Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Bentuk dalam Khazanah Arsitektur Nusantara sebagai pengetahuan desain Dr.Indah Widiastuti. ST.,MT Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Pengantar Materi kuliah umum ini ditujukan sebagai wacana reflektif dari pengetahuan mengenai arsitektur Nusantara yang diajarkan di Universitas Parahyangan. Diskusi dalam makalah ini secara khusus membahas pemanfaatan pengetahuan arsitektur Nusantara untuk praktik merancang, untuk desain arsitektur dan desain pada umumnya. Salah satu masalah dalam keilmuan arsitektur adalah bahwa kebanyakan ilmuwan yang masuk ke dalam wilayah-wilayah kajian seperti ini justru tidak belajar arsitektur sebagai sebuah ilmu desain, melainkan etnografer, arsitek pemerhati budaya yang kerap berangkat dari prinsip dan landasan normatif dari kebudayaan. Pengetahuan arsitektur Nusantaradi Indonesia lebih hadir sebagai bunga rampai kebudayaan Nusantara dengan kasus-kasus arsitektur. Uraia pun disajikan secara tepisah-pisah, terutama berdasarkan tempat asalnya, seperti arsitektur Minang, arsitektur Jawa, arsitektur Batak dan lain sebagainya. Namun apa yang akan dilakukan selanjutnya? Apakah kita akan membuat arsitektur yang sama di masa kini? Sekiranya kajian seperti ini dilakukan oleh ilmuwan berlatar belakang perancangan arsitektur, hasilnya tentunya akan berbeda. Karena itu Materi kuliah ini dimaksudkan untuk mengajak mahasiswa untuk berimaginasi secara generatif prosesual dalam memahami dan mengkritisi perbendaharaan bentuk arsitaktur Nusantara, dan bukannya sekedar bentuk matinya saja. Asumsi dasar dari diskusi ini adalah bahwa pada arsitektur vernakular/ tradisional terkandung pola dasar morfemik dari bentuknya sendiri. Pola-pola dasar tersebut bisa menjadi formula dasar desain arsitektur Nusantara untuk skala konteks yang berbeda. Pendahuluan Kajian mengenai Arsitektur Nusantara sudah banyak dikaji oleh sarjana dalam dan luar negri dan dijadikan acuan oleh sarjana Indonesia untuk mengkaji arsitektur Nusantara. Namun kebanyakan dari mereka adalah sarjana yang berlatar belakang Sosiologi dan Antropoligi, seperti Roxana Waterson (1989, Sosiolog), Reimar Schefold (2005, Etnografer), Lim Jee Yuan, (1987), James Fox (1987, Antropolog). Beberpa pernyataan mereka menjadi cukup signifikan sehingga dijadikan sebagai pegangan. Dari berbagai kajian, Reimar Schefold (2005) merangkumkan sembilan attribut rumah masyarakat Asia Tenggara tradisional - “Southeast Asian House”: 1) Tripartite order, 2) Outward slanting wall; 3) Multilevel floor, 4) Outward slanting gable, 5) Gable finial, 6) Differential treatment of roof and tip, 7) Thatch roof, 8) Storage rack above the hearth, dan 9) Notched log ladder. Jacques Dumarcay (1988) merumuskan adanya tiga tipe Konstruksi Indonesia: 1) saddle-Roof, 2) tiered beam roof, dan 3) shingle roof. James Fox (1997) membahas karakter dan penyebaran arsitektur Austronesia yang ditelusuri lewat penyebaran bahasa Austronesia. Beberapa sarjana yang berkecimpung dalam
