaruhi perilaku petani sebesar 6% (R2=0,06). Model Kamayoq di Peru sebagai kombinasi penelitian partisipatif dan penyuluhan “dari petani untuk petani” dengan melibatkan tenaga ahli dan petani menjadi fasilitator bagi petani lain dalam sistem inovasi setempat, membangun trust dengan petani setempat melalui proses sosial dan komunitas. Petani pelatih sukarela telah melatih 54 org petani/bulan selama19 bulan Pergi melatih dengan berjalan kaki (98%), menyewa sepeda motor, naik kendaraan umum, atau menggunakan sepeda sendiri
10
Lanjutan Tabel 1 1 2
4.
Disseminating Improved Practices: Are Volunteer Farmer Trainers Effective? (Lukuyu dkk., 2012)
(dilanjutkan)
3
Efektivitas petani pelatih sukarela (volunteer farmer trainers) dalam mempromosikan teknologi pertanian di Kenya Barat Tipe informasi yang didesiminasikan petani pelatih sukarela tersebut,
4
Data diperoleh melalui Focused Group Discussion dan diskusi terbuka Melibatkan 44 petani pelatih (32% perempuan) dan 91 petani pembelajar (63% perempuan)
5 Tempat berlatih di: tempat pelatihan bagi petani, rumah petani, atau tempat lain Motif mereka: memperoleh penghasilan, pengetahuan/ketrampilan, altruism, keuntungan sosial dan proyek 43% dari mereka mencatat kegiatan pelatihan, 57% menggunakan bahanbahan pelatihan Metode yang digunakan adalah demonstrasi plot dengan berbagai teknologi pengembangan pakan ternak Tantangan: kurangnya bahan materi pelatihan yang relevan, keterbatasan pengetahuan teknis, harapan terlalu tinggi dari petani pembelajar, penolakan perubahan dari petani, keterbatasan kendaraan dan insentif dari pengambil kebijakan lokal. Petani pelatih memainkan peran penting dalam memobilisasi dan melatih petani pembelajar Sebagai pemilik plot demonstrasi, mengumpulkan dan mendistribusikan bahan-bahan tanaman
11
Lanjutan Tabel 1 1 2
5.
Voluntarism as an Investment in Human, Social, and Financial Capital: Evidence from a Farmer-toFarmer Extension Program in Kenya (Kiptot dan Franzel, 2013)
(dilanjutkan)
3
4
karakteristik petani pelatih yang diharapkan oleh petani pembelajar, dan bagaimana petani pembelajar mengevaluasi kinerja petani pelatih Seleksi petani pelatih, organisasi pelatihan, tipe, bagaimana dan kepada siapa informasi disebarluaskan, kendala dan peluang petani pelatih
Efektivitas pelatihan dikaji berdasarkan tingkat kepuasan petani pembelajar dan atribut untuk mencapai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan, dan aplikasi pada usahatani pembelajaran
Memahami alasan dibalik keputusan petani kecil yang secara sukarela meluangkan waktu dan sumberdaya mereka melatih petani lain tanpa imbalan dan masih melanjutkan kegiatan sukarela
Data diperoleh melalui FGD (focused group discussions) dan wawancara secara individu yang melibatkan 99 orang petani yang secara sukarela bersedia menjadi pelatih (the volunteer framertrainer)
5 Tingkat kinerjanya sedikit lebih rendah pada tindak lanjut pembelajaran dan pengumpulan bahan tanaman Petani pelatih ratarata mendiseminasikan 2-4 jenis teknologi Teknologi tanaman lebih sering didiseminasikan dibandingkan peternakan karena segi praktisnya Petani pelatih melanjutkan pekerjaannya beberapa tahun setelah dukungan proyek telah selesai Petani termotivasi menjadi pelatih sukarela oleh perpaduan minat pribadi dan masyarakat yang dipengaruhi oleh keyakinan agama, norma-norma budaya, dan insentif sosial-ekonomi. Altruisme, perolehan pengetahuan, dan ketrampilan, dan manfaat sosial merupakan motif yang paling tinggi sebagai faktor yang mendorong petani menjadi pelatih sukarela Tiga tahun sesudah petani menjadi pelatih sukarela,
12
Lanjutan Tabel 1 1 2
3
4
5 mereka mendapat penghasilan dari penjualan input dan jasa pertanian yang juga sebagai faktor yang memotivasi Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara faktor yang memotivasi petani-pelatih laki-laki dan perempuan Petani yang bersedia sebagai pelatih secara sukarela bekerja secara efektif tanpa dibayar merupakan investasi dalam modal manusia, modal sosial dan finansial yang secara krusial terus memotivasi mereka dan pada gilirannya menjadi faktor kunci keberlanjutan program penyuluhan “dari-petani-ke-petani”
Penelitian yang dilakukan terfokus pada tiga kluster kompetensi peran petani fasilitator, yaitu: pengetahuan, sikap mental, dan ketrampilan serta efektivitas P4S yang dimoderasi empati dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap gejala dan fakta terkait multi peran petani (sebagai produsen, manajer/pemimpin, wirausaha, dan fasilitator) dan keberlan-jutan P4S dengan Teori Peran, Teori Dukungan Sosial, dan Teori Pertukaran Sosial. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis pengaruh tiga kluster kompetensi petani tersebut terhadap efektivitas Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). Penelitian ini juga menguji apakah empati memoderasi hubungan kluster kompetensi petani dan efektivitas P4S.
13
1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat
teoritis: memperkaya
konsep atau teori
yang mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan dibidang penyuluhan pembangunan dari sudut pandang pendekatan ilmu-ilmu sosial, terutama pendidikan dan psikologi sosial. 2.
Manfaat praktis: 1. Memberikan masukkan bagi petani terkait dengan kompetensi perannya sebagai fasilitator pada Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). 2. Memberikan masukkan bagi Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian untuk: a. Menyusun
strategi
pembinaan
guna
meningkatkan
efektivitas
pembelajaran berdasarkan kategori P4S yang ada (Pemula, Madya, Utama); b. Mempersiapkan P4S dijadikan sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK)dan petani sebagai instruktur dan/atau assessor (penguji) bagi petani lain; c. Memberikan masukkan bagi Kementerian Pertanian untuk menjadikan P4S sebagai organisasi pembelajaran yang mampu mensinergikan program dan kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelatihan di Perdesaan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah; d. Mempersiapkan konsep P4S sebagai sebuah organisasi pembelajaran yang empatik bagi petani pembelajar.