BAB IV BENTUK LEKSIKON KHAZANAH VERBAL KEPADIAN
Analisis bentuk leksikon khazanah verbal kepadian disajikan dalam ekoleksikon kepadian dan ekowacana kepadian. Analisis bentuk leksikon dalam ekoleksikon dan ekowacana kepadian didasarkan pada aspek intratekstualitas, intertekstualitas, dan ekstratekstualitas. Aspek intratekstualitas adalah hubungan yang ada di dalam unsur tersebut. Aspek intertekstualitas adalah hubungan antara unsur dan unsur lainnya pada jenis yang sama. Aspek ekstratekstualitas adalah hubungan antara unsur dan unsur yang lain yang berasal dari jenis yang berbeda (Lindø dan Bundsgaard (eds), 2000: 17). Ketiga aspek ini berperan untuk menjelaskan tataran semantik, sintaktik, dan pragmatik satuan bahasa seperti yang telah disajikan pada tabel 2.4 bab II di atas. Aspek intratekstualitas (sintaktik) secara umum berperan untuk menemukan bentuk atau struktur satuan lingual dan sistem pemarkah. Satuan lingual yang berbentuk kata dan gabungan kata mengalami proses pengkategorian dengan memasukkan setiap kata ke dalam kategori-kategori, pengidentifikasian unsurunsur pembentuk kata atau gabungan kata tersebut, dan pengklasifikasian kata atau gabungan kata tersebut. Leksikon berkategori verba termasuk verba konstatatif, yaitu verba yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan, keadaan, dan proses. Verba diklasifikasikan menjadi (1) verba kausatif, yaitu verba yang berarti menyebabkan atau menjadikan sebab; (2) verba transitif, yaitu verba yang harus didampingi oleh
57
58
objek; (3) verba intransitif, verba yang tidak memunculkan objek (Kridalaksana, 2008). Selain itu, ditemukan juga gabungan kata predikatif, yaitu gabungan kata yang terdiri atas verba dan nomina atau frase nominal. Setiap
kata
yang
berkategori
nomina
berdasarkan
kekhasannya
diklasifikasikan berdasarkan (1) nomina bernyawa dan nomina tak bernyawa berdasarkan dapat atau tidaknya disubstitusikan dengan ia atau mereka; (2) nomina terbilang dan nomina tak terbilang berdasarkan dapat atau tidaknya dihitung; dan (3) nomina kolektif dan nomina bukan kolektif berdasarkan dapat atau tidaknya diperinci atas anggota atau atas bagian-bagiannya (Kridalaksana, 1988). Selain kata, ditemukan juga gabungan kata nomina. Berdasarkan makna yang terbentuk dari keterkaitan antara unsur-unsurnya, gabungan kata tersebut diklasifikasikan menjadi kata majemuk, ungkapan, dan frase. Kata majemuk adalah gabungan leksem dan leksem yang seluruhnya berstatus sebagai kata. Ungkapan adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan maknanya. Frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif (Kridalaksana, 2008). Bahasa Kodi seperti yang dipaparkan Sukerti (2013) adalah bahasa dengan predikat yang kaya akan pemarkah. Pemarkah yang dimiliki bahasa Kodi antara lain klitik pronomina persona, klitik pronomina relatif, klitik pronomina keaspekan, pemarkah kausatif, dan pemarkah penegas. Pemarkah berfungsi untuk menentukan fungsi morfologis dan sistem rujuk silang (endofora dan eksofora). Berdasarkan perbandingan antara data dan penelitian Sukerti (2013), ada beberapa
59
pemarkah bahasa Kodi yang tidak dijelaskan oleh Sukerti (2013), yaitu klitik pronomina refleksif dan pemarkah definit yang terjawab dalam penelitian Kasni (2012). Berikut ini daftar klitik pronomina persona dengan kasus morfologis dan klitik pronomina keaspekan (Sukerti, 2013). Jumlah 1TG 2TG 3TG 1JMK (ink) 1JMK (eks) 2JMK 3JMK
Nominatif kunamatamia-
Genitif -nggu -mu -na -ma -nda -mi -nda
Akusatif -ngga ya -nggu -ya -ma -ta -mi -hi
Datif -ngga -nggu -ni -nggama -nda -nggumi -ndi
Keaspekan bhaku bhu bhana bhama bhata bhi bha
Pemarkah klitik pronomina bahasa Kodi memarkahi tipe dan jumlah persona serta menginformasikan kasus morfologis. Klitik pronomina persona pemarkah kasus nominatif melekat pada posisi awal predikat dalam bentuk proklitik, sedangkan pemarkah kasus genitif, akusatif, dan datif melekat pada posisi akhir predikat dalam bentuk enklitik. Kasus morfologis yang menandai setiap klitik pronomina persona memengaruhi fungsi sintaktik dan peran setiap argumen predikat. Klitik pronomina persona berkasus nominatif merujuk silang kepada argumen subjek, klitik pronomina persona berkasus akusatif merujuk silang pada argumen objek langsung, klitik pronomina persona berkasus datif merujuk silang pada argumen objek tak langsung, dan klitik pronomina persona berkasus genitif mengacu silang pada nomina atau frase nominal yang berstatus posesor. Klitik pronomina keaspekan adalah bentuk klitik pronomina yang berperilaku seperti klitik pronomina yang menjelaskan keaspekan. Klitik pronomina keaspekan memiliki ciri yang sama seperti klitik pronomina persona yang merujuk silang pada argumen subjek dan objek sesuai dengan posisi kehadirannya
60
pada predikat. Klitik pronomina relatif adalah klitik pronomina persona berkasus nominatif yang merujuk silang kepada unsur nomina sebagai subjek (Sukerti, 2013). Selain klitik pronomina persona, klitik pronomina keaspekan, dan klitik pronomina relatif, bahasa Kodi juga memiliki klitik pronomina refleksif, pemarkah definit, pemarkah kausatif, dan pemarkah penegas. Klitik pronomina refleksif adalah klitik pronomina yang merujuk silang pada diri penutur. Klitik pronomina refleksif berupa klitik -ki merujuk kepada diri yang berjumlah jamak dan klitik -do yang merujuk kepada diri yang berjumlah tunggal. Klitik pronomina refleksif melekat pada posisi akhir predikat. Pemarkah definit adalah pemarkah yang menentukan kedefinitan nomina yang dirujuk. Pemarkah definit dalam bahasa Kodi biasanya melekat pada posisi akhir predikat. Bentuk pemarkah definit yang produktif dalam bahasa Kodi adalah pemarkah definit -wa yang merujuk kepada nomina noninsani yang jauh dari penutur (Kasni, 2012). Pemarkah kausatif adalah pemarkah yang berfungsi membentuk verba kausatif. Pemarkah kausatif muncul di posisi awal predikat setelah klitik pronomina nominatif. Pemarkah kausatif terdiri atas pemarkah kausatif pa- dan ha- yang mengubah nomina menjadi verba, mengubah adjektiva menjadi verba, dan mengubah verba intransitif menjadi verba transitif. Pemarkah berikutnya, yaitu pemarkah penegas. Pemarkah penegas adalah pemarkah penegas yang merujuk silang pada nomina subjek atau objek dan menegaskan predikat. Menurut (Sukerti, 2013) penggunaan pemarkah ini dipengaruhi oleh faktor pragmatik. Sistem perujukan pemarkah ini ditentukan oleh konteks penutur. Pemarkah
61
penegas dalam bahasa Kodi terdiri atas pemarkah penegas -ka yang menegaskan nomina subjek atau objek dan pemarkah penegas -ngo yang menegaskan predikat. Pemarkah yang berupa klitik pronomina persona, klitik pronomina keaspekan, klitik pronomina relatif, klitik pronomina refleksif, pemarkah definit, dan pemarkah penegas berdasarkan acuannya dibedakan atas endofora dan eksofora. Endofora bersifat tekstual dan acuannya berada dalam teks, sedangkan eksofora bersifat kontekstual dan acuannya berada di luar teks. Pemarkah yang merujuk silang pada nomina yang disebutkan dalam tuturan bersifat endoforis, sedangkan pemarkah yang merujuk silang pada nomina yang tidak disebutkan dalam tuturan bersifat eksoforis. Berdasarkan distribusi rujukannya, endofora dibedakan atas anafora dan katafora. Anafora adalah hal atau fungsi yang merujuk pada unsur yang mendahuluinya, sedangkan katafora adalah hal atau fungsi yang merujuk pada unsur yang mengikutinya (Djajasudarma, 2012: 44). Jenis-jenis pemarkah di atas memarkahi predikat yang merupakan konstituen induk. Sebagai konstituen induk, predikat dalam mengikat argumennya dimarkahi dengan pemarkah yang merujuk silang pada argumen predikat. Berdasarkan hubungan antara struktur satuan lingual dan sistem pemarkah, dapat diamati pelesapan argumen predikat yang berupa subjek dan objek yang dirujuk silang oleh pemarkah atau tidak. Penghilangan atau pelesapan argumen predikat tidak memengaruhi tingkat gramatikalitas kalimat karena predikat sebagai konstituen induk dengan pemarkah klitik yang masih melekat sudah mewakili unit kalimat yang utuh. Dengan demikian, pemarkah-pemarkah yang telah disebutkan di atas beraposisi dengan subjek dan objek yang berupa nomina atau gabungan kata
62
nomina. Nomina atau gabungan kata nomina yang berada pada fungsi subjek dan objek bersifat opsional karena predikat dan klitik pronomina sudah mewakili sebuah klausa yang utuh (Sukerti, 2013: 61, 65). Aspek intertekstualitas (semantik) diperjelas dengan adanya model matriks semantik (gambar. 2.4) untuk menentukan makna satuan bahasa, baik itu memiliki makna sosial, impor sosial, maupun signifikansi personal yang dipengaruhi oleh hubungan semantik dan konteks. Makna sosial adalah makna satuan bahasa yang dipengaruhi oleh semantik umum yang berkaitan dengan konteks umum. Makna sosial disebut juga makna kamus yang dapat disejajarkan dengan makna leksikal dan makna referensial. Impor sosial adalah makna satuan bahasa yang dipengaruhi oleh semantik umum yang berkaitan dengan konteks khusus. Signifikansi personal adalah makna satuan bahasa yang dipengaruhi oleh semantik khusus yang berkaitan dengan konteks khusus. Signifikansi personal adalah makna yang disesuaikan dengan konteks penggunaan bahasa yang dapat disejajarkan dengan makna kontekstual. Aspek ekstratekstualitas (pragmatik) adalah penggunaan bahasa yang didasarkan atas konteks penutur yang disebut dengan konteks produsen yang dibedakan atas penggunaan deiksis dan metafora. Deiksis berhubungan erat dengan cara menggramatikalisasikan ciri-ciri konteks tuturan atau peristiwa tutur yang berhubungan dengan interpretasi tuturan yang sangat bergantung pada konteks tuturan itu sendiri (Djajasudarma, 2012: 51). Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari unsurunsur dalam suatu tuturan karena terdapat maksud penutur yang harus
63
diinterpretasikan oleh petutur. Searle (1979) menyatakan bahwa metafora adalah gejala pragmatik karena adanya pemberian maksud yang berbeda dari tuturannya. Metafora menurut Searle (1979) adalah maksud penutur sebagai pengganti makna kalimat. Makna metaforis berbeda dengan makna kalimat (makna literal). Makna metaforis adalah maksud penutur yang cenderung mengacu pada makna tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur. Berdasarkan rumusan yang dicetuskan oleh Searle (1979), dapat disimpulkan bahwa dalam segi pragmatis metafora terbentuk dari adanya perbedaan makna literal dan makna metaforis dan untuk menentukan makna metaforis, seorang petutur harus melampaui makna literal sebuah ujaran. Jadi, makna yang dikaji secara metaforis adalah makna yang sesuai dengan kehendak penutur (Ortony, 1993:113--127). Metafora kepadian dibedakan atas metafora antropomorfis dan metafora binatang. Metafora antropomorfis adalah sebagain besar ekspresi yang mengacu kepada sesuatu hal yang dibandingkan dengan tubuh dan anggota badan manusia dan sebaliknya, sedangkan metafora binatang adalah metafora yang menggunakan nama binatang untuk dibandingkan dengan hal lainnya (Ullmann, 2007: 267). Dalam bentuk ekoleksikon kepadian berperan aspek intratekstualitas dan aspek intertekstualitas. Aspek intratekstualitas untuk mengetahui bentuk atau struktur leksikon dan sistem pemarkah pada leksikon, sedangkan aspek intertekstualitas untuk menemukan impor sosial leksikon yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks. Dalam bentuk ekowacana kepadian berperan aspek intratekstualitas, intertekstualitas, dan ekstratektualitas. Aspek intratekstualitas
64
untuk menentukan struktur teks dan sistem pemarkah. Aspek intertekstualitas untuk menemukan makna sosial dan signifikansi personal yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks. Aspek ekstratekstualitas mencakup deiksis dan metafora berdasarkan konteks produsen. Pemaparan bentuk kebahasaan ekoleksikon kepadian dan ekowacana kepadian penting dilakukan karena menunjukkan keberagaman bahasa lingkungan kepadian sebagai hasil interaksi, interrelasi, interkoneksi, dan interaktivitas masyarakat Kodi khususnya peladang Kodi dan lingkungan kepadian.
4.1 Ekoleksikon Kepadian Leksikon disebut juga kosakata atau perbendaharaan kata. Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa (Kridalaksana, 2008). Sapir menyatakan bahwa kosakata mencerminkan lingkungan fisik dan lingkungan sosial manusia. Kosakata yang lengkap dari suatu bahasa dipandang sebagai sebuah inventarisasi kompleks yang terdiri atas rancangan yang tersusun dalam pikiran komunitas tuturnya. Kosakata tersebut mencerminkan batas karakter lingkungan fisik dan karakter budaya masyarakat yang menggunakannya (dalam Fill dan Mühlhaüsler, 2001: 14). Leksikon yang menggambarkan lingkungan disebut dengan ekoleksikon. Ekoleksikon kepadian adalah komponen bahasa yang berisikan kekayaan kata yang memuat informasi tentang makna satuan bahasa yang menggambarkan lingkungan kepadian. Ekoleksikon kepadian adalah seperangkat istilah dalam lingkungan kepadian yang mencerminkan karakter komunitas
65
tuturnya, karakter lingkungan alam, dan lingkungan sosial-budaya. Ekoleksikon kepadian menggambarkan kekayaan unsur-unsur yang terdapat dalam lingkungan kepadian yang mengungkapkan makna kegiatan, proses, keadaan, atau benda yang khas dalam hal kepadian. Berdasarkan tahapannya, ekoleksikon kepadian meliputi leksikon kepadian tahap pratanam, leksikon kepadian tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap pascatanam. Dalam bentuk ekoleksikon kepadian berperan aspek intratekstualitas dan aspek intertekstualitas. Aspek intratekstualitas untuk mengetahui bentuk atau struktur leksikon yang terdiri atas kata dan gabungan kata, sistem pemarkah pada leksikon yang memengaruhi fungsi morfologis dan sistem rujuk silang, sedangkan aspek intertekstualitas untuk menemukan impor sosial leksikon yang dipengaruhi oleh hubungan semantik dan konteks. Ekoleksikon kepadian mengungkapkan makna kegiatan, proses, keadaan, atau benda yang khas dalam hal kepadian. Leksikon kepadian yang merepresentasikan makna kegiatan, proses, keadaan, atau benda didaftarkan dalam satu tabel. Leksikon yang menggambarkan kegiatan atau proses disusun menurut proses yang berlangsung, sedangkan leksikon yang merealisasikan benda dikelompokkan
dan
diurutkan
berdasarkan
kegiatan
atau
proses
yang
memengaruhinya. Berikut ini leksikon kepadian berdasarkan klasifikasi yang telah dilakukan.
66
4.1.1 Leksikon Kepadian Tahap Pratanam Tahap pratanam adalah tahap persiapan ladang sampai dengan ladang siap untuk digunakan. Setiap kegiatan, proses, keadaan, atau benda yang berkaitan dengan lingkungan kepadian pada tahap pratanam direalisasikan dalam leksikonleksikon. Berikut ini adalah leksikon kepadian pada tahap pratanam. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Leksikon Kepadian Tahap Pratanam pogo ‘menebang’ pa-kamumma ‘menebas’ rabhiko ‘mencabut rumput’ manerro ‘mencangkul’ dangi-ya kamumma ‘menjemur rumput’ tunu ha-ngudhuko ‘membakar gundukan-gundukan rumput’ kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’ kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu’ pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’ pa-ndaha galu ‘ memasang pagar’ pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’ mango ‘ladang, huma’ marada ‘padang’ kandaghu ‘hutan’ toyo manerro ‘petani’ mori mango ‘pemilik ladang’ maratana ‘musim kemarau’ katopo ‘parang’ tondo ‘cangkul’ rumba ‘rumput’ kamumma ‘rumput yang telah dipotong’ ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’ latu ‘abu’ galu ‘pagar’ kamoto ‘pinggir ladang’ letepaba ‘pematang’ lika ‘pembatas ladang’
67
Pogo ‘menebang’, pa-kamumma ‘menebas’, rabhiko ‘mencabut rumput’, dan manerro ‘mencangkul’ adalah beberapa contoh leksikon yang termasuk verba transitif. Pogo ‘menebang pohon’ adalah kegiatan memotong batang pohon-pohon besar yang ada di sekitar ladang. Pogo ‘menebang’ biasanya dilakukan dengan menggunakan katopo ‘parang’. Pa-kamumma ‘menebas’ terdiri atas nomina kamumma ‘rumput yang telah dipotong’ dan pemarkah kausatif pa-. Pemarkah kausatif pa- inilah yang menyebabkan kamumma ‘rumput yang telah dipotong’ yang berkategori nomina berubah menjadi verba kausatif pa-kamumma yang bermakna membuat rumput menjadi terpotong. Pa-kamumma ‘menebas’ adalah memotong tumbuhan kecil seperti rumput dengan menggunakan katopo ‘parang’. Rabhiko
‘mencabut
rumput’
adalah
kegiatan
menarik
rumput
dengan
menggunakan tangan supaya keluar dari tempat tumbuhnya, sedangkan manerro ‘mencangkul’
adalah kegiatan menggali atau mengaduk tanah dengan
menggunakan tondo ‘cangkul’. Pogo ‘menebang’, pa-kamumma ‘menebas’, rabhiko ‘mencabut rumput’, dan manerro ‘mencangkul’ adalah verba spesifik yang dapat mewakili leksikon menebang, menebas, mencabut rumput, dan mencangkul. Gabungan kata dangi-ya kamumma ‘menjemur rumput’, tunu ha-ngudhuko ‘membakar gundukan-gundukan rumput’, kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’, dan kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu-kayu’ terdiri atas verba transitif dangi ‘menjemur’, tunu ‘membakar’, dan kaha ‘mengumpulkan. Gabungan kata dangiya kamumma ‘menjemur rumput’, terdiri atas verba dangi ‘menjemur’ yang dilekati oleh klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya yang merujuk kepada
68
nomina kamumma ‘rumput yang telah dipotong’. Gabungan kata tunu hangudhuko ‘membakar gundukan-gundukan rumput’ terdiri atas verba tunu ‘membakar’ dan nomina jamak ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’. Nomina jamak ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’ terdiri atas nomina ngudhuko ‘gundukan rumput’ yang dilekati oleh pemarkah nomina jamak ha-. Gabungan kata kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’ dan kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu-kayu’ terdiri atas verba kaha ‘mengumpulkan’ dilekati oleh klitik pronomina persona ketiga jamak -hi yang merujuk kepada nomina tak terbilang latu ‘abu’ dan nomina jamak ha-ghayo‘ pohon-pohon’. Dangi-ya kamumma ‘menjemur rumput’ adalah kegiatan menjemur rumputrumput yang telah dipotong dan dibiarkan terkena sinar matahari di tengah ladang hingga kering. Setelah kering dilaksanakan tunu ha-ngudhuko ‘membakar gundukan-gundukan rumput’ dengan membakar tumpukan-tumpukan kecil rumput yang telah ditebas yang ada di tengah ladang menjadi abu. Kegiatan selanjutnya adalah kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’ mengumpulkan abu sisa pembakaran rumput yang dapat digunakan sebagai pupuk dan kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu-kayu’ dengan membawa kayu-kayu yang diperlukan dan dikumpulkan menjadi satu. Gabungan kata pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’, pa-ndaha galu ‘memasang pagar’, dan pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’ terdiri atas verba transitif pa-ndaha ‘membuat, memasang’ yang didampingi oleh nomina kamoto ‘pembatas’, galu ‘pagar’, dan letepaba ‘pematang’. Verba pa-ndaha ‘membuat, memasang’ pada gabungan kata di atas terdiri atas adjektiva ndaha ‘baik, bagus’
69
yang dilekati oleh pemarkah kausatif pa-. Adjektiva ndaha ‘baik, bagus’ berubah dari adjektiva menjadi verba karena adanya pemarkah kausatif pa-, sehingga verba kausatif pa-ndaha ‘membuat, memasang’ bermakna menyebabkan sesuatu menjadi baik dengan cara membuat dan memasang. Pa-ndaha galu ‘membuat pagar’, yaitu memasang kayu-kayu yang telah dikumpulkan untuk memagari sekeliling ladang. Pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’ dilakukan untuk membatasi mango ‘ladang, huma’ yang ditanami padi dengan marada ‘padang’ yang merupakan hamparan rumput yang luas. Pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’ adalah kegiatan membuat pematang agar tanah tidak terbawa air hujan menuju ke tempat yang rendah saat hujan turun sehingga menghanyutkan tanah yang subur atau humus. Gabungan kata dangi-ya kamumma ‘menjemur rumput’, tunu ha-ngudhuko ‘membakar gundukan-gundukan rumput’, kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’, kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu-kayu’, pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’, pa-ndaha galu ‘memasang pagar’, dan pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’ adalah gabungan kata predikatif yang terdiri atas verba dan nomina. Kegiatan atau proses yang digambarkan oleh verba diperjelas lagi dengan keberadaan nomina. Gabungan kata di atas termasuk bentuk generik karena tidak ada leksikon verba khusus yang mampu mewakili kegiatan atau proses menjemur rumput, membakar gundukan rumput, mengumpulkan abu, mengumpulkan kayu, membuat pembatas, memasang pagar, dan membuat pematang. Mango ‘ladang, huma’, marada ‘padang’, kandaghu ‘hutan’ termasuk nomina kolektif yang dapat diperinci atas bagian-bagian dan nomina lokasi yang
70
menunjukkan tempat. Mango ‘ladang, huma’ adalah lingkungan buatan berupa tanah yang luas tempat peladang menanam padi atau tanaman pangan lain yang tidak dialiri dengan air. Di sekitar mango ‘ladang, huma’ terdapat marada ‘padang’ dan kandaghu ‘hutan’. Marada ‘padang’ adalah tanah luas yang ditumbuhi rumput dan digunakan sebagai tempat menggembalakan kerbau. Kandaghu ‘hutan’ adalah tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon. Katopo ‘parang’ adalah pisau besar yang lebih besar dari pisau biasa yang digunakan untuk memotong pohon-pohon besar atau rumput. Toyo manerro ‘petani’ dan mori mango ‘pemilik ladang’ adalah gabungan kata. Toyo manerro ‘petani’ adalah kata majemuk yang terdiri atas nomina toyo ‘orang’ dan verba manerro ‘mencangkul’. Penggabungan nomina toyo ‘orang’ dan verba manerro ‘mencangkul’ mengandung makna baru, yaitu petani yang masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata nomina toyo ‘orang’ dan verba manerro ‘mencangkul’ yang digabungkan. Toyo manerro ‘petani’ adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam dengan mengusahakan tanah yang dapat ditelusuri dari makna nomina toyo ‘orang’ dan verba manerro ‘mencangkul’. Gabungan kata mori mango ‘pemilik ladang’ merupakan frase nominal yang terdiri atas dua unsur langsung yang berkategori nomina, yaitu nomina mori ‘pemilik, tuan’ dan nomina mango ‘ladang, huma’. Frase nominal mori mango ‘pemilik ladang’ adalah frase nominal endosentris bertipe atributif karena terdiri atas unsur pusat mori ‘pemilik, tuan’ dan unsur atribut mango ‘ladang, huma’. Petani yang tidak memiliki ladang untuk digarap, bisa menggarap ladang milik mori mango ‘pemilik ladang’.