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 wacana ini banyak pula yang mempertanyakan efektifitas dari pengetahuan yang dihasilkan oleh para etnografer yang menurut mereka kurang menggali aspek formal dari bentuk dan tektonika yang justru merupakan inti dari perancangan arsitektur sendiri. Salah satu pakar arsitektur Asia Tenggara yang berlatar arsitekture adalah Gaudenz Domenig (1986). Ia mungkin adalah satu dari sedikit pakar arsitektur di Asia Tenggara yang mendasari kajiannya pada displin arsitektur dan bangunan, terutama konstruksi. Ia melakukan banyak kajian komparatif dari arsitekturarsitektur berbentuk dan berakar bentuk sama di banyak tempat di Asia Tenggara dan merumuskan formulasi tektonika dari arsitektur tersebu yang darinya ia membuat rekronstruksi dari evolusi bentuk arsitektur beratap saddle- overhanging roof (pelana dengan sopi-sopi miring). Dari kajiannya terhadap arsitektur Batak, Toraja dan Jepang Selatan ia membuat rekonstruksi struktur dan tektonika arsitektur Batak, toraja, Jepang, Jawa dan Sumatra, yang disebut sebagai Boat structure, dan atapnya berperilaku seperti prinsip struktur tenda. Prinsip tenda inilah yang kemudian menjadi “kata kunci” dari sifat generatif desain arsitektur di ketiga tempat itu pada khususnya dan arsitektur Nusantara pada umumnya. Bukan saja tektonika, ia juga melengkapi kajiannya dengan latar belakang pertukangan, sejarah artefak arkeologis. Bila Domenig mampu membuat model rekonstruksi tektonika dan struktur arsitektur Nusantara dari masa lalu, dengan semangat inilah saya hendak mengajak mahasiswa untuk lebih mencermati karakter generatif dalam khazanah bentuk arsitektur di Nusantara sebagai inspirasi untuk melakukan desain masa kini. Untuk itu berikut kita akan cermati beberapa contoh bangunan modern, The House of the Five Senses, Ton van de Ven, (1996) (Gb. 1) dan Masjid Raya Sumatra Barat, Rizal Muslimin (2007) (Gb. 2). Mungkin banyak yang akan sepakat bila kedua bangunan ini mengingatkan kita kepada arsitektur Minangkabau. Namun mungkin tak banyak yang tahu juga bahwa keduanya memang mengambil arsitektur Minangkabau sebagai rujukanya. The House of the Five Senses adalah salah satu contoh arsitektur sebuah paviliun pameran yang desainnya merupakan hasil reinterpertasi dari desain arsitektur Minangkabau tanpa harus meniru bentuk minangkabau. Arsitektur Masjid Raya Sumatra Barat adalah arsitektur yang menjadikan karakter tenda pada struktur Bagonjong arsitektur Minang sebagai kata kunci untuk intrepertasi bentuk dari arsitektur Minangkabau. Secara teknis bentuk ini bisa dikatakan sebagai realisasi struktur-struktur tarik. Sejalan dengan prinsip arsitektur yang dirumuskan oleh Domenig, kekayaan desain pada dua karya arsitektur tersebut dihasilkan dari penjelajahan karakter plastis dan fold dari atap yang menampilkan kesan tenda, yang memang merupakan salah satu dasar dari formulasi generik arsitektur atap di Minangkabau kuno. Atap bangunan Rumah Tinggal dan vila di Bandung 1930 an (Gb.3) banyak menggunakan rujukan atapatap arsitektur asli di Nusantara, seperti arsitektur Sunda dan juga Minanag. Bangunan Kolonial di Bandung, memang tidak menjelajahi prinsip tenda pada rancangan atap arsitekturnya. Ia menjelajahi visualisas bentuk atap perahu, pelana dan perisai dengan menggunakan struktur kuda-kuda Eropa. Ia juga melakukan transformasi dari konteks material pertukangan tradisional yang didominasi kayu dan bambu ke dalam arsitektur berkonstruksi bata dan kayu. Ungkin semangat anti-historis dan eksplorasi
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 seni Modern dari arsitektur di masanya (yang dipengaruhi tradisi-tradisi seperti Asterdam School dan Art Nuoveau), membuat para arsitek Belanda melakukan eksperimentasi total terhadap bentuk arsitektur Nusantara, dan menghasilkan desain yang khas Nusantara (Tropische Indische) tanpa harus terikat oleh tradisi-tradisi arsitektur Eropa yang formal dan kanonik (mengacu pada rumusan-rumusan formal seperti aturan Klasik, perbendaharaan arsitektur Klasik dll).
