BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Satu bentuk kata dapat memiliki padan leksikon yang beragam. Misalnya,
verba bahasa Melayu (Malay language) pujuk memiliki padan leksikon bervariasi dalam bahasa Inggris. Satu saat berpadan dengan verba perlokusi reassure atau comfort. Pada konteks yang berbeda, padanannya tumpang tindih (overlapping) dengan verba direktif coax, persuade, dan suggest (Goddard, 2004:1). Ragam padan leksikon dapat dijelaskan polanya dengan alat analisis semantis yang tepat sehingga bentuk, struktur, dan makna antar leksikon dapat dibedakan meski medan maknanya sama. Salah satu pendekatan dalam mengkaji ragam bentuk, struktur, dan makna kata secara menyeluruh adalah metabahasa semantik alami (selanjutnya disebut MSA). Pendekatan MSA digagas oleh Wierzbicka dan dikembangkan bersama pengikut-pengikutnya selama lebih dari tiga dasawarsa (Yoon, 2003).
MSA
merupakan alat analisis makna yang dirancang untuk dapat diterapkan secara independen terhadap bahasa atau budaya tertentu sehingga makna yang didefinisikan menjadi jelas dan mudah dipahami. Beberapa prinsip MSA dipandang memiliki nilai lebih untuk menganalisis makna (Wierzbicka, 1996, 1997; Goddard, 1998; Yoon, 2003). Pertama, dalam kerangka MSA definisi satu kata harus direpresentasikan melalui bahasa alami. Bahasa buatan, seperti penggunaan diagram atau formula 1
2
semantik, pada akhirnya tetap harus diterjemahkan ke dalam bahasa alami agar mudah dipahami. Kedua, pendekatan MSA mengasumsikan bahwa konsep-konsep manusia bersifat hirarki. Artinya ada konsep yang rumit misalnya konsep emosi, dan ada yang sederhana, mudah dipahami, dan tidak dapat lagi didefinisikan, misalnya kata AKU,
INGIN, SESUATU, dan seterusnya. Dalam teori MSA, konsep ini
disebut makna asali atau semantik primitif. Ketiga, pendekatan MSA menekankan prinsip ketergantian (substitutability). Artinya, definisi yang dibuat melalui teknik parafrase harus bisa diverifikasi oleh penutur asli biasa untuk melihat apakah eksplikasi dan bentuk asli memiliki makna yang benar-benar sesuai. Jika tidak benarbenar padan, maka eksplikasi dapat disusun kembali untuk mendapatkan padan semantis yang tepat. Berdasarkan pandangan bahwa budaya yang berbeda mengembangkan pola-pola psikologi dan konseptualisasi yang berbeda pula, maka makna yang sebenarnya dari satu konsep budaya tertentu bisa direpresentasikan terhadap penutur asli. Dengan demikian konsep kata apapun dapat dipadankan secara lintas bahasa tanpa mengubah makna aslinya (Wierzbicka, 1996:237). Satu konsep yang menarik untuk menjadi obyek kajian dalam semantik lintas bahasa adalah verba expect dalam bahasa Inggris dan leksikon-leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa penelitian ini mengkaji verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. Pertama, di Indonesia penelitian semantik lintas bahasa Inggris-Indonesia berbasis korpus dwi-bahasa 2
3
Inggris-Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya. Kedua, penelitian semantik lintas bahasa dengan obyek verba expect dan leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia dengan pendekatan MSA belum pernah dilakukan sebelumnya. Ketiga, terkait dengan objek kajian, verba expect sinonim yang luas, misalnya believe, think, hope for, anticipate, assume, require, await, dan seterusnya (Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, 2003; Webster‟s New Dictionary and Thesaurus , 1990; Webster, 2010; Thesaurus dalam www.thefreeonlinedictionary.com).
Namun,
padanan yang paling sering ditemui dalam kamus-kamus bahasa tunggal (monolingual) Inggris-Inggris, adalah think „berpikir‟ dan believe „percaya, yakin‟ sebagaimana dapat dilihat pada sitiran di bawah ini: 1. think, believe (Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, 2003). 2. to believe in the future occurance of (something), anticipate, await, hope (for), watch (for) (Webster, 2010). 3. believe strongly, anticipate, apprehend, assume, await, bargain, foresee, gather, hope for (Thesaurus dalam www.thefreeonlinedictionary.com).
Dari sitiran di atas tampak bahwa makna yang ditekankan oleh keempat kamus adalah believe „percaya‟. Penekanan ini dapat menunjukkan bagaimana penutur asli bahasa Inggris memaknai konsep verba expect. Bagi mereka penting untuk yakin, percaya, dan berpikir positif bahwa sesuatu yang diharapkan dapat terwujud. Namun, konsep makna verba ini ini agaknya sedikit berbeda dari konsep makna verba expect 3
4
bagi orang Indonesia. Verba expect bagi orang Indonesia tidak digunakan untuk menyatakan keyakinan atau believe. Misalnya, dalam Kamus Bahasa InggrisIndonesia didapati bahwa gloss verba expect adalah „mengharapkan‟ , „menyangka‟, dan „mengira‟ (Echols dan Shadily,2003:224). Padan translasi „percaya‟ believe tidak ditemukan di sini. Konsep expect bagi orang Indonesia lebih bermakna harapan baik akan terjadinya sesuatu atau munculnya seseorang. Lebih jauh, dalam konteks kalimat perbedaan pemaknaan konsep ini dapat diilustrasikan melalui sitiran kalimat yang diambil dari korpus IDENTIC berikut:
(1) Saya tidak menyangka dapat hasil terbaik di sini, kata Kirchen kepada wartawan. I never expected to have such a good result here, Kirchen told reporters.
Sekarang mari kita bandingkan kalimat (1) dengan kalimat (2) berikut:
(2) Aku berharap dia akan kembali dari perang. I believe he will come back from the war.
Pada kalimat (1) verba expect dalam kala lampau berpadan translasi dengan „menyangka‟. Hal ini dapat dimaknai bahwa subjek pada kalimat (1) tidak menyombongkan diri dengan terlalu yakin sebelum bertindak bahwa dia akan mendapatkan hasil terbaik. Akan tetapi, di sisi lain, verba „berharap‟ dalam kalimat (2) dipadantranslasikankan ke dalam bahasa Inggris sebagai believe „percaya‟, bukan expect. Konteksnya adalah subyek kalimat (2) yakin orang yang ditunggu atau diharapkan pasti kembali dari perang. Dari sini tampak adanya perbedaan konsep 4
5
verba expect dalam kerangka berpikir penutur asli bahasa Inggris dan orang Indonesia. Meski memiliki ragam makna yang luas, namun konsep verba expect tetap terikat budaya (culture-specific) yang mencerminkan filosofi dan psikologi masyarakat penutur masing-masing bahasa. Jenis pemadanan leksikon seperti ini berkaitan dengan salah satu proses leksikalisasi, yakni suatu proses bagaimana konsep suatu kata dalam satu bahasa dimaknai dalam bahasa yang lain. Melalui ciriciri perbedaan leksikon verba seperti ini dapat menjelaskan bagaimana sistem suatu bahasa mengekspresikan makna (O‟Grady et al, 1997:279-282). Keempat, verba expect memiliki padan leksikon yang bervariasi dalam bahasa Indonesia, bukan hanya „mengharapkan‟, „menyangka‟, dan „mengira‟. Dalam konstruksi kalimat aktif transitif ditemukan ragam padan leksikon verba expect yang disitir dari korpus IDENTIC berikut.