71
Maratana ‘musim kemarau’, katopo ‘parang’, dan tondo ‘cangkul’ adalah leksikon nomina selanjutnya. Maratana ‘musim kemarau’ adalah nomina petunjuk waktu ditandai dengan curah hujan yang rendah dan kadang tidak ada hujan sama sekali. Maratana ‘musim kemarau’ terjadi antara bulan April-September. Pengolahan ladang dilakukan saat maratana ‘musim kemarau’ sekitar bulan Agustus--September. Katopo ‘parang’ digunakan dalam kegiatan pogo ‘menebang’ dan pa-kamumma ‘menebas’. Tondo ‘cangkul’ adalah alat yang terbuat dari lempeng besi dan diberi tangkai panjang untuk pegangan untuk menggali dan mengaduk tanah di areal tanam. Leksikon berkategori nomina pada tahap pratanam berikutnya adalah rumba ‘rumput’, kamumma ‘rumput yang telah dipotong’, ha-ngudhuko ‘gundukangundukan rumput’, dan latu ‘abu’. Rumba ‘rumput’ adalah nomina bernyawa kolektif. Kamumma ‘rumput yang telas dipotong’ dan ha-ngudhuko ‘gundukangundukan rumput’ adalah nomina terbilang, sedangkan latu ‘abu’ adalah nomina tak terbilang. Rumba ‘rumput’ adalah tumbuhan berjenis ilalang yang berbatang kecil dan berdaun memanjang. Rumba ‘rumput’ harus dibersihkan terlebih dahulu supaya ladang siap untuk ditanami. Ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’ adalah nomina jamak yang ditandai dengan adanya pemarkah nomina jamak hayang dibubuhi di posisi awal nomina ngudhuko ‘gundukan rumput’. Ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’ sebutan untuk tumpukan-tumpukan kecil rumput yang telah ditebas dan dibiarkan di tengah ladang. Latu ‘abu’ adalah hasil pembakaran rumput yang berfungsi sebagai pupuk organik.
72
Galu ‘pagar’, kamoto ‘pinggir ladang’, letepaba ‘pematang’, dan lika ‘pembatas ladang’ adalah leksikon nomina selanjutnya yang termasuk nomina tak bernyawa, sedangkan katopo ‘parang’ dan tondo ‘cangkul’ termasuk nomina alat. Galu ‘pagar’ adalah kayu yang digunakan untuk membatasi areal mango ‘ladang, huma’ supaya tidak ada orang lain atau binatang peliharaan yang masuk ke mango ‘ladang, huma’. Kamoto ‘pinggir ladang’ merupakan batas antara marada ‘padang’ dan mango ‘ladang, huma’ yang berupa tanah kosong.
Letepaba
‘pematang’ berupa gundukan tanah atau tanah yang ditinggikan untuk menjaga keberadaan tanah supaya tidak tergerus oleh air saat hujan turun. Lika ‘pembatas ladang’ adalah batas antara mango ‘ladang, huma’ yang satu dan mango ‘ladang, huma’ lain yang berbeda pemiliknya. Lika ‘pembatas ladang’ berfungsi agar peladang lain tidak salah memasuki ladang milik orang lain. Berdasarkan pemaparan di atas, leksikon berupa kata berkategori verba dalam tahap pratanam menggambarkan perbuatan dan proses yang disebut dengan verba konstatatif. Leksikon tersebut, antara lain pogo ‘menebang’, pa-kamumma ‘menebas’, rabhiko ‘mencabut rumput’, dan manerro ‘mencangkul’, sedangkan leksikon kepadian tahap pratanam yang berupa gabungan kata, antara lain dangiya kamumma ‘menjemur rumput’, tunu ha-ngudhuko ‘membakar gundukangundukan rumput’, kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’, kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu’, pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’, pa-ndaha galu ‘ memasang pagar’, dan pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’. Berdasarkan pemaparan leksikon di atas, pemarkah kausatif pa- yang mengubah nomina menjadi verba hadir dalam leksikon pa-kamumma ‘menebas’.
73
Pemarkah kausatif pa- yang mengubah adjektiva menjadi verba hadir dalam leksikon pa-ndaha kamoto ‘membuat pembatas’, pa-ndaha galu ‘memasang pagar’, dan pa-ndaha letepaba ‘membuat pematang’. Selain itu, klitik pronomina -hi yang merujuk silang pada nomina yang mengikutinya hadir dalam leksikon kaha-hi latu ‘mengumpulkan abu’ dan kaha-hi ha-ghayo ‘mengumpulkan kayu’, dan pronomina persona -ya yang merujuk kepada nomina yang mengikutinya hadir dalam leksikon dangi-ya kamumma ‘menjemur rumput’. Leksikon berupa kata berkategori nomina antara lain mango ‘ladang, huma’, marada ‘padang’, kandaghu ‘hutan’, katopo ‘parang’, dan
tondo ‘cangkul’,
maratana ‘musim kemarau’, rumba ‘rumput’, kamumma ‘rumput yang telas dipotong’, ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’, latu ‘abu, galu ‘pagar’, kamoto ‘pinggir ladang’, letepaba ‘pematang’, lika ‘pembatas ladang’, sedangkan toyo manerro ‘petani’ dan mori mango ‘pemilik ladang’ adalah leksikon berupa gabungan kata. Dalam leksikon nomina ha-ngudhuko ‘gundukan-gundukan rumput’ terkandung pemarkah nomina jamak ha-. Berdasarkan perbandingan leksikon di atas, jumlah leksikon nomina lebih banyak dibandingkan dengan leksikon verba. Hal tersebut disebabkan karena peladang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengkodekan setiap benda dalam tahap pratanam secara spesifik.
4.1.2 Leksikon Kepadian Tahap Tanam Setelah melewati tahap pratanam seperti yang telah tergambarkan dalam perangkat leksikon di atas, selanjutnya para peladang memasuki tahap tanam padi
74
sebagai tahapan berikutnya. Tahap tanam dimulai dari tahap penanaman padi, tahap perkembangan tanaman padi, dan tahap pemeliharaan tanaman padi. Leksikon kepadian pada tahap tanam adalah sebagai berikut. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Leksikon Kepadian Tahap Tanam taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’ ahuko-ngo kalena ‘melubangi tanah’ ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’ ngandi-ndi ha-wini ‘mengantarkan bibit’ ndeke-ndi ha-wini ‘mengambilkan bibit’ tondo-ni wini ‘menanam bibit’ tondo kalehu-ngo ‘menanam dengan cara melingkar’ rabhiko ‘mencabut rumput’ woka ‘tanam sulam’ pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’ ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’ hoko-hi ha-kahila ‘menghalau burung’ ririco ‘musim hujan’ ura ‘hujan’ weiyo ‘air’ ahuko ‘tugal’ kalena ‘lubang tanah’ wini ‘bibit’ pare mbupu ‘padi yang berasal dari bulir padi yang berjatuhan’ rato marapu ‘imam adat’ watu kareka ‘marapu di ladang’ mori tana ‘marapu di rumah’ kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’ na-kahala toyo ‘orang-orangan ladang’ Tahap Perkembangan Padi mbuhure ‘padi yang baru terlihat sedikit dari tanah sampai setinggi mata kaki’ ha-ngula ‘tanaman padi yang tinggi daunnya dari mata kaki sampai lutut’ dika la kuha ‘padi setinggi tengah paha’ na-nduki punga kahenga ‘tinggi padi sampai pangkal paha’ banu rate ‘padi tidak bertunas lagi’
75
28
29
30 31 32 33
na-ha-mere-ngo ‘padi sudah setinggi dada, menjelang bunting’ pakambu ‘padi bunting, bakal buah masih terbungkus daun’ mbutambunalo ‘bulir padi muda yang baru keluar’ na-kapote-ngo ‘semua bulir padi sudah terlihat’ hielo ‘bulir padi mulai tumbuh meninggi’ wei huhu ‘bulir padi yang masih muda mengandung air’ wei huhu rara kere ‘air yang terkandung di dalam bulir padi mulai mengental dan ujung bulirnya sudah agak menguning’ malimbyongo ‘ujung bulir padi berwarna kuning kehijauan’ mandada ‘ujung bulir padi sudah berwarna kuning’ kaniha wuli ‘bulir padi sudah menguning, tetapi ada beberapa butir yang masih berwarna hijau kekuningan’ na-rara ‘padi yang sudah berisi dan sudah menguning’ Bagian-bagian tanaman padi rate pare ‘rumpun padi’ mu pare ‘akar padi’ pola pare ‘batang padi’ ro pare ‘daun padi’ kapuka ‘pucuk daun padi’ na-ha-bha-pakambu ‘daun yang membungkus bakal buah padi’ lobo rou pare ‘ujung daun padi’ lamunde ‘benang sari dan putik tanaman padi’ wuli pare ‘bulir padi’ kalaki wuli ‘tangkai bulir padi’ kalaki katapa ‘cabang tangkai padi’ wu pare ‘butir padi’ Serangga Pengganggu kapore awu ‘wereng akar’ kapore pola ‘ wereng batang’ kapore ro ‘wereng daun’ kapore muyo ‘wereng buah’ pare mate geha ‘hama pengakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’ kapore panda kaka ‘wereng putih’ kapore panda mete ‘wereng hitam’ manguno ‘burung pipit’ malogho ‘tikus’ kapudu ‘belalang’ Gulma (tanaman pengganggu)
76
rumba lipyoto ‘rumput yang berumpun dan memiliki akar lepas’ rumba robho ‘rumput yang batangnya seperti batang jagung’ rumba ngingo ‘rumput alang’ rumba lammatagheghe ‘rumput yang daunnya kecil, tebal, dan meruncing’ rumba wurakarengge ‘rumput yang berdaun dan berbuah kecil’
Leksikon kepadian tahap tanam terdiri atas kata dan gabungan kata. Setiap kata dibedakan atas verba dan nomina. Gabungan kata dibedakan atas gabungan kata predikatif, ungkapan, kata majemuk, dan frase. Leksikon berupa kata berkategori verba dalam tahap tanam menggambarkan perbuatan dan proses yang disebut dengan verba konstatatif. Leksikon yang berupa kata, antara lain rabhiko ‘mencabut rumput’ dan woka ‘tanam sulam’, sedangkan gabungan kata, antara lain taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’, ahuko-ngo kalena ‘melubangi tanah’, ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’, ngandi-ndi ha-wini ‘mengantarkan bibit’, ndeke-ndi ha-wini ‘mengambilkan bibit’, tondo-ni wini ‘menanam bibit’, tondo kalehu-ngo ‘menanam dengan cara melingkar’, pa-kendeya a kareka ‘membangun dangau’, ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’, dan hokohi ha-kahila ‘menghalau burung’. Gabungan kata taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’ terdiri atas verba taki-ngo-ka ‘menetapkan’ dan frase nominal lodo tondo ‘waktu tanam’. Verba taki-ngo-ka ‘menetapkan’ terdiri atas verba intransitif taki ‘tetap’ yang dilekati oleh pemarkah penegas -ngo dan pemarkah penegas -ka. Pemarkah -ngo yang dibubuhi pada verba intransitif taki ‘tetap’ menyebabkan verba intransitif taki ‘tetap’ berubah menjadi verba transitif taki-ngo ‘menetapkan’. Pemarkah -ka berfungsi sebagai penegas yang menekankan nomina yang berada di belakangnya.