Gb.1 The House of the Five Senses, Ton van de Ven, 1996
Gb.2 Masjid Raya Sumatra Barat, Rizal Muslimin 2007
Gb. 3 Bangunan Rumah Tinggal di Bandung 1930 an
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 Contoh-contoh di atas memberikan wawasan bahwa adaptasi bentuk arsitektur Nusantara untuk membuat arsitektur yang baru bisa dilakukan tanpa menumpukan diri pada praktek peniruan -peniruan yang naif. Seperti diungkapkan oleh Bagoes Purwono (2015) semestinya arsitek tidak mereproduksi arsitektur yang sama dari masa lalu. Mestinya mereka mampu tetap menciptakan bentuk yang mutakhir sekalipun merujuk pada perbendaharaan yang lama. Arsitektur karya Kethut Arthana untuk Fifth Elemen mampun menampilkan suasana Bali tanpa harus mereproduski arsitektur Bali. Hal tersebut bisa dilakukan dengan lebih mengindahkan sifat generatif terhadap desain ini bisa dilakukan dengan harapan bahwa dalam upayanya mencipta atau berkreasi arsitektur yang berbasis kekayaan lokal. Mari kita beranjak pada aspek yang lebih bersifat kebudayaan. Pertanyaan mengenai sifat generatif arsitekural juga bisa digunakan untuk membahas budaya bermukim. Berikut adalah kajian dari seorang etnografer-arsitek lain, Nold Egenter (1992). Lewat teorinya ia membangun pengetahuan akan adanya sebuah inti spasial dan bentuk dari budaya bermukim yang berakar dari kesadaran primordial manusia. Koherensi inti ini secara sinambung ditemukan di semua lapisan skala berhuni – ruang, hunian, permukiman hingga lansekap bahkan kota. Bila Domenig mendapati karakter generatif ada pada elaborasi bentuk secara fisik, Egenter lebih memahami sifat generatif pada aspek kultural. Dari hasil penelitiannya, Nold Egenter mempostulasikan bahwa terdapat pola dasar berulang pada sebuah struktur lingkungan binaan baik itu dalam skala: 1) konsep berhuni dasar yang tercermin pada perilaku membangun tepat berteduh yang paling minim (sub-human) , bahkan teknik-teknik kriya (fibroconstruction) ; 2) konsep spasial yang tercermin pada sistem orientasi seseorang dalam lanseka dan lingkungan alam (semantic); 3) lingkungan binaan untuk menetap yang sudah merefleksikan kemampuan mebuat konstruksi untuk berteduh dan berhuni (domestik) hingga 4) Pemukiman, atau lingkungan berhuni dalam konteks kelompok atau cakupan yang lebih luas (settlement-architecture) , dan 5) Kota, atau lingkungan berhuni masyarakat yang heterogen dan kompleks (urban). Berikut adalah secuah contoh skemata “pohon hayat” nampaknya bisa dijadikan sebuah kata kunci yang merefleksikan nilai-nilai pada setiap lapisan budaya berhuni pada arsitektur rumah tinggal masyarakat berkekerabatan matrilineal di Kerala dan Minangkabau. Skemata Pohon Hayat ini bukan saja semata menjadi cara masyarakat beberapa peran sosial yang penting seperti, penghulu/ pemimpin adat yang baik diandaikan- yaitu sebagai sebuah “pohon yang subur dan kokoh”, praktek mencari dan memilih kayu di hutan untuk dijadikan struktur utama dan tiang utama juga dilandasi oleh keutamaan pohon bagi masyarakat dan rumah yang akan dibangun. Berbagai norma mengenai pemilihan dan perlakuan atas pohon pun dterapkan. Skemata pohon hayat juga menjadi dasar konseptualisasi spasial yang abstrak mengenai pusat pada bangunan dan kelompok hunian, yang kira-kira bisa digambarkan sebagai berikut:
Lapisan 0: Prinsip kepemimpinan seorang penghulu pada masyarakat Minangkabau diandaikan sebagai pohon yang subur dan teguh.