(3) The banking sector, meanwhile, expected to contribute some Rp 96 trillionRp 100 trillion or some 60 percent. Sementara kalangan perbankan menyatakan hanya mampu memberikan kontribusi antara Rp 96 triliun hingga Rp 100 triliun atau sekitar 60 persennya . (4) How do you expect that there would be a flurry of quality strikers in the national side? Bagaimana mau mendapatkan mutu dan kemajuan bila striker masih kurang bermutu? (5) The government expects the law consultant and dealers will be appointed by July 29 at the latest. Pemerintah mengharapkan pada 29 Juli 2008 sudah dapat menentukan agen penjual dan konsultan hukum setelah melalui berbagai proses pengadaan. 5
6
(6) Despite a persistent drop over the past few days, the rupiah’s current exchange rate against the US greenback was relatively stable now that the government expected the rupiah to trade at between Rp 9,000 and Rp 9,500 per dollar this year. Nilai tukar rupiah meski saat ini merosot dinilai masih stabil kalau melihat target pemerintah yang menetapkan rupiah pada kisaran antara Rp 9.000 sampai Rp 9.500 per dolar AS. (7) We are expecting that rupiah will penetrate the level of Rp 9,200 to US dollar this afternoon. Kami memperkirakan rupiah akan bisa menembus angka Rp 9.200 per dolar AS pada sore nanti.
Kalimat (3) sampai (7) menunjukkan bahwa setidaknya verba expect memiliki lima padan leksikon dalam bahasa Indonesia, yakni „menyatakan‟, „mendapatkan‟, „mengharapkan‟, „menetapkan‟, dan „memperkirakan‟. Jadi, jika gloss expect adalah „mengharap‟ „menyangka‟, dan „mengira‟, maka penting untuk diperhatikan bahwa tidak mungkin verba „menyangka‟ digunakan sebagai predikat kalimat (3) – (7). Konteksnya tidak tepat. Sementara itu, verba expect bisa secara alami mengisi fungsi predikat pada semua kalimat (3) – (7). Ini berarti leksikon-leksikon tersebut telah menunjukkan konfigurasi makna pembeda antara satu leksikon dan lainnya, terutama leksikon yang berada dalam medan makna yang sama, misalnya „mengharapkan‟ dan „memperkirakan‟. Penjelasan kelima, sebagai predikat makna verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia dipengaruhi dan dibedakan oleh bentuk argumen objek yang menyertainya; apakah nomina, frase nomina, frase adverbial atau bahkan argumen yang berupa kalimat. Misalnya, verba expect dalam kalimat (3) dipadankan sebagai leksikon „menyatakan‟. Verba dengan argumen berupa klausa yang 6
7
disematkan (embedded clause) pada klausa atasan seperti pada contoh (3) memiliki ciri semantis mengemukakan makna knowledge or ignorance of a possible fact „pengetahuan atau ketidaktahuan akan fakta yang mungkin terjadi‟ (Kreidler, 2002:156). Dalam struktur semantik bahasa Indonesia, klausa seperti ini mengemukakan pengetahuan, keyakinan, dan perkiraan (Wijana, 2010:86-88). Dalam konteks kalimat (3), klausa yang disematkan adalah rupiah would rebound to the level of Rp 9,000 to the US dollar „rupiah diperkirakan akan kembali menguat ke level sebelumnya yaitu Rp 9.000 per dolar AS‟. Klausa ini mengemukakan fakta yang dapat atau mungkin terjadi terhadap rupiah. Verba expect pada kalimat (4) dipadankan menjadi leksikon „mendapatkan‟. Argumen yang menyertai expect adalah that-clause atau klausa pernyataan that there would be a flurry of quality strikers in the national side? yang dipadankan menjadi frase nomina (FN) „mutu dan kemajuan‟ Pada kalimat (5) padan leksikon expect adalah „mengharapkan‟. Argumen yang menyertai verba expect berupa kalimat dengan predikasi lengkap. Berdasarkan ciri semantisnya, predikat verba yang diikuti argumen jenis ini adalah verba yang mengemukakan pengetahuan dan perkiraan. Pada kalimat (6), verba expect dipadankan dengan verba „menetapkan‟. Argumen yang menyertai adalah FN yakni the rupiah „rupiah‟. Verba expect pada kalimat (7) dipadankan dengan „memperkirakan‟. Argumen yang menyertainya diekspresikan melalui klausa pernyataan dengan 7
8
predikasi lengkap, yakni that rupiah will penetrate the level of Rp 9,200 to US dollar this afternoon „rupiah akan bisa menembus angka Rp 9.200 per dolar AS pada sore nanti‟. Beberapa contoh tadi menunjukkan bahwa verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia memang perlu dikaji secara khusus. Selanjutnya, struktur semantis merupakan konfigurasi makna kata. Terbentuknya konfigurasi ini didasarkan pada relasi verba dengan argumen, dan acapkali melibatkan berbagai peran semantis. Berdasarkan pertimbangan ini maka penelitian ini meninjau peran semantis yang dibawa verba expect dan leksikon-leksikon padanannya dalam bahasa Indonesai. Sebagaimana ditekankan oleh Chomsky
bahwa aspek bahasa yang
mendasar ialah ihwal bentuk fonetik (phonetic form) dan bentuk pikiran (logical form) (1995).