77
Gabungan kata ahuko-ngo kalena ‘melubangi tanah’ terdiri atas verba ahuko-ngo ‘menugal, melubangi’ dan nomina kalena ‘lubang’. Verba ahuko-ngo ‘melubangi’ terdiri atas nomina ahuko ‘tugal’ dan pemarkah penegas -ngo. Pemarkah penegas -ngo ini yang menyebabkan nomina ahuko ‘tugal’ berubah menjadi verba ahukongo ‘melubangi, menugal’. Gabungan kata ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’, ngandi-ndi hawini ‘mengantarkan bibit’, dan ndeke-ndi ha-wini ‘mengambil bibit’ terdiri atas bentuk ha-mburu-ndi ‘menurunkan mereka’, ngandi-ndi ‘mengantarkan mereka’, ndeke-ndi ‘mengambilkan mereka’, dan ha-wini ‘bibit-bibit’. Verba mburu ‘turun’ dibubuhi pemarkah kausatif ha- di posisi awal dan klitik pronomina persona ketiga jamak datif -ndi di posisi akhir. Verba mburu ‘turun’ yang termasuk verba intransitif berubah menjadi verba transitif kausatif ha-mburu ‘menyebabkan sesuatu menjadi turun’ setelah dibubuhi dengan pemarkah kausatif ha-. Verba ngandi ‘mengambil’ dan ndeke ‘membawa’ dimarkahi dengan klitik pronomina ndi yang merujuk kepada nomina jamak ha-wini ‘bibit-bibit’. Nomina jamak hawini ‘bibit-bibit’ terdiri atas nomina wini ‘bibit’ dan nomina jamak ha- di posisi awal nomina wini ‘bibit’. Gabungan kata tondo-ni wini ‘menanam bibit’ terdiri atas bentuk tondo-ni ‘menanam sesuatu’ dan wini ‘bibit’. Bentuk tondo-ni ‘menanamnya’ terdiri atas verba tondo ‘menanam’ dan klitik pronomina persona ketiga tunggal datif -ni. Klitik pronomina ketiga tunggal -ni menerangkan nomina pare ‘padi’. Tondo kalehu-ngo ‘menanam dengan cara melingkar’ adalah frase verbal yang terdiri atas konstruksi verba dan verba. Gabungan kata tondo kalehungo ‘menanam dengan cara melingkar’ terdiri atas verba tondo ‘tanam’ dan verba
78
turunan kalehu-ngo ‘melingkar’ yang terdiri atas nomina kalehu ‘lingkaran’ dan pemarkah penegas -ngo yang mengubah nomina menjadi verba. Taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’ dilakukan sebelum tanam dimulai. Penetapan waktu tanam harus dirundingkan oleh keluarga. Setelah waktu tanam disepakati, salah satu anggota keluarga diutus untuk memberitahukan kepada keluarga lainnya bahwa waktu tanam telah ditentukan. Ahuko-ngo kalena ‘melubangi tanah’ dilakukan dengan mematokkan atau menugal kayu ke dalam tanah sehingga membentuk lubang. Setelah lubang siap dilanjutkan dengan hamburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’ dengan membawa turun semua bibit yang berada di rumah. Kegiatan berikutnya adalah ngandi-ndi ha-wini ‘mengantarkan bibit’, yaitu mengantarkan bibit yang telah diturunkan menuju ladang dan dituangkan ke dalam kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, ndeke-ndi ha-wini ‘mengambilkan bibit’, yaitu mengambil bibit yang ada dalam kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ dan menuangkannya untuk orang-orang yang telah membawa tempat bibit kecil, dan tondo-ni wini ‘menanam bibit’ dengan meletakkan beberapa butir bibit ke dalam lubang yang telah disiapkan. Tondo kalehu-ngo ‘menetapkan waktu tanam’ adalah proses tondo-ni wini ‘menanam bibit’ di Kodi yang dilakukan secara melingkar merupakan bentuk budaya padi. Kegiatan tondo-ni pare ‘menanam padi’ dimulai dari tengah ladang secara melingkar searah jarum jam. Untuk menunjang hal tersebut, hal pertama yang harus dilakukan di ladang adalah membuat batas tanam yang berbentuk melingkar. Batas ini dibuat untuk membatasi pergerakan imam adat dengan orang yang bertugas menanam padi. Orang yang menanam padi harus selalu mengikuti
79
gerak imam adat sesuai dengan batas yang telah ditentukan dan tidak boleh mendahuluinya. Gabungan kata taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’, ahukongo kalena ‘melubangi tanah’, ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’, ngandindi ha-wini ‘mengantarkan bibit’, ndeke-ndi ha-wini ‘mengambilkan bibit’, dan tondo-ni wini ‘menanam bibit’ adalah gabungan kata predikatif yang terdiri atas verba dan nomina atau frase nominal. Kegiatan atau proses yang digambarkan oleh verba diperjelas lagi dengan keberadaan nomina. Gabungan kata di atas termasuk bentuk generik karena tidak ada leksikon khusus yang menggambarkan kegiatan menetapkan waktu tanam, melubangi tanah, menurunkan bibit, mengantarkan bibit, mengambilkan bibit, dan menanam bibit. Setelah
proses
tanam
berjalan
dengan
lancar,
dilanjutkan
dengan
pemeliharaan tanaman padi. Pemeliharaan dilakukan dengan rabhiko, yaitu mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi dengan menggunakan tangan. Selain itu, dilaksanakan juga woka ‘tanam sulam’. Woka ‘tanam sulam’ dilakukan saat tanaman padi sudah meninggi. Woka ‘tanam sulam’ dilakukan dengan mengamati keadaan tanaman padi yang telah tumbuh kemudian mengambil sedikit bagian atau anakan dari rumpun padi yang padat untuk mengisi bagian rumpun padi yang jarang. Hal ini dilakukan supaya semua rumpun sama besarnya dan hasilnya juga sama banyaknya. Dalam proses woka ‘tanam sulam’ ini, padi sudah semakin subur dan membesar. Pada tahap ini padi tidak diganggu oleh rumput lagi karena padi sudah semakin tinggi. Rabhiko ‘mencabut rumput’
80
dan woka ‘tanam sulam’ adalah verba spesifik yang dapat mewakili leksikon mencabut rumput dan tanam. Gabungan kata pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’ terdiri atas bentuk pa-kende-ya ‘membangun sesuatu’ dan a kareka ‘dangau itu’. Bentuk pakende-ya ‘membangun sesuatu’ terdiri atas verba intransitif kende ‘bangun’, pemarkah kausatif pa- dan klitik pronomina ketiga tunggal -ya. Pemarkah kausatif pa- yang dibubuhi di posisi awal kende ‘bangun’ menyebabkan verba intransitif kende ‘bangun’ berubah menjadi verba transitif pa-kende ‘membangun’ sehingga pa-kende ‘membangun’ bermakna menyebabkan sesuatu menjadi bangun. Klitik pronomina ketiga tunggal -ya mengacu kepada frase nominal a kareka ‘dangau itu’. Gabungan kata ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’ terdiri atas bentuk ndagani ‘mengawasinya’ dan a pare ‘padi itu’. Bentuk ndaga-ni ‘mengawasinya’ terdiri atas verba ndaga ‘menjaga’ dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ni yang merujuk kepada frase nominal a pare ‘padi itu’. Gabungan kata hoko-hi ha-kahila ‘menghalau burung’ terdiri atas bentuk hoko-hi ‘menghalau mereka’ dan hakahila ‘burung-burung’. Bentuk hoko-hi ‘menghalau mereka’ terdiri atas verba hoko ‘halau, usir’ dan klitik pronomina persona ketiga jamak -hi. Klitik pronomina persona ketiga jamak -hi merujuk kepada nomina jamak ha-kahila ‘burung-burung’. Pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’ dilakukan setelah tanam berlangsung. Setelah kareka ‘dangau’ dibangun, peladang dapat ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’ di kareka ‘dangau’ tersebut. Selain ndaga-ni a pare
81
‘mengawasi padi’ peladang juga harus hoko-hi ha-kahila ‘menghalau burung’ yang datang yang akan memakan bulir padi yang sudah berisi. Gabungan kata taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’, ahukongo kalena ‘melubangi tanah’, ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’, ngandindi ha-wini ‘mengantarkan bibit’, ndeke-ndi
ha-wini ‘mengambilkan bibit’,
tondo-ni wini ‘menanam bibit’, pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’, ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’, dan hoko-hi ha-kahila ‘menghalau burung’ adalah gabungan kata predikatif yang terdiri atas verba dan nomina atau frase nominal. Kegiatan atau proses yang digambarkan oleh verba diperjelas lagi dengan keberadaan nomina. Gabungan kata di atas termasuk bentuk generik karena tidak ada leksikon khusus yang menggambarkan kegiatan menetapkan waktu tanam, melubangi tanah, menurunkan bibit, mengantarkan bibit, mengambilkan bibit, menanam bibit, membangun dangau, mengawasi padi, dan menghalau burung. Nomina dalam kegiatan tanam adalah ririco ‘musim hujan’, ura ‘hujan’, weiyo ‘air’, ahuko ‘tugal’, kalena ‘lubang tanah’, wini ‘bibit’, pare mbupu ‘padi rontok’, rato marapu ‘imam adat’, watu kareka ‘marapu di ladang’, mori tana ‘marapu di rumah’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’ dan na-kahala toyo ‘orang-orangan ladang’. Ririco ‘musim hujan’ ditandai dengan curah hujan yang tinggi terjadi antara bulan Oktober--Maret. Tahap tanam dilakukan saat ririco ‘musim hujan’ sekitar bulan Oktober--Desember. Kegiatan kepadian tidak terlepas dengan weiyo ‘air’ dan ura ‘hujan’. Weiyo ‘air’ dan ura ‘hujan’ adalah unsur abiotik yang termasuk
82
nomina tak terbilang. Ahuko ‘tugal’ adalah tongkat kayu yang berfungsi untuk membuat lubang yang akan ditanami bibit. Kalena ‘lubang tanah’ adalah lekukan di dalam tanah sebagai tempat yang akan ditanami wini ‘bibit’. Wini ‘bibit’ adalah padi yang ditanam dengan cara dimasukkan ke lubang. Gabungan kata pare mbupu ‘padi rontok’ terdiri atas nomina pare ‘padi’ dan verba intransitif mbupu ‘rontok’. Gabungan kata pare mbupu ‘padi rontok’ merupakan frase nominal dengan unsur pare ‘padi’ sebagai pusatnya. Secara tradisional bibit padi ladang yang akan ditanam di Kodi diambil dari butir padi yang berjatuhan yang ada di sekitar kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ yang disebut dengan pare mbupu ‘padi rontok’. Leksikon selanjutnya adalah rato marapu ‘imam adat’, mori tana ‘marapu di rumah’, watu kareka ‘marapu di ladang’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, dan kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’. Leksikon rato marapu ‘imam adat’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, dan kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ merupakan kata majemuk yang maknanya dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya, sedangkan leksikon watu kareka ‘marapu di ladang’ dan mori tana ‘marapu di rumah’ merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari makna unsur-unsur pembentuknya. Kata majemuk rato marapu ‘imam adat’ terdiri atas nomina rato ‘imam, pimpinan’ dan nomina marapu ‘roh leluhur’. Rato marapu ‘imam adat’ adalah orang yang dituakan sebagai pemimpin yang terus berpartisipasi dari awal tanam sampai dengan pascatanam dan memulai setiap tahapan tersebut. Rato marapu
83
‘imam adat’ bertugas sebagai perantara atau penghubung antara peladang dan roh leluhur. Watu kareka ‘marapu di ladang’ terdiri atas nomina watu ‘batu’ dan nomina kareka ‘dangau’. Watu kareka ‘marapu di ladang’ adalah marapu yang berada di ladang yang berfungsi menjaga ladang saat siang dan malam. Watu kareka ‘marapu di ladang’ ditandai dengan adanya empat batu yang ada di tengah ladang. Batu sebagai perwujudan watu kareka ‘marapu di ladang’ merupakan unsur abiotik yang termasuk nomina tak bernyawa, Dalam proses tanam, watu kareka ‘marapu di ladang’ berfungsi sebagai tempat penyangga kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’. Mori tana ‘marapu di rumah’ terdiri atas nomina mori ‘tuan’ dan tana ‘tanah’. Secara harfiah mori tana berarti tuan tanah. Mori tana adalah sebutan lain untuk marapu di rumah. Mori tana ‘marapu di rumah’ berada di tengah kompleks rumah adat yang berupa pohon besar dan batu yang didirikan. Pohon besar sebagai perwujudan mori tana ‘marapu di rumah’ adalah benda biotik yang bermakna budaya, begitu pula halnya batu sebagai benda abiotik yang bermakna budaya pula. Gabungan kata kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ terdiri atas nomina kaleku ‘tempat sirih pinang’ dan wini ‘bibit’. Kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ adalah tempat padi yang digantung di sudut rumah. Saat musim tanam padi tiba, kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ diturunkan dari rumah oleh imam adat dan dipikul serta dibawa ke ladang dan bibit padi dituang ke dalam kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’. Pada proses akhir tanam, bibit sisa tanam yang
84
berada di kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ dibawa ke rumah dan diletakkan sedikit di dalam kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’. Kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ dibawa oleh imam adat dari ladang ke rumah untuk digantung kembali di sudut rumah. Sekitar empat hari empat malam setelah proses tanam selesai, kaleku wini ‘tempat menyimpan bibit’ tersebut digetarkan dengan harapan agar bibit yang ditanam di ladang semua tumbuh dan berkembang dengan baik. Gabungan kata kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ terdiri atas nomina kaneghu ‘tempat padi’ dan nomina rato ‘imam atau pimpinan’. Kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ adalah wadah yang terbuat dari anyaman padi yang bagian atasnya berbentuk lingkaran. Kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ disimpan di bagian sudut rumah atas dan diturunkan saat proses bertanam padi tiba. Saat proses tanam, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ diletakkan di atas watu kareka ‘marapu di ladang’ yang berada di tengah ladang. Kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ akan diisi dengan bibit padi yang dibawa oleh imam adat. Setelah berisi bibit padi, maka dari kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ diteruskan ke tempat padi berikutnya, yaitu kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’. Kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’ dibawa oleh setiap orang yang bertugas menanam bibit. Di dalam kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’ berisi bibit yang berasal dari kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’. Na-kahala toyo ‘orang-orangan ladang’ terdiri atas bentuk na-kahala ‘yang menyerupai’ dan nomina toyo ‘orang’. Bentuk na-kahala ‘yang menyerupai’
85
terdiri atas klitik pronomina relatif na- dan verba kahala ‘menyerupai’. Na-kahala toyo ‘orang-orangan ladang’ merupakan frase nominal yang menggunakan klitik pronomina relatif na-. Na-kahala toyo ‘orang-orangan ladang’ adalah orangorangan di ladang yang dibuat dari jerami berfungsi untuk menghalau burung. Bagian-bagian tanaman padi di atas ada yang terdiri atas kata dan gabungan kata. Kapuka ‘pucuk daun padi’, na-ha-bha-pakambu ‘daun padi yang membungkus bakal buah padi’, dan lamunde ‘benang sari dan putik tanaman padi’ berupa kata, sedangkan rate pare ‘rumpun padi’ mu pare ‘akar padi, pola pare ‘batang padi’, ro pare ‘daun padi’, lobo ro pare ‘ujung daun padi’, wuli pare ‘bulir padi’, kalaki wuli ‘tangkai bulir padi’, kalaki katapa ‘cabang tangkai padi’, dan wu pare ‘buah padi’ berupa gabungan kata. Kata ha-bha-pakambu ‘daun padi yang membungkus bakal buah padi’ terdiri atas verba intransitif pakambu ‘hamil, bunting’ yang dilekati oleh klitik pronomina relatif na-, pemarkah kausatif ha-, dan klitik pronomina keaspekan bha-. Kata na-ha-bha-pakambu ‘daun padi yang membungkus bakal buah padi’ merujuk kepada nomina yang telah menyebabkan bunting, yaitu daun padi yang membungkus bakal buah padi. Gabungan kata rate pare ‘rumpun padi’ mu pare ‘akar padi, pola pare ‘batang padi’, ro pare ‘daun padi’, lobo ro pare ‘ujung daun padi’, wuli pare ‘bulir padi’, kalaki wuli ‘tangkai bulir padi’, kalaki katapa ‘cabang tangkai padi’, dan wu pare ‘buah padi’ termasuk frase nominal yang terdiri atas nomina rate ‘rumpun’, mu ‘akar’, pola ‘batang’, ro ‘daun’, lobo ‘ujung’, wuli ‘bulir’, kalaki ‘tangkai’, dan wu ‘buah’ sebagai pusat, sedangkan
86
nomina atau kelompok nomina pare ‘padi’, ro pare ‘daun padi’, wuli ‘bulir’, dan katapa ‘kecil’ sebagai atribut. Tahap perkembangan tanaman padi terdiri atas mbuhure, ha-ngula, dika la kuha, na-nduki punga kahenga, banu rate, na-ha-mere-ngo, pakambu, mbutambunalo, na-kapote-ngo, hielo, wei huhu, wei huhu rara kere, malimbyongo, kaniha wuli, dan na-rara. Urutan tahap pertumbuhan tanaman padi secara biologis adalah sebagai berikut. Mbuhure adalah sebutan untuk perkembangan tanaman padi yang baru muncul dari tanah sampai setinggi mata kaki manusia. Kata ha-ngula terdiri atas nomina ngula ‘tunas’ dan pemarkah nomina jamak ha-. Ha-ngula berarti banyak tunas atau tunas-tunas. Ha-ngula adalah sebutan untuk pertumbuhan tanaman padi yang tinggi daunnya sampai ke lutut manusia. Dika la kuha merupakan frase nominal terdiri atas nomina dika ‘batas’ sebagai pusat, konjungsi la ‘di’ dan nomina kuha ‘tengah paha’ sebagai atribut. Dika la kuha berarti sebatas tengah paha. Dika la kuha adalah sebutan untuk tanaman padi yang tingginya sampai tengah paha manusia. Tahap selanjutnya adalah na-nduki punga kahenga. Gabungan kata na-nduki punga kahenga merupakan frasa nominal terdiri atas verba intransitif nduki ‘sampai’ yang dimarkahi klitik pronomina relatif na-, nomina punga ‘pangkal’, dan nomina kahenga ‘paha’. Gabungan kata na-nduki punga kahenga berarti yang sampai pangkal paha. Tinggi padi pada tahapan ini sampai pangkal paha manusia. Gabungan kata banu rate terdiri atas verba banu ‘tidak bertunas’ dan nomina rate ‘rumpun’. Gabungan kata ini merupakan frase nominal dengan nomina rate
87
‘rumpun’ sebagai pusatnya. Pada tahap ini padi tidak bertunas lagi. Kata Na-hamere-ngo terdiri atas adjektiva mere ‘hijau’ yang dimarkahi klitik pronomina relatif na- dan pemarkah kausatif ha- di posisi awal dan pemarkah penegas -ngo di posisi akhir. Kata na-ha-mere-ngo berarti yang menghijau. Na-ha-mere-ngo adalah sebutan untuk tanaman padi setinggi dada manusia dan menjelang bunting. Pakambu ‘hamil’ berkategori verba. Pakambu dalam tahap perkembangan padi adalah sebutan untuk padi bunting. Pada tahap ini bakal buah masih terbungkus daun. Mbutambunalo adalah sebutan untuk bulir padi muda mulai terlihat dan daun pembungkus mulai terbuka. Kata na-kapote-ngo terdiri atas nomina kapote ‘angin puting beliung’ dan klitik pronomina relatif na- dan pemarkah penegas -ngo. Na-kapote-ngo berarti yang seperti angin puting beliung. Pada tahapan na-kapote-ngo, semua bulir padi sudah terlihat. Dilanjutkan dengan hielo, yaitu bulir padi sudah meninggi. Gabungan kata wei huhu termasuk kata majemuk yang terdiri atas nomina wei ‘air’ dan nomina huhu ‘susu’. Gabungan kata ini disebut kata majemuk karena memiliki satu makna, yaitu bulir padi yang masih muda dan berwarna kehijauan mulai mengandung air berwarna putih seperti air susu. Gabungan kata wei huhu rara kere merupakan kata majemuk yang terdiri atas nomina wei ‘air’, nomina huhu ‘susu’, adjektiva rara ‘kuning’, dan nomina kere ‘ujung’. Pada tahapan ini air yang terkandung dalam bulir padi mulai mengental dan ujung bulir sudah agak menguning. Setelah itu dilanjutkan dengan malimbyongo. Pada malimbyongo, ujungujung bulir padi berwarna kuning kehijauan. Dilanjutkan dengan mandada yang
88
ujung bulirnya sudah berwarna kuning. Kaniha wuli terdiri atas numeralia kaniha ‘satu’ dan nomina wuli ‘bulir’. Pada tahapan kaniha wuli bulir padi sudah menguning dan ada beberapa bulir yang masih berwarna hijau kekuningan. Tahapan terakhir adalah na-rara ‘yang menguning’. Na-rara terdiri atas adjektiva rara ‘kuning’ dan klitik pronomina relatif na-. Na-rara adalah sebutan untuk tanaman padi yang bulirnya sudah berisi dan sudah menguning dan siap untuk dipanen. Padi yang dalam istilah Latinnya disebut dengan Oriza terdiri atas rate pare ‘rumpun padi’ mu pare ‘akar padi, pola pare ‘batang padi’, ro pare ‘daun padi’, kapuka ‘pucuk daun padi’, na-ha-ba-pakambu ‘daun padi yang membungkus bakal buah padi’, lobo ro pare ‘ujung daun padi’, lamunde ‘benang sari dan putik tanaman padi’ wuli pare ‘bulir padi’, kalaki wuli ‘tangkai bulir padi’, kalaki katapa ‘cabang tangkai padi’, dan wu pare ‘buah padi’. Kapore awu ‘wereng akar’, kapore pola ‘wereng batang’, kapore ro ‘wereng daun’, kapore muyo ‘wereng buah’ adalah gabungan kata yang berupa kata majemuk karena makna dapat dibentuk dari salah satu kata pembentuknya, yaitu nama wereng yang disesuaikan dengan bagian-bagian padi yang diserang. Kapore awu ‘wereng akar’ menyerang bagian akar tanaman padi sehingga akar membusuk, batang dan daun layu, dan akhirnya mati. Kapore pola ‘wereng batang’ menyerang bagian batang tanaman padi yang menyebabkan batang menjadi berwarna hitam kemerahan. Kapore ro ‘wereng daun’ menyerang daun tanaman padi sehingga daun menjadi berbintik hitam kemerahan. Kapore wu ‘wereng buah’ menyerang butir-butir pada bulir padi sehingga bulir padi menjadi
89
hitam dan tidak berisi. Pare mate geha merupakan kata majemuk yang terdiri atas nomina pare ‘padi’, verba mate ‘mati’, dan adjektiva geha ‘layu kehitaman. Pare mate geha memiliki makna baru yang dapat ditelusuri secara langsung dari unsurunsur pembentuknya. Pare mate geha adalah sebutan untuk hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman. Kapore panda kaka dan kapore panda mete adalah kata majemuk terdiri atas nomina kapore ‘wereng’ nomina panda ‘pandan’, adjektiva kaka ‘putih’, dan adjektiva mete ‘hitam’. Kapore panda kaka menyebabkan daun dan batang berbintik putih. Kapore panda mete menyebabkan daun dan batang padi berbintik hitam’. Manguno ‘burung pipit’, malogho ‘tikus’, dan kapudu ‘belalang’ termasuk nomina bernyawa. Manguno ‘burung pipit’, malogho ‘tikus’, dan kapudu ‘belalang’ adalah jenis hewan pengganggu yang mengganggu tanaman padi. Manguno ‘burung pipit’ adalah burung kecil yang memakan bulir padi. Malogho ‘tikus’ adalah binatang pengerat yang membawa kerugian di ladang yang memakan bagian bawah tanaman padi. Kapudu ‘belalang’ adalah serangsa kecil yang biasanya memakan daun padi. Selain serangga dan hewan pengganggu juga ada tanaman pengganggu atau gulma, seperti rumba lipyoto ‘rumput yang berumpun dan memiliki akar lepas’, rumba robho ‘rumput yang batangnya seperti batang jagung’, rumba ngingo ‘rumput alang’, rumba lammatagheghe ‘rumput yang daunnya kecil, tebal, dan meruncing’ dan rumba wurakarengge ‘rumput yang berdaun dan berbuah kecil’. Semua jenis rumput di atas termasuk kata majemuk karena mengandung makna
90
baru yang dibentuk dari salah satu kata pembentuknya, yaitu nama rumput dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan. Leksikon-leksikon di atas dilekati oleh pemarkah kausatif pa- dan ha-, pemarkah penegas -ngo, klitik pronomina persona -ya, -ni, dan -hi, pemarkah penegas -ka, dan nomina jamak ha-. Pemarkah kausatif ha- yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif hadir dalam leksikon pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’, pemarkah penegas -ngo yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif hadir dalam leksikon taki-ngo-ka lodo tondo ‘menetapkan waktu tanam’, dan pemarkah penegas -ngo yang mengubah nomina menjadi verba ditemukan dalam leksikon ahuko-ngo kalena ‘melubangi tanah’. Klitik pronomina persona -ya terdapat dalam leksikon pa-kende-ya a kareka ‘membangun dangau’, klitik pronomina persona -ni terdapat dalam leksikon tondo-ni wini ‘menanam bibit’ dan ndaga-ni a pare ‘mengawasi padi’, klitik pronomina persona -hi terdapat dalam leksikon hoko-hi ha-kahila menghalau burung’, dan klitik pronomina persona -ndi terdapat dalam leksikon ha-mburu-ndi ha-wini ‘menurunkan bibit’, ngandi-ndi ha-wini ‘mengantarkan bibit’, dan ndeke-ndi hawini ‘mengambilkan bibit’. Pemarkah nomina jamak ha- terdapat dalam leksikon nomina ha-wini ‘bibit-bibit’ dan ha-kahila ‘burung-burung’. Berdasarkan pemaparan leksikon di atas, leksikon nomina memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan verba. Hal tersebut disebabkan karena peladang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengkodekan dan merepresentasikan karakteristik benda kepadian pada tahap tanam dengan leksikon yang berbeda.