Lapisan 1: Prinsip adanya sebuah axis mundi yang dianalogikan dengan pohon, peneduh sebagaimana Pohon pengayom,
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Lapisan 2: Representasi sebuah hunian dinyatakan lewat “tiang utama” atau “tiang tuo” pada arsitektur Minangkabau.
Lapisan 3: Pada skala permukiman, bangunan relijius selalu menjadi tempat berkumpulnya para tetua kampung, dengan pohon beringin peneduh. Lokasi tempat pohon ini berdiri biasanya adalah titik dimana para leluhur mulai membuka lahan. Pohon biaanya pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari latar lingkungan yang terbentuk
Lapisan 4: Pada kelompok pemukiman (konfederasi), terdapat sebuah balai agung atau lumbung bersama dengan pohon beringin di depannya yang menjadi pengikat sebuah desa. Pada titik ini pohon mungkin secara harfiah sudah tak ada. Namun simbolisasinya terabadikan pada ruang.
Dengan kata lain pohon menjadi arketipe yang konsep inherennya ditemukan pada diri manusia, hunian, permukian, kelompok permukiman dan bahkan lansekap sakral. “Pohon” atau konsep “pohon hayat” menjadi sebuah arketipe, gen desain atau dan karenanya bisa dijadikan dasar formulasi generatif morefemik dari bangunan Minangkabau dan Kerala modern. Domenig dan Egenter merupakan contoh dua arsitek-sarjana yang berupaya a membangun sebuah pengetahuan yang generik mengenai logika “kemenjadian”, logika generatif-kreatif yang terkandung dalam formulasi pembentukan ruang dan bentuk dari khazanah arsitektur vernakuler. Konteks di sekeliling Wacana Bentuk Generatif Perhatian pada potensi universalitas dan sifat generatif dari proses-proses perancangan pada arsitektur ini sejalan dengan kecenderungan intelektual mutakhir yang mengedapankan sifat holistik, proses kemenjadian (process of becoming) dan kreatif. Yang pertama adalah teori Memetika/ gen kebudayaan (Richard Dawking) yang menyatakan bahwa kebudayan, seperti halnya mahluk hidup, memiliki gen yang disebut sebagai meme atau gen budaya. Dengan perspektif Memetika ini lingkungan dan manusia pada sebuah tempat yang spesifik seolah memeiliki DNA yang bersesuaian. Namun seperti halnya manusia, sekalipun memiliki sruktur DNA yang serupa, namun perawakanya akan tetap berbeda. Khasanah bentuk Arsitektur asli di Indonesia menunjukan pola-pola yang bersesuaian berbentuk seperti perahu yang mengindikasikan sebuah kekerabatan bentuk. Lebih jauh lagi dalam kajiannya, Domenig menyimpulkan adanya logika serupa yang berlaku pada kebanyak atap-atap tersebut, yaitu struktur tarik dan konstruksi yang bekerja seperti struktur Tenda. Logika ini menurutnya juga ditemukan pada kebudayaan kuno Jepang Selatan yang kemudian mendasari pendapatnya akan keserumpunan arsitektur Jepang Selatan dengan Indonesia. Sebaran-sebaran yang melampau jangkauan teritorial dari Indonesia, simpulan-simpulan mengenai generator formal bentuk yang tipikal lalu didukung dengan premis geologi Indonesia yang demikian unik di seluruh dunia, kian membuktikan adanya derajat universalitas yang bisa diturunkan dari perbendaharaan arsitektur tradisional di Nusantara. Dalam konteks diskusi ini kita bisa memahami