Pendapat Chomsky ini mendasari pertimbangan pentingnya
menentukan makna dalam kajian struktur bahasa. Semata-mata mengandalkan pandangan struktural hanya akan mampu menjelaskan kompetensi kebahasaan pemakai bahasa. Berangkat dari pemikiran ini, penelitian ini mengkaji pula struktur semantis verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia, serta perbedaan struktur semantis di antara keduanya. Pendekatan yang digunakan adalah metabahasa semantik alami (MSA) dalam kerangka lintas bahasa (crosslinguistic semantics). Selanjutnya, merujuk pada pendapat Poedjosoedarmo (2008:36) bahwa sebaiknya suatu penelitian tidak hanya ditujukan kepada kegiatan yang sifatnya deskriptif, melainkan juga pemerian terhadap gejala-gejala bahasa yang 8
9
ditemukan. Ihwal ini menjadikan pertimbangan pentingnya memerikan sebab-sebab timbulnya perbedaan struktur semantik verba expect dan leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia serta komponen makna verba expect yang ditiadakan dalam padan leksikon tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, tersusun beberapa rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yakni: 1. Bagaimanakah padan leksikon verba expect dalam bahasa Indonesia dan peran semantis yang dibawanya? 2. a. Bagaimanakah perbedaan struktur semantis verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaan struktur semantis verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia? c. Apakah elemen makna verba expect yang hilang dalam padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan formulasi permasalahan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan:
9
10
1) mendeskripsikan padan leksikon verba expect dalam bahasa Indonesia dan peran semantis argumen yang dibawanya. 2) a. mendeskripsikan struktur semantis verba expect dan leksikon-leksikon yang menjadi padannnya dalam bahasa Indonesia. b. memerikan sebab-sebab terjadinya perbedaan struktur semantis verba expect dalam bahasa Inggris dan leksikon-leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia. c. mengevaluasi elemen makna verba expect yang tidak ditemukan dalam leksikon padananya dalam bahasa Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis diharapkan menjadi kekayaan penelitian bidang ilmu Linguistik Semantik. Linguistik semantik di sini utamanya berkenaan dengan pendekatan MSA lintas bahasa. Sejauh ini kajiannya belum sempat ditemui di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi acuan referensi bagi peneliti yang memiliki ketertarikan mengkaji makna lintas bahasa dan konsep pembentukan struktur makna dalam kerangka metabahasa semantik alami. Secara praktis, sehubungan dengan pengajaran serta pembelajaran bahasa apapun, mengenali perwujudan leksikal satu kata sangat membantu pelajar memahami cakupan dan struktur maknanya pada berbagai konteks kalimat. Hasil 10
11
penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana pembelajar dapat mengenali bentuk-bentuk verba yang berada dalam medan makna yang sama serta bagaimana struktur makna yang dimilikinya. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pembelajaran lintas bahasa dengan data berbasis korpus. Dengan menggunakan
korpus
dwibahasa
IDENTIC
sebagai
media
pembelajaran,
pembelajaran bahasa Indonesia bagi orang asing menjadi lebih mudah karena padan semantis yang telah disusun. Bagi pembelajar bahasa Inggris tingkat lanjutan, pembelajaran menggunakan korpus membantu memperluas kosakata dan pemahaman struktur bahasa Inggris yang lebih kompleks. Akhirnya, begitu penting untuk mengetahui bahwa bahasa Indonesia masih merupakan salah satu bahasa di dunia dengan sumber data terbatas (under-resourced language) (Larasati, 2012). Masih diperlukan upaya serius menunjukkan pada dunia kekayaan unit-unit lingual bahasa Indonesia yang menunggu untuk dieksplorasi dan diteliti. Penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia pun semakin mendapat perhatian serius dari dunia. Dengan demikian, terbuka lebih lebar jalan masuk untuk penelitian serta pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.
1.5 Tinjauan Pustaka Di Indonesia belum begitu banyak peneliti bahasa yang jatuh hati mengkaji semantik lintas bahasa dalam kerangka metabahasa semantik alami. Berikut ini
11
12
beberapa kajian MSA mengenai struktur semantis verba lintas bahasa yang menginspirasi penelitian ini. Goddard dan Karlsson (dalam Goddard, 2008: 225-238) berkolaborasi mengkaji struktur semantis verba bahasa Inggris dan Swedia dalam kerangka semantik lintas bahasa. Hasilnya dituangkan dalam dalam tulisan mereka yang berjudul Re-thinking THINK in Contrastive Perspective: Swedish vs. English. Verba yang dikaji adalah predikat mental THINK dan konsep-konsep terkait dalam dalam bahasa Swedia melalui kerangka MSA. Dalam penelitian ini eksplikasi disusun dalam kedua bahasa secara paralel. Isu penting yang dapat diacu dari tulisan ini adalah dalam konteks MSA yang sudah baku utamanya, verba bahasa Inggris THINK dan bahasa Swedia TANKA dapat secara serasi berpadan semantis. Artinya kedua kata tersebut memiliki makna asali yang sama. Dibahas pula perluasan TANKA yakni tro dan tycka yang berpadan semantis dengan frase epistemis I think dan I say serta bagaimana dan bila THINK dalam struktur universal memerlukan komplemen proposional („think that----„). Meski bukan merupakan hasil penelitian tesis, kajian Goddad dan Karlsson ini memberi peneliti pemahaman akan leksikon-leksikon verba asali THINK dalam kedua bahasa. Berangkat dari sini, peneliti dapat melihat dengan jelas perbedaan konseptualisasi, budaya, dan psikologi penutur bahasa Inggris dan penutur bahasa Swedia. Dengan demikian, dapat digali relevansinya dengan penelitian ini khususnya berkaitan obyek kajian, yakni verba, dan pilihan teori MSA dengan metode eksplikasi yang digunakan untuk lintas bahasa. 12
13
Otomo dan Torii (2005) melakukan penelitian kontrastif mengenai verba tindakan „tearing‟ dalam bahasa Inggris dan leksikon-leksikon padanannya dalam bahasa Jepang. Pendekatan yang dipilih sebagai alat analisis adalah MSA melalui metode eksplikasi penuh. Eksplikasi digunakan untuk mengungkap struktur semantis verba „tear‟ antara bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Otomo dan Torii meninjau pula aspek-aspek yang membedakan keduanya yang ditentukan melalui variabel obyek, cara, dan hasil yang diinginkan (object, manner, dan projected result). Hasil penelitian Otomi dan Torii menunjukkan bahwa, tidak ada keterkaitan semantis yang benar-benar tepat antar verba dalam bahasa yang berbeda., setidaknya untuk verba „tearing‟ dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang. „Tear‟ memiliki lebih dari satu padan leksikon dalam bahasa Jepang, yakni:
saku, chigiru and yaburu. Semua
bermakna „tearing‟ namun tetap saja berbeda dari „tearing‟. Verba „tearing‟ dalam bahasa Jepang menunjukkan makna yang lebih khusus. Kajian Otomi dan Torii ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam hal tujuan penelitian dan pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu, hasil kajian Otomo dan Torii ini memberi makna penting bagi penelitian ini karena mampu membedakan makna leksikon verba lintas bahasa melalui metode eksplikasi yang secara sistematis dilengkapi dengan contoh-contoh dalam kalimat. Dengan demikian fitur-fitur pembedanya mudah dipahami walaupun dalam dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa Jepang dan Inggris.
