1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal
yang sangat
penting bagi masyarakat.
Komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan
nonverbal
antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbolsimbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tidak ada habisnya, mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah satunya mengenai komunikasi antar budaya. Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai kebijakan tentang sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi merupakan satu-satunya jalan untuk membentuk kebersamaan itu. Komunikasi, seperti kata Robert E Park (1996) adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu - individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi juga unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dari generasi ke
2
generasi. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atupun bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan. Kadangkala adanya perbedaan budaya mampu menimbulkan konflik antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang diperoleh mengalami ketidakpastian. Seperti yang di ungkapkan oleh Gudykunst dan Kim dalam Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif. Selain itu, Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut Devito dalam buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dimana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Komunikasi apapun bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi
3
antar budaya sering tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap normanorma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. Semakin besar derajat pebedaan antar budaya, maka semakin besar kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Dalam sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam Gundykuntst (1983), dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai atau norma antarpribadi termasuk antar budaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antar pribadi, atau nilai norma yang difungsional atau tidak mendukung hubungan antar pribadi. Berbicara soal perbedaan budaya, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan, dimana dari setiap pulau mempunyai suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas dari pulau tersebut. Oleh karena itu, komunikasi antar budaya sering terjadi pada masyarakat Indonesia. Terkait dengan Komunikasi antar budaya, perkumpulan mahasiswa Sumbawa yang ada di malang adalah salah satu organisasi yang dibuat untuk menjalin silaturahmi antara mahasiswa sumbawa dengan mahasiswa sumbawa sendiri serta mahasiswa sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain. Hal ini dilakukan karena mereka mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda dan perbedaan tersebut sangat terlihat
4
jelas pada saat mahasiswa - mahasiswa tersebut saling berkomunikasi satu sama lain. Sebagai contoh mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain. Universitas Muhammadiyah Malang yang terletak di Jawa Timur mengakibatkan sebagian besar mahasiswanya adalah berasal dari jawa, akan tetapi karena kredibilitas UMM yang cukup bagus di seluruh Indonesia, maka mengakibatkan banyak warga Sumbawa dan warga daerah lain ikut serta menuntut ilmu disana. Karena setiap hari manusia tidak dapat untuk tidak berkomunikasi, sehingga disini, sering terjadi komunikasi antara mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain, dan hal inilah yang membuat komunikasi antar budaya tidak dapat dihindarkan oleh keduanya, dan tak jarang pula sering terjadi perbedaan persepsi diantara mereka karena perbedaan budaya tersebut. Dengan demikian maka sampailah pada dasar ilmu komunikasi, yaitu bahwa apabila suatu message tidak mencapai efek yang diinginkan, maka yang bersalah adalah pihak komunikator (Susanto, 1974 : 404). Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dengan penelitian. Bentuk penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni perilaku komunikasi sangatlah penting dalam menciptakan upaya adaptasi yang baik antara budaya-budaya yang berbeda. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengamati bagaimana proses adaptasi budaya yang dilakukan oleh mahasiswa sumbawa terhadap budaya lain.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana perilaku komunikasi antar budaya mahasiswa sumbawa dalam upaya adaptasi budaya” ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku komunikasi antar budaya mahasiswa Sumbawa dalam upaya adaptasi budaya.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, dapat diungkapkan bahwa penelitian ini memiliki kegunaan: 1.
Manfaat Akademis Memberikan konstribusi positif serta dapat menambah wawasan pengetahuan dalam mengembangkan penelitian Ilmu Komunikasi, khususnya dalam perilaku komunikasi dalam upaya adaptasi budaya
2.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam bentuk refrensi tentang perilaku komunikasi dalam adaptasi budaya.
6
E. Kajian Pustaka E.1 Komunikasi Antar Budaya Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa, berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari orang-orang yang berinteraksi. Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orangorang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label yang dihasilkan budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24). Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah “culture”berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).
7
Komunikasi antar budaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: Proses komunikasi antar budaya sama seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24). Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antar budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antar budaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antar budaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan; 1. komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. dalam komunikasi antar budaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antar budaya. Antarbudaya menggambarkan
upaya
yang
sadar
dari
peserta
komunikasi
untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik.