91
4.1.3 Leksikon Kepadian Tahap Pascatanam Kekhasan verbal kepadian yang berwujud kata dan gabungan kata baik yang berkategori nomina maupun verba, dalam komunitas tutur bahasa Kodi pada tahap pratanam dan tanam telah diuraikan di atas. Selanjutnya diikuti pula dengan perangkat leksikon kepadian pada tahap pascatanam yang terdiri atas tahapan panen padi, merontokkan butir padi dari tangkainya, dan pengolahan padi menjadi beras sebagai berikut. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Leksikon Berkategori Verba Tahap Pascatanam taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’ pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen’ nguti pare ‘panen padi’ nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’ pa-kalimbya ‘menumpukkan padi’ ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ kugha-ni pare ‘memisahkan butir padi dari jerami’ bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’ pa-leru-ni pare ‘menganginkan padi’ tapi-ya pare ‘menampi padi’ dangi-ya pare ‘menjemur padi’ bhayo pare ‘menumbuk padi’ tapi-ya wiha ‘menampi beras’ nighuro-ya wiha ‘memisahkan beras’ kieto ‘pisau’ pandalo ‘beberapa bulir padi yang dipotong sehari sebelum panen’ kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ kaneghu ‘tempat padi’ kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ noppo kalimbya ‘tikar alas kalimbya’ noppo ndali ‘tilar alas injak padi’ ghayo palango ‘kayu palang’ pare ‘padi’ kugha pare ‘jerami’ bhoko, kabhambango ‘lumbung’
92
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
kapepe pare ‘tempat padi yang dipersembahkan’ pare ndewe ‘padi yang masih basah’ pare marokoto’padi yang sudah kering’ ngahu ‘lesung’ alu ‘alu’ kalidi ‘nyiru’ wiha ‘beras utuh’ kamambu ‘beras patah’ utto pare ‘dedak’ utto wiha ‘tepung beras’ Leksikon kepadian tahap pascatanam terdiri atas kata dan gabungan kata.
Setiap kata dibedakan atas verba dan nomina. Gabungan kata dibedakan atas gabungan kata predikatif, ungkapan, kata majemuk, dan frase. Leksikon berupa kata berkategori verba dalam tahap pascatanam menggambarkan perbuatan dan proses yang disebut dengan verba konstatatif. Pa-kalimbya ‘menumpukkan padi’ dan pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir pasi sehari sebelum panen’ berupa kata, sedangkan taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’, nguti pare ‘panen padi’, nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’, ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’, kugha-ni pare ‘memisahkan butir padi dari jerami’, bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’, paleru-ni pare ‘menganginkan padi’, tapi-ya pare ‘menampi padi’, dangi-ya pare ‘menjemur padi’, bhayo pare ‘menumbuk padi’, tapi-ya wiha ‘menampi beras’, dan nighuro-ya a pare ‘memisahkan beras dan padi ketika menampi’ berupa gabungan kata. Gabungan kata taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’ terdiri atas bentuk taki-ngo-ka ‘menetapkan’, nomina lodo ‘hari, waktu’, dan nguti ‘potong’. Bentuk taki-ngo-ka ‘menetapkan’ terdiri atas verba intransitif taki ‘tetap’ yang dilekati dengan pemarkah penegas -ngo dan pemarkah penegas -ka. Pemarkah -
93
ngo mengubah verba intransitif taki ‘tetap’ menjadi verba transitif taki-ngo ‘menetapkan’. Pemarkah -ka berfungsi sebagai penegas yang menekankan nomina atau frase nominal yang berada di belakangnya, yaitu lodo nguti ‘waktu panen’. Verba turunan pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen’ terdiri atas nomina pandalo ‘beberapa bulir yang dipotong sehari sebelum panen’ yang dilekati pemarkah kausatif pa-. Pemarkah kausatif pa- mengubah nomina menjadi verba. Gabungan kata nguti pare ‘panen padi’ terdiri atas verba nguti ‘potong’ dan nomina pare ‘padi’. Gabungan kata nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’ terdiri atas verba nguti ‘potong’ dan verba turunan wote-ngo ‘berkumpul’ yang terdiri atas verba wote ‘berkumpul’ dan pemarkah penegas -ngo. Verba pa-kalimbya ‘menumpukkan padi’ terdiri atas nomina kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ dan pemarkah kausatif pa-. Pemarkah kausatif pa- inilah yang mengubah nomina menjadi verba. Gabungan kata ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’, dan kugha-ni pare ‘memisahkan butir padi dari jerami’ terdiri atas verba ndali ‘injak’, verba kugha-ni ‘memisahkan jeraminya’, dan nomina pare ‘padi’. Dalam gabungan kata kugha-ni pare ‘memisahkan butir padi dari jerami’, verba kugha-ni ‘memisahkan jeraminya’ terdiri atas nomina kugha ‘jerami’ dan pemarkah pronomina persona ketiga tunggal -ni. Taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’ dilakukan terlebih dahulu sebelum panen dimulai. Penetapan waktu panen harus dirundingkan bersama keluarga dengan melihat keadaan padi yang ada di ladang. Setelah waktu panen ditentukan, maka salah satu keluarga mengundang keluarga lain untuk membantu
94
proses panen. Pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen’ adalah kegiatan memotong beberapa bulir padi oleh imam adat di empat penjuru ladang saat sehari sebelum panen. Hal ini bertujuan supaya roh-roh jahat yang ingin mengambil jiwa padi atau dewi padi tidak berdaya atau tidak bisa mengambilnya karena empat penjuru ladang sudah ditutup dan dewi padi sudah diajak pulang ke rumah oleh imam adat tersebut. Nguti pare ‘panen padi’ adalah peristiwa yang berperan membangun kebersamaan di kalangan peladang Kodi. Nguti pare ‘panen padi’ adalah kegiatan memotong bulir padi dengan pisau. Bagian yang dipotong adalah wuli pare ‘bulir padi’. Pada saat nguti pare ‘panen padi’ tangan kanan berfungsi untuk memotong bulir padi kemudian diletakkan di tangan kiri. Pada saat tangan kiri yang memegang bulir padi penuh, maka orang yang memotong padi bisa memanggil orang yang bertugas membawa kaneghu ‘tempat padi’ agar membawa kaneghu ‘tempat padi’ dan orang yang memotong padi dapat meletakkan bulir padi di dalamnya. Nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’ adalah proses nguti pare ‘panen padi’ yang dilakukan dengan cara berkelompok. Panen padi dimulai dari luar ke arah dalam berlawanan dengan arah jarum jam berbeda halnya dengan tanam yang dimulai dari tengah. Saat panen pun tidak boleh melewati atau mendahului imam adat yang bertugas memimpin panen. Panen ditutup di tengah, yaitu di tempat peletakan kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ saat sebelum tanam.
95
Kegiatan nguti pare ‘panen padi’ dilanjutkan dengan pa-kalimbya ‘menumpukkan padi’. Padi yang telah dipotong dan ditampung dalam kaneghu ‘tempat padi’ dibawa ke rumah untuk dirangkai menjadi kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’. Setelah nguti pare ‘panen padi’ selesai dan semua padi sudah ditumpuk dilanjutkan dengan ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’. Ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ tidak kalah ramainya dengan nguti pare ‘panen padi’. Ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ biasanya dilakukan oleh laki-laki, jarang dilakukan oleh perempuan. Saat ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ kaum lakilaki dikerahkan, dengan sekuat tenaga menggunakan telapak kaki yang kuat dan tebal membolak-balikkan atau melipat-lipat tumpukan bulir padi agar butir padi bisa terlepas dari tangkainya. Ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ bisa dilakukan di rumah dan di ladang di atas tikar yang telah dipersiapkan. Ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ dilanjutkan dengan kugha-ni pare ‘memisahkan jeraminya’, yaitu membersihkan atau menyisir bulir padi untuk menghilangkan jerami yang masih ada. Gabungan kata bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’ terdiri atas bentuk bondolo-ya ‘menyimpannya’ dan nomina pare ‘padi’. Bentuk bondolo-ya ‘menyimpannya’ terdiri atas verba bondolo ‘simpan’ dan pemarkah pronomina persona ketiga tunggal -ya yang dibubuhkan di belakang verba bondolo ‘simpan’. Gabungan kata pa-leru-ni pare ‘menganginkan padi’ terdiri atas bentuk pa-leruni ‘menganginkan’ dan nomina pare ‘padi’. Bentuk pa-leru-ni ‘menganginkan’ terdiri atas nomina leru ‘angin’, pemarkah kausatif pa-, dan klitik pronomina
96
persona ketiga tunggal -ni yang merujuk kepada nomina pare ‘padi’. Pemarkah kausatif pa- yang berada di depan nomina leru ‘angin’ mengubah nomina menjadi verba. Gabungan kata tapi-ya pare ‘menampi padi’ terdiri atas bentuk tapi-ya ‘menampinya’ dan nomina pare ‘padi’. Bentuk tapi-ya ‘menampinya’ terdiri atas verba tapi ‘menampi’ dan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya yang merujuk kepada nomina pare ‘padi’. Setelah penyisiran jerami, dilanjutkan dengan bondola-ya pare ‘menyimpan padi’ ke lumbung. Setelah selesai proses ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ dan semua bulir padi sudah dimasukkan ke lumbung, maka proses berikutnya adalah pa-leru-ni pare ‘menganginkan padi’, yaitu menganginkan padi agar lebih kering sebelum disimpan dalam lumbung. Padi yang telah dimasukkan ke lumbung saat bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’ diangkat kembali dengan menggunakan
kaneghu
rato
‘tempat
padi
yang dikeramatkan’.
Proses
menganginkan ini bertujuan untuk membersihkan padi, yaitu memisahkan bulir padi berisi dengan padi tanpa isi. Penganginan dilakukan dengan bantuan angin. Jika tidak ada angin, bisa dilakukan dengan cara menampi yang disebut dengan tapi-ya pare ‘menampi padi’. Setelah proses penganginan selesai, semua padi yang berisi dimasukkan ke lumbung dan kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ berperan kembali untuk mengisi lumbung untuk pertama kalinya. Setelah itu, padi diolah menjadi wiha ‘beras’. Gabungan kata dangi-ya pare ‘menjemur padi’ terdiri atas bentuk dangi-ya ‘menjemurnya’ dan nomina pare ‘padi’. Bentuk dangi-ya ‘menjemurnya’ terdiri atas verba transitif dangi ‘menjemur’ dan klitik pronomina persona ketiga tunggal
97
-ya yang merujuk kepada nomina di belakang verba, yaitu nomina pare ‘padi’. Gabungan kata bhayo pare ‘menumbuk padi’ terdiri atas verba bhayo ‘menumbuk’ dan nomina pare ‘padi’. Gabungan kata tapi-ya wiha ‘menampi beras’ terdiri atas bentuk tapi-ya ‘menampinya’ dan nomina wiha ‘beras’. Bentuk tapi-ya ‘menampinya’ terdiri atas verba tapi ‘menampi’ dan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya yang mengacu pada nomina wiha ‘beras’. Gabungan kata nighuro-ya wiha ‘memisahkan beras’ terdiri atas bentuk nighuro-ya ‘memisahkan’ dan nomina wiha ‘beras’. Bentuk nighuro-ya ‘memisahkan’ terdiri atas verba nighuro ‘memisahkan’ dan klitik pronomina persona ketiga tunggal-ya yang merujuk pada nomina wiha ‘beras’. Dangi pare ‘menjemur padi’ adalah kegiatan menjemur pare ndewe ‘padi yang masih basah’ terlebih dahulu di bawah sinar matahari supaya kering dan mudah ditumbuk, kemudian proses selanjutnya adalah bhayo pare ‘menumbuk padi’ dengan lumpang dan alu. Penumbukan berfungsi untuk memisahkan beras dengan kulit padi. Tapi wiha ‘menampi beras’ adalah kegiatan menampi dengan menggunakan nyiru supaya mendapatkan beras yang bersih. Kemudian dilanjutkan dengan memisahkan beras yang bulirnya besar dan kecil yang disebut dengan nighuro-ya wiha ‘memisahkan beras’. Perangkat leksikon nguti pare ‘panen padi’, ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’, kugha-ni pare ‘memisahkan bulir padi dari jerami’, bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’, pa-leru-ni pare ‘menganginkan padi’, tapi-ya pare ‘menampi padi, dangi-ya pare ‘menjemur padi’, bhayo pare ‘menumbuk padi’, tapi-ya wiha ‘menampi beras’, dan nighuro-ya pare ‘memisahkan beras’
98
adalah gabungan kata predikatif yang terdiri atas verba dan nomina. Kegiatan atau proses yang digambarkan oleh verba diperjelas lagi dengan keberadaan nomina. Gabungan kata di atas termasuk bentuk generik karena tidak ada leksikon khusus yang menggambarkan kegiatan panen padi, merontokkan butir padi dari tangkainya, memisahkan bulir dengan tangkai-tangkai kecil, menyimpan padi, menganginkan padi, menampi padi, menjemur padi, menumbuk padi, menampi beras, dan memisahkan beras. Berikut ini adalah perangkat nomina tahap pascatanam yang meliputi kieto ‘pisau’, pandalo ‘beberapa bulir padi yang dipotong sehari sebelum panen’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, kaneghu ‘tempat padi’, kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’, dan noppo kalimbya ‘tikar alas kalimbya’. Kieto ‘pisau’ adalah nomina alat yang digunakan saat nguti pare ‘panen padi’. Kieto ‘pisau’ adalah bilah besi tipis yang berfungsi untuk memotong bulir padi. Gabungan kata kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ terdiri atas nomina kaneghu ‘tempat padi’ dan nomina rato ‘imam, pimpinan’. Dalam proses panen, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ harus diisi dengan bulir padi terlebih dahulu kemudian dibawa ke rumah untuk dibentuk menjadi kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’, kemudian dilanjutkan dengan kaneghu ‘tempat padi’ pembawa bulir padi berikutnya. Saat ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ pertama kali membawa bulir padi yang akan dirontokkan dan membawa padi hasil ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’pertama ke dalam lumbung. Dalam proses mengolah padi menjadi beras, kaneghu rato ‘tempat padi yang
99
dikeramatkan’ yang pertama kali digunakan untuk mengangkut padi dari lumbung untuk proses selanjutnya. Kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ berfungsi untuk mengisi lumbung untuk pertama kalinya. Setelah mengisi lumbung pertama kali, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’ langsung disimpan di sudut atas rumah. Kaneghu ‘tempat padi’ dalam panen padi berfungsi sebagai tempat menyimpan sementara bulir padi yang telah dipotong. Kaneghu ‘tempat padi’ terbuat dari pandan. Pandan adalah unsur biotik yang berada di sekitar lingkungan peladang dan digunakan sebagai bahan untuk membuat kaneghu ‘tempat padi’. Saat panen, semua kaneghu ‘tempat padi’ yang terisi penuh dibawa ke uma ‘rumah’. Sesampainya di rumah, wuli pare ‘bulir padi’ yang telah dipotong dirangkai membentuk kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ di atas noppo kalimbya ‘tikar untuk alas kalimbya’. Noppo kalimbya ‘tikar untuk alas kalimbya’ merupakan frase nominal yang terdiri atas nomina noppo ‘tikar’ sebagai pusat dan nomina kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ sebagai atributnya. Besar noppo kalimbya tersebut disesuaikan dengan besarnya rumah peladang. Wuli pare ‘bulir padi’ dirangkai berputar membentuk lingkaran dengan posisi tangkai ke arah dalam dan bulir menjulur ke luar. Semua hasil panen yang berupa bulir padi dirangkai hingga tinggi menjulang. Diameter kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’ tergantung pada besarnya rumah. Bibit terbaik dalam kepercayaan peladang tradisional didapatkan dari bulir padi yang rontok yang disebut dengan pare mbupu ‘padi rontok’ dari susunan kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’. Bulir padi yang rontok (berjatuhan) tersebut dikumpulkan dan
100
menjadi bibit untuk tanam tahun depan. Jadi, yang dijadikan bibit bukanlah bulir padi hasil ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’. Tidak semua padi di ladang disusun menjadi kalimbya ‘rangkaian padi yang memuncak’, pare wulu kawimbi ‘padi yang bulirnya berbulu’ padi diikat dan disimpan. Padi jenis ini akan diturunkan dari atas rumah jika musim paceklik tiba dan tidak ada cadangan padi lagi untuk dikonsumsi. Khazanah nomina berikutnya adalah noppo ndali ‘tikar alas ndali pare’, ghayo palongo ‘kayu palang’, pare ‘padi’, dan kugha pare ‘jerami. Gabungan kata noppo ndali ‘tikar alas ndali pare’ terdiri atas nomina nopo ‘tikar’ dan verba ndali ‘injak’. Gabungan kata ini termasuk frase nominal karena terdiri atas nomina noppo ‘tikar’ sebagai pusat dan verba ndali ‘injak’ sebagai atributnya. Gabungan kata ghayo palango ‘kayu palang’ terdiri atas nomina ghayo ‘kayu’ dan nomina palango ‘palang’. Gabungan kata ini termasuk frasa nominal yang terdiri atas nomina ghayo ‘kayu’ sebagai pusat dan nomina palango ‘palang’ sebagai atribut. Pada saat ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ yang harus dipersiapkan adalah noppo ndali ‘tikar alas ndali pare’ dan ghayo palongo ‘kayu palang’. Bulir padi yang akan dirontokkan diletakkan di atas tikar, kemudian dilipat-lipat dengan menggunakan kaki. Pada saat melipat-lipat, kayu yang telah dipasang harus dipegang untuk lebih memudahkan ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ dan ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’ akan berjalan lebih cepat. Kugha pare ‘jerami padi’ merupakan frase nominal yang terdiri atas nomina kugha ‘jerami’ sebagai pusat dan pare ‘padi’ sebagai atribut. Kugha pare ‘jerami
101
padi’ adalah batang atau tangkai padi yang sudah kering. Pare ‘padi’ adalah butir atau buah yang dihasilkan dari ndali pare ‘merontokkan butir padi dari tangkainya’. Jenis bibit padi yang ditanam adalah bibit padi ladang. Jenis padi yang ditanam di ladang, antara lain pare mbokoto, pare kanuru, pare kanuru kalogho, pare kaka, pare kalenggo, dan pare nangga. Gabungan kata pare mbokoto, pare kanuru, pare kanuru kalogho, pare kaka, pare kalenggo, dan pare nangga termasuk kata majemuk karena perpaduan kata tersebut mengandung satu makna. Makna gabungan kata tersebut dapat ditelusuri secara langsung dari katakata yang digabungkan. Gabungan kata pare mbokoto terdiri atas nomina pare ‘padi’ dan adjektiva mbokoto ‘padat, rimbun’. Pare mbokoto adalah jenis padi ladang yang butirnya padat. Padi jenis ini memiliki kulit padi dan beras yang berwarna putih bersih. Gabungan kata pare kanuru terdiri atas nomina pare ‘padi’ dan nomina kanuru ‘berkah’. Pare kanuru dianggap sebagai padi berkah yang dianugerahkan Tuhan Maha Pencipta kepada para peladang. Padi jenis ini memiliki kulit padi berwarna keemasan. Gabungan kata pare kanuru kalogho terdiri atas nomina pare ‘padi’, nomina kanuru ‘berkah’, dan kalogho ‘pisang’. Pare kanuru kalogho adalah jenis padi kanuru yang kulitnya berwarna putih kemerahan seperti warna kalogho ‘pisang’. Jenis kalogho ‘pisang’ yang dimaksud adalah kalogho kaka wadal. Kalogho kaka wadal adalah pisang yang kulitnya berwarna putih kemerahan. Gabungan kata pare kaka seperti sebutannya padi putih adalah jenis padi yang kulitnya berwarna putih bersih dan berasnya berwarna merah bercampur putih. Gabungan kata pare kalenggo terdiri atas nomina pare ‘padi’ dan adjektiva
102
kalenggo ‘bengkok’. Pare kalenggo adalah jenis padi yang berbentuk bengkok seperti bulan sabit. Gabungan kata pare nangga terdiri atas nomina pare ‘padi’ dan nomina nangga ‘nangka’. Padi nangga adalah jenis padi yang bentuknya seperti batu nangka. Gabungan kata pare wulu kawimbi terdiri atas nomina pare ‘padi’, nomina wulu ‘bulu’, dan nomina kawimbi ‘kambing’. Pare wulu kawimbi adalah sebutan untuk jenis padi yang bulirnya berbulu. Jenis-jenis padi yang telah dipaparkan di atas menggambarkan keberagaman tumbuhan atau biota padi yang menjadi makanan pokok masyarakat Kodi. Bhoko,
kabambango
‘lumbung’,
kapepe
pare
‘tempat
padi
yang
dipersembahkan’, pare ndewe ‘padi yang masih basah’, dan pare marokoto ‘padi yang sudah kering’ adalah khazanah nomina selanjutnya. Bhoko dan kabambango ‘lumbung’ adalah nomina tempat sebutan lain untuk lumbung. Bhoko dan kabambango ‘lumbung’ terbuat dari anyaman pandan atau lontar yang tingginya 1--2 meter dan memiliki diameter yang besar. Bhoko dan kabambango ‘lumbung’ dibedakan berdasarkan ukurannya. Bhoko ‘lumbung’ disebut dengan lumbung kecil yang bisa menampung 45--150 kg, Kabambango ‘lumbung’ adalah lumbung besar yang bisa menampung 300--675 kg. Gabungan kata kapepe pare ‘tempat padi yang dipersembahkan’ merupakan kata majemuk yang terdiri atas nomina kapepe ‘tempat padi yang berukuran kecil’ dan pare ‘padi’. Gabungan kata ini termasuk kata majemuk karena mengandung makna baru yang dapat ditelusuri dari
gabungan
kata
pembentuknya.