13
14
Gande (2012) menggunakan teori MSA dalam dalam tesisnya yang berjudul Verba ‘Memotong’ dalam Bahasa Manggarai: Kajian Semantik Metabahasa Alami. Teori MSA digunakan karena dipandang mampu mengungkap tuntas realisasi leksikal, struktur semantik, dan alasan terjadinya perbedaan struktur semantik verba „memotong‟ dalam bahasa Manggarai. Fitur-fitur pembeda setiap leksikon diamati melalui variasi bentuk, dan korespondensi makna. Sebagai instrumen pembeda fitur leksikon digunakan model pola (template) yang diajukan Goddard untuk pemetaan eksponen terhadap verba tindakan memotong (cut). Temuannya adalah bahwa realisasi verba „memotong‟ dapat diklasifikasikan berdasarkan delapan jenis entitas yang diperlakukan, misalnya verba memotong pada manusia, hewan, pohon, rumput dst. Sementara itu, struktur semantik verba „memotong‟ diklasifikasikan atas pemetaan eksponen, pemetaan subeksponen, dan pemetaan komponen. Kajian Gande telah menunjukkan analisis yang tuntas terhadap leksikon-leksikon verba yang diturunkan dari verba „memotong‟ sehingga terlihat jelas fitur-fitur pembedanya. Penelitian Gande ini memiliki kemiripan dan beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Kemiripannya ada pada aspek teori, metode eksplikasi, dan ranah kajian, yakni verba. Secara esensi perbedaan ada pada jenis verba yang diteliti, yakni tipe verba gerakan yang dapat memanfaatkan pola (template) pemetaan eksponen verba memotong, sementara verba untuk penelitian ini tidak bisa dianalisis menggunakan pola yang sama karena ciri semantisnya berbeda . Selain itu, sumber
14
15
datanya pun lain karena penelitian ini adalah korpus paralel, sementara penelitian Gande adalah data lapangan. Dewi (2012) dalam tesisnya yang berjudul The Translation of Emotions in Eat, Pray, Love into Makan, Doa, Cinta: A Natural Semantic Metalanguage Approach turut pula memberi andil untuk penelitian ini. Fokus kajian tesis Dewi adalah penerjemahan emosi di novel Eat, Pray, Love ke dalam Makan, Doa, Cinta. Pendekatan yang diterapkan adalah metabahasa semantik alami (MSA) dalam kerangka semantik lintas bahasa dipadu dengan teknik penerjemahan. Pada tesis Dewi, analisis data dilakukan untuk mengetahui fitur-fitur semantik dari leksikon emosi bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat enam leksikon emosi pada Eat, Pray, Love begitu juga di Makan, Doa, Cinta sebagaimana diajukan oleh Wierzbicka, yakni sad, shame anger, happy, fear, dan afraid. Beberapa aspek dari penerapan pendekatan MSA pada kajian Dewi yang berkontribusi sebagai model dan arah analisis pada penelitian ini di antaranya: (i) penerapan MSA lintas bahasa yang digunakan untuk menentukan kategori konsep emosi dalam bahasa Inggris dan padan leksikon yang terdekat dalam bahasa Indonesia (ii) penyusunan struktur semantik leksikon emosi dalam bahasa Inggris dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, tesis Dewi berbeda dengan penelitian ini dalam hal obyek kajian. Dewi mengkaji obyek leksikon emosi dalam bahasa Inggris dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini mengkaji verba bahasa Inggris dan padan leksikonnya dalam bahasa 15
16
Indonesia. Dengan obyek kajian kelas kata yang berbeda, maka berbeda pula cara identifikasi padan leksikon dari satu bahasa dengan bahasa lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa penelitian mengenai verba bahasa Inggris expect dan leksikon-leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia dengan tinjauan mengenai perbedaan struktur semantis di antara keduanya adalah asli dan belum pernah dilaksanakan sebelumnya.
1.6 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan metabahasa semantik alami (MSA) untuk analisis data .dengan sumber data korpus. Namun, sebelum memaparkan teori MSA perlu dipaparkan konsep verba expect, peran semantis verba, serta ciri semantik argumen predikat verba bahasa Indonesia. Melalui peran umum dan ciri-ciri semantis verba dapat ditentukan padan leksikon yang berterima, makna asalinya serta perumusan struktur semantisnya. Struktur semantis verba baru bisa dirumuskan apabila dipahami peran umum dan ciri semantisnya.
1.6.1 Konsep Verba ‘Expect’ Berdasarkan klasifikasi semantis verba bahasa Inggris, expect dikategorikan sebagai verba yang mengekspresikan keinginan, harapan, atau kognisi (Langacker via Levin, 1993:76). Berdasarkan perilaku semantisnya, verba expect memiliki makna inheren menyatakan keadaan (states) yang menggambarkan situasi yang secara 16
17
inheren tidak terikat waktu (Van Valin, 2005: 32). Kurang lebih sama dengan Langacker dan Van Valin, Kreidler mengistilahkan expect sebagai predikat yang mengekspresikan keadaan mental (mental state) (2002:202). Sementara itu, dari segi entitas yang dibawa verba, Kipper dan Korhonen (2007:15) menggolongkan verba bahasa Inggris expect sebagai verba yang menggambarkan hubungan suatu entitas dengan gagasan yang berbentuk abstrak. Gagasan tersebut dapat berupa gagasan baru dari suatu entitas, atau dapat merupakan perilaku entitas terhadap suatu gagasan. Dalam kerangka MSA, berdasarkan struktur semantis verba, expect adalah verba yang mengekspresikan lima makna asali, yakni THINK, KNOW, WANT, FEEL dan SAY (Wierzbicka, 2006:226). Kelima makna asali tersebut berpolisemi. Meski demikian,
kelimanya tidak mempunyai hubungan komposisional karena
memiliki kerangka gramatikal yang berbeda. Kelimanya dapat berpolisemi jika memiliki hubungan yang menyerupai pengartian (entailmet like).
1.6 2 Argumen Predikat Verba Verba merupakan unsur terpenting kalimat karena dalam banyak hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus dan boleh ada dalam kalimat (Alwi dkk:2003). Verba mengekspresikan tindakan, proses, dan keadaan. Verba menentukan kategori argumen-argumennya, baik itu argumen pertama, kedua, ketiga maupun argumen-argumen selanjutnya (Evans, 2000:712 via Nurhayani, 2006:45).
17
18
Informasi yang terkandung dalam bentuk morfologis verba antara lain adalah sebagai berikut:
1. informasi mengenai kala, aspek, modus, negasi 2. informasi mengenai struktur argumen, baik yang menginformasikan struktur argumen
(contoh:
penanda
transitivitas)
maupun
yang
meningkatkan/mengubah struktur argumen seperti voice (aktif-pasif), refleksif, resiprokal, dan aplikatif .