8
Komunikasi antar budaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi interpersonal, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari kelompok-kelompok personal yang berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat. Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya
mempunyai
objek
formal,
yakni
mempelajari
komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya. E.1.1 Model Komunikasi Antar Budaya
9
Model ini mengasumsikan dua orang yang sejajar dalam berkomunikasi, masing-masing dari mereka sebagai pengirim sekaligus penerima, atau keduanya sebagai penyandi (encoding) dan penyandi balik (decoding). Karena hal itulah, kita dapat melihat bahwa pesan dari seseorang merupakan umpan balik untuk yang lainnya. Pesan atau umpan balik diantara mereka diwakilkan oleh sebuah garis dari sandi seseorang kepada sandi balik dari yang lainnya. Dua garis itu menunjukan bahwa setiap orang dari kita itu berkomunikasi. Kita menyandi dan menyandi balik pesan dalam satu waktu. Dengan kata lain, komunikasi bukanlah hal yang statis, kita tidak akan menyandi sebuah pesan dan melakukan apapun sampai kita mendapat umpan balik. Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik terhadap pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter‐filter konseptual yang dikategorikan menjadi factor‐faktor kultur, sosiokultur dan
10
psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis putus‐putus. Garis putus‐ putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga factor ini saling berhubungan dan mempengaruhi. Selain itu, kedua individu yang terlibat juga terletak dalam suatu kotak dengan garis putus‐putus yang berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal ini sekali lagi menggambarkan bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem tertutup. Pengaruh kultur dalam model ini meliputi penjelasan mengenai kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia, bahasa, sikap kita terhadap
manusia
(individualisme
atau
kolektivisme).
Sebab
ini
akanmempengaruhi perilaku komunikasi kita. Model Gudykunst dan Kim sebenernya merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka, khususnya antara 2 orang. Meskipun disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut dapat merepresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada 2 orang yang mempunyai budaya sosialbudaya dan psikobudaya yang persis sama.
E.2 Perilaku Komunikasi Dalam proses komunikasi selalu ada yang namanya pengharapan (expectation). Jika expectation menjadi lebih positif, maka ketidakpastian dan
11
kecemasan akan berkurang atau rendah (Gudykunst & Gueverro, 1990). Pengharapan kita mempunyai konsekuensi yang sanagt besar dengan komunikasi yang kita lakukan dengan orang lain Misalkan saja, ketika kita sudah mengenal seseorang dengan baik maka kita akan cenderung memiliki harapan dalam proses komunikasi kita. Semenjak pertama kali bertemu dan berkenalan mungkin kita masih setengah ragu dengan pengharapan kita, apakah akan sesuai dengan pengharapan kita atau tidak. Akan tetapi setelah komunikasi antara kita dengan dia sudah berjalan lama dan kita telah mengetahui karakternya, maka pengharapan kita terhadapnya akan cenderung tinggi. Akan tetapi, jika dalam pertengahan jalan ternyata orang yang kita kenal itu melakukan kesalahan pada diri kita dan menyebabkan kita sakit hati, maka pengaharapan kita pada seseorang itu akan berkurang atau mungkin bisa hilang dan tidak ada sama sekali. Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial,
12
kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru. Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007). Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi: (1) sekedar bicara ringan, (2) saling ketergantungan (independen), (3) tenggang rasa (empaty), (4) saling interaksi (interaktif). Berlo juga mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai
13
dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu.
E.3 Adaptasi Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajaripada umumnya dipengaruhi oleh kekuata – kekuatan sosial budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal lewat respon- respon komunikasi terhadap rangsangan lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan – pesan sehingga pesan – pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu – individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan – kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005:137). Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan
14
antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung hubungan antarpribadi. Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang. Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2) bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun nonverbal masyarakat tuan rumah? Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh polapola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-
15
pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140). Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui tiga proses yang saling berhubungan, yakni komunikasi persona, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi.
16
1.
komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain
itu,
motivasi
akulturasi
seorang
imigran
juga
dapat
memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi. 2.
komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya.
Komunikasi
sosial
dilakukan
melalui
komunikasi
antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati
17
melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota masyarakat pribumi. 3.
lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya
dipahami
tanpa
dihubungkan
dengan
lingkungan
komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembagalembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144). E.4 Budaya Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemprosesan informasi dan pengalihan pola – pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuata/tindakan yang dibagiakn diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
18
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek – objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang lain dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakan diri dalam pola – pola bahasa dan dalam bentuk – bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model – model dan tindakan – tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang – orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Berdasarkan pemikiran tersebut, komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda, bahkan dalam suatu bangsa sekalipun. Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1991:40). Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah: 1.
Komunikasi Antarbudaya a) Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal maupun non verbal b) Komponen dari komponen komunikasi
Motivasi
: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat
dan efektif dengan orang lain.
19
Pengetahuan
: kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa
yang kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan secara efektif dan tepat.
Kemampuan
: kemampuan kita dalam mengolah perilaku
yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif (Gudykunst dan Kim 2003: 275) c) Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya:
Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.