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 universalitas/ kesamaan/ kongruensi bentuk tersebut sebagai buklti adanya gen budaya/ meme yang diturunkan dari generasi-ke generasi, dan berpotensi dijadikan pegangan mendesain. Kedua, ada banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari kita yang berkaitan erat dengan cara-cara nenekmoyang kita hidup, baik yang menurut Collin Renfrew merupakan hasil “pahatan” lingkungan primordial yang polanya senantiasa diturunkan secara genetis. Hal tersebut menyebabkan mengapa di belahan bumi yang berbeda manusia, postur, cara berpikir dan bertindaknya khas, demikian pula perwujudan arsitekturnya. Masyarakat Nias di Indonesia dan masyarakat Hmong di Asia Tenggara sebelah utara hingga bagian timur India, memiliki karakter lingkungan yang tak jauh berbeda. Dan sekalipun mereka terpisah oleh tempat yang demikian jauh, dan tanpa komunikasi yang kerap seni mereka memiliki kesamaan jiwa. Karakter manusianya juga memiliki kongruensi, demikian juga perangkat hidupnya termasuk hunian. Pada titik ini kita bisa lihat, bahkan kekhasan lingkunganpun mengandung pola-pola generatifnya sendiri. Iklim tropis, geologi maritim dan hambatan vulkanik dan patahan tektonik memahatkan sistem kognitif masyarakat Nusantara dan Asia tenggara hingga menghasilkan pola-pola generatif kebudayaannya secara khusus. Pola generatif ini meungkinkan kemunculan estetika arsitektur yang tetap bersesuaian dari lingkungan berkarakter sama sekalipun terpisah jarak. Yang ketiga adalah kajian mengenai Pragma seperti yang dicetuskan oleh Yuswadi Saliya, bahwa cara manusa bekerja, berkreasi dan mencipta merupakan buah dialog antara manusia dengan lingkungan, sistem peralatanya dan material yang ada akan menghasilkan karya desain dengan pola-pola khusus. Konsep pragma menunjukan bahwa bahkan tradisi berbuat/ tradisi berolah tubuh/ berolah tangan meiliki sifat generik untuk menghasilkan kriya=kriya yang khas pada suatu tempat. Kegiatan menganyam, tradisi membuat anyaman dan obyek anyaman, selain dilihat sebagai obyek hasilan, mungkin bisa dilihat sebagai sebuah kata kunci dari sifat generatif melipat, menyelip, menyusun dan merangkai. Kata-kata kerja ini (melipat, menyelip, menyusun dan merangkai) mungkin bisa menjadi sebuah kegiatan/ persitiwa/ kerja yang bisa diambil karakter dasar generatif untuk menghasilkan metoda yang baru untuk merancang atau engolah bentuk. Keempat adalah penjelajahan model morfogenetik tentang bentuk yang kemudian mengilhami prinsip komputasi digital untuk arsitektur , yang oleh George Stiny diformulasikan sebagai Shape Grammar. Shape grammar adalah sebuah wacana yang ditulis oleh George Stiny yang memperkenalkan metoda menganalisis bentuk untuk memperoleh formulasi dasar yang bisa dikembangkan sebagai sebuah “tata bahasa bentuk” (shape gramar). A shape grammar consists of shape rules and a generation engine that selects and processes rules. Sebagai contoh sederhana, gambar di atas memperlihatkan model arsitektur Gotik (gb.4). Penurunan komponen bentuk dasar yang diturunkan dari gereja gotik bisa digunakan untuk merancang bentuk dan struktur baru, yang tak sama dengan gereja gotik yang dijadikan rujukanya. Formulasi bentuk dasar tersebut bisa diolah dan dikembangkan kedalam variasi generatif wujud, dari yang sederhana ke kompleks – linear, non-Linear, hingga algoritma. Kembali kita lihat bentuk baru bisa dihasilkan dengan menggunakan perbendaharaan lama, dengan tetap mempertahankan keselarasan aslinya, tanpa harus mengulang bentuk lama yang sama.