Argumen predikat dapat berupa nomina, frase nomina, atau argumen kalimat. Berdasarkan ciri semantiknya, verba dengan argumen nomina atau frasa nomina dalam bahasa Indonesia digolongkan menjadi tiga tipe, yakni verba sikap, verba pemungkinan dan pencegahan, serta verba persepsi. Verba sikap berkaitan dengan keadaan mental yang dimiliki oleh seseorang mengenai perbuatan atau situasi yang telah, akan, atau sedang dilakukan atau berlangsung. Pemungkinan adalah verba yang mengungkapkan segala sesuatu yang memungkinkan atau mencegah terjadinya suatu situasi atau orang orang melakukan sesuatu. Verba persepsi adalah verba yang mengungkapkan pengalaman yang diperoleh dari aktivitas pancaindra (pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, dan penciuman). Verba sikap memiliki tiga ciri semantis sebagai berikut:
(1) Prospektif yang mengemukakan: (a) keinginan (bermaksud, berkeinginan); (b) aktivitas
mental
(memikirkan,
mempertimbangkan) 18
;
(c)
keputusan (
19
memutuskan,
menentukan);
(d)
persiapan
(merencanakan,
berencana,
menyiapkan); (e) usaha (berusaha, mencoba); (f) ketergantungan dengan orang lain (menyerahkan, bergantung pada, terserah pada); dan (g) kesiapan menghadapi sesuatu yang akan terjadi (khawatir, berani, takut, cemas). (2)
Retrospektif yang mengemukakan penilaian mental, seperti menyesal, kecewa, puas, dan sebagainya
(3)
Netral yang mengemukakan: (1) suka tidak suka, seperti senang, benci, gemar; (b) penghargaan, seperti menghargai dan salut
Sementara itu, predikat verba dapat pula diikuti argumen berupa klausa. Dalam struktur semantik bahasa Inggris, terdapat empat jenis klausa yang menjadi argumen predikat verba (Kreidler, 2002:157-163). Empat jenis klausa tersebut adalah (1) full statement clause (klausa pernyataan); (2) full question clause (klausa pertanyaan); (3) infinitive clause (klausa infinitif), dan gerund clause. Predikat yang diikuti klausa ini mengemukakan (1) knowledge or ignorance of a possible fact „pengetahuan atau ketidaktahuan akan fakta yang mungkin terjadi‟; (2) an attitude or orientation toward a fact or possible fact „sikap atau orientasi terhadap fakta yang mungkin terjadi‟; (3) causing, allowing, or preventing the occurance of a fact „menyebabkan, mengijinkan, atau mencegah hadirnya fakta yang dapat atau mungkin terjadi‟; (4) perception of a fact „persepsi terhadap suatu fakta; (5) saying something about a fact or possible fact „menyatakan sesuatu mengenai suatu fakta yang dapat
19
20
atau mungkin terjadi‟; (f) the beginning, continuing, or termination of apossible event „berawal, berlangsung, atau berakhirnya suatu fakta yang mungkin terjadi‟. Dalam struktur semantik bahasa Indonesia, predikat yang mungkin diikuti oleh argumen yang berupa kalimat berdasarkan ciri semantisnya adalah verba yang mengemukakan hal berikut (Wijana,2010: 86-89): (1) pengetahuan, keyakinan, dan perkiraan, misalnya: Saya tidak yakin bahwa sekarang akan ada operasi. (2) sikap atau orientasi terhadap fakta yang dapat atau mungkin terjadi, misalnya: Mereka heran orang seperti itu bisa lulus ujian. (3) sesuatu yang menyebabkan, menghalangi, membiarkan terjadinya fakta, misalnya: Oka membiarkan hal itu berlalu. (4) persepsi pada fakta yang dapat atau mungkin terjadi, misalnya: Saya melihat seekor kucing membawa tulang. (5) ucapan atau perkataan mengenai fakta yang dapat atau mungkin terjadi, misalnya: Ia mengatakan adiknya memang kurang. (6) mulai, berhenti, berlangsung, dan berakhirnya sebuah fakta, misalnya: Ia berhenti mengganggu sahabatnya. Berdasarkan tipe klausanya, argumen-argumen yang berupa kalimat dapat dibedakan menjadi klausa pernyataan dan klausa pertanyaan (Wijana, 2010: 87-89). Untuk klausa pernyataan bentuknya berupa predikasi yang lengkap. Misalnya:
(8) We expect our in stallation will be able to protect wind condition of the area. 20
21
Kami berharap bahwa instalasi kami akan mempertahankan kondisi dingin di kawasan ini.
Menurut Wijana, klausa sematan di dalam proposisi kalimat secara keseluruhan berperan sebagai tema dan dapat diuraikan struktur semantik kalimatnya. Dengan demikian, struktur semantik kalimat (1) dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 1.1 Struktur Semantik Kalimat dengan Klausa Sematan agen predikat tema pernyataan tema deskripsi Kami berharap instalasi kami akan mempertahankan kondisi dingin di kawasan ini. We expect our installation will be able to protect wind condition of the area
Tabel 1.1 menggambarkan bahwa dalam struktur semantik kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, klausa sematan dapat diuraikan secara paralel dengan slot-slot yang diduduki oleh argumen-argumen verba kedua bahasa.
1.6.3
Peran Umum Verba (Macroroles)
Penelitian ini tidak menggunakan teori pilihan valensi untuk meninjau argumen verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. Teori peran umum verbalah yang digunakan untuk mengidentifikasi makna semantis verba. Dengan demikian, peran umum digunakan untuk menentukan partisipan yang dibawa verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia.
21
22
Beberapa ciri sistem peran umum yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada sistem yang dikembangkan oleh Van Valin dan La Polla (1997). Pertama, pelaku (actor) dan penderita (undergoer) merupakan peran umum (macroroles). PELAKU adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang membentuk (performs), mempengaruhi (effects), menghasut (instigates), atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikatnya. PENDERITA adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, mengawali, atau mengendalikan situasi, namun justru dipengaruhi oleh tindakan yang dinyatakan oleh verbanya dengan berbagai cara. PELAKU bisa berperan khusus sebagai AGEN, PEMENGARUH, atau LOKATIF. Tafsiran yang tepat terhadap derivasi peran semantis bergantung pada ciri semantis verbanya. Kedua, PELAKU dan PENDERITA merupakan konstituen inti (core constituent). Hanya satu kemungkinan argumen yang menjadi PELAKU (ACTOR). Ranah peran yang dapat menjadi ACTOR adalah AGEN, INSTRUMEN, PERCEIVER (perasa), dan RECEIVER (penerima). Sementara itu, ranah peran yang dapat menjadi PENDERITA (UNDERGOER) adalah PASIEN, TEMA, dan LOKATIF (Van Valin dan LaPolla, 1997: 144-153).
1.6.4 Metabahasa Semantik Alami Teori yang digunakan untuk menyusun struktur semantis atau parafrase reduktif verba expect adalah teori metabahasa semantik alami (MSA). Teori ini 22
23
diusulkan oleh Wierzbicka yang telah memulai penelitiannya mengenai metabahasa semantik alami pada beberapa bahasa dunia sejak tahun 1972 dan
kemudian
dikembangkan terutama bersama partner utamanya yakni Cliff Goddard (Wierzbicka, 1996). Pengembangan teori ini dilakukan dengan mengadakan penelitian lintas bahasa lebih dulu. Teori ini dipilih atas asumsi bahwa MSA dapat mengekpresikan semua makna, baik makna leksikal, makna ilokusi, maupun makna gramatikal atau leksikal yang dinyatakan
dalam sebuah metabahasa dan bersumber dari bahasa
alamiah. Prinsip dasar teori MSA antara lain mereduksi makna leksikon dengan cara parafrase yang sederhana dalam kerangka eksplikasi sistematis (Wierzbicka, 1996: 19; Goddard, 1998: 29). Selain itu, MSA mengandung konsep makna asali, yakni mana leksikon yang tidak dapat diparafrasekan lagi menjadi lebih sederhana. Konsep-konsep penting yang digunakan dalam teori MSA adalah makna asali, aloleksi, polisemi takkomposisi, sintaksis semesta, pilihan valensi, dan resonansi. Untuk memformulasikan struktur semantis verba expect dalam bahasa Indonesia pada penelitian ini digunakan tiga konsep teoritis yang dipandang relevan untuk dikemukakan, yaitu (1) makna asali (semantic primitives/ semantic primes), (2) polisemi takkomposisi (non-compositional polysemy), dan (3) sintaksis makna semesta (universal syntax of meaning).