Kecemasan:
perasaan
psikologis
yang
secara
tiba-tiba
menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.
Pengurangan
ketidakpastian:
usaha
untuk
mengurangi
ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru yang berbeda budaya.
2.
Adaptasi Budaya
20
a) Bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga b) Bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun non verbal masyarakat tuan rumah.
E.5 Adaptasi Budaya Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung hubungan antarpribadi. Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang. Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2) bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun nonverbal masyarakat tuan rumah?
21
Adaptasi antarbudaya merupakan suatu proses panjang penyesuaian diri untuk memperoleh „kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Dalam
“Intercultural
Communication
Theories”,
Gudykunst
(2002:183)
memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Salah satu teori yang dikemukakan dalam paparan itu adalah teori adaptasi antarbudaya dari Ellingsworth. Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya komunikasi. Gaya adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku. Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile. Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini, pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara alamiah dan tidak dapat dihindari dimana seorang individu berusaha untuk mengetahui segala sesuatu tentang budaya dan lingkungannya yang baru sekaligus memahaminya.
22
Le vine (1973) menyatakan bahwa budaya sebagai seperangkat aturan terorganisasikan mengenai cara – cara yang dilakukan individu – individu dalam masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berfikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Akulturasi merupakan sebuah proses yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan diri dan pada akhirnya akan mengarah kepada asimilasi. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seseorang. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang – lambang masyarakat yang signifikan. Seseorng akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain. Dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses trial and eror selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Namun, proses ini tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus, bahkan dapat membuat individu merasa terganggu karenanya. Budaya yang baru biasanya dapat menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai – nilai budaya tersebut sangat berbeda dengan nilai – nilai budaya yang kita miliki. Biasanya seseorang akan melalui beberapa tahap sampai dia akhirnya bisa bertahan dan menerima budaya dan lingkungannya yang baru.
E.6 Culture Shock Culture shock diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1958 untuk menggambarkan kecemasan yang dihasilkan ketika seseorang pindah ke
23
lingkungan yang sama sekali baru. Istilah ini mengungkapkan kurangnya arah perasaan tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana melakukan hal-hal di lingkungan baru, dan tidak tahu apa yang cocok atau tidak. Rasa kejutan budaya umumnya merasuk setelah beberapa minggu pertama datang ke tempat baru. Kita dapat menggambarkan culture shock sebagai ketidaknyamanan fisik dan emosional satu menderita ketika datang untuk hidup di daerah lain atau tempat yang berbeda dari tempat asal. Seringkali, cara kita hidup sebelum tidak diterima sebagai atau dianggap seperti biasa di tempat baru. Semuanya berbeda, misalnya, tidak berbicara bahasa. Perbedaan antara budaya lama dan baru menjadi jelas dan dapat menimbulkan kecemasan. Bahwa perasaan senang akhirnya akan memberi jalan kepada perasaan yang baru dan tidak menyenangkan dari frustrasi dan kemarahan. Anda terus mengalami pertemuan yang tidak menguntungkan yang menyerang anda sebagai aneh, ofensif, dan tidak dapat diterima. Ini reaksi biasanya berpusat pada kendala bahasa yang hebat serta perbedaan mencolok dalam: kebersihan publik, keselamatan lalu lintas, jenis dan kualitas makanan. Ini periode yang sangat sulit bagi orang-orang yang perlu menyesuaikan diri dengan budaya baru, terutama bagi siswa yang belajar di daerah lain sendiri tanpa keluarga. Pada periode ini, orang mungkin merasa bahwa gaya hidup mereka benar-benar dipengaruhi. jam biologis mereka dalam kekacauan karena perbedaan waktu, mereka tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak bisa istirahat dengan baik baik. Selain itu, mereka mungkin merasa sakit dan malas, mereka
24
mungkin mendapatkan apa-apa melakukan lelah tidak peduli betapa mudahnya. Apa lagi, perubahan yang paling penting pada periode adalah komunikasi. Orang-orang yang menyesuaikan suatu budaya baru akan merasa kesepian dan rindu karena mereka harus terbiasa dengan lingkungan baru dan bertemu orang dengan siapa mereka tidak terbiasa setiap hari. Mereka tidak pandai bahasa asing sehingga sulit untuk terlibat dalam sebuah hubungan sosial yang baru. Mereka harus berpikir masak-masak sebelum mereka berbicara untuk menghindari kecerobohan linguistik, dan mereka juga harus mendengarkan dengan cermat setiap kata yang dikatakan orang lain untuk memahami dengan benar. Oleh karena itu, sebagian besar mahasiswa pendatang di jawa khususnya mahasiswa sumbawa di UMM merasa cemas dan memiliki tekanan yang lebih tinggi dalam mengatur budaya baru. Konsep culture shock menurut Furinham dan bochuner adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan – kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia sudah dapat atau tidak bersedia menyampaikan perilaku yang sesuai dengan aturan tersebut. Definisi ini menyebutkan bahwa culture shock adalah gangguan yang sangat kuat rutinitas, ego, dan self image individu. Dengan demikian terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut: 1.