Kapepe
pare
‘tempat
padi
yang
dipersembahkan’ adalah wadah yang terbuat dari anyaman pandan yang di dalamnya diisi penuh dengan padi sebagai persembahan kepada roh leluhur.
103
Kapepe pare ‘tempat padi yang dipersembahkan’ digantung di sudut rumah di bagian bawah kaneghu rato dan kalidi ‘nyiru’. Pare ndewe ‘padi yang masih basah’ dan pare marokoto ‘padi yang sudah kering’ terdiri atas nomina pare ‘padi’, adjektiva ndewe ‘basah’, dan adjektiva marokoto ‘kering’. Pare ndewe ‘padi yang masih basah’ dan pare marokoto ‘padi yang sudah kering’ merupakan frase nominal dengan nomina pare ‘padi’ sebagai pusatnya. Pare ndewe ‘padi yang masih basah’ adalah padi yang baru diturunkan dari lumbung yang masih dalam keadaan basah. Jika ingin mengolah padi menjadi beras, pare ndewe ‘padi yang masih basah’ harus dijemur terlebih dahulu. Pare marokoto ‘padi yang sudah kering’ adalah padi yang sudah dikeringkan di bawah sinar matahari dan siap untuk ditumbuk. Ngahu ‘lumpang’ adalah nomina alat yang terbuat dari kayu berlekuk di tengahnya yang berfungsi sebagai tempat padi yang ditumbuk, sedangkan alu ‘alu’ adalah nomina alat yang berupa kayu panjang yang berfungsi untuk menumbuk padi. Bambu sebagai bahan untuk membuat ngiru dan kayu yang digunakan sebagai bahan untuk membuat lumpang dan alu adalah olahan dari bagian tertentu tanaman, yaitu tanaman bambu dan kayu adalah bentuk interrelasi dan keberagaman tanaman di sekitar lingkungan kepadian yang diberdayakan oleh komunitas tutur Kodi. Kalidi ‘nyiru’ adalah nomina alat yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk bulat. Kalidi ‘nyiru’ berfungsi untuk menampi padi untuk memisahkan padi berisi dan padi tak berisi dan berfungsi untuk menampi beras yang telah ditumbuk.
104
Wiha ‘beras utuh’ adalah beras yang kulitnya sudah terkelupas dan berukuran sama, sedangkan kamambu ‘beras patah’ adalah potongan beras yang kecil-kecil yang bentuknya tidak utuh. Utto pare ‘dedak’ adalah frase nominal yang terdiri atas nomina utto ‘serbuk halus’ sebagai pusat dan nomina pare ‘padi’ sebagai atribut. Utto pare ‘dedak’ adalah serbuk halus yang berasal dari kulit padi yang terlepas saat padi ditumbuk. Utto wiha ‘tepung beras’ terdiri atas nomina utto ‘serbuk halus’ dan wiha ‘beras’. Utto wiha ‘tepung beras’ adalah serbuk halus hasil tumbukan beras. Pare ndewe ‘padi yang masih basah’, pare marokoto ‘padi yang sudah kering’, wiha ‘beras utuh’, kamambu ‘beras patah’, utto pare ‘dedak’, utto wiha ‘tepung beras’ adalah ciri padi dan karakteristik hasil tumbukan padi berupa beras utuh, beras patah, ampas padi, dan tepung beras. Leksikon-leksikon di atas dilekati oleh pemarkah kausatif pa-, pemarkah penegas -ngo, klitik pronomina persona -ya dan -ni, dan pemarkah penegas -ka. Pemarkah kausatif pa- yang mengubah nomina menjadi verba terdapat dalam leksikon pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen’ dan pa-kalimbya menumpukkan padi’. Pemarkah penegas -ngo yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif terdapat dalam leksikon taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’ dan pemarkah penegas -ngo yang mengubah nomina menjadi verba terdapat dalam leksikon nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’. Klitik pronomina persona -ya terdapat dalam leksikon bondolo-ya pare ‘menyimpan padi’, tapi-ya pare ‘menampi padi’, dangi-ya pare ‘menjemur padi’, tapi-ya wiha ‘menampi beras’, dan nighuro-ya wiha ‘memisahkan beras’. Klitik pronomina persona -ni terdapat dalam leksikon kugha-ni pare ‘memisahkan
105
butir padi dari jerami’ dan pa-leru-ni pare menganginkan padi’. Pemarkah penegas -ka terdapat dalam leksikon taki-ngo-ka lodo nguti ‘menetapkan waktu panen’. Berdasarkan pemaparan leksikon di atas, leksikon nomina memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan verba. Hal tersebut disebabkan karena peladang memiliki pengetahuan untuk mengkodekan karakteristik benda kepadian pada tahap pascatanam dengan mewujudkannya pada leksikon-leksikon yang berbeda. Selain leksikon yang telah disebutkan dalam ketiga tahapan di atas, juga ditemukan beberapa leksikon yang bersifat kekinian. Keberadaan leksikon ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Beberapa leksikon tersebut, antara lain kelero pare ‘lumbung kayu’, moro maghambulo ‘pupuk anorganik’, luku ‘traktor’, belle popa ‘tangki semprot’, dan nggeha ‘penggiling’. Kelero pare ‘lumbung kayu’ adalah lumbung yang terbuat dari kayu, tidak seperti lumbung pada umumnya yang terbuat dari anyaman pandan atau lontar. Lumbung kayu ini berukuran besar yang mampu menampung lima sampai dengan tujuh ton padi. Moro maghambulo ‘pupuk anorganik’ adalah pupuk buatan yang merupakan hasil proses kimia. Pupuk ini berguna untuk menyuburkan tanah. Luku ‘traktor’ adalah kendaraan yang digunakan untuk membajak atau meratakan tanah. Belle popa ‘tangki semprot’ adalah wadah tempat menyimpan air yang dipompa untuk menyemburkan air. Nggeha ‘penggiling’ adalah alat yang digunakan untuk menggiling padi. Keberadaan leksikon kelero pare ‘lumbung kayu’, moro maghambulo ‘pupuk anorganik’, luku ‘traktor’, belle popa ‘tangki semprot’, dan nggeha ‘penggiling’ memperkaya khazanah verbal kepadian.
106
Selain leksikon baru yang dipengaruhi oleh teknologi modern, berdasarkan leksikon-leksikon yang telah diterangkan, ada sejumlah leksikon nomina yang sudah jarang ditemukan dan hanya digunakan oleh penganut kepercayaan marapu dan beberapa aktivitas yang sudah tidak dilakukan lagi. Leksikon tersebut, antara lain tondo kalehu-ngo ‘menanam dengan cara melingkar’, nguti wote-ngo ‘panen dengan cara berkelompok’, pa-pandalo ‘memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen’, rato marapu ‘imam adat’, watu kareka ‘marapu di ladang’, mori tana ‘marapu penjaga rumah’, pare wulu kawimbi ‘padi yang bulirnya berbulu’, kaneghu rato ‘tempat padi yang dikeramatkan’, kaleku wiha ‘tempat menyimpan bibit’, pandalo ‘beberapa bulir padi yang dipotong sehari sebelum panen’, dan kapepe pare ‘tempat padi yang dipersembahkan’.
4.2 Ekowacana Kepadian Ekowacana kepadian adalah keseluruhan tuturan yang berkaitan dengan kehidupan kepadian secara ideologis, sosiologis, dan biologis. Tuturan kepadian adalah tuturan yang menyertai proses pratanam, tanam, dan pascatanam padi ladang. Dalam bentuk ekowacana kepadian berperan aspek intratekstualitas, intertekstualitas, dan ekstratektualitas. Aspek intratekstualitas untuk menentukan struktur satuan lingual dan sistem pemarkah. Aspek intertekstualitas untuk menemukan makna sosial dan signifikansi personal yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks. Aspek ekstratekstualitas mencakup deiksis dan metafora berdasarkan konteks produsen.
107
Berikut ini adalah contoh data dengan verba mburu ‘turun’ dan gabungan kata wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’. (1)
Ha-mburu-ngo-ka KAUS-turun-PEN-PEN ‘Menanam bibit padi’ (TAN/5A-5)
wei air
huhu susu
(2)
Ha-mburu-ngo-ka koni wu KAUS-turun-PEN-PEN NOM NUM mbiri ndandi peha NOM lahir tunggal ‘Menanam bibit padi’ (TAN/6B-7)
(3)
Rongo-bha-ka mbiri dengar-3JMK-ASP-PEN NOM koni wu kaniha NOM NUM satu ‘Dengarkanlah wahai dewi padi’ (PAS/19A-1)
wei baba air pangkuan
kaniha satu
ndandi lahir
peha tunggal
Ha-mburu-ngo-ka wei huhu wei baba ‘menanam bibit padi’ dan ha-mburungo-ka koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘menanam bibit padi’ adalah dua contoh data yang ditemukan dalam tuturan awal tanam. Data di atas mengandung gabungan kata yang berbeda, yaitu wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’. Kata ha-mburu-ngo-ka ‘menurunkan’ khusus digunakan untuk menyertai ungkapan wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dalam data (1) dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’ dalam data (2). Dalam bentuk ha-mburu-ngo-ka ‘menurunkan’ terkandung verba intransitif mburu ‘turun’. Verba mburu ‘turun’ dibubuhi
108
pemarkah kausatif ha- di posisi awal dan pemarkah penegas -ngo- dan pemarkah penegas -ka di posisi akhir. Pemarkah kausatif ha- mengubah verba intransitif menjadi verba transitif. Pemarkah penegas -ngo- menegaskan verba yang berada di depannya. Di antara tiga pemarkah yang melekat pada verba, pemarkah yang disoroti adalah pemarkah penegas -ka. Pemarkah penegas -ka bersifat kataforis yang berfungsi menegaskan nomina yang mengikutinya. Pemarkah penegas -ka menegaskan atau menguatkan gabungan kata wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’ yang secara kontekstual bermakna bibit padi. Data (1) dan (2) ha-mburu-ngo-ka wei huhu wei baba ‘menanam bibit padi’ dan ha-mburu-ngo-ka koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘menanam bibit padi’ terdiri atas verba ha-mburu-ngo-ka ‘menurunkan’ sebagai predikat dan wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’ sebagai objek. Kedua contoh di atas adalah contoh teks berpola P-O. Predikat sebagai konstituen induk dilekati oleh pemarkah-pemarkah yang merujuk silang kepada argumen predikat yang berupa subjek dan objek. Pada data (1) dan (2) terjadi pelesapan argumen predikat yang berupa subjek dan tidak ditemukannya pemarkah predikat yang merujuk silang pada subjek. Hal tersebut menandakan bahwa penutur tidak menonjolkan kehadiran nomina subjek dalam tuturan yang diperjelas dengan tidak hadirnya klitik pronomina berkasus nominatif. Penutur dalam menyampaikan tuturan ini menonjolkan kegiatan atau proses yang tercermin dalam predikat ha-mburu-ngoka ‘menurunkan’ dan menonjolkan objek yang dikenai proses, yaitu wei huhu
109
wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’. Gabungan kata wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ terdiri atas nomina wei ‘air’, nomina huhu ‘susu’, dan nomina baba ‘pangkuan’. Gabungan kata wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ adalah ungkapan yang memunculkan makna baru, padi atau bibit padi. Makna padi atau bibit padi tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata pembentuk gabungan kata tersebut. Air pangkuan memiliki arti yang sama dengan air susu, yaitu air yang didapatkan di dalam pangkuan, air yang diberikan oleh ibunya saat anaknya berada dalam pangkuan. Padi dihubungkan dengan ungkapan wei huhu ‘air susu’ dan wei baba ‘air pangkuan’. Air susu adalah suatu berkah yang diberikan ibu kepada anaknya. Jika air susu dihubungkan dengan padi, padi adalah berkah untuk masyarakat Kodi. Padi sangat dimuliakan oleh masyarakat Kodi dengan menyebutnya sebagai wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’ dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha. Gabungan kata koni wu kaniha terdiri atas nomina nama diri Koni ‘Koni’, numeralia wu ‘sebuah’, dan numeralia kaniha ‘satu’. Gabungan kata mbiri ndandi peha terdiri atas nomina nama diri mbiri ‘Mbiri’, verba ndandi ‘lahir, dan numeralia peha ‘tunggal. Koni wu kaniha mbiri ndandi peha dapat berarti padi dan dewi padi. Koni wu kaniha mbiri ndandi peha dalam data (2) berarti padi. Gabungan kata tersebut merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan dalam data (3) gabungan kata koni wu kaniha mbiri ndandi peha merupakan kata majemuk yang maknanya dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya.
110
Dalam gabungan kata koni wu kaniha mbiri ndandi peha terdapat unsur nama dari dewi padi, yaitu Mbiri Koni. Padi dalam kepercayaan masyarakat Kodi adalah jelmaan seorang gadis cantik bernama Mbiri Koni. Selain disebutkan dalam mitos, Mbiri Koni juga disebutkan dalam tuturan kepadian. Padi disebut sebagai koni wu kaniha mbiri ndandi peha sebutan istimewa untuk padi. Dalam gabungan kata Mbiri Koni tersemat makna seorang anak gadis satu-satunya yang dilahirkan tunggal. Jadi, koni wu kaniha mbiri ndandi peha merujuk kepada padi atau dewi padi. Apabila dihubungkan dengan konteks awal tanam, ha-mburu-ngo-ka berarti menanam. Benda yang ditanam adalah bibit padi yang diwakili oleh ungkapan wei huhu wei baba dan koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satusatunya yang dilahirkan tunggal’. Selain terdapat dalam data (1) dan (2) di atas, verba mburu ‘turun’ juga terdapat dalam data (4) dan (5) berikut. Dalam data di bawah ini verba mburu ‘turun’ tidak hadir sendiri dalam tuturan, tetapi dipasangkan dengan verba yang lain, yaitu kedu ‘terjun’. Berikut ini adalah data yang menggunakan verba mburu ‘turun’ dan kedu ‘terjun’. (4)
Tana amba we-ki-ngo mburu ta supaya jangan kata-REF-PEN turun bencana kedu ta manguno terjun bencana burung pipit ‘Supaya tidak diserang hama tikus dan burung pipit’ (TAN/5A-7)
(5)
Na-mburu a ura 3TG-REL-turun ART hujan ‘Hujan yang turun’ (PRA/1-14)
malogho tikus
111
Na-kedu a 3TG-REL-terjun ART ‘Air yang terjun’ (PRA/1-16)
weiyo air
Verba mburu ‘turun’ dan kedu ‘terjun’ adalah bentuk-bentuk yang bersinonim dan selalu dipasangkan dalam konteks kalimat di atas. Verba mburu ‘turun’ dan kedu ‘terjun’ termasuk verba intransitif. Verba mburu ‘turun’ dan kedu ‘terjun’ dalam data (4) ditemukan dalam tuturan awal tanam. Verba mburu ‘turun’ menyertai nomina ta malogho ‘bencana tikus’ dan verba kedu ‘terjun’ menyertai nomina ta manguno ‘bencana burung pipit’. Pada data (5) verba mburu ‘turun’ menyertai nomina ura ‘hujan’ dan verba kedu ‘terjun’ menyertai nomina weiyo ‘air’. Penggunaan verba mburu ‘turun’ yang menyertai nomina ta malogho ‘bencana tikus’ didasarkan atas sifat tikus yang turun ke dalam tanah untuk memakan bagian padi yang berada di dalam tanah, sedangkan penggunaan verba kedu ‘terjun’ yang menyertai nomina ta manguno ‘bencana burung pipit’ didasarkan atas perilaku burung yang terjun dari atas ke bawah untuk memakan bulir padi. Verba mburu ‘turun’ dan kedu ‘terjun’ dalam data (5) dilekati oleh pemarkah na- di posisi awal. Pemarkah na- adalah klitik pronomina relatif yang menjelaskan ura ‘hujan’ dan weiyo ‘air’. Berdasarkan data (1), (2), (4), dan (5) di atas, verba mburu ‘turun’ menyertai nomina wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’, koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’, ta malogho ‘bencana tikus’ dan ura ‘hujan’, sedangkan kedu ‘terjun’ menyertai nomina ta manguno ‘bencana burung pipit’ dan weiyo ‘air’.
112
Contoh data di bawah ini adalah contoh penggunaan adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’. (6)
Tana woki-nggama manege wuli wu-na supaya beri-1JMK-G padat bulir buah-3TG-G mandapo pola ro-na berpelukan batang daun-3TG-G ‘Supaya memberikan kami padi yang bulir dan buahnya padat serta batang dan daun yang rimbun’ (PRA/1-13)
(7)
Tana pa-nokoto-ngga-ni a-manege wuli supaya KAUS-beri-1TG-D-3TG-D 3JMK-REL-padat bulir a-mandapo pola 3JMK-REL-berpelukan batang ‘Supaya memberikan saya dan dia bulir padi yang padat dan batang yang rimbun’ (PRA/1-18)
(8)
Tana na-manege-ki-bha-nggama supaya 3TG-N-padat-REF-3JMK-ASP-1JMK-G ‘Supaya bulir padi yang kami miliki padat’ (TAN/5A-10)
wuli-na bulir-3TG-G
Tana na-mandapo-ki-bha-nggama supaya 3TG-N-berpelukan-REF-3JMK-ASP-1JMK-G ‘Supaya batang padi yang kami miliki rimbun’ (TAN/5A-11) (9)
Tana a-manege-nggama supaya 3JMK-N-rimbun-1JMK-G ‘Supaya bulir dan buah padi padat’ (TAN/8-12)
wuli bulir
Tana a-mandapo-nggama supaya 3JMK-N-berpelukan-1JMK-G ‘Supaya batang dan daun padi rimbun’ (TAN/8-13)
pola-na batang-3TG-G
wu-na buah-3TG-G
pola batang
ro-na daun-3TG-G
Dalam data (6--9) di atas terdapat penggunaan adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’, bentuk a-manege ‘yang padat’ dan a-mandapo ‘yang berpelukan’, bentuk na-manege-ki-bha-nggama ‘dia yang padat untuk diri
113
kami’ dan na-mandapo-ki-bha-nggama ‘dia yang berpelukan untuk diri kami’, serta bentuk a-manege-nggama ‘mereka milik kami yang padat’ dan a-mandaponggama ‘mereka milik kami yang berpelukan’. Berdasarkan empat cuplikan tuturan di atas, adjektiva manege ‘padat’ selalu menyertai nomina wuli ‘bulir’ dan wu ‘buah’, sedangkan mandapo ‘berpelukan’ menyertai nomina pola ‘batang’ dan ro ‘daun’. Adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’ dalam data (6) tidak dilekati oleh pemarkah. Dalam data (7) adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’ dilekati oleh klitik pronomina relatif ketiga jamak a- di posisi awal. Klitik pronomina relatif ketiga jamak a- bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina subjek yang tidak disebutkan dalam tuturan. Adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’ dalam data (8) dibubuhi oleh klitik pronomina persona ketiga tunggal na-, pemarkah refleksif -ki, klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha-, dan klitik pronomina persona pertama jamak -nggama. Klitik pronomina persona ketiga tunggal na- bersifat eksoforis karena merujuk kepada nomina subjek yang berada di luar tuturan. Pemarkah refleksif -ki- menegaskan diri penutur. Klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha- bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina objek wuli-na ‘bulirnya’ dan pola-na ‘batangnya’. Klitik pronomina pertama jamak -nggama merujuk kepada penutur yang mewakili peladang. Penggunaan Klitik pronomina pertama jamak -nggama dipilih untuk menggantikan klitik pronomina pertama tunggal.