1.6.4.1 Makna Asali 23
24
Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak dapat berubah dan telah diwarisi sejak lahir. Dengan kata lain, makna asali adalah makna kata pertama dari sebuah kata yang tidak mudah berubah walaupun terdapat perubahan kebudayaan (perubahan zaman). Makna asali merupakan refleksi dan pembentukan pikiran yang dapat dieksplikasi dari bahasa alamiah (ordinary language) yang merupakan satusatunya cara menyampaikan makna (Wierzbicka, 1996: 31; Goddard, 1998:57). Eksplikasi makna tersebut harus meliputi makna kata-kata yang secara intuitif berhubungan atau sekurang-kurangnya memiliki medan makna yang sama. Seperangkat makna asali menjadi parameter umum (common measure) untuk meneliti perbedaan semantis antarbahasa. Pemahaman makna asali diharapkan dapat menjelaskan makna yang rumit menjadi lebih sederhana tanpa harus berputar-putar (circular) sebagaimana dikemukakan oleh Wierzbicka (1996:12) dan Goddard (1998: 2) dalam kutipan berikut:
It is impossible to define all words. In defining we comply a definition to express the idea which we want to join to define word; if we then wanted to define ‘the definition” still other words would be needed, and so on to infinity. Hence, it is necessary to stop at some primitive words which are not defined. (Adalah mustahil untuk mendefinisikan semua kata. Dalam mendefinisikan kata kita harus mengacu pada satu definisi untuk menyatakan gagasan yang diperlukan dalam mendefinisikan kata; jika kemudian kita ingin mendefinisikan “definisi‟ suatu kata , kata lain masih pula diperlukan, dan seterusnya. Karena itu diperlukan kata-kata asali yang tak bisa lagi didefinisikan.) Pengeksplikasian makna asali dilakukan melalui parafrase dengan menggunakan bahasa alamiah (ordinary language), dan bukan menggunakan bahasa yang bersifat teknis (Wierzbicka,1996:31). Implikasi teoritis penggunaan makna asali 24
25
adalah untuk menerangkan makna serumit apapun dengan cara lebih sederhana. Hal ini mengisyaratkan bahwa sejauh mana pun pada dasarnya
perkembangan dan
perubahan makna dapat ditentukan. Tentu saja dengan dengan syarat makna asalinya dapat dideskripsikan. Wierzbicka mengusulkan sejumlah makna asali berdasarkan penelitian terhadap sejumlah bahasa di dunia. Temuan awalnya pada tahun 1972 adalah 14 elemen makna asali (Goddard, 1998: 24-37). Terbaru adalah 63 perangkat makna asali (dalam Goddard:2008) sebagaimana disajikan dalam tabel 1.3.
Tabel 1.3 Elemen Makna Asali – Eksponen bahasa Inggris-Indonesia SUBSTANTIVES MENTAL PREDICATES I – Aku Think - Pikir You –Kau/Kamu Know – Tahu Someone –Seseorang Want – Mau/Ingin Something/Thing –Sesuatu Feel – Rasa People – Orang See – Lihat Body – Tubuh Hear – Dengar
RELATIONAL SUBSTANTIVES Kind – Jenis Part – Bagian
LIFE AND DEATH Live – Hidup Die – Mati
DETERMINERS This – Ini The Same – Sama Other/Else – (Yang) Lain
TIME When/Time – Bila/Kapan / Waktu Now – Sekarang Before – Sebelum After –Sesudah A Long Time – Lama A Short Time – Sekejap For Some Time – Sebentar Moment – Waktu/Saat
QUANTIFIERS One – Satu Two – Dua 25
26
Much/Many – Banyak Some –Beberapa All – Semua
SPACE Where/Place – Di Mana/Tempat Here – Di Sini Above – Di Bawah Below – Di Bawah Far – Jauh Near – Dekat Side – Sebelah Inside – (Di) Dalam
EVALUATORS Good – Baik Bad – Buruk
DESCRIPTORS Big – Besar Small – Kecil
ACTIONS, EVENTS, CONTACT: Do – Berbuat Happen – Terjadi Move – Bergerak Touch – Menyentuh
MOVEMENT,
LOGICAL CONCEPTS Not – Tidak Maybe – Mungkin Can – Dapat / Boleh Because – Karena If – Jika
INTENSIFIER, AUGMENTOR Very – Sangat More – Lagi
LOCATION, EXISTENCE, POSSESSION, SPECIFICATION Be (Somewhere) – Berada (Di Suatu Tempat) TAXONOMY, There Is (Exist) – Ada SIMILARITY Have (Belong To) – Ada Kind Of – Jenis Be (Someone/Thing) – Ada Part Of – Bagian Like – Macam SPEECH Say – Ujar Words – Kata True –Benar (dari Goddard,2008:33)
PARTONOMY,
1.6.4.2 Polisemi Takkomposisi Polisemi bukan merupakan istilah baru dalam kajian semantik (Wierzbicka, 1996:25; Goddard, 1998: 18). Dalam kerangka MSA, polisemi takkomposisi 26
27
merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda dan tidak memiliki hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen lainnya karena eksponen tersebut memiliki kerangka gramatikal yang berbeda ( Wierzbicka, 1996: 29-30). Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin akan menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda pula. Goddard (1998: 29) mencontohkan kata makuringanyi yang dalam bahasa Yakunytjatjara, yakni bahasa Aborigin di Australia berarti „ingin‟. Sementara itu kata yang sama dalam bahasa Inggris
bisa bermakna like, be fond of,
dan need padahal ranah penggunaannya tidak berhubungan dengan ranah want bahasa Inggris. Oleh karena itu, polisemi dipandang sebagai salah satu aspek yang menghubungkan
leksikal
dengan
sintaktik
(leksiko-sintaktik),
bentuk,
dan
korespondensi makna. Bentuk hubungan takkomposisi, yakni hubungan yang menyerupai (entailment like relationship) misalnya melakukan/terjadi dan hubungan implikasi
(implicational
relationshanp)
misalnya
merasakan/terjadi
(Goddard,1998:19). Ilustrasi di bawah ini menjadi contoh bagaimana pola hubungan takkomposisi bekerja. (1) X melakukan sesuatu pada Y Sesuatu terjadi pada Y (2) Jika X merasakan sesuatu
maka sesuatu terjadi pada X
27
28
Perbedaan sintaksis yang dapat dikenali dari verba melakukan
dan terjadi pada
contoh (1) ialah bahwa melakukan memerlukan dua argumen, sedangkan terjadi hanya memerlukan satu argumen. Hubungan implikasi terjadi pada verba terjadi dan merasakan sebagaimana dapat dilihat pada pola (2). Misalnya, apabila X merasakan sesuatu, maka sesuatu terjadi pada X.
1.6.4.3 Sintaksis Makna Universal Sintaksis makna universal (universal syntax of meaning) yang dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an (Goddard, 1998: 24) merupakan perluasan dari sistem makna asali. Wierzbicka menyatakan bahwa makna memiliki struktur yang sangat kompleks dan tidak hanya dibentuk dari elemen sederhana, seperti seseorang, ingin, tahu, tetapi dari komponen berstruktur kompleks (1996: 171). Sintaksis makna universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali universal yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa yang bersangkutan. Contohnya adalah kata ingin akan memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: SAYA INGIN MELAKUKAN INI. Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan sebuah klausa yang dibentuk oleh substantif, predikat, dan beberapa elemen tambahan yang diperlukan oleh predikatnya. Kombinasi elemen-elemen ini akan membentuk sintaksis makna universal yang dalam kerangka MSA disebut kalimat kanonis (canonical sentences), yaitu konteks tempat leksikon asali diperkirakan muncul secara universal 28
29
(Wierzbicka, 1996:30; Goddard, 1998: 27-34). Jadi, MSA adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya.