Kehilangan cues atau tanda – tanda yang dikenal. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari – hari seperti tanda – tanda, gerakan bagian – bagian tubuh, ekspresi wajah ataupun kebiasaan – kebiasaan
25
yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi tertentu. 2.
Putusnya komunikasi antarpribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebut jelas dari gangguan ini.
3.
Krisis identitas, dengan pergi keluar negeri seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
F. Metode Penelitian F.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yakni adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong 2002:3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
F.2 Tipe dan Dasar Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang menggunakan laporan yang berisi kutipan data untuk memberi gambaran
26
penyajian laporan. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata – kata, gambaran. Hal
ini
disebabkan
dengan
adanya
penerapan
metode
kualitatif
(Moleong,1989:11) Menurut bogdan dan Biklen (Emzir, 2010:31), dengan data yang mencakup transkrip wawancara, catatan lapangan, fotografi, video tape, dokumen, memo, dan rekaman. Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif tidak mereduksi halaman demi halaman dari narasi dan data lain. Mencoba menganalisis data dan sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkrip. Dasar penelitian yang digunakan adalah dasar naturalistik, dimana penelitian kualitatif memiliki latar aktual sebagai sumber langsung dan data peneliti merupakan instrumen kunci. Peneliti masuk untuk mempelajari proses adaptasi budaya yang terjadi pada mahasiswa di organisasi mahasiswa sumbawa yang tergabung dalam SPMS-M. Selain naturalistik, juga menggunakan pendekatan yang hanya lebih berurusan dengan proses. Jadi peneliti lebih berkonsentrasi pada proses daripada hasil dikarenakan peranan proses yang sangat besar dalam penelitian ini, membuat beberapa bagian yang diteliti menjadi jelas.
F.3 Fokus Penelitian Spradley mengatakan bahwa fokus penelitian merupakan domain yang terkait dari situasi sosial (Sugiyono 2010:208). Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya batasan masalah, yang kemudian disebut dengan fokus
27
penelitian. Fokus penelitian lebih didasarkan pada inti masalah yang akan dipecahkan juga memperhatikan keterbatasan tenaga waktu dan dana. Untuk menghindari penelitian yang terlalu luas maka penelitian ini di fokuskan mengenai proses komunikasi mendasari proses akulturasi yang dilakukan seorang imigran. Dalam hal ini mahasiswa sumbawa sebagai pelaku komunikasi. Penelitian ini menganalisa bagaimana mahasiswa sumbawa beradaptasi terhadap wilayah baru yang mereka tempati, serta sejauh mana kesadaran dan pengetahuan mereka dalam melakukan komunikasi dengan orang asing. Sasaran dari penelitian ini adalah mahasiswa sumbawa yang tergabung dalam organisasi yakni SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa SumbawaMalang) dan aktif dalam organisasi kampus.
F.4 Lokasi Penelitian Lokasi
penelitian adalah tempat
dimana penelitian tersebut
akan
dilaksanakan untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Dengan demikian maka dipilih asrama mahasiswa sumbawa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa – Malang (SPMS-M) yang beralamat di Jl. Bareng Tenis 4a Malang sebagai lokasi penelitian dikarenakan tempatnya strategis di tengah – tengah kota malang. Serta lokasi tersebut dapat dijangkau oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di kota malang.
28
F.5 Subyek Penelitian Penetapan subyek dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling yakni peneliti memiliki pertimbangan khusus dalam menentukan subyek untuk di wawancarai. Menurut Sugiyono (2008:219) bahwa purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Adapun karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Mahasiswa sumbawa yang lahir dan besar di Sumbawa 2) Mahasiswa asli Sumbawa yang sudah berdomisili di Malang selama 1 tahun terakhir dan berinteraksi dengan mahsiswa dari daerah lain 3) Aktif dalam organisasi kemahasiswaan Dari karateristik yang telah ditentukan, peneliti menetapkan delapan orang subyek penelitian yaitu ketua SPMS-M, wakil ketua, ketua bidang pendidikan dan anggota. Berkaitan dengan judul penelitian, maka peneliti menetapkan mahasiswa daerah lain sebagai informan penelitian. Penetapan informan penelitian dalam penelitian ini untuk mendapatkan data sekunder sebagai kroscek dari data yang didapatkan.