114
Adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’ dalam data (9) dibubuhi oleh klitik pronomina persona ketiga jamak a- dan klitik pronomina persona pertama jamak -nggama. Klitik pronomina persona ketiga jamak abersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina pare ‘padi’ di luar tuturan, sedangkan klitik pronomina persona pertama jamak -nggama merujuk silang kepada penutur yang mewakili peladang. Di antara kedua bentuk, yaitu adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’, bentuk yang menarik adalah verba mandapo yang bermakna ‘berpelukan’. Verba mandapo ‘berpelukan’ adalah contoh metafora antropomerfis yang memetaforakan batang dan daun padi seperti manusia yang saling berpelukan. Sehubungan dengan itu, makna yang tercermin dalam verba tersebut adalah batang dan daunnya rimbun. Berdasarkan pengamatan keempat data di atas, konstruksi teks dengan adjektiva manege ‘padat’ dan verba mandapo ‘berpelukan’ mengalami pelesapan subjek yang merupakan argumen predikat, sehingga dapat disimpulkan bahwa klitik pronomina persona ketiga jamak a- dan klitik pronomina persona ketiga tunggal na- secara deiktis merujuk silang kepada padi yang tidak disebutkan dalam tuturan. Berikut ini adalah contoh penggunaan verba ngandi ‘bawa’ dan gabungan kata wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’. (10)
Bha-ngandi-ya wei huhu wei 3JMK-ASP-bawa-3TG-A air susu air ‘Mereka sudah membawa bibit padi’ (PRA/3-2)
baba pangkuan
115
Data di atas ditemukan dalam tuturan persiapan tempat bibit. Dalam cuplikan data di atas terdapat penggunaan bentuk bha-ngandi-ya ‘mereka sudah membawanya’ yang didampingi oleh ungkapan wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’. Bentuk bha-ngandi-ya ‘mereka sudah membawanya’ dalam data (10) di atas terdiri atas verba ngandi ‘bawa’, klitik pronomina keaspekan ketiga jamak bha-, dan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya. Klitik pronomina keaspekan bha- yang melekat pada posisi awal verba ngandi ‘bawa’ bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada subjek tertentu, sedangkan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya yang melekat pada posisi akhir verba ngandi ‘bawa’ bersifat kataforis yang merujuk silang kepada nomina objek di belakangnya, yaitu wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’. Jadi, klitik pronomina ketiga tunggal ya secara langsung merujuk silang kepada bibit padi yang diwakili ungkapan wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’. Berikut ini adalah contoh data dengan menggunakan bentuk na-paheba ‘dia membawa di pinggang’ dan na-paloro ‘dia menggendong di punggung’. (11)
Na-paheba a kale-na 3TG-N-membawa di pinggang ART kiri-3TG-G ‘Padi bertunas banyak di bagian kirinya’ (PARA/3-6) Na-paloro a kawana-na 3TG-N-menggendong di punggung ART kanan-3TG-G ‘Padi bertunas banyak di bagian kanannya’ (PRA/3-7)
Dalam data (11) di atas terdapat penggunaan bentuk na-paheba ‘dia membawa di pinggang’ dan na-paloro ‘dia menggendong di punggung’. Bentuk na-paheba ‘dia membawa di pinggang’ dan na-paloro ‘dia menggendong di
116
punggung’ terdiri atas verba paheba ‘membawa di pinggang’, verba paloro ‘menggendong di punggung’, dan klitik pronomina persona ketiga tunggal na-. Klitik pronomina persona ketiga tunggal na- yang dibubuhkan di depan verba bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina subjek yang tidak disebutkan dalam tuturan. Klitik tersebut merujuk kepada padi yang diperjelas dengan keberadaan a kale-na ‘kirinya’ dan a kawana-na ‘kanannya’. Dengan demikian, pemarkah na- secara deiktis merujuk kepada padi yang diperjelas lagi dengan adanya nomina kalena ‘kirinya’ dan kawana ‘kanannya’. Teks na-paheba a kale-na ‘padi bertunas banyak di bagian kirinya’ dan napaloro a kawana-na ‘padi bertunas banyak di bagian kanannya’ adalah contoh teks berpola P-O. Predikat ditandai dengan penggunaan na-paheba ‘dia membawa di pinggang’ dan na-paloro ‘dia menggendong di punggung’ dan objek ditandai dengan penggunaan a kalena ‘kirinya’ dan a kawana ‘kanannya’. Predikat sebagai konstituen induk dilekati oleh pemarkah-pemarkah yang merujuk silang kepada argumen predikat yang berupa subjek dan objek. Pada data (11) terjadi pelesapan argumen predikat yang berupa subjek yang dirujuk silang oleh pemarkah klitik pronomina persona na-. Hal tersebut menandakan bahwa penutur berusaha untuk menjelaskan kehadiran nomina subjek dengan menghadirkan klitik pronomina berkasus nominatif na- di posisi awal verba. Penutur dalam menyampaikan tuturan ini menonjolkan nomina subjek yang ditandai dengan klitik pronomina persona na- berada dalam keadaan na-paheba ‘dia membawa di pinggang’ dan na-paloro ‘dia menggendong di punggung’ dan diperjelas dengan nomina a kalena ‘kirinya’ dan a kawana ‘kanannya’.
117
Verba paheba ‘membawa di pinggang’ dan paloro ‘menggendong di punggung’ adalah verba yang mengandung metafora antropomorfis yang mengasosiasikan tanaman padi dengan manusia yang memiliki pinggang dan punggung. Verba paheba ‘membawa di pinggang’ dan paloro ‘menggendong di punggung’ diperjelas dengan adanya frase nomina a kalena ‘kirinya’ dan a kawana ‘kanannya’ yang bermakna bertunas banyak di bagian kiri dan kanan tanaman padi. Berikut ini adalah contoh penggunaan verba ta ‘simpan’. (12)
Ta-ngo-ya-ka la tilu simpan-PEN-3TG-A-PEN PREP pinggir la londo wu pa-wini PREP duduk NUM KAUS-bibit ‘Menanam padi di ladang’ (TAN-5A-6)
wu patuku NUM patuk
(13)
Ta-wa-ndi kabambango mboro kabambango panda simpan-DEF-3JMK-D lumbung lontar lumbung pandan ‘Menyimpan padi dalam lumbung lontar dan pandan’ (PAS/16A-2)
(14)
Tana na-ta-wa-bha-ndi-ka supaya 3TG-N-simpan-DEF-3JMK-ASP-3JMK-D-PEN bhoko panda-na bhoko mboro-na lumbung pandan-3TG-G lumbung lontar-3TG-G ‘Supaya dia menyimpan padi dalam lumbung pandan dan lumbung lontar’ (PAS/14B-7)
Dalam data (12--14) di atas terdapat penggunaan bentuk tango-ya-ka ‘menyimpannya’, ta-wa-ndi ‘menyimpan mereka’, dan na-ta-wa-bha-ndi-ka ‘dia menyimpan mereka’. Bentuk-bentuk di atas terdiri atas verba ta ‘simpan’ yang merupakan kependekan dari tayo ‘simpan’. Verba ta ‘simpan’ selalu didampingi oleh nomina tempat, yaitu tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘di pinggir patuk dan
118
batu tempat persembahan’, kabambango mboro kabambango panda ‘lumbung lontar dan lumbung pandan’, dan bhoko mboro bhoko panda ‘lumbung lontar dan lumbung pandan’. Verba ta ‘simpan’ dalam data (12) dilekati oleh pemarkah penegas -ngo-, klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya-, dan penegas -ka di posisi akhir. Pemarkah -ngo- berfungsi untuk menegaskan verba. Klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya- dan pemarkah penegas -ka bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina objek yang tidak disebutkan dalam tuturan. Data ta-ngo-ya-ka la tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘menanam padi di ladang’ adalah contoh teks berpola P-K. Predikat ditandai dengan penggunaan tango-ya-ka ‘menyimpannya’ dan keterangan ditandai dengan penggunaan frase preposisional la tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘di pinggir patuk dan batu tempat persembahan’ yang terdiri atas preposisi la ‘di’ dan nomina tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘di pinggir patuk dan batu tempat persembahan’. Predikat sebagai konstituen induk dilekati oleh pemarkah-pemarkah yang merujuk silang kepada argumen predikat yang berupa subjek dan objek. Pada data (12) terjadi pelesapan argumen predikat yang berupa subjek yang tidak disertai dengan hadirnya klitik pronomina persona berkasus nominatif dan pelesapan argumen predikat berupa objek yang dirujuk silang oleh klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya- dan pemarkah penegas -ka. Hal tersebut menandakan bahwa penutur tidak mementingkan atau menonjolkan kehadiran nomina subjek. Penutur dalam menyampaikan tuturan ini menonjolkan pekerjaan yang ditandai dalam predikat tango-ya-ka ‘menyimpannya’ dan menjelaskan bahwa yang dikenai pekerjaan
119
adalah nomina objek yang ditandai dengan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya- dan pemarkah penegas -ka. Dalam data (13) terdapat verba ta ‘simpan’ dilekati oleh pemarkah definit wa- dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi di posisi akhir. Pemarkah definit -wa- bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina yang jauh dengan penutur. Klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi bersifat eksoforis yang merujuk silang kepada nomina di luar tuturan. Dalam data (14) verba ta ‘simpan’ dibubuhi oleh klitik pronomina persona ketiga tunggal na-, pemarkah definit -wa-, klitik pronomina keaspekan -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka. Klitik pronomina persona ketiga tunggal na- mengacu kepada nomina subjek. Pemarkah definit -wa- bersifat eksoforis untuk menegaskan kedefinitan nomina yang mengacu kepada nomina yang jauh dari penutur. Klitik pronomina keaspekan bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka bersifat eksoforis yang mengacu kepada nomina yang tidak disebutkan dalam tuturan. Tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘pinggir patuk dan batu tempat persembahan’, kabambango mboro kabambango panda ‘lumbung lontar dan lumbung pandan’, dan bhoko mboro bhoko panda ‘lumbung lontar dan lumbung pandan’ termasuk nomina tempat. Gabungan kata tilu wu patuku terdiri atas nomina tilu ‘pinggir’, numeralia wu ‘sebuah’, dan nomina patuku ‘patuk’. Gabungan kata londo wu pa-wini ‘sebuah batu tempat persembahan’ terdiri atas verba intransitif londo ‘duduk’, numeralia wu ‘sebuah’, dan verba pa-wini
120
‘berbibit’. Tilu wu patuku londo wu pa-wini ‘pinggir patuk dan batu tempat persembahan’merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya. Ladang sebagai tempat menanam padi secara tradisional terdapat patuk dan batu persembahan. Gabungan kata kabambango mboro ‘lumbung lontar’ dan kabambango panda ‘lumbung pandan’ pada data (13) terdiri atas nomina kabambango ‘lumbung’, nomina mboro ‘lontar’, dan nomina panda ‘pandan’. Kedua gabungan kata tersebut merupakan frase nominal yang terdiri atas nomina kabambango ‘lumbung’ sebagai pusat, mboro ‘lontar’ dan panda ‘pandan’ sebagai atribut. Gabungan kata bhoko mboro-na ‘lumbung lontarnya’ dan bhoko panda-na ‘lumbung pandannya’ dalam data (14) terdiri atas nomina bhoko ‘lumbung’, nomina mboro ‘lontar’, dan nomina panda ‘pandan’. Gabungan kata tersebut dilekati oleh klitik pronomina ketiga tunggal -na. Kabambango dan bhoko adalah sebutan
lain
untuk
lumbung
yang
dibedakan
berdasarkan
ukurannya.
Kabambango adalah lumbung besar, sedangkan bhoko adalah lumbung kecil. Bhoko bisa menampung 45--150 kg, sedangkan kabambango bisa menampung 300--675 kg. Berdasarkan tiga data di atas, terjadi pelesapan objek, sehingga dapat disimpulkan bahwa klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya-, pemarkah definit -wa-, klitik pronomina keaspekan -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka secara deiktis merujuk kepada nomina padi yang tidak disebutkan dalam tuturan yang ditanam di ladang dan disimpan di lumbung.
121
Berikut ini adalah penggunaan verba woka dan tondo yang sama-sama bermakna ‘tanam’. (15)
Woka-nggu-hi-ka tanam-1TG-G-3JMK-A-PEN ‘Menanam padi’ (TAN/6B-4)
pare padi
Tondo-ka a wini tanam-PEN ART bibit ‘Menanam padi’ (TAN/6B-5) (16)
Woka pare tondo wini tanam padi tanam bibit ‘Menanam padi dan bibit’ (TAN/7B-3)
Dalam data (15) di atas terdapat bentuk woka-nggu-hi-ka ‘menanam semua milikku’ dan bentuk tondo-ka ‘menanam’, sedangkan dalam data (16) terdapat verba woka ‘tanam’ dan tondo ‘tanam’ yang tidak dilekati oleh pemarkah apa pun. Apabila kedua data di atas dibandingkan, verba woka ‘tanam’ menyertai nomina pare ‘padi’, sedangkan verba tondo ‘tanam’ menyertai nomina wini ‘bibit’. Bentuk woka-nggu-hi-ka ‘menanam semua milikku’ terdiri atas verba woka ‘tanam’, klitik pronomina persona pertama tunggal -nggu, klitik pronomina persona ketiga jamak -hi, dan pemarkah penegas -ka di posisi akhir. Klitik pronomina persona pertama tunggal -nggu merujuk kepada penutur. Klitik pronomina persona ketiga jamak -hi dan pemarkah penegas -ka bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina pare ‘padi’ yang berada di belakang verba woka ‘tanam’. Bentuk tondo-ka ‘menanam’ terdiri atas verba tondo ‘tanam’ dan pemarkah penegas -ka yang bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina
122
berikutnya, yaitu wini ‘bibit’. Jadi, pronomina persona ketiga jamak -hi dan pemarkah penegas -ka bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina pare ‘padi’ dan pemarkah penegas -ka yang bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina wini ‘bibit’. Berikut ini adalah contoh penggunaan verba noto ‘kena’ dan gene ‘kena’ didampingi oleh gabungan kata nomina tempat ndalu tana ‘lembah tanah’ hoho watu ‘celah batu’ dan ndalu tana mete ‘lembah tanah hitam’ boha watu kaka ‘celah batu putih’. (17)
Pa-noto-ni ndalu KAUS-kena-3TG-D lembah ‘Menanamnya di ladang’ (TAN/7B-5) Pa-gene-ni hoho KAUS-kena-3TG-D celah ‘Menanamnya di ladang’ (TAN/7B-6)
(18)
tana tanah
watu batu
Tana pa-noto-wa-ndi la ndalu tana mete supaya KAUS-kena-DEF-3JMK-D PREP lembah tanah hitam ‘supaya menanamnya di ladang’ (PAS/22-6) Tana pa-gene-wa-ndi la Supaya KAUS-kena-DEF-3JMK-D PREP ‘Supaya menanamnya di ladang’ (PAS/22-7)
(19)
boha celah
watu batu
tana tanah
mete hitam
Bhana-noto-do-ngo boha watu kaka 3TG-ASP-kena-REF-PEN celah batu putih ‘Mereka sudah menanamnya di ladang’ (TAN/11-7) Bhana-gene-do-ngo la ndalu 3TG-ASP-kena-REF-PEN PREP lembah ‘Mereka sudah menanamnya di ladang’ (TAN/11-8)
kaka putih
123
Dalam data (17--19) di atas terdapat bentuk pa-noto-ni ‘mengenakannya’, pa-gene-ni ‘mengenakannya’, pa-noto-wa-ndi ‘mengenakan mereka’, pa-genewa-ndi ‘mengenakan mereka’, bhana-noto-do-ngo ‘sudah mengenakannya’, dan bhana-gene-do-ngo ‘sudah mengenakannya’. Berdasarkan data di atas, verba noto ‘kena’ dan gene ‘kena’ didampingi oleh gabungan kata nomina tempat ndalu tana ‘lembah tanah’ hoho watu ‘celah batu’ dan ndalu tana mete ‘lembah tanah hitam’ boha watu kaka ‘celah batu putih’. Gabungan kata yang termasuk nomina tempat di atas merujuk kepada ladang sebagai tempat ditanaminya padi. Ndalu tana ‘lembah tanah’ terdiri atas nomina ndalu ‘lembah’ dan nomina tana ‘tanah’, sedangkan hoho watu ‘celah batu’ terdiri atas nomina hoho ‘celah’ dan nomina watu ‘batu’. Gabungan kata berikutnya yang merujuk kepada ladang adalah boha watu kaka ‘celah batu putih’ dan ndalu tana mete ‘lembah tanah hitam’. Boha watu kaka ‘celah batu putih’ terdiri atas nomina boha ‘celah’, nomina watu ‘batu’, dan adjektiva kaka ‘putih’, sedangkan ndalu tana mete ‘lembah tanah hitam’ terdiri atas nomina ndalu ‘lembah’, nomina tana ‘tanah’, dan adjektiva mete ‘hitam’. Ndalu tana hoho watu dan boha watu kaka ndalu tana mete adalah ungkapan yang tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsurunsur pembentuknya. Lembah tanah atau lembah tanah putih dan celah batu atau celah batu putih dipandang sebagai tempat yang subur tempat menanam bibit padi, yaitu ladang. Bentuk pa-noto-ni ‘mengenakannya’dan pa-gene-ni ‘mengenakannya’ pada data (17) terdiri atas verba noto ‘kena’ dan verba gene ‘kena’ yang dibubuhi oleh pemarkah kausatif pa- dan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ni. Pemarkah
124
kausatif pa- mengubah verba intransitif menjadi verba transitif. Klitik pronomina persona ketiga tunggal -ni bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina yang berada di luar tuturan. Bentuk
pa-noto-wa-ndi
‘mengenakan
mereka’
dan
pa-gene-wa-ndi
‘mengenakan mereka’ terdiri atas verba noto ‘kena’ dan verba gene ‘kena’ yang dibubuhi oleh pemarkah kausatif pa- di posisi awal, pemarkah definit -wa-, dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi di posisi akhir. Pemarkah kausatif paberfungsi untuk mengubah verba intransitif menjadi verba transitif. Pemarkah definit -wa- dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina di luar tuturan. Bentuk bhana-noto-do-ngo ‘sudah mengenakannya’ dan bhana-gene-do-ngo ‘sudah mengenakannya’ terdiri atas verba noto ‘kena’ dan verba gene ‘kena’ yang dibubuhi oleh klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhana-, klitik pronomina refleksif -do-, dan pemarkah penegas -ngo. Klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhana- merujuk kepada nomina subjek. Klitik pronomina refleksif -do- menegaskan nomina untuk diri subjek. Pemarkah penegas -ngo menegaskan pekerjaan yang dijelaskan oleh verba. Berdasarkan penjelasan
di
‘mengenakannya’,
atas,
bentuk
pa-noto-ni
pa-noto-wa-ndi
‘mengenakannya’,
‘mengenakan
mereka’,
pa-gene-ni
pa-gene-wa-ndi
‘mengenakan mereka’, bhana-noto-do-ngo ‘sudah mengenakannya’, dan bhanagene-do-ngo ‘sudah mengenakannya’ bermakna menanam. Pemarkah yang secara eksoforis merujuk kepada nomina objek padi yang mengalami pelesapan dalam
125
konstruksi teks, antara lain -ni, -wa-, -ndi, dan -do. Keempat pemarkah ini secara deiktis merujuk kepada nomina pare ‘padi’ yang berada di luar tuturan. Berikut ini adalah contoh penggunaan bentuk rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’. (20)
Bhana-rara a 3TG-ASP-menguning ART ‘Sudah menguning daunmu’ (TAN/9-3)
ro-mu daun-2TG-G
Bhana-madhu a wu-mu 3TG-ASP-berisi ART buah-2TG-G ‘Sudah berisi buahmu’ (TAN/9-4) (21)
Rara-ka ro-na menguning-PEN daun-3TG-G ‘Menguninglah daunnya’ (PAS/14B-1) Madhu-ka wu-na berisi-PEN buah-3TG-G ‘Berisilah buahnya’ (PAS/14B-2)
(22)
Na-rara-ka a 3TG-REL-menguning-PEN ART ‘Yang menguning daunnya’ (PAS/15B-1) Na-madhu-ka 3TG-REL-berisi-PEN ‘Yang berisi buahnya’ (PAS/15B-2)
a ART
ro-na daun-3TG-G
wu-na buah-3TG-G