Unit dasar MSA dapat disamakan dengan “klausa”,
dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola MSA antara lain :
(3) a. Aku melihat sesuatu di tempat ini. b. Sesuatu yang buruk terjadi padaku. c. Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku. d. Aku tahu bahwa kau orang yang baik. Ketiga konsep dasar di atas: makna asali, polisemi takkomposisi, dan sintaksis makna universal, merupakan tumpuan dalam memformulasikan struktur semantis verba expect dalam bahasa Indonesia. Dalam teori MSA disiratkan bahwa elemen yang dapat berfungsi sebagai predikat dalam struktur semantis, yaitu elemen yang secara tipikal tergolong verba sebagaimana tergambar dalam Tabel 1.4.
Tabel 1.4 Elemen Makna Asali sebagai Predikat dalam Struktur Semantis a. predikat mental : THINK „pikir’, KNOW „tahu’, WANT „ingin’, SEE „lihat’ HEAR „dengar’ b. ujaran : SAY „mengatakan’ tindakan, peristiwa, : DO „melakukan’, HAPPEN „terjadi’ , pergerakan MOVE „bergerak’ Dari Wierzbicka (1996:35); Goddard (2008: 13-15) c.
29
30
Fungsi predikat ini selanjutnya digunakan untuk identifikasi komponen semantis verbanya. Identifikasi terhadap komponen semantis sebuah verba ditujukan untuk mendeskripsikan struktur semantis verba tersebut serta mendeskripsikan peran tematis partisipannya.. Dalam teori MSA, kombinasi antareksponen ini disebut polisemi. Temuan terhadap polisemi merupakan kerangka terpenting dalam menentukan pola atau kaidah sintaksis makna universal. Aloleksi dan pilihan valensi juga merupakan aspek penting dalam teori MSA. Aloleksi menjelaskan beberapa bentuk kata yang berbeda untuk mengungkapkan makna tunggal. Misalnya, I dan me sebagai aloleksi posisional, dan someone dan person sebagai aloleksi kombinatorial, dan seterusnya. Aspek valensi mengandung makna inheren tindakan yang berkemampuan mengikat dua atau lebih argumen. Secara semantis verba berperan sangat penting dalam mengontrol jumlah argumen yang dibutuhkan verba itu sendiri. Misalnya,verba berharap bervalensi lebih rendah daripada mengharapkan. Misalnya, 4) Kaisar Jepang tak berani berharap banyak. 5) Presiden mengharapkan kedatangan para menteri di Istana Negara.
Verba berharap mengikat satu argumen sebagai agen, seperti dalam kalimat (1). Sementara itu dalam kalimat (2) argumen yang dibutuhkan oleh verba mengharapkan adalah tiga yakni agen, tema, dan lokatif.
30
31
Dalam merumuskan struktur semantis kata dalam suatu bahasa, teori MSA menggunakan sistem parafrase reduktif atau eksplikasi semantis. Menurut Wierzbicka (1996), parafrase reduktif atau eksplikasi semantis harus mengikuti beberapa kaidah. 1) Parafrase harus menggunakan kombinasi sejumlah makna asali yang telah diusulkan oleh Wierzbicka. Kombinasi makna asali diperlukan terkait dengan klaim dari teori MSA bahwa suatu bentuk tidak dapat diuraikan hanya dengan memakai satu makna asali. 2) Parafrase dapat pula dilakukan dengan memakai unsur yang merupakan kekhasan suatu bahasa. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur yang merupakan keunikan bahasa itu sendiri untuk menguraikan makna. 3) Kalimat parafrase harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa yang dipakai untuk menyusun parafrase. 4) Parafrase selalu menggunakan bahasa yang sederhana. 5) Kalimat parafrase terkadang memerlukan indentasi dan spasi khusus.
Model yang ditetapkan dalam menyusun parafrase adalah model dengan formulasi seperti di bawah ini. Aku (X) melakukan sesuatu padamu (Y). Karena ini, sesuatu terjadi pada Y. X menginginkan ini. X melakukan sesuatu seperti itu.
31
32
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Disebut kualitatif karena peneliti bertindak sebagai instrumen utama yang menguraikan dan menjelaskan karakteristik data yang sebenarnya. Disebut penelitian deskriptif karena dikerjakan dengan cara menguraikan data dan karena hasil penemuan terakhir penelitian ini berwujud perian (deskripsi) (Poedjosoedarmo, 2012:13). Oleh karenanya, penelitian ini mendeskripsikan struktur semantis verba expect dan leksikon-leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia, serta memerikan sebab-sebab terjadinya perbedaan struktur semantis di antara keduanya. Pelaksanaan metode ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni pengumpulan data, penganalisisan data, serta penyajian hasil analisis data. Sumber data adalah korpus dwibahasa (parallel corpus). Korpus memberi data bahasa yang obyektif karena melalui korpus pola-pola kebahasaan tertentu dalam suatu bahasa dapat ditelusuri. Selanjutnya, analisis berbasis korpus mampu meneliti hampir semua pola-pola kebahasaan, seperti pola-pola fonologis, morfologis, leksikon, struktur, leksikosintaksis, sampai pola-pola wacana (Sinclair, 1998 dalam Kreiger, 2003). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metabahasa Semantik Alami. Konsep-konsep dalam MSA seperti polisemi takkomposisi, stuktur semantis, dan struktur makna universal digunakan untuk mendeskripsikan bentuk (pola) struktur semantis verba expect dan leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia. Terkait dengan aspek ortografis dalam penelitian ini, penulisan huruf kapital mengacu 32
33
pada elemen makna asali (semantic primitives), misalnya THINK. Sementara itu, penulisan huruf miring digunakan untuk mengacu pada kata atau frase asing.
1.7.1 Sumber Data Berkaitan dengan sumber data korpus, menurut McEnery dan Hardie (2012:18-19), terdapat tiga tipe korpus yang menggunakan lebih dari satu bahasa. Tipe A atau korpus paralel (parallel corpus) adalah korpus dwibahasa di mana teks sumber dipadantranslasikan ke dalam satu atau lebih bahasa, misalnya IDENTIC corpus atau Canadian Hansard corpus. Tipe B merupakan pasangan atau kelompok korpora bahasa tunggal (comparable corpus) yang disusun menggunakan kerangka sampling yang sama, seperti Lancaster Corpus of Mandarin Chinese. Tipe C sering pula disebut comparable corpus yang merupakan kombinasi dari tipe A dan B, misalnya the ENPC Corpora. IDENTIC merupakan satu-satunya korpus paralel dwibahasa bahasa Indonesia-Inggris. Korpus ini disusun berdasarkan kerjasama Centrum Komputaˇcní Lingvistiky dari Kementerian Pendidikan Cekoslowakia dengan Institute of Formal and Applied Linguistics, Charles University Praha. Penyusun utama adalah Larasati (Larasati,2012) yang merupakan peneliti Indonesia di
Institute of Formal and
Applied Linguistics, Praha untuk bahasa-bahasa dunia dengan sumber data terbatas (under-resourced language). IDENTIC memuat beragam teks dari berbagai sumber sehingga genre kalimat dalam korpus pun beragam. Sumber data IDENTIC adalah 33
34
PAN Localization Project yang diselenggarakan oleh BPPT tahun 2010 (Larasati, 2012) yang sebagian besar memuat artikel dalam gaya bahasa formal. Sumber data penelitian ini adalah korpus elektronik dwibahasa InggrisIndonesia, yakni IDENTIC Corpus yang dapat diakses secara bebas melalui situs
. Kamus melengkapi data yang tidak ditemukan dalam korpus. Korpus memberikan data kebahasaan yang alamiah dan konkret, sedangkan kamus memberikan kemudahan pengumpulan data yang tidak ditemukan dalam korpus (Pasaribu, 2012:32).