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Rumus Shape gramar
Bentuk asli
Hasil Modifikasi Gb.4 Modifikasi Sebuah Gereja Gotik Gambar Lima di bawah contoh yang lebih kompleks. Ia adalah studi eksperimental Stiny terhadap gaya arsitektur Frank Lloyd dan arsitektur vernakuler di Taiwan, dengan menggunakan Shape Grammar. dapat dianalisia untuk meghasilkan formulasi dasar guna membuat desain yang baru. Dengan analisis desain generatifnya, Stiny bisa menelurkan konsep desain arsitektur Frank Llouyd Wright. Dengan analisi desain generatif pula ia bisa merumuskan komposisi dasar dari rumah vernakuler masyarakt asli Taiwan. Kembali kita lihat bagaimana desain baru ini tidak mereproduski perbendaharaan lama. Kelima iklim akademik yang mengedepankan kritik terhadap segala bentuk reprouksi bentuk arsitektur yang statis juga didukung oleh penjelajahan teoritis tentang bentuk dalam arsitektur oleh Nikos Salingaros. Pandangannya diilhami oleh sifat non-linier dari alam dan segala bentuk yang holistik, dan organik. Dalam buku-bukunya seperti Design for a Living Planet, Theory of Architecture, dan Principle of Urban Structure teorinya juga menekankan aspek gereatif dari lingkungan binaan, dan kritik terhadap praktek pengulangan bentuk dan tipologi secara naif yang kemudian disebutnya sebagai geometry fundamentalism. Sebagaimana mahluk hidup, sifat-sifat bentuk itu diturunkan, namun keturunan yang dilahirkan tak harus mirip dengan pendahulunya.
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Gb. 5 Analisis Desain Generatif – Shape Grammar, George Stiny Kelima perspektif tersebut mendukung perspektif akan adanya sebuah pola-pola dasar yang mendasari kelahiran bentuk, pengalaman ruang dan tempat, cara berpikir dan cara bekerja yang melahirkan bentuk-bentuk tipikal. Seiring perjalanan sejarah, bentuk bentuk ini akan menghasilkan bentuk-bentuk yang lebih mutakhir, kompleks atau mungkin lebih berlebihan hingga lebih merupakan penggayaan dan akhirnya tinggal gaya saja.
Beberapa Kajian Komparatif Karakter Generatif Untuk dapat menurunkan berbagai rumusan-rumusan desain generatif tersebut dibutuhkan banyak kajian-kajian yang bersifat komparatif. Dengan kajian-kajian komparatif tersebut maka akan banyak dihasilkan pengetahuan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan pemahaman tersembunyi dari arsitektur Nusantara. Gaudenz Domenig pun mendasari wacana dan teorinya dari serangkaian kajian komparatif. Roxana Waterson, james Fox dan Reimar Schefold juga memperoleh dasar wacana dan teorinya melalu kaji banding arsitektur asli masyarakat di Asia tenggara. Pendalaman-pendalaman yang dilakukan oleh para peneliti-peneliti tersebut dilakukan dengan melakukan studi komparasi. Pengalaman mengkaji aspek-aspek arsitektur secara lateral tersebut dapat menghasilkan pengetahuan mengenai struktur internal dan dimensi proses pembentukanya. Dalam etnografi, kajian komparatif menjadi penting karena darinya diperoleh: 1) sejarah alternatif dari budaya material manusia di suatu tempat ; 2) kesimpulan akan kesamaan dan keunikan prinsip dari budaya-budaya di tempat yang berbeda dan tak saling berhubungan secara historis.
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Mengapa Puh Sarang dan Aula Barat bisa luar biasa? Karena seorang Mac Claine Pont bisa merumuskan dari komparasi-komparasi bangunan di Nusantara. Dengan mempelajari sifat tarik pada konstruksi atap Jawa dan Melayu, Macclaine Pont memformulasikan sebuah model generik arsitektur yang melatar belakangi desain arsitektur Aula Barat dan Puh Sarang (Gb.6 dan Gb.7).