Dalam data (20--22) di atas terdapat bentuk bhana-rara ‘sudah menguning’, bhana-madhu ‘sudah berisi’, rara-ka ‘menguning’, madhu-ka ‘berisi’, na-rara-ka ‘yang menguning’, dan na-madhu-ka ‘yang berisi’. Secara harfiah, rara berarti
126
kuning termasuk ke dalam kategori adjektiva dan madhu berarti tua yang juga masuk ke dalam kategori adjektiva. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan konteks tuturan seperti dalam data di atas, bentuk rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’ tergolong verba intransitif. Verba rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’ dalam data di atas menyertai nomina ro ‘daun’dan wu ‘buah’. Dalam data (20) verba rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’ dilekati oleh klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhana- bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina subjek. Verba rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’ dalam data (21) dilekati oleh pemarkah penegas -ka yang menegaskan nomina yang mengikutinya, yaitu ro-na ‘daunnya’ dan wu-na ‘buahnya’, sedangkan dalam data (22) rara ‘menguning’ dan madhu ‘berisi’ dibubuhi oleh klitik pronomina relatif ketiga tunggal na- dan pemarkah penegas -ka. Klitik pronomina relatif na- bersifat eksoforis yang menjelaskan nomina subjek yang tidak disebutkan dalam tuturan. Pemarkah penegas -ka yang menegaskan nomina yang mengikutinya, yaitu a ro-na ‘daunnya’ dan a wu-na ‘buahnya’. Berdasarkan tiga data di atas, pada data (20) dan (22) terjadi pelesapan subjek yang dirujuk oleh klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhana- dan klitik pronomina relatif ketiga tunggal na-. Pemarkah yang secara deiktis merujuk kepada nomina pare ‘padi’ yang daunnya menguning dan berisi buahnya, antara lain klitik pronomina keaspekan bhana-, pemarkah penegas -ka, dan klitik pronomina relatif na-. Berikut ini adalah penggunaan bentuk deta ‘naik’ dan wuti ‘muat’. (23)
Tana pa-deta menge ro-na supaya KAUS-naik sudah daun-3TG-G ‘Supaya menaikkan semua daunnya’ (PAS/13A-5)
127
Tana wuti menge pola-na supaya muat sudah batang-3TG-G ‘Supaya memuat semua batangnya’ (PAS/13A-6)
Dalam data (23) di atas terdapat bentuk pa-deta ‘menaikkan’ dan wuti ‘muat’. Verba deta ‘naik’ tergolong verba intransitif. Verba deta ‘naik’ dilekati oleh pemarkah kausatif pa- sehingga berarti ‘menaikkan’. Verba deta ‘naik’ menyertai nomina ro ‘daun’ dan verba wuti ‘muat’ menyertai nomina pola ‘batang’. Jika dimaknai secara harfiah, padeta menge pola-na dan wuti menge rona berarti menaikkan dan memuat semua batang dan daunnya. Dalam konteks panen, yang dipotong adalah bulir padi bukannya batang dan daun. Nomina pola ‘batang’ dan ro ‘daun’ itu mewakili bulir padi secara keseluruhan. Berikut ini adalah penggunaan verba nduki ‘tiba’. (24)
Tana nduki-ki-bha-ndi-ka supaya tiba-REF-3JMK-ASP-3JMK-D-PEN ‘Supaya menuang padi di lumbung lontar’ (PAS/15B-6)
ha-kabambango mboro NUM-JMK-lumbung lontar
(25)
Nduki-wa-ki-ndi ha-kabambango mboro tiba-DEF-REF-3JMK-D NUM-JMK-lumbung lontar ha-kabambango panda NUM-JMK-lumbung pandan ‘Supaya menuang padi di lumbung lontar dan lumbung pandan’ (PAS/17A-7)
(26)
Nduki-ndi-ka ha-kabhambango mboro tiba-3JMK-D-PEN NUM-JMK-lumbung lontar ha-kabambango panda NUM-JMK-lumbung pandan ‘Menuang padi di lumbung lontar dan lumbung pandan’ (PAS/19A-2)
128
Dalam data (24--26) di atas terdapat penggunaan bentuk nduki-ki-bha-ndi-ka ‘menuang mereka untuk dirinya’, nduki-wa-ki-ndi ‘menuang mereka untuk dirinya’ dan nduki-ndi-ka ‘menuang mereka’. Verba nduki ‘tiba’ dalam cuplikan teks di atas selalu menyertai nomina kabambango mboro ‘lumbung lontar’ dan kabambango panda ‘lumbung pandan’. Verba nduki ‘tiba’ dalam data (24) dilekati oleh klitik pronomina refleksif -ki-, klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka. Klitik pronomina refleksif -ki- menegaskan penutur. Klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina yang tidak disebutkan dalam tuturan. Verba nduki ‘tiba’ dalam data (25) dibubuhi pemarkah definit -wa-, klitik pronomina refleksif -ki-, dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi. Klitik pronomina refleksif -ki- merujuk kepada penutur. Pemarkah definit -wa- dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina di luar tuturan. Verba nduki ‘tiba’ dalam data (26) dibubuhi oleh klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi- dan pemarkah penegas -ka. Klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi- dan pemarkah penegas -ka bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina di luar tuturan. Pemarkah definit -wa-, klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi-, dan pemarkah penegas -ka secara deiktis merujuk kepada pare ‘padi’ yang tidak disebutkan dalam tuturan.
129
Berikut ini adalah contoh penggunaan verba dheke ‘ambil’. (27)
Mi-ndeke-ki-ngo-ya-ka 2JMK-N-ambil-REF-PEN-3TG-A-PEN wei huhu wei baba air susu air pangkuan ‘Kalian mengambil padi’ (PAS/15B-11)
(28)
La ndeke-wa-ndi a pare pergi ambil-DEF-3JMK-D ART padi ‘Pergi dan ambillah padi di lumbung’ (PAS/20A-1)
la bhinya loko PREP pintu sungai
La ndeke-wa-ndi a wini la mata pergi ambil-DEF-3JMK-D ART bibit PREP mata ‘Pergi dan ambillah padi di lumbung’ (PAS/20A-2)
rende air
Dalam data (27 dan 28) di atas terdapat mi-dheke-ki-ngo-ya-ka ‘kalian mengambilnya untuk diri kalian’ dan ndeke-wa-ndi ‘mengambil mereka’. Verba dheke ‘ambil’ dalam data (27) disertai oleh nomina wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’. Verba dheke ‘ambil’ dibubuhi oleh klitik pronomina persona kedua jamak mi-, klitik pronomina refleksif -ki-, pemarkah penegas -ngo-, klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya-, dan pemarkah penegas -ka. Klitik pronomina persona kedua jamak mi- dan klitik pronomina refleksif -ki- bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina subjek. Pemarkah penegas -ngo- berfungsi menegaskan verba yang berada di depannya. Klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya- dan pemarkah penegas -ka bersifat kataforis yang merujuk dan menegaskan nomina objek di belakangnya. Verba dheke ‘ambil’ dalam data (28) dibubuhi oleh pemarkah definit -wadan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi. Pemarkah definit -wa- bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina yang jauh dengan penutur yang berada
130
setelah verba, yaitu a wini ‘bibit itu’ dan a pare ‘padi itu’. Klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina a wini ‘bibit itu’ dan a pare ‘padi itu’. Pada data (28) terdapat penggunaan gabungan kata bhinya loko ‘pintu sungai’ dan mata rende ‘mata air’. Bhinya loko ‘pintu sungai’ dan mata rende ‘mata air’ sebutan lain untuk lumbung sebagai tempat untuk mengambil pare ‘padi’ dan wini ‘bibit’. Bhinya loko ‘pintu sungai’ dan mata rende ‘mata air’ adalah ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata pembentuknya. Lumbung disamakan dengan sumber mata air (hilir sungai dan mata air). Air adalah sumber kehidupan. Air sangat berharga bagi semua orang umumnya dan orang Kodi khususnya. Lumbung diibaratkan sebagai sumber kehidupan karena lumbung adalah tempat padi disimpan sebagai sumber penghidupan orang Kodi. Klitik pronomina persona ketiga tunggal -ya-, pemarkah penegas -ka, pemarkah definit -wa-, dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina wei huhu wei baba ‘air susu air pangkuan’, a wini ‘bibit itu’, dan a pare ‘padi itu’. (29)
Tana dagha-wa-ndi koni supaya menjaga-DEF-3JMK-D NOM la tilu wu patuku KONJ pinggir NUM patuk ‘Supaya menjaga padi di ladang’ (Tan/11-5)
wu NUM
kaniha satu
131
(30)
Tana uruho-wa-ndi mbiri ndandi supaya menjaga-DEF-3JMK-D NOM lahir la londo wu pa-wini KONJ duduk NUM KAUS-bibit ‘Supaya menjaga padi di ladang’ (2-OTP-6)
peha tunggal
Dalam data (29 dan 30) di atas terdapat penggunaan verba dagha ‘jaga’ dan uruho ‘jaga’ dan gabungan kata koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’. Verba dagha ‘jaga’ dan uruho ‘jaga’ dilekati oleh pemarkah definit -wa dan klitik pronomina persona ketiga jamak ndi. Pemarkah definit -wa- bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina yang jauh dengan penutur yang berada setelah verba dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi yang merujuk kepada padi yang direalisasikan dalam satuan lingual koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’. Berikut ini adalah penggunaan gabungan kata handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ dan kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’. (31)
La ngali-baka handana tumba wini pergi ambil-PEN cendana NOM bibit kalidi lara hada nyiru jalan keramat ‘Pergi dan ambillah padi di tempat bibit dan nyiru yang dikeramatkan’ (PAS/14B-4)
(32)
Handana tumba wini kalidi lara hada cendana NOM bibit nyiru jalan keramat biha mono mandiwongo keramat KONJ keramat ‘Tempat bibit dan nyiru adat yang keramat’ (PRA/3-1)
132
Dalam data (31 dan 32) di atas terdapat gabungan kata handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ dan kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’. Gabungan kata handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ terdiri atas nomina handana ‘cendana’, nomina tumba ‘tempat padi yang berukuran sedang’, dan nomina wini ‘bibit’. Gabungan kata kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’ terdiri atas nomina kalidi ‘nyiru’, nomina lara ‘jalan’, dan adjektiva hada ‘keramat’. Gabungan kata handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ dan kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’ termasuk kata majemuk
karena
maknanya
dapat
ditelusuri
langsung
dari
kata-kata
pembentuknya. Handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ adalah sebuah wadah atau tempat yang terbuat dari anyaman pandan yang digunakan sebagai tempat bibit padi yang berbau harum seperti cendana. Yang menarik dari handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ adalah bau harum yang dihasilkan dari cendana yang diikat di dalam anyaman tumba ‘tempat padi yang berukuran sedang’. Cendana digosok agar menghasilkan tepung, tepung cendana dibungkus dan dimasukkan ke anyaman terakhir tempat bibit ini. Peletakan cendana oleh peladang dimaksudkan agar bibit padi yang akan digunakan sebagai bibit untuk tanam menjadi harum seperti cendana. Kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’ digunakan untuk menyebut nyiru adat dalam tuturan kepadian. Setelah dicermati dan ditanyakan kepada narasumber, lara hada adalah motif anyaman nyiru yang berseling dua. Handana tumba wini ‘tempat bibit yang dikeramatkan’ dan kalidi lara hada ‘nyiru yang dikeramatkan’ adalah benda
133
keramat yang hanya dikeluarkan saat diperlukan. Kedua benda ini diletakkan di sudut rumah bagian atas. (33)
Hungga tana biha rambut di depan tanah keramat lindu tana hari belahan rambut tanah keramat ‘Batu tempat persembahan dan jalan tempat lewatnya arwah-arwah’ (TAN/4A-8)
Dalam cuplikan data di atas terdapat gabungan kata hungga tana biha ‘batu tempat persembahan’ dan lindu tana hari ‘jalan tempat lewatnya arwah-arwah’. Hungga tana biha ‘batu tempat persembahan’ terdiri atas nomina hungga ‘rambut di depan’, nomina tana ‘tanah’, dan adjektiva biha ‘keramat’. Hungga tana biha ‘batu tempat persembahan’adalah sebutan untuk watu kareka ‘marapu di ladang’. Hungga tana biha ‘batu tempat persembahan’ adalah ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya. Watu kareka ‘marapu di ladang’ secara fisik berupa batu yang disusun di ladang yang berfungsi menjaga tanaman padi saat siang dan malam. Gabungan kata lindu tana hari ‘jalan tempat lewatnya arwah-arwah’ terdiri atas nomina lindu ‘belahan rambut’, nomina tana ‘tanah’, dan adjektiva hari ‘keramat’. Lindu tana hari ‘jalan tempat lewatnya arwah-arwah’ bermakna jalan menuju ke watu kareka ‘marapu di ladang’ atau ladang. Lindu tana hari ‘jalan tempat lewatnya arwah-arwah’ adalah ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya. Lindu tana hari ‘jalan tempat lewatnya arwah-arwah’ berfungsi sebagai jalan tempat lewatnya arwaharwah yang ingin memasuki ladang dan sebelum masuk ke ladang, arwah-arwah tersebut dijaga oleh watu kareka ‘marapu di ladang’.
134
(34)
Bhuri-ka bhali-ya siram-PEN simpan-3TG-A a ari-mu a ana-mu ART adik-2TG-G ART anak-2TG-G ‘Tuang dan simpanlah untuk lumbung-lumbung berikutnya’ (3-BK/1A-1)
Tuturan (34) di atas diucapkan saat pengisian padi ke dalam lumbung. Gabungan kata yang menarik dalam tuturan di atas adalah a ari-mu a ana-mu ‘adikmu dan anakmu’. Gabungan kata a ari-mu a ana-mu ‘adikmu dan anakmu’dalam data di atas merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata pembentuknya. Gabungan kata a ari-mu a ana-mu ‘adikmu dan anakmu’ bukanlah merujuk kepada adik dan anak peladang, tetapi merujuk kepada lumbung-lumbung berikutnya karena tidak hanya satu lumbung yang diisi, tetapi banyak lumbung yang masih menunggu untuk diisi. Tuturan ini terus diucapkan hingga lumbung yang terakhir. Peladang percaya bahwa dengan mengucapkan tuturan tersebut hasil padi yang mereka tuang ke lumbung menjadi banyak hingga ke lumbung-lumbung berikutnya. Data di bawah ini menunjukkan sebutan lain untuk lumbung selain ungkapan a ari-mu a ana-mu ‘adikmu dan anakmu’. Berikut ini adalah penggunaan gabungan kata kapore panda kaka ‘wereng putih’ dan pare mate geha ‘hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’ (35)
Tana amba kapore panda supaya jangan wereng pandan kaka-nggama-ni a pare putih-1JMK-G-3TG-D ART padi ‘Supaya jangan ada wereng putih yang menyerang padi’ (TAN/8-3)
135
(36)
Tana amba pare mate geha a pare supaya jangan pare mati layu kehitaman ART padi ‘Supaya tidak ada hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’ (TAN/8-9)
Dalam data (35) dan (36) di atas terkandung gabungan kata yang merujuk pada hama pengganggu tanaman padi, yaitu kapore panda kaka ‘wereng putih’ dan pare mate geha ‘hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’. Gabungan kata kapore panda kaka ‘wereng putih’ dan pare mate geha ‘hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’ merupakan kata majemuk karena maknanya dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuk gabungan kata tersebut. Gabungan kata kapore panda kaka ‘wereng putih’ dalam data (35) terdiri atas nomina kapore ‘wereng’, nomina panda ‘pandan’, dan adjektiva kaka ‘putih’. Gabungan kata tersebut dibubuhi klitik pronomina persona pertama jamak -nggama yang merujuk kepada penutur dan klitik persona pronomina ketiga tunggal -ni yang kepada nomina a pare ‘padi itu’. Pare mate geha ‘hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman’ dalam data (36) terdiri atas nomina pare ‘padi’, verba mate ‘mati’, dan adjektiva geha ‘layu kehitaman’. Berikut ini adalah metafora kepadian dalam bentuk metafora antropomorfis yang memetaforakan dewi padi dengan manusia. (37)
Bhana-banaho ate-mu 3TG-ASP-panas hati-2TG-G ‘Dia sudah membuat dirimu marah’ (TAN/10-2)
136
Bhana-maremoko a longge-mu 3TG-ASP-terjilat api ART rambut-2TG-G ‘Sudah terjilat api rambutmu’ (TAN/10-3) (38)
Pa-iho-ya ihi-mu KAUS-mandi-3TG-A badan-2TG-G ‘Mandikan badanmu’ (TAN/9-1) Kalapa-ya a longge-mu berkeramas dengan santan kelapa-3TG-A ART rambut-2TG-G ‘Keramaskanlah rambutmu dengan santan kelapa’ (TAN/9-2)
(39)
Tana ambu ngandi-wa-ndi manuhi supaya jangan membawa-DEF-3JMK-D kotoran ‘Supaya jangan membawa kotoran pada dahimu’ (TAN/9-5)
koba mata dahi
Tana ambu lole-wa-ndi araghi supaya jangan membawa-DEF-3JMK-D kotoran tundu bhendengo bagian belakang ‘Supaya jangan membawa kotoran pada bagian belakangmu’ (TAN/9-6)
Data (37--39) di atas adalah bentuk metafora antropomorfis yang mengasosiasikan dewi padi dengan manusia. Dewi padi diasosiasikan memiliki ciri yang sama dengan manusia. Data (37) adalah petikan tuturan untuk memulihkan dewi padi saat padi yang berada di ladang terbakar. Dalam data (37) terdapat kalimat bhana-banaho ate-mu ‘dia sudah membuat dirimu marah’ dan bhana-maremoko a longge-mu ‘sudah terjilat api rambutmu’. Dalam kalimat metaforis di atas terdapat klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhana- yang melekat pada posisi awal. Klitik pronomina keaspekan ketiga tunggal bhanamerujuk kepada nomina subjek dan klitik pronomina persona kedua tunggal -mu
137
yang melekat setelah nomina ate ‘hati’ dan longge ‘rambut’ merujuk kepada nomina yang tidak disebutkan dalam tuturan, yaitu dewi padi. Penggunaan enklitik -mu menandakan adanya unsur kedekatan antara penutur dengan dewi padi sebagai sosok yang diajaknya berbicara. Berdasarkan data di atas, dewi padi memiliki sifat marah seperti manusia saat rambutnya yang berwujud bulir padi terbakar api. Data (38) adalah petikan tuturan pertumbuhan bulir padi. Dalam data (38) terdapat kalimat metaforis pa-iho-ya ihi-mu ‘mandikanlah badanmu’ dan kalapaya a longge-mu ‘keramaskanlah rambutmu dengan santan kelapa’. Dewi padi diasosiasikan memiliki ihi ‘badan’ dan longge ‘rambut’ seperti manusia yang berwujud batang padi dan bulir padi dan membersihkan badan dengan cara iho ‘mandi’ dan membersihkan rambut dengan cara kalapa ‘berkeramas dengan santan kelapa’. Ihi ‘badan’ dan longge ‘rambut’secara nyata terlihat pada batang padi dan bulir padi. Selain itu, dalam data (39) dewi padi juga diasosiasikan memiliki manuhi koba mata ‘kotoran dahi’ dan araghi tundu bhendengo ‘kotoran bagian belakang’ seperti manusia. Dengan demikian, dewi padi dianggap seperti manusia dengan adanya penyamaan ciri fisik seperti longge ‘rambut’, ihi ‘badan’ yang berwujud batang padi dan bulir padi, dan verba intransitif yang berkenaan dengan nomina tersebut, yaitu iho ‘mandi’ dan membersihkan rambut dengan cara kalapa ‘berkeramas dengan santan kelapa’. Berikut ini adalah contoh metafora berikutnya.