1.7.2 Metode Pengumpulan Data Data untuk penelitian ini adalah verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana situs korpus lainnya, IDENTIC Corpus dapat menampilkan data yang dikaji secara cepat dan berulang-ulang. Namun demikian, berbeda dari korpus bahasa tunggal (monolingual corpus) yang menyediakan kolom pencarian kata (query), IDENTIC tidak menyediakan sistem pencarian kata, frase, atau kalimat dalam bahasa Indonesia atau Inggris secara spesifik karena memang tipe korpus yang menyediakan padan translasi kalimat dalam kedua bahasa. Karenanya untuk penelitian ini seluruh halaman korpus sebanyak 2646 diunduh penuh dan dikonversi dari format notepad ke dalam Microsoft Word. Selanjutnya dicari kalimat 34
35
yang memiliki predikat verba expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indoneisa. Berikut adalah tahapan untuk menemukan verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. 1) Menggunakan sistem pencarian cepat dalam Microsoft Word (Ctrl+F) untuk menemukan kalimat yang mengandung kata expect dalam berbagai bentuk turunannya. 2) Mengidentifikasi dan mengumpulkan seluruh kalimat yang memiliki predikat verba expect, baik kalimat aktif maupun pasif. 3) Mengklasifikasi data kalimat aktif dan pasif. 4) Menyisihkan data kalimat pasif karena data yang dianalisis adalah data kalimat aktif untuk mempermudah menyusun struktur makna. 5) Data disajikan dengan penomoran urut. Berikut adalah contohnya:
(1) Forward Emile Heskey is out of the clash due to a back injury but expected to recover for the Premier League trip to Middlesbrough next Tuesday Pemain depan Emile Heskey tidak akan bermain karena cedera punggung , tapi berharap akan pulih untuk lawatan Liga Utama ke Middlesbrough Selasa pekan depan . . (2) We expect our installation will be able to protect wind condition of the area. Kami berharap instalasi kami akan mempertahankan kondisi dingin di kawasan itu. Nomor (1) dan (2) merupakan nomor urut kalimat dalam bab-bab pembahasan.
35
36
1.7.3 Metode Analisis Data Dari data yang ditemukan dalam korpus terlihat berbagai padan leksikon verba expect dalam bahasa Indonesia. Seluruh data yang terkumpul diklasifikasikan dan
dianalisis dengan metode padan. Metode padan adalah metode yang alat
penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13-16).
Metode padan yang diterapkan untuk penelitian ini
adalah padan translasional dan pilah unsur penentu (selanjutnya disebut PUP). Metode padan translasional digunakan untuk menentukan padan leksikon verba expect dengan verba-verba setipe dalam bahasa Indonesia. PUP diterapkan untuk menentukan makna asali dan struktur semantis masing-masing verba yang mengacu pada leksikon asali universal. Misalnya, verba sikap bertipe keputusan dapat diklasifikasikan menjadi memikirkan / menetapkan, memikirkan / menjadwalkan, memikirkan / memutuskan. PUP digunakan pula untuk menentukan pilhan valensi predikat expect, apakah sebagai pelaku (agen, pemengaruh, atau lokatif) atau penderita (pasien, tema, atau lokatif). Selanjutnya, pendekatan MSA memiliki metode tersendiri dalam menganalisis data, yakni parafrase. Parafrase digunakan untuk menyusun eksplikasi struktur semantis yang mencakupi makna asali, polisemi takkomposisi, dan sintaksis makna universal. Namun, metode ini harus dipadukan dengan metode analisis data kualitatif untuk memilah-milah data sesuai unsur-unsurnya. Kedua metode tersebut digunakan 36
37
secara ekletik agar menghasilkan analisis data yang memadai. Berangkat dari pemikiran ini, langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data penelitian ini adalah: (1) Kualifikasi data yang bermanfaat karena tidak semua data berterima untuk dianalisis. Dalam hal ini data yang berkualitas adalah verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. (2) Klasifikasi data, yaitu verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia dalam konstruksi aktif transitif. (3) Menentukan bentuk argumen verba expect sebagai upaya mengidentifkasi makna asali dan peran semantis verba expect dan leksikon-leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia. (4) Menganalisis struktur semantis verba Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa dengan metode sebagai berikut: (a) menentukan makna asali (b) menentukan variasi formal (polisemi takkomposisi, aloleksi, valensi) (c) menyusun eksplikasi untuk setiap verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia.
(5) memerikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan struktur semantis verba bahasa Inggris expect dan padan leksikonnya dalam bahasa Indonesia. 37
38
1.7.4 Metode Penyajian Data Dalam menyajikan hasil penelitian ini digunakan dua metode, yakni metode formal dan metode informal (Sudaryanto,1995:145). Metode formal yakni penyajian hasil penelitian dengan meggunakan tanda-tanda dan lambang, seperti X, Y, Z dalam kaitannya dengan pemetaan eksponen, subeksponen, dan komponen. Lambanglambang ini digunakan pada saat memparafrase struktur semantis verba. Metode informal diterapkan untuk penyajian data dengan kata-kata biasa, termasuk terminologi yang bersifat teknis. Sebagian besar hasil analisis disajikan secara informal yang ditata secara deduktif dan induktif. Penyajian dengan kaidah formal jauh lebih efisien dan sistematis daripada penyajian informal. Namun, menggunakan kaidah formal saja dapat menyulitkan bagi orang tertentu. Penyajian informal, sekalipun tampaknya kurang sistematis, dapat memperjelas dan memudahkan pemahaman. Dengan memadukan keduanya, penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menjadi lebih efisien, sistematis, dan jelas.
1.8 Sistematika Penyajian
38
39
Laporan penelitian ini akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut. Bab I menyajikan latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Pada Bab II dipaparkan
(1) cara identifikasi leksikon yang menjadi
padanan verba expect dalam bahasa Indonesia; (2) padan leksikon verba expect dalam bahasa Indonesia; serta (3) makna asali verba expect dan leksikon-leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia; (4) peran semantis dan makna semantis verba expect dan leksikon-leksikon padanannya dalam bahasa Indonesia. Bab III menyajikan (1) perbedaan struktur semantis verba bahasa Inggris expect dan leksikon-leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia, serta (2) pemerian sebab-sebab terjadinya perbedaan di antara keduanya serta komponen makna verba expect yang ditiadakan dalam leksikon yang menjadi padanannya dalam bahasa Indonesia. Bab IV sebagai bagian terakhir menyajikan kesimpulan penelitian dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
39