Gb. 6 Arsitektur Aula Barat dan Puh Sarang
Gb. 7 Kajian Konstruksi Jawa dan Sunda Besar oleh Maclaine Pont Gaudenz Domenig, melakukan banyak upaya kajian komparatif dari arsitektur-arsitektur berbentuk dan berakar bentuk sama di banyak tempat di Asia dan merumuskan beberapa pola yang berulang dan bisa diolah menjadi rumusan generator bentuk arsitektur. Pada dasarnya ia hanya mengkaji pola dari hasil surveynya, dan melakukan reinterpertasi akan adanya sebuah proses dari desainya. Penelitian konstruksi atap arsitektur Batak Karo dan Toraja yang kemudain emunculkan sebuah prinsip evolusi arsitektur yang bisa dipakai enjelaskan arsitektur yang solid Asia dala lingkup. Dengan kajiannya ia bisa
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 menjelaskan dimensi proses dari fenoena arsitektur rumah besar yang ada di Indonesia, yang kebetulan terkumpul di Indonesia bagian Barat Indonesia.
Gb. 8. Kajian Konstruksi Batak karo, Toraja dan Jepang Selatan, Gaudens Domenig Seorang etnografer Jepang, Koji Sato misalnya dari hasil kajiannya mengenai lumbung-lumbung di Asia, berkesimpulan bahwa konsep rumah di Nusantara merupakan perkembangan dari konsep lumbung. Dengan kajiannya ia bisa menjelaskan fenomena sebagian besar arsitektur rumah yang berpusat pada empat tiang yang ada di Indonesia, yang kebetulan terkumpul di Indonesia bagian Timur. Kajian saya mengenai arsitektur Kerala juga memperlihatkan konsep lumbung sebagai dasar arsitektur domestik mereka, sekaligus menjadi bukti kesinambungan arsitektur dari India selatan dengan arsitektur di Asia Tenggara dan Pasifik. Kesesuaian konstruksi arsitektur Sumba dan Jawa, seperti yang juga dikaji oleh Josef Prijotomo, memberi gambaran sifat generatif dari bentuk dan pertukangan arsitektur kedua tempat. Kasus perbandingan Joglo Jawa dan Sumbawa ini bisa dibaca sebagai akibat transposisi penggunaan material bambu ke kayu Kerja kekerabatan menjadi profesional. Kajian komparatif ini bisa membuktikan kekerabatan perbendaharaan struktur dari arsitektur Jawa dan Sumbawa. Sekaligus dasar untuk menelasari faktor faktor penyebabnya. Sebagai contoh, meang budaya Java kuno lebih formal dan industrial daripada Sumbawa. Pekerjaan tukang jawa juga lebih profesional daripada sumbawa. Dengan cara kerja yang lebih terkodifikasi , profesionalitas, material yang lebih rigid dan lebih abadi, maka Joglo Jawa bisa dibuat secara lebih industrial dengan produksi masal. Perkembangan dan Kombinasinya memungkinkan sesuatu transformasi ketukangan arsitektur dari bambu menjadi kayu, dari kekerabatan menjadi profesional.
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015
Gb. 9. Kajian Konstruksi lumbung pada arsitektur Austronesia, Koji Sato
Hal yang sama dan saya teliti sendiri adalah apa yang terjadi di India dan Indonesia. Logika yang sama terjadi, di mana urbanisasi di India selatan memang relatif awal yaitu di abad 6 M. Sifat urban ini menjadi dasar pengaruh Pallava di perairan lepas teluk Benggala hingga sampai di Indonesia. Sebagai dampak Kerala lebih urban ketimbang Sumatera Barat, sehingga. Arsitektur Kerala bisa dibaca sebagai versi kayu dari struktur bambau-kayu Sumba.Struktur ruang bambu pada atap arsitketur batak karo ditransposisikan jadi struktur ruang kayu pada arsitektur Kerala. Sekalipun kerala dan Batak bisa dikatakan memiliki dasar primitif yang sama, namun arsitektur Kerala berkesempatan berkembang menjadi lebih industrial. Pemutakhiran arsitektur bambu menjadi kayu yang berbasis bambu, atau pengkayuan pada arsitektur menjadi pembatuan diduga bisa terjadi seiring intensifikasi proses urbanisasi. Dari uraian diatas kita bisa melihat bahwa ragam transformasi arsitektur dapat terbentung secara sinambung. Bentuk arsitektur Indonesia bisa dikenali bukan sekedar dari stereotipikal kesan dan bentuknya namun juga karakter dan ciri generatif dari bentuknya.