138
(40)
Ngara-bha-ka olekedha-mu semua-3JMK-ASP-PEN keluarga-2TG-G na-uto-ni laha mama 3TG-N-pergi-3TG-D makan sirih pinang ‘Ajaklah semua keluargamu untuk pergi makan sirih pinang’ (PAS/12-1)
(41)
Tana mereho manga-ki-bha-ndi-ka supaya besok hadir-REF-3JMK-ASP-3JMK-D-PEN mono mbali-bha-ka la uma la katonga-mu KONJ pulang-3JMK-ASP-PEN PREP rumah PREP balai-balai-POSS-2TG ‘Supaya besok dapat hadir dan pulang ke rumah dan balai-balaimu’ (PAS/12-2)
Tuturan (40) di atas terdapat kalimat ngara-bha-ka olekedha-mu na-uto-ni laha mama ‘ajaklah semua keluargamu pergi untuk makan sirih pinang’. Klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha dan pemarkah penegas -ka bersifat kataforis yang merujuk kepada nomina olekedha ‘keluarga’. Klitik pronomina ketiga tunggal na- bersifat anaforis yang merujuk kepada nomina olekedha ‘keluarga’, sedangkan klitik pronomina persona ketiga tunggal -ni bersifat kataforis yang merujuk kepada mama ‘sirih pinang’. Kalimat di atas memetaforakan dewi padi seperti manusia. Dewi padi diasosiasikan dengan manusia yang memiliki keluarga dan berkumpul dengan keluarga sambil makan sirih pinang. Dalam data (41) terdapat kalimat tana mereho manga-ki-bha-ndi-ka mono mbali-bha-ka la uma la katonga-mu ‘supaya besok dapat hadir dan pulang ke rumah dan balai-balaimu’ terdapat klitik pronomina refleksif -ki-, klitik pronomina keaspekan ketiga jamak -bha-, klitik pronomina persona ketiga jamak ndi-, dan pemarkah penegas -ka. Keempat pemarkah tersebut bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina yang tidak disebutkan dalam tuturan, yaitu dewi
139
padi bersama dengan semua keluarganya. Dewi padi diasosiasikan dengan manusia yang kembali bersama dengan keluarganya ke rumah dan balai-balai sebagai tempat tinggalnya. Nomina olekedha ‘keluarga’ dan katonga ‘balai-balai’ dilekati dengan klitik pronomina kedua tunggal -mu. Klitik -mu menandakan adanya unsur kedekatan antara penutur dengan dewi padi sebagai sosok yang diajaknya berbicara. (42)
(43)
Bha-ne-ngo a- dhudhughu 3JMK-ASP-ada-PEN 3JMK-REL-mengajak ‘Kalau ada yang mengajak ke hutan’ (PAS/15B-7)
kalembu lingo lambung gua
loro laut
Bha-ne-ngo a-kaleghu 3JMK-ASP-ada-PEN 3JMK-REL-mengajak ‘Kalau ada yang mengajak ke tebing’ (PAS/15B-8)
karaha rusuk
nggoko belang
woya buaya
Tana amba meke mata supaya jangan malu mata ‘Supaya jangan tersipu malu’ (PAS/17A-8) Tana amba kabha supaya jangan tawar ‘Supaya jangan tergoda’ (PAS/17A-9)
kabhu perut
Dalam kalimat (42) di atas terkandung metafora antropomorfis yang mengasosiasikan sifat dewi padi dengan sifat manusia yang mudah dibujuk, dirayu, atau diajak oleh orang lain yang ditandai dengan penggunaan bha-ne-ngo a-dhudhughu kalembu lingo loro ‘jika ada yang mengajak ke hutan’ dan bha-nengo a-lakeghu karaha woya nggoko ‘jika ada yang mengajak ke tebing’. Gabungan kata kalembu lingo loro ‘lambung gua laut’ dan karaha woya nggoko ‘rusuk buaya belang’ pada data di atas adalah ungkapan yang bermakna hutan dan
140
tebing. Ungkapan tersebut tidak dapat ditelusuri secara langsung dari unsur-unsur pembentuknya. Dalam data di atas terdapat klitik pronomina keaspekan bha- dan klitik pronomina relatif ketiga jamak a- yang bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina tertentu yang mengajak ke hutan dan tebing. Hutan dan tebing adalah lingkungan nyata di sekitar ladang padi, lingkungan alam yang selalu berinterrelasi dan berinterdependensi dengan manusia. Selain itu, dalam data (43) terdapat gabungan kata meke mata ‘malu mata’ dan kabha kabhu ‘lapar perut’. Gabungan kata meke mata ‘malu mata’ dan kabha kabhu ‘lapar perut’ bermakna tersipu malu dan tergoda merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat ditelusuri secara langsung berdasarkan unsur-unsur pembentuknya. Sifat dewi padi diasosiasikan dengan sifat manusia yang memiliki sifat tersipu malu dan tergoda. Namun, dalam data di atas, adanya harapan penutur yang ditunjukkan dengan konjungsi tana ‘supaya’ agar padi tidak memiliki sifat seperti manusia yang mudah tersipu malu dan tergoda oleh rayuan orang lain yang berniat jahat. Selain dibandingkan dengan manusia, padi juga dihubungkan dengan hewan yang ada di sekitar kehidupan masyarakat Kodi yang menandakan adanya interrelasi antara masyarakat Kodi dan hewan di sekitarnya. Berikut ini penggunaan metafora binatang yang mengasosiasikan padi dengan hewan. (44)
Tana na-pa-witi ana manu supaya 3TG-N-KAUS-kaki anak ayam ‘Supaya padi meningkat berkaki anak ayam’ (PRA/3-4)
141
mono na-pa-wonggo KONJ 3TG-N-KAUS-leher ‘dan berleher anak kerbau’ (PRA/3-5) (45)
ana ghobhongo anak kerbau jantan
Enga-wa-ndi mbare wulu ghale Tetap-DEF-3JMK-D berhias bulu ayam jantan handana tumba wini cendana NOM bibit ‘Tetap berhias ekor ayam jantan, tempat menyimpan bibit’ (PAS/14B-8) Enga rere moto kaka tetap sama jambul kakatua kalidhi lara hadha nyiru jalan keramat ‘Tetap berjambul kakatua, nyiru yang dikeramatkan’ (PAS/14B-9)
(46)
Enga-wa-ndi bhi-mi-jeta tetap-DEF-3JMK-D 2JMK-ASP-2JMK-N-meningkat ‘Tetap meningkat berkaki maleo’ (PAS/16A-3)
witi wondo kaki maleo
Enga-wa-ndi bhi-mi-jangga tara manu tetap-DEF-3JMK-D 2JMK-ASP-2JMK-N-berkembang taji ayam ‘Tetap berkembang bertaji ayam’ (PAS/16A-4)
Dalam kutipan data di atas, hasil padi yang berlimpah diasosiasikan dengan keadaan hewan. Dalam data (44) hasil padi yang berlimpah dapat dilihat dalam penggunaan tana na-pa-witi ana manu ‘supaya dia setinggi kaki anak ayam’, mono na-pa-wonggo ana ghobhongo ‘dan dia berleher anak kerbau’. Nomina witi ‘kaki’ dan wonggo ‘leher’ dilekati pemarkah kausatif pa- dan klitik pronomina persona ketiga tunggal na-. Pemarkah kausatif pa- mengubah nomina menjadi verba, sedangkan klitik pronomina persona ketiga tunggal na- bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina subjek pare ‘padi’ di luar tuturan.
142
Dalam data (45) hasil padi yang melimpah dapat dilihat dalam penggunaan enga-wa-ndi mbare wulu ghale ‘tetap berhias bulu ayam jantan’ dan enga rere moto kaka ‘tetap berjambul kakatua’. Verba enga ‘tetap’ dilekati pemarkah definit wa- dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi. Kedua pemarkah ini bersifat eksoforis yang merujuk kepada pare ‘padi’ yang tidak disebutkan dalam tuturan. Dalam data (46) hasil padi diharapkan meningkat dapat dilihat dalam penggunaan enga-wa-ndi bhi-mi-jeta witi wondo ‘tetap meningkat berkaki burung maleo’ dan enga-wa-ndi bhi-mi-jangga tara manu ‘tetap berkembang bertaji ayam’. Verba enga ‘tetap’ dilekati pemarkah definit wa- dan klitik pronomina persona ketiga jamak -ndi. Kedua pemarkah ini bersifat eksoforis yang merujuk kepada nomina pare ‘padi’ yang tidak disebutkan dalam tuturan. Verba intransitif jeta ‘meningkat’ dan jangga ‘berkembang’ dilekati klitik pronomina keaspekan kedua jamak bhi- dan klitik pronomina persona kedua jamak mi-. Kedua klitik ini merujuk kepada nomina subjek yang tidak disebutkan dalam tuturan, yaitu pare ‘padi’. Dengan demikian, hasil padi yang meningkat diasosiasikan dengan keadaan fisik hewan seperti kaki ayam, taji ayam, bulu ekor ayam jantan, leher anak kerbau, jambul kakatua, dan kaki maleo. Keadaan fisik hewan seperti yang dipaparkan di atas adalah ciri-ciri makhluk hidup yang berada di lingkungan sekitar kehidupan masyarakat Kodi yang telah berinteraksi dan berinterdependensi dengan masyarakat Kodi. Berikut ini adalah contoh metafora binatang selanjutnya.
143
(47)
Tana amba weiha-nggama kapa supaya jangan buka-1JMK-G sayap ‘Supaya jangan membuka sayap anak ayam’ (PRA/1-7) Amba bunggero-nggama halili jangan buka-1JMK-G ketiak ‘Jangan membuka ketiak anak babi’ (PRA/1-8)
(48)
ana anak
ana manu anak ayam
wawi babi
Tana ambu ndara ruka tana supaya jangan kuda berhenti tanah ‘Supaya jangan seperti kuda yang tiba-tiba berhenti di jalan’ (PAS/15B-9) Tana ambu bhangga paga lara supaya jangan anjing pergi jalan ‘Supaya jangan seperti anjing yang pergi dalam perjalanan’ (PAS/15B-10)
Data (47) di atas menunjukkan dewi padi diasosiasikan dengan manu ‘ayam’ dan wawi ‘babi’ dalam ungkapan weiha-nggama kapa ana manu ‘membuka sayap anak ayam’ dan bunggero-nggama halili ana wawi ‘membuka ketiak anak babi’. Data di atas berisikan harapan penutur yang ditunjukkan dengan konjungsi tana amba ‘supaya jangan’. Penutur berharap supaya dewi padi tidak seperti ayam yang membuka sayapnya dan babi yang membuka ketiaknya. Ungkapan tersebut menyiratkan supaya padi selalu berhati-hati dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain yang berbuat jahat. Data (48) menunjukkan dewi padi diasosiasikan dengan ndara ‘kuda’ dan bangga ‘anjing’ dalam ungkapan ndara ruka tana ‘kuda yang tiba-tiba berhenti di jalan’ dan bhangga paga lara ‘anjing yang pergi dalam perjalanan’. Data di atas berisikan harapan penutur yang ditunjukkan dengan konjungsi tana ambu ‘supaya jangan’. Penutur berharap supaya dewi padi tidak tiba-tiba berhenti dan pergi
144
dalam perjalanan seperti ndara ‘kuda’ dan bangga ‘anjing’ jika ada rintangan yang menghalangi di hadapannya. Penggunaan bentuk-bentuk seperti anak ayam, anak babi, kuda, dan anjing adalah bukti interrelasi dan interdependensi komunitas tutur bahasa Kodi dengan lingkungan di sekitarnya. Berikut ini adalah contoh penggunaan metafora antropomorfis yang mengasosiasikan dewi padi dengan benda tak bernyawa. (49)
Tana inda ndiki watu ambu ngero tanah tidak pindah batu jangan geser ‘Tetap kokoh seperti tanah dan batu yang tidak berpindah dan bergeser’ (PAS/17A-6)
(50)
Tana inda ndiki ndende-bha-ka dhicoko tanah tidak berpindah berdiri-3JMK-ASP-PEN tegak ‘Berdirilah dengan tegak seperti tanah yang tidak berpindah’ (PAS/19A-4) Watu ambu ngero londo-bha-ka modhongo batu jangan geser duduk-3JMK-ASP-PEN kuat ‘Duduklah dengan kuat seperti batu yang tidak bergeser’ (PAS/19A-5)
Data (49 dan 50) di atas mengasosiasikan padi dengan watu ‘batu’ dan tana ‘tanah’ dalam ungkapan tana inda ndiki ‘tanah tidak berpindah’ watu ambu ngero ‘batu jangan bergeser’ dan ungkapan tana inda ndiki ndende-baka dhicoko ‘berdirilah dengan tegak seperti tanah yang tidak berpindah’ watu ambu ngero londo-baka modhongo ‘duduklah dengan kuat seperti batu yang tidak bergeser. Penutur berharap supaya dewi padi tegar, kokoh, dan kuat seperti tanah dan batu yang tidak berpindah dan tidak bergeser. Berdasarkan pemaparan di atas, dalam ekowacana kepadian terdapat penggunaan kata berkategori nomina, kata berkategori verba, dan kata berkategori
145
adjektiva. Kata berkategori nomina, antara lain pare ‘padi’, wini ‘bibit, wuli ‘bulir’, wu ‘buah’, pola ‘batang’, ro ‘daun’, ura ‘hujan’, weiyo ‘air’, malogho ‘tikus’, dan manguno ‘burung pipit’. Kata berkategori verba meliputi mburu ‘turun’, kedu ‘jatuh’, mandapo ‘berpelukan’, ngandi ‘bawa’, paheba ‘membawa di pinggang’, paloro ‘menggendong di punggung’, ta ‘simpan’, woka ‘tanam’, tondo ‘tanam’, noto ‘kena’, gene ‘kena’, deta ‘naik’, wuti ‘muat’, rara ‘menguning’, madhu ‘berisi’, nduki ‘tiba’, ndeke ‘ambil’, dagha ‘jaga’, dan uruho ‘jaga’. Kata berkategori adjektiva berupa manege ‘padat’. Selain penggunaan kata, jugaterdapat penggunaan gabungan kata koni wu kaniha mbiri ndandi peha yang merujuk pada dewi padi atau padi, wei huhu wei baba yang merujuk pada padi, handana tumba wini kalidi lara hada yang merujuk pada tempat bibit yang dikeramatkan dan ngiru yang dikeramatkan, hungga tana biha lindu tana hari yang merujuk kepada watu kareka ‘marapu di ladang’ dan jalan tempat lewatnya arwah, a arimu a anamu yang merujuk pada lumbung, binya loko mata rende yang merujuk pada lumbung, tilu wu patuku londo wu pawini yang merujuk pada seluruh isi ladang atau ladang, ndalu tana hoho watu yang merujuk pada ladang, boha watu kaka ndalu tana mete yang merujuk pada ladang, kabambango mboro kabambango panda yang merujuk pada lumbung, bhoko mboro mboko panda yang merujuk pada lumbung, kapore panda kaka yang merujuk pada wereng putih, pare mate geha yang merujuk pada hama penyakit yang menyebabkan ujung daun padi layu kehitaman. Berdasarkan data yang telah disajikan di atas, secara sintaktik teks-teks dalam ekowacana sebagian besar berpola P-O yang terdapat pada data (1--11, 15, 16, 20-
146
-23, 27, 29, 30). Selain bertipe P-O, juga ditemukan teks yang berpola P-O-K pada data (28) dan P-K pada data (12--14, 17--19, 24--26). Pada teks yang berpola P-O, P-K, dan P-O-K terjadi pelesapan subjek, namun penutur tidak mutlak menghilangkan subjek, ada beberapa data seperti data (6--9, 11, 20, 22) yang masih menampilkan informasi subjek dengan adanya klitik pronomina persona nominatif pada posisi awal predikat. Pada teks yang berpola P-K terjadi pelesapan objek. Ciri atau identitas objek yang melekat dapat dilihat pada pemarkah yang melekat pada posisi akhir predikat. Padi sebagai argumen verba mengalami pelesapan saat bertindak sebagai subjek seperti data (6--9, 11, 20, 22) dan objek seperti data (12--14, 17--19, 24-26). Argumen yang merepresentasikan pare ‘padi’ hadir dalam bentuk gabungan kata wei huhu wei baba pada data (1 dan 27), koni wu kaniha mbiri ndandi peha pada data (2, 3, 29, 30), pare ‘padi’ dan wini ‘bibit’ pada data (15, 16, 28), serta ro ‘daun’ dan pola ‘batang’ pada data (23). Selain itu juga terdapat nomina wuli ‘bulir’ wu ‘buah’, pola ‘batang’ ro ‘daun’ pada data (6--9), a kale-na ‘kirinya’ dan a kawana-na ‘kanannya’ pada data (11), serta ro ‘daun’ dan wu ‘buah’ pada data (20--22) sebagai penjelas keberadaan entitas padi. Sistem rujuk silang yang terbagi menjadi endofora dan eksofora didominasi oleh referensi eksofora yang tercermin pada data (8, 9, 11--14, 17--20, 22, 24-26), sedangkan referensi endofora diwakili oleh katafora yang tercermin pada data (1, 2, 10, 15, 27--30). Pemarkah yang merujuk kepada unsur yang berada di luar tuturan secara deiktis didasarkan atas konteks produsennya merujuk kepada entitas padi. Pemarkah yang secara deiktis merujuk kepada padi, antara lain
147
pemarkah penegas -ka pada data (12, 14, 24, 26), klitik pronomina persona napada data (8, 11, 22), klitik pronomina persona a- pada data (9), klitik pronomina persona -ya pada data (12), pemarkah definit -wa pada data (13, 14, 18, 25), klitik pronomina persona -ndi pada data (13, 14, 18, 24--26), klitik pronomina keaspekan -bha pada data (14, 24), klitik pronomina -ni pada data (17), dan klitik pronomina keaspekan -bhana pada data (20). Pemarkah yang secara kataforis merujuk kepada padi, antara lain pemarkah penegas -ka seperti pada data (1, 27), klitik pronomina persona -ya pada data (10, 27), klitik pronomina persona -ndi pada data (28--30), dan klitik pronomina persona -hi seperti pada data (15). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemarkah deiktis terdiri atas pemarkah -ka, na-, a-, -ya, -wa, -ndi, -bha, -ni, -do, dan -bhana, sedangkan pemarkah katafora terdiri atas pemarkah -ka, -ya, -wa, -ndi, dan -hi. Selain itu, pemarkah sebagai pemarkah deiktis dan katafora, yaitu pemarkah -ka, -ya, -wa, dan -ndi. Padi sebagai argumen predikat yang mengalami pelesapan berpotensi diwakili oleh pemarkah yang bersifat deiktis, sedangkan entitas padi yang hadir dalam teks ditandai oleh pemarkah yang bersifat kataforis. Intensitas perujukan silang pada data (1--30) di atas didominasi oleh perujukan kepada unsur di luar tuturan sebagai akibat pelesapan entitas padi sebagai argumen predikat. Dengan adanya pelesapan tersebut diperlukan adanya pemarkah yang secara eksoforis dapat mewakili nomina padi yang dipengaruhi oleh maksud produsen. Selain padi, ada juga beberapa pemarkah yang merujuk silang pada dewi padi seperti klitik pronomina persona -mu pada data seperti pada data (37, 38, 40, 41) serta klitik pronomina keaspekan -bha seperti pada data (3, 40, 41, 50) dan
148
pemarkah penegas -ka seperti pada data (3, 40, 41, 50). Berdasarkan jumlah pemarkah yang digunakan untuk merujuk kepada padi dan dewi padi, jumlah pemarkah yang merujuk kepada padi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemarkah yang merujuk kepada dewi padi. Pemakaian klitik keaspekan -bha dan pemarkah penegas -ka pada data (3) saja yang bersifat katafora yang merujuk kepada gabungan kata nomina koni wu kaniha mbiri ndandi peha ‘Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal’, sedangkan pemakaian pemarkah lain dengan contoh data yang telah disebutkan secara deiktis merujuk kepada dewi padi. Jadi, dapat dikatakan bahwa pemarkah yang merujuk kepada padi lebih banyak dibandingkan dengan pemarkah yang merujuk kepada dewi padi.