F.6 Teknik Pengumpulan Data
29
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Wawancara Merupakan bentuk komunikasi dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2008 :180). Teknik wawancara dipilih jika peneliti menginginkan data berupa cerita rinci dan bahasa hasil konstruksi dari para responden, misalnya tentang pengetahuan, pengalaman, pandapatan atau pandangan hidup. Peneliti memilih wawancara tidak struktur yakni wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono,2008). Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden. Wawancara tak struktur bersifat luwes, dengan sususnan pertanyaan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan sesuai kondisi pada saat
wawancara.. Adapaun alasan peneliti
menggunakan teknik
wawancara diantaranya yaitu : Peneliti dapat bertemu dan berhadapan langsung (face to face) dengan informan.
30
Data yang diperoleh adalah data primer karena diperoleh langsung dari subyek dan informan Data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif dan cenderung subyektif Informan tidak terpaku pada pilihan jawaban yang disediakan oleh peneliti. Informan akan lebih bebas menjabarkan atau menjelaskan jawabannya. Berdasarkan subyek penelitian dan informan yang telah ditentukan, dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada: 1. Ketua oraganisasi SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-Malang) 2. Wakil ketua SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa SumbawaMalang) 3. Ketua Bidang Pendidikan SPMS-M (Solidaritas Perjuangan mahasiswa Sumbawa-malang) 4. Anggota SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa SumbawaMalang) 5. Mahasiswa dari daerah lain 2) Observasi Cartwright
dan
Cartwright
(dalam
Herdiansyah,
2010:131)
mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati
31
serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Alasan peneliti menggunakan metode observasi, yakni : Peneliti datang dan melihat secara langsung sehingga peneliti dapat mengetahui dan merasakan secara lansung. Untuk memastikan hasil data yang didapat dari wawancara Data yang didapat melengkapi data yang tidak didapat melalui metode lain. 3) Dokumentasi Menurut Patton (dalam Emzir, 2010:66) merupakan bahan dan dokumen tulis lainnya dari memorandum organisasi, klinis, atau catatan program dan coinformance, publikasi dan laporan resmi, catatan harian pribadi, surat-surat, karya-karya artistik, foto serta memorabilia dan tanggapan tertulis untuk survey terbuka. Terkadang dokumen ini digunakan untuk mendukung data hasil wawancara dan observasi. Adapun alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi diantaranya yaitu: 1. menguatkan data yang didapatkan dari teknik yang lain 2. membuktikan data dari hasil wawancara.
32
F.7 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2011:246), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data , yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification : a) Data Reduction (Reduksi Data) Semakin lama peneliti berada di lapangan, maka semakin banyak pula data yang diperoleh. Maka diperlukan adanya pencatatan dan diperlukan segera adanya analisis data dengan reduksi data. Menurut Sugiyono (2008:247) mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.Dalam mereduksi, peneliti dapat dibantu dengan menggunakan peralatan elektronik seperti computer dan dengan memberikan kode-kode pada aspek-aspek tertentu. b) Data Display (penyajian data) Setelah peneliti mereduksi data, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah mendisplay data. Peneliti akan menyajikan data dengan uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles dan Huberman, (dalam Sugiyono, 2008:249) menyatakan “the most frequent
33
form of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif. Dengan menggunakan data display maka diharapkan peneliti akan diberi kemudahan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya dengan melihat apa yang telah dipahami sebelumnya. c) Conclusion Drawing/verification Langkah selanjutnya setelah mereduksi data dan penyajian data, langkah yang ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan pada penelitian kualitatif diharapkan dapat menjawab yang ada di rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal ditambah dengan bukti-bukti atau data-data yang telah ada. Skema teknik analisis data (interactive model ) :
Data colection
Data Reduction
Sugiyono (2008:247)
Data Display
Conclusions drawing / verifying
34
F.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Agar
mendapatkan
hasil
penelitian
yang
optimal
dan
dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya, maka perlu dilakukan uji keabsahan data. Untuk melakukan uji tersebut diperlukan cara untuk mengukur keabsahan data yang biasa dikenal dengan teknik keabsahan data. Merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian yang dapat dipercaya, terdapat dua teknik pemeriksaan keabsahan data yang diajukan adalah : a) Meningkatkan ketekunan Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa dapat direkam secara praktis dan sistematis. b) Triangulasi Sumber Triangulasi sumber merupakan pengujian diperoleh melalui beberapa sumber
kredibilitas data yang