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 Saran Dalam batas-batas tertentu arsitektur Nusantara semestinya bisa dikodifikasikan sebagai sebuh pengetahuan yang universal dan generatif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai rujukan atau bahkan formula untuk melakukan transformasi. Untuk kebutuhan desai arsitektur Nusantara berpotensi untuk memunculkan sebuah pengetahuan desain yang bersifat “form generation”. Prinsip-prinsip seperti Atap berbentuk perahu, arketipe pohon hayat dan tipologi lumbung adalah beberapa substansi yang sudah sempat dikaji secara menyeluruh yang bisa menjadi contoh dari formulasi universal dari pengetahuan arsitektur Nusantara. Bila hal ini bisa dilakukan maka pengetahuan transformasi arsitektur akan memiliki dimensi lebih daripada sekedar hanya berupa transformasi bahasa arsitektur, dan bersikap pencitraan semata. Gb. 10. Kajian Komparatif Konstruksi rumah Batak Karo dan Kerala, Indah Widiastuti Referensi Domenig, Gaudenz, 1980, Tektonik im Primitiven Dachbau: Materialen und Rekonstruktionen zum Phaenomen der Auskragenden Giebel an Alten Dachformen Ostasiens, Sudostasiens und Ozeaniens , Eidgenissische Techniche Hochschule, Organisationsstelle fur Ausstellungen, Zurich Dumarcay, Jacques, 1985, The House in Southeast Asia – Images of Asias Series, Oxford University press. Egenter, Nold, 1992, Implosion , http://home.worldcom.ch/negenter/ Fox, James, 1987, Inside Austronesian House, Australian National Unversity Press Oliver, Paul, 2006, Built to Meet Needs - Cultural Issues in Vernacular Architecture, Elsevier Ltd.: Burlington Oliver, Paul (ed), 1992, Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World , Oxford Brookes University Press Sato, Koji, (1991) To Dwell in the Granary - The Origin of the Pile-Dwellings in The Pacific, http://www.sumai.org/asia/refer/sem9102.htm
Kuliah Umum – Departemen Arsitektur, FT - Universitas Parahyangan 4 Desember 2015 Sato, Koji, (2015) Introduction to the manifestation of Indonesian wooden Architecture, from the keynote text of "International Conference : Manifestation of Architecture in Indonesia" Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2015, http://www.sumai.org/asia/refer/its2015.htm Schefold, Reimar (ed), 2005, Indonesian House, National University of Singapore Press Stiny, Greg, 2006, SHAPE: Talking about Seeing and Doing, MIT Press, Cambridge Massachusets Waterson, Roxana, 1989, Living House – An Anthropology of Architecture in Southeast Asia Widiastuti, Indah, 2014, Naga-Patala: Konsep Ruang Kreasi bagi Persentuhan Arsitektur India dan Nusantara pada. Seminar Nasional Arsitektur Merah Putih,“Ruang dan Tempat dalam Latar Indonesia“, 23 June 2014. Widiastuti, Indah, 2006, Penelitian KK STK, Ruang Antar Bangunan – Kampung Gagak , Lembaga Penelitian ITB Widiastuti, Indah, 2005, Penelitian KK STK, Kajian Hermenetik Elemen Ruang Terbuka pada masayarakat kabuyutan Ciptagelar, Lembaga Penelitian ITB Widiastuti, Indah, 2006, Penelitian KK STK, Kajian Struktur Atap Arsitektur Batak Toba, Indonesia dan Kerala India , Lembaga Penelitian